10 - Dari nol
"Mereka belum juga kembali?"
Mereka semua gelisah saat orang yang ditunggu tak kunjung pulang. Sudah sekitar tiga puluh menit berlalu, namun tak ada jejak-jejak mereka akan pulang.
"Sepertinya ada sesuatu yang tak beres," terka [name]. Ia berdiri dari duduknya dan langsung berlari saat itu juga. "Aku akan mencari mereka!"
"Tunggu [name]!" Gempa panik. Halilintar berlari mengejar. Taufan yang masih menganggap Grace adalah penyelamatnya pun ikut berlari mengejar mereka. Tersisa hanya Gempa dan Duri.
"Bang Gem," Duri memegang dada kirinya. Wajahnya terlihat murung. "Duri merasakan firasat buruk."
Bukan hanya Duri. Gempa juga merasa begitu. Ia mencoba mengajak Duri duduk dan menenangkannya. "Tidak apa, aku yakin mereka akan baik-baik saja."
Duri membalas Gempa dengan senyum. "Iya."
Di lain sisi. [Name] yang berlari dengan kecepatan penuh dan dilanda panik itu akhirnya sampai ke supermarket terdekat. Tanpa basa-basi, langsung menerjang masuk ke dalam sana.
"Grace! Bang Blaze!" panggil [name] saat berada di dalam supermarket. Halilintar dan Taufan yang sudah menyusul pun ikut masuk ke dalam.
[Name] menjelajahi setiap etalase yang ada di sana. Halilintar serta Taufan tentu saja ikut melakukan hal yang sama.
"Dimana? Dimana?!"
Krak!
[Name] berhenti saat ia merasa telah menginjak sesuatu. Ia mengangkat kakinya, menemukan sebuah pisau berlumur darah. Ia menunduk dan mengambil pisau tersebut.
[Name] menyentuh darah tersebut. Masih basah. Itu artinya ini baru saja terjadi. "Grace? Bang Blaze?!" [Name] langsung saja berlari lebih jauh. Lalu menemukan sang kakak yang terbaring di lantai. Dipenuhi darah.
"Bang Blaze!" pekik [name]. Ia langsung menghampiri Blaze dan melihat seluruh tubuhnya. Blaze sepertinya tidak sadarkan diri. Namun banyak sayatan di tubuhnya.
Halilintar datang. Terkejut melihat keadaan Blaze yang sekarat. Langsung saja ia hampiri dengan wajah yang panik. "D-dia kenapa?!"
"Tidak tahu, sepertinya ditusuk. Tadi [name] lihat pisau di sana." [Name] gemetar saat menunjukkan pisau tersebut ke Halilintar.
"Kita bawa dia pulang." Halilintar langsung saja menggendong Blaze ke pundaknya, dibantu oleh [name].
"Tunggu! Dimana Grace?" [Name] melihat ke sekeliling dengan panik. Tidak ada satupun dari mereka yang menemukan Grace.
"Tidak ada pilihan lain, kita bawa Blaze pulang dulu untuk diobati." Meski raut wajah Halilintar sebenarnya juga ketakutan, ia berusaha tetap tenang. Awalnya hendak menolak, tapi melihat Blaze dalam keadaan seperti itu, [name] mau tak mau harus ikut abangnya.
Mereka berdua langsung saja berlari cepat untuk pulang ke rumah. Jarak dari supermarket ke rumah sebenarnya tidak begitu jauh. Hanya beberapa perumahan dari tempat mereka.
Halilintar masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Disambut oleh Gempa dan Duri dengan sama paniknya.
"Apa yang terjadi?"
Halilintar menaruh Blaze di sofa. Membuka baju Blaze untuk melihat luka-luka di tubuhnya. "Sepertinya ada yang menyerang mereka, Grace juga menghilang."
"A-apa?" kejut Gempa tidak percaya. Duri datang membawa kotak P3K yang sebelumnya milik Taufan. Lantas memberikannya ke Halilintar.
"Tunggu," ujar Duri. Ia melihat ke arah mereka semua dengan bingung. "Dimana bang Taufan?"
Halilintar membelalak. [Name] panik. Gempa ikutan melihat ke sekitar. "Bukankah tadi dia mengikuti kalian?"
"Aku ... aku tidak tahu kalau bang Taufan ikut!" seru [name] panik. Bahkan ia terlihat menjambak rambutnya sendiri karena frustasi. "Aku akan kembali mencari bang Taufan!"
[Name] berlari pergi lagi. Halilintar panik. Langsung memberikan perban tersebut ke Gempa. "Tolong kau rawat Blaze."
"Hati-hati!" teriak Gempa untuk mengingatkan. Duri di sebelahnya tampak ketakutan. "Bagaimana ini? Padahal kita baru saja bersama."
