18 - Kenapa?
"Hei! Hei! Kira-kira kakak-kakak itu siapa ya?" Salah satu bocah kecil yang sempat [name] kejar waktu itu bertanya pada teman perempuannya yang sebaya dengannya. Yang perempuan menoleh, berpikir sesaat hingga memutuskan untuk menggeleng. "Bukankah, mereka berasal dari pulau luar?"
Mata si lelaki berbinar. "P-pulau luar? Pasti keren! Bukankah pulau luar itu sangat berkilau, ya kan?"
"Aku tidak yakin, bagaimana jika pulau luar itu sama saja dengan pulau ini. Para orang dewasa yang egois dan mengejar-ngejar kita."
"Tapi kenapa mereka mengejar kita?"
Perempuan itu menggeleng tak tahu. Sejak pertama kali membuka mata di pulau ini, hal pertama yang ia jumpai adalah dirinya di dalam sebuah tabung. Lalu akhirnya ia membawa lelaki ini untuk kabur bersamanya.
Ia tidak begitu paham. Tapi ia merasa harus kabur dari manusia-manusia dewasa itu. Terlebih, mereka mengejar mereka. Ia sudah sangat mencurigai hal tersebut.
"Tapi kakak yang bermata biru itu, bukankah awalnya dia ada bersama kita?" Dia bertanya lagi. "Oh, dia? Bukankah artinya dia tertangkap?"
"Kurasa tidak," ujarnya. "Dia--maksudku mereka! Terlihat seperti keluarganya."
"Keluarga, ya." Perempuan itu tersenyum. Lantas mengambil tangan si bocah lelaki dan menggenggamnya. "Ayo, kita cari keluarga yang baik untuk kita."
"Hu'um!"
.
.
.
"Waw, rumahmu seram ya, Grace." Blaze berkomentar sambil melihat sekeliling. Grace menutup garasi mobil dan mengambil sebuah koper yang berisi dokumen. Dokumen yang ia ambil dari gedung sebelumnya.
"Itu karena dia sudah ditelantarkan selama bertahun-tahun, tentu saja bentuknya jadi menyeramkan seperti itu." Grace melangkah maju. "Kenapa? Kalian takut?"
"Nggak sih." Blaze memalingkan wajah.
Mereka bertiga--Grace, Blaze dan Duri--berdiri menghadap rumah itu. Kemudian Duri nyeletuk, "Grace, kenapa kita harus berpecah seperti ini?"
Ya, mereka memang berpecah menjadi tiga bagian atas usul [name] dan Grace.
Luke, Ice, Taufan dan Solar akan dibawa keluar dari pulau bencana. Luke akan membawa mereka ke kota. Ke tempat aman seperti yang diperintahkan oleh Grace.
[Name] dan Halilintar. [Name] memutuskan untuk berpisah dari Grace untuk menelusuri pulau ini untuk mencari hal-hal lain yang bisa jadi ketinggalan. Apalagi, ia masih penasaran dengan kedua anak kecil yang muncul di depannya secara tiba-tiba.
Sisa Grace, Blaze dan Duri saja untuk mengobservasi rumah lama Grace. Tempat dimana semua kejadian bermula. Asal muasal Noel menggila dan membunuh semua orang di dalam rumah kecuali dirinya.
"Kita akan baik-baik saja. Lagipula hanya mencari sesuatu yang mungkin penting." Duri dan Blaze hanya bisa ikut saja. Mereka bertiga lalu mengikuti Grace masuk ke dalam rumah itu.
Rumahnya besar. Ruang tamunya bahkan besar seperti aula kerajaan. Ada dua tangga melengkung yang panjang dan memiliki banyak anak tangga. Lalu pintu-pintu yang menghubungkan ruangan lain. Jangan lupakan foto keluarga Grace yang terpampang besar di ujung tangga.
Blaze dan Duri terpaku di depan foto tersebut. "Oh, jadi ini Noel? Sangat mirip denganmu."
Grace ikut melihat. Sosok ketika kedua orang tuanya masih ada. Sang kakak yang masih waras. Dan dirinya yang masih belia. Sosok keluarga sempurna yang didambakan banyak orang itu.
Sudah hancur.
"Ya, tapi kami jelas berbeda. Ayo jalan, kita tidak mau kehilangan banyak bukti penting kan?"
"Iyaa, Duri ingin pulang." Duri tidak bisa bohong. Ia benar-benar rindu rumah nyamannya. Berada di pulau ini terlalu lama sungguh tidak aman. Ada saja kejadian mengerikan yang terjadi selama mereka kemari.
