15 - Lanjut

"[Name]!"

Grace, Halilintar dan Ice kembali sambil ngos-ngosan karena berlari dengan terburu-buru. Grace dengan cepat menghampiri [name] dan memegang kedua bahu gadis itu. Manik cyannya menatap [name].

"Katakan, bagaimana bisa kalian menemukan penawarnya?"

"Itu ..." [Name] ragu untuk bicara. Lalu mereka berdua sama-sama melihat ke arah Taufan yang sudah siuman sejak beberapa menit yang lalu. Ada Ice yang langsung menerjang peluk. Yang lain ikut menghampiri dan bertanya-tanya.

[Name] menoleh ke arah Grace lagi yang masih menunggu jawaban. Ia tersenyum tipis. Terlihat tengah menyembunyikan sesuatu diam-diam. "Ah sudahlah, yang penting bang Taufan sudah sadar, kan?"

"A--"

Grace terdiam. [Name] berlalu pergi ikut menghampiri sang kakak. Taufan terlihat pulih meski wajah pucatnya belum sepenuhnya teratasi.

Grace mematung diam. Ia sangat penasaran. Ia tahu ada sesuatu hal besar yang [name] sembunyikan darinya. Tapi dari raut wajah [name], sudah menjelaskan bahwa gadis bersurai coklat itu takkan memberitahu meski Grace memaksanya.

Ini berbahaya. Grace tahu itu. Apalagi [name] bukanlah seseorang yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan, bertimbal balik dengan Grace.

Bisa saja [name] diancam sesuatu. Tidak mungkin ada seseorang yang mau memberikan penawar, sedangkan aslinya penawar itu tidak ada.

Benar, itu bukanlah racun yang biasa ada di kota metropolitan.

Itu berarti, ada campur tangan musuh dalam hal ini.

"Bagaimana?" Suara Grace memecah keributan karena sedari tadi, satu keluarga itu terus berbincang.

"Kalian semua sudah berkumpul, haruskah pulang?" tanya Grace.

"Harusnya iya, tapi kau bilang akan tetap disini untuk mencari tahu sesuatu, kan?" [Name] maju dengan berani. "Aku akan ikut."

Tentu saja. Jika [name] ikut, maka satu keluarga pun akan mengekorinya. Terkecuali Taufan yang masih amnesia dan Ice yang sepertinya terkena cuci otak.

"Kau tahu sendiri bahwa tempat ini berbahaya, lebih baik kembali daripada kalian berdelapan berpisah lagi." Grace melipat tangannya di depan dada. "Itu jauh lebih merepotkan."

"Kami juga tak mau kau kenapa-napa, Grace. Kau sudah membantuku, biarkan aku membantumu kembali." [Name] tetap bersikeras seperti biasanya. Itulah [name], keras kepala orangnya. Karena sifat itulah [name] jadi incaran dengan mudah.

"Terserah."Grace menyerah. Percuma bersilat lidah dengan [name]. Gadis itu punya tim pendukung di belakangnya.

Tiba-tiba ada suara mobil mendekat. Mereka semua pun menoleh ke arah mobil itu dengan waspada. Lalu, mobil itu berhenti di hadapan mereka.

"Hai~ masih hidup?"

Itu Luke, mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.

Mereka tenang karena itu bukan musuh. Grace mendekati Luke dan menjitaknya. "Lama."

"Hahaha maaf, tadi sempat macet." Luke tertawa sambil menggaruk kepalanya. Grace melirik ke arah kedua tangan Luke yang terlihat bekas darah samar. Lalu juga, tangan itu bergetar.

"Apa musuhnya sebegitu banyak?"

"Kurasa, ya?" Luke terlihat santai saja. Padahal kedua tangannya jelas-jelas bergetar karena kelelahan. Menyetir sendiri dari pelabuhan dan ke dalam itu jauh dan sulit. Apalagi sampai-sampai dihadang dan harus bertarung melawan sendirian. Itu benar-benar sulit.

"Ya sudah, minggir, biar aku yang menyetir." Grace membuka pintu mobil. Luke ditariknya keluar dari mobil dengan kasar. Lalu gantian Grace yang duduk di kursi kemudi.

Grace melihat kursi sebelahnya. Tidak ada orang. Itu berarti Luke benar-benar cuma sendiri. "Kau datang sendirian?"

"Sebenarnya sama satu orang lagi. Tapi dia kelihatannya mati." Luke tidak menjelaskan dengan begitu detail tapi Grace sudah mengerti maksudnya. Memang, Luke tidak terlalu peduli terhadap teamnya sendiri. Terlebih Luke tampaknya juga cukup kesusahan.