.
.
.
"Uh?"
Taufan bingung saat semuanya mendadak sunyi. Padahal dia baru saja ke etalase lain beberapa saat tapi [name] dan Halilintar sudah tidak terlihat lagi wujudnya.
"H-halo?"
Srak!
"Eh?" Taufan melihat ke belakang. Ada sosok asing berjubah. "S-siapa?!"
Sosok tersebut melepas tudungnya. Menampakkan wajah yang mirip sepertinya. Serta manik yang berwarna aqua.
"Kau siapa?" Taufan mencoba mengingat saudara-saudaranya yang baru ia temukan. Tapi tidak ada satupun yang sebelumnya bermanik aqua.
"Bang Taufan melupakanku?" tanyanya. Ia berjalan mendekat. Taufan langsung berjalan mundur dengan raut ketakutan.
"D-dimana Grace?" tanya Taufan. Ice terhenti, ia menatap Taufan dalam. "Kenapa? Kenapa mencarinya?"
"Dia ... dia penyelamatku."
Ice tersenyum miring. Ia berjalan lagi mendekat. Taufan mundur, namun berhenti saat di belakangnya adalah jalan buntu. Ice mendekat, menahan Taufan di dinding.
"J-jangan ... aku ... aku ..." Tubuh Taufan bergetar ketakutan. Bahkan terlihat ingin menangis. Melihat wajah datar dan tatapan kosong Ice membuatnya takut. Seolah ditelan bulat-bulat.
Ice tersenyum. Mengusap pipi sang kakak dengan lembut. "Tidak apa, aku tidak akan menyakitimu. Karena kita keluarga."
"Kalau kita keluarga, kenapa ... kenapa kau tidak kembali?" tanya Taufan. Tanpa tahu bahwa hal itu membuat gejolak amarah Ice muncul. Tanpa sadar ia mengenggam kuat lengan sang kakak.
"Mereka bukan, hanya kita berdua. Karena mereka meninggalkan kita."
"Uh!" Ice langsung melepas tangannya. Terlihat lengan Taufan tercetak bekas kemerahan.
"Bang Taufan mungkin lupa, tapi bukankah ini aneh?" Ia menunjuk ke arah supermarket yang sepi. "Kenapa mereka meninggalkan bang Taufan di sini?"
Suara [name] terputar di otak Taufan.
"Kami nggak akan ninggalin bang Taufan lagi."
Padahal baru beberapa jam sejak [name] mengatakan hal itu. Tapi lagi-lagi ia ditinggalkan. Apakah mereka lupa padanya? Tapi bukankah ini karena Taufan seenaknya mengikuti mereka?
"Tapi." Taufan menarik kerah jubah Ice. Manik safirnya terlihat berkaca-kaca. "Mereka keluarga kita."
"MEREKA BUKAN! MEREKA MENINGGALKAN KITA DI PULAU INI SEDANGKAN MEREKA KABUR!! Ah ..."
Ice berhenti saat melihat Taufan yang terkejut. "Maaf, aku tidak bermaksud berteriak padamu." Ia memeluk sang kakak yang tubuhnya lebih kecil darinya. "Maaf."
"Bang Taufan!!"
"Taufan?!"
Mereka berdua sama-sama tersentak saat mendengar bahwa [name] dan Halilintar kembali untuk mencari Taufan.
Ice melihat ke arah Taufan. Taufan hendak beranjak menemui mereka. Tapi Ice lebih dulu memukul tengkuk Taufan untuk membuat ia pingsan. Lantas cepat menangkapnya sebelum jatuh ke lantai dan membuat bunyi berisik.
Ia menggendongnya. Berbisik kecil.
"Kita akan jadi keluarga kecil yang bahagia."
.
.
.
"Argh!" Halilintar kesal. Frustasi karena kehilangan dua orang sekaligus. Serta Blaze yang tengah tak sadarkan diri.
"Bang Hali, tenanglah." Meski bicara begitu, Gempa sebenarnya juga tidak tenang. Ia tidak bisa berpikir jernih sama sekali.
Taufan yang baru mereka temukan, kini pergi.
Dan mereka akan mengulanginya lagi dari nol.
Bukan, malah jauh lebih buruk. Dengan hilangnya Grace, mereka tidak tahu harus berbuat apa.
[Name] juga frustasi. Tak henti-hentinya memandang langit-langit rumah yang polos. Bergumam bahwa ini adalah salahnya.
"Bang Blaze ..." Duri menggenggam tangan saudaranya yang tengah pingsan itu. Berdoa agar Blaze segera sadar. Tangannya dingin, Duri mencoba menghangatkannya.
Mereka benar-benar kacau.