"Tenang saja, kita pasti pulang!" Blaze menyemangati adiknya. Duri jadi semangat juga.
Mereka masuk ke sebuah ruangan yang dituju. Ruangan yang dulunya adalah ruangan kepala keluarga. Kini ruangan tersebut benar-benar berantakan.
Grace langsung bergegas memeriksa semua laci yang ia lihat. Blaze juga. Namun Duri, ia malah diam sembari melihat lantai.
"Um, guys?"
"Eh, ada apa, Duri?"
"Ini." Duri menunjuk ke lantai sambil berjongkok. Blaze mendekat, tapi ia tidak mengerti kenapa Duri menunjuk lantai.
"Ada apa?" sahut Grace di dekat meja.
Duri melihat Grace sebentar. Lalu kembali melihat ke arah lantai yang ia tunjuk. Memang kalau dilihat sekilas, tidak akan kelihatan. Namun, Duri bisa melihat jejak kaki. Padahal Blaze dan Grace tidak ada berdiri di depan Duri sebelumnya. Namun malah ada sebuah jejak.
"Yang ada disini, bukan cuma kita bertiga."
.
.
.
"Kau yakin, [name]? Memisahkan diri seperti ini, rasanya bukan ide bagus." Halilintar berkomentar. Ia bisa paham jika [name] dan Grace mengusulkan hal ini karena ingin mempercepat urusan di pulau bencana ini. Tapi tetap saja, memisahkan diri bukanlah rencana yang matang.
"Astaga, bang Hali ga percaya sama [name] ya?"
"Bukan begitu."
[Name] cemberut. Lalu berjalan sedikit jauh dari Halilintar.
Mereka ada di pemukiman yang sudah hancur. Waktu itu [name] minta diturunkan di tengah perjalanan bersama Halilintar. Sementara itu, Luke dan sisanya memakai mobil lama yang sempat Grace buang untuk kembali ke pulau sebelah.
"Mau apa kita disini?" tanya Halilintar.
[Name] terlihat melihat-lihat pemukiman yang hancur itu. Lalu dari kantung sakunya, ia mengeluarkan sebuah pistol.
Halilintar jelas panik. "Hei! Darimana kau dapatkan itu?"
"Ini?" [Name] tersenyum licik. "Grace yang memberikannya."
"[Name]--"
"Ini untuk melindungi diriku sendiri." [Name] memotong ucapan Halilintar. Lalu mengambil peluru dan memasukkan peluru itu ke pistol layaknya seseorang yang sudah terbiasa melakukannya. "Grace mengajarkan caranya padaku semalam."
Halilintar pasrah. "Jadi, untuk apa kita disini?"
"Yah, [name] punya sebuah misi yang harus diselesaikan."
"Misi? Apa itu?"
[Name] berbalik. Mengarahkan senjata itu ke depan mata Halilintar. Atau lebih tepatnya, tepat di depan matanya. [Name] tersenyum miring.
"Misi penting."
Dor!
.
.
.
"Apa tidak apa-apa kita berpisah?" Taufan gelisah sedari tadi. Ice terlihat biasa saja. Solar melamun sejak mereka berpisah. Dan Luke fokus mengendarai mobilnya.
"Tenang saja, mereka pasti akan segera menyelesaikan tugasnya dan pulang bersama-sama." Luke menjawab dengan ramah. Tidak ingin rencana tiba-tiba berubah karena salah satu dari mereka meminta kembali.
Luke mungkin tidak terlalu paham. Grace dan [name], duo jenius itu tiba-tiba meminta mereka berpencar dengan alasan agar pekerjaan mereka sekarang cepat selesai.
Bisa jadi mereka takut bahwa ketiga orang ini akan direbut kembali oleh Noel. Atau mengurangi beban. Masalahnya, justru Noel disuruh pulang, [name] dan Grace bahkan berpisah. Dengan Halilintar bersama [name], hanya berdua.
"Pulau bencana ini, apakah pulau di luar sana juga sama?" tanya Taufan. Luke sedikit terdiam saat mendengar pertanyaan yang seperti itu. Ia lalu tertawa. "Tentu saja berbeda. Di pulau luar, banyak gedung dan rumah yang bagus. Lalu manusia di sana juga tidak ada yang melakukan perbudakan seperti di tempat ini."
"Benarkah? Apa mereka juga tidak melakukan uji coba pada manusia juga?"
"Apa?!"
"Eh, apa? Uji coba manusia? Haha, mana mungkin pulau yang hancur ini melakukan uji coba manusia, kan?" Luke tertawa hambar. Merasa tidak mungkin.