"Naiklah," ajak Grace begitu kepalanya timbul dari jendela mobil. Yang lainnya langsung berjalan mendekat.

"Mobil yang lama?" tanya [name]. Grace angkat bahu. "Buang saja, sudah lecet."

'Dasar orang kaya!' batin [name] teriak.

"[Name] bersamaku, Luke duduk di belakang." Grace memerintah. Karena Grace tahu mobil ini lebih mirip pick up atau ambulan. Laki-laki saja yang duduk di belakang.

"Ayee~" [Name] bergegas ke sisi sebelah Grace. Sisanya pergi semua ke belakang termasuk Luke.

.

.

.

"Sebenarnya kita mau mencari apa lagi?" tanya Blaze heran. Mereka sudah bersama sekarang. Lantas hal apa yang masih ingin dicari oleh Grace.

Sebenarnya, apa yang ingin Grace cari?

"Mungkin sesuatu tentang Noel?" Ketika Duri mengucapkan itu. Solar menundukkan kepala tepat ketika sang sulung melirik ke arahnya. Karena Solar juga mengaku sebagai anak buah Noel. Seharusnya Grace pasti akan bertanya-tanya tentang keberadaan Noel.

"Jadi." Ice memotong pembicaraan mereka. "Bagaimana cara kalian mendapatkan penawarnya?"

Ya, yang lain sudah menduga bahwa baik Grace, Halilintar ataupun Ice pasti penasaran akan hal tersebut. Padahal mereka telah menyerbu ke markas musuh. Lalu ternyata yang lain telah mendapatkan penawarnya.

"Ada seseorang ... yang memberikannya." Solar bersuara. Halilintar menaikkan sebelah alisnya. "Siapa?"

Solar pun menatap balas si sulung. Sebelum kembali memalingkan wajah. "Noel."

Luke melirik begitu mendengar nama Noel disebut. Tentu saja, nama itu tidak asing untuknya. Nama dari salah satu keluarganya. Nama yang begitu dijunjung tinggi di keluarganya.

"Kenapa dia--"

"Uhuk--! Haahh ... haahhh ...."

Mata mereka semua terpaku pada Luke yang duduk di ujung kursi. Menyenderkan kepala ke depan. Lalu memegangi dadanya yang sesak.

"Kau kenapa?" Gempa menghampiri dengan panik. Bingung harus melakukan apa. Kedua tangan Luke masih bergetar sejak tadi.

"Asma," gumam Ice. Halilintar yang mendengar itu langsung meraih tas yang dibawa Luke dan membuka isi tas itu. Benar saja, ada tabung yang biasa digunakan untuk orang asma. Tabung kecil.

Halilintar langsung memberikannya ke Luke begitu Luke terlihat hendak menggapai alat tersebut. Luke memakainya. Barulah beberapa saat, ia kembali normal.

"Kau sudah tidak apa-apa? Apa masih ada yang sakit?" tanya Gempa lagi. Luke menggeleng lalu tersenyum. "Ya, tidak apa-apa. Terima kasih kalian."

Solar memperhatikan penampilan Luke. Ya, tidak asing. Rambut pirang kemerahan. Yang berbeda dari Grace maupun Noel hanyalah mata Luke yang irisnya berwarna merah.

Malah lebih gelap dari Halilintar.

"Taufan tidur lagi?" sahut Halilintar melihat adik pertamanya itu masih tertidur lelap di sebelah Ice. Mungkin efek racun dan penawar. Ia terlihat lelah. Ia tampak biasa saja bahunya digunakan sang kakak untuk tertidur. Meski dulunya ia sangat risih jika Taufan atau Blaze menerjang peluk ke arahnya.

"Biarkan saja, sepertinya perjalanan kita masih jauh." Gempa sedikit tersenyum. Senang rasanya setelah lima tahun berlalu, mereka sudah berkumpul lagi seperti ini. Meski ada yang berbeda.

Iya, karena Taufan yang amnesia dan Ice yang pikirannya masih kalut akan kebencian karena ditinggalkan.

"Bahumu capek kan Ice? Biar aku saja gantian." Blaze hendak menarik kepala Taufan. Namun tatapan tajam Ice menghentikannya.

.

.

.

Perjalanan selesai saat hari mulai malam. Mereka menepi di salah satu halaman rumah yang luas. Dan memakai halaman rumah itu untuk mendirikan tenda. Beruntung Luke telah menyiapkan segalanya di dalam mobil.