"Ngh." Blaze terlihat sadar dari pingsannya. Mereka semua langsung saja menghampiri Blaze. "Blaze? Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?"
Blaze membuka mata. Namun ia langsung meloncat duduk dengan panik. "Grace! Ice!"
"Tenang Blaze, nanti lukamu terbuka lagi." Gempa menahan Blaze agar kembali berbaring. Blaze melihat sekeliling dengan panik. "Ice!"
"Ada apa? Kita belum menemukan Ice, apa kau bermimpi buruk?" tanya Gempa dengan lembut.
"Tidak." Blaze terlihat frustasi. "Aku melihat Ice, dia menusuk Grace dengan pisau." Manik oranye miliknya bergetar. "Lalu menyerangku."
"Apa?!" Halilintar sangat terkejut. Ia menatap Blaze. "Itu benar-benar Ice? Apa kau tak salah lihat?"
Blaze menggeleng samar. "Itu Ice, mata aquanya juga. Ia terlihat hampa. Dia ... dia seperti orang lain." Jiwa Blaze sepertinya terguncang. Karena Blaze sebelumnya mencoba menyadarkan Ice. Namun Ice mengatakan sesuatu yang menusuk kalbu.
"Dia bilang, ini karena kalian semua meninggalkanku."
Deg!
Mereka jadi paham ini bukan sekadar salah paham. Tapi benar-benar kehancuran. Meski disebut salah paham sekalipun. Mereka tetap saja benar-benar meninggalkan Ice dan Taufan di sana.
"Tapi ... tapi ..." Duri sudah tidak bisa berkata apapun lagi. Yang dikatakan Ice itu benar. Mereka memang meninggalkan saudara mereka itu. Mau membuat alasan sekalipun, itu tidak bisa menyembuhkan luka mereka yang terlalu dalam.
Ice sudah direnggut kebencian terlalu dalam.
"Itu berarti Taufan juga--" Halilintar tidak melanjutkan kata-katanya.
Blaze melihat ke sana kemari. "Dimana bang Taufan?"
Mereka tersentak saat mendapat pertanyaan seperti itu. Lalu saling bertatapan seolah memikirkan jawaban yang tepat.
"Bang Taufan hilang," ujar [name] yang masih berjongkok di sudut. "Gara-gara kami melupakan dan meninggalkannya."
"Tidak mungkin ..."
.
.
.
Ice berjalan masuk dalam sebuah tempat yang bisa disebut sebagai markas. Terlihat seperti ruang bawah tanah yang telah dimodifikasi sebagus mungkin.
Ia melewati beberapa orang yang bernasib sama sepertinya. Lantas masuk ke dalam sebuah ruangan tempat pemimpin mereka berada.
Bukan, bukan pemimpin. Lebih tepatnya asisten pemimpin. Karena bos besar mereka yang sebenarnya bersembunyi di balik layar monitor raksasa. Di depannya sekarang hanya seseorang yang memberikan perintah sesuai suruhan bos besar.
"Oh, kau kembali. Bagaimana? Misimu telah selesai?"
Ice mendengkus. "Ya, paman Borara."
Seseorang yang dipanggil Borara itu diam di depan monitor. Menatapi Ice dalam diam. "Kau malah membawa salah satu saudaramu, ya?"
Ice memicingkan mata. "Jangan berani sentuh dia, aku yang akan bertanggung jawab atas segala hal mengenai kakakku."
"Berani kau menjawab dengan lancang!" Borara menghentakkan meja dengan kasar. Wajahnya murka. Ice memilih untuk diam.
"Kerja bagus, kembalilah."
"Ya."
Ice langsung pergi dari sana. Melalui koridor yang bentuknya sama saja. Ia masuk dalam sebuah tempat yang cukup jauh dari markas utama. Tempat asrama untuk para anak-anak yang tertinggal seperti mereka.
Ice memasuki kamarnya. Awalnya gelap. Namun ia memilih untuk menghidupkan lampu. Menemukan saudaranya yang terbaring di atas ranjang, belum ada tanda-tanda akan bangun.
Kamarnya kecil. Hanya ada satu ranjang tidur dan satu meja serta kursi. Untungnya kamar itu dilengkapi dengan toilet. Sisanya perabotan lain seperti lemari berisi pakaian dan alat mandi dalam kamar mandi.
Ice menarik kursi belajarnya. Duduk disamping sang kakak yang masih tertidur nyenyak. Ia berbaring dengan tangan sebagai bantal. Menatapi wajah kakak yang satu-satunya ia percayai.
Menyentuh pelan rambut yang warnanya sama sepertinya. Ia lantas bergumam samar.
"Ya, sama seperti saat kau masih di dalam tabung."
.
.
.
***tbc***
A/n:
Grace dibawa lari?
Loh Taufannya ketinggalan