Tapi, Ice dan Solar diam saja mendengarnya.
"Kau ... serius?"
"Ya, ada puluhan anak-anak yang dijadikan uji coba."
"Haha, itu tidak mungk--"
Cklek!
"Haha, Ice? Apa yang kau lakukan sekarang?"
Ice menodongkan sebuah pistol ke kepala Luke. "Berhenti, dan turunkan kami disini."
"Apa maksudmu? Aku harus membawa kalian ke--"
Luke bingung. Namun dapat ia lirik dari kaca mobil. Taufan dan Solar hanya diam saja saat melihat Ice menodongkan senjata padanya.
"Apa ini? Kalian bekerja sama?"
"Sudah kubilang ada puluhan anak uji coba, kan?" Taufan bersuara dengan wajah polosnya. Ia mendekati Luke dan menepuk pundaknya.
"Kami bertiga adalah salah satunya."
.
.
.
"Um, apa semua akan benar baik-baik saja, ya?"
Anak kecil laki-laki itu masih berkecamuk dengan pikirannya yang sebelumnya. Ia melihat langit yang cerah. Namun langit itu seolah menyimpan banyak gelap.
"Masih memikirkan yang tadi?" Anak perempuan di sebelahnya menyahut. Ikut duduk di sebelah anak laki-laki. Mencoba menyelesaikan masalah pikiran yang menimpa bocah laki-laki itu.
"Apanya yang akan baik-baik saja?" tanyanya.
"Ituloh--eh, gatau." Tiba-tiba pikiran bocah lelaki itu kosong. Ia jadi bingung sendiri. Ia yakin tadi tengah memikirkan sesuatu yang sangat penting.
"Kau sering melamun ya akhir-akhir ini, apa terjadi sesuatu?" tanya si gadis kecil. Namun bocah lelaki ini tidak mengingatnya. Ia memasang tampang sedih.
"Aku yakin itu berhubungan dengan kita, sebelum kita kemari."
"Eh, memangnya kita punya kehidupan lain sebelum kita kemari?"
"Aku nggak begitu yakin, tapi pastinya seperti itu sih, hehe." Ia menggaruk kepalanya. Si gadis kecil hanya bisa geleng-geleng kepala.
Lelaki itu melihat wajah si gadis kecil. "Kayaknya kamu memang lebih bagus pakai kacamata deh."
"Apa sih, aku kan gak pernah pakai kacamata."
Lelaki itu merasa aneh sendiri. Ia menepuk kedua pipinya. Lalu kembali melihat ke langit.
Si gadis kecil melompat turun dari tempat duduknya. Lalu memyodorkan tangannya kepada bocah lelaki itu. "Kemari, ini sudah sore loh. Bukankah kita harus menjenguk teman kita?"
"Oh, iya!" Dia mengangguk dengan menggemaskan. Lalu meraih tangan gadis kecil dan melompat turun dari tempat duduknya.
"Aku saat dewasa nanti, mau menikah denganmu, ya!" ucap bocah lelaki itu dengan lantang. Si gadis kecil terkekeh. "Oh ya?"
"Ini bukan guyonan loh." Ia mengayun-ayunkan tangannya yang bergandengan. "Nikah ya!"
"Oh ya?"
"Kehidupan sebelumnya terlalu jelek." Si bocah lelaki tersenyum, menampakkan gigi-giginya.
Si gadis kecil hanya bisa tersenyum saja. Melihat keadaan mereka. Ia tidak yakin mereka akan bisa hidup lama di pulau ini. Makanan mulai menipis. Mungkin mereka akan mati tahun depan.
"Kalau begitu sebut namaku dong," ujarnya.
Si bocah lelaki terkekeh lagi.
"Iya, Rena."
.
.
.
***tbc***
A/n:
Boom!
Ketemu lagi.
Aku rasanya agak malas bertanya di A/n seperti biasa. Tapi kalian sudah paham lah ya seharusnya.
Alurnya ... benar-benar argh!
Aku gatau gimana lagi, benar-benar capek haha
Rumahku sangat ribut. Sungguh ribut. Sampai-sampai aku harus menutup telingaku dengan earphone dan memutar musik dengan suara keras.
Daripada mentalku yang hancur, ya kan?
Mungkin, terbawa suasana lagu? Haha. Tapi yang kudengar cuma suara biola sih, instrumen lebih tepatnya.
Semangat buat kalian. Mau menjalani hidup, sekolah, kerja atau apapun. Semangat ya.
Kita sama-sama berjuang ya. Jangan capek. Haha
See you 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top