"Luke dimana?" tanya Grace begitu tidak menemukan keberadaan Luke yang harusnya berada di sana. Sementara yang lain tengah mendirikan tenda untuk bermalam.

"Masih di mobil," sahut Halilintar tanpa menoleh. Grace mengangguk paham. Lalu berlalu masuk ke bagian belakang mobil.

Ia menemukan Luke di ujung kursi. Tampak melamun dengan serius. Bahkan kedua tangannya terkepal.

"Luke?" Grace menepuk pundak pemuda yang lebih muda itu. Luke tersentak kaget. Ia langsung tersenyum riang begitu melihat Grace. "Oya? Ada apa?"

Grace diam cukup lama menatap sepupu jauhnya itu. Berakhir menghela napas panjang. "Tidur di dalam tenda saja, hentikan berpikir terlalu dalam atau penyakitmu akan kambuh lagi."

"Bicara apa sih, memikirkan apa?" Luke tertawa-tawa. Lalu turun dari mobil. Ia melihat ke arah tenda yang sudah jadi. Bahkan api unggun juga sudah siap. "Tenda yang bagus."

Grace mengacak rambut Luke terlebih dulu. Baru pergi dari hadapan Luke. "Tugasmu hari ini, tidur dan jangan memikirkan apapun."

Luke sedikit memperbaiki rambutnya. Lalu tersenyum. "Siap~"

.

.

.

"Seperti acara kemah." [Name] terkekeh begitu mengomentari tentang keadaan mereka sekarang.

"Kemah yang cukup mengerikan. Bisa saja musuh menebas kepalamu saat tidur." Blaze merinding sendiri saat mengucapkannya. Yang lain menatapnya datar.

"Oh, Bang Taufan dan Luke nggak ada?"

"Tidur." Grace menunjuk ke arah satu tenda. Ice menaikkan sebelah alisnya. "Satu tenda?"

"Ya," sahut Grace dengan malas. "Berhenti cemburu, mereka berdua laki-laki."

"Aku mau mengintip mereka tidur." [Name] meluncur pergi ke tenda. Sebelum terdiam. "Grace?"

"Ya?" jawab Grace.

"Kau yang menyelimuti mereka?"

"Ya."

"Kurasa kau harus belajar cara menyelimuti yang baik dan benar."

"Kenapa?"

"Kau lihat ini." [Name] menarik Grace itu melihat. Yang lain pun ikut penasaran dan ikut mendekat. "Seperti ulat."

Dan terlihat Grace menyelimuti mereka. Layaknya ulat di dalam kepompong. Namun lucunya, Luke dan Taufan tidak terbangun karena itu.

"Kenapa? Itu bagus kan?"

"Pfft--" Halilintar langsung menutup mulutnya saat hendak tertawa. Ia buru-buru pergi dari sana.

"Gyaa! Bang Hali mau ketawa!!" Blaze bersahut dengan heboh sendiri.

"Aku gak ketawa." Halilintar sudah kembali pada wajah masamnya. Namun yang lain juga sudah mendengar bahwa Halilintar tadi hendak tertawa.

Grace berkacak pinggang. "Apa yang salah dengan caraku menyelimuti?"

Lalu [name] menepuk pundak Grace dua kali sambil berkata. "Gapapa Grace, pertahankan."

"Apanya?"

Bukan menjawab. [Name] hanya memberikan jempol dengan senyuman penuh arti.

"Hoi? Apa maksudnya?"

"Yey, punya kakak ipar sultan!"

Dan Grace masih saja mencari apa yang aneh dalam menyelimuti. Seingatnya dulu ia juga diselimuti begitu oleh kakaknya.

Lalu dijadikan guling.

"Kayaknya kurang tebal."

Tampaknya kita menemukan sisi polos Grace yang masih belum tercemari oleh otak jahatnya.

"Gyaa! Apa yang kau lakukan Grace?! Hentikan!! Bang Taufan dan Luke bisa nggak bernafas!!"

"Aaaaa! Aku jadi cacing!"

"Cacing?!"

.

.

.

***tbc***

A/n:

Sellow sellow dulu my pren

Habis ujian, mari refresh otak lagi.

Ayo ayo kira kira ada yang tahu masa lalu Luke?

Kenapa Noel ngasih penawar? Apa benar itu Noel? Atau Noel menginginkan sesuatu dari mereka dan ... Grace?

Kira kira ke depannya mereka masih bakal baik-baik aja atau akan ada sesuatu yang terjadi lagi?

Stay tune *kedip*

Ayo rangkul ini book sampe tamat.

See you again~ 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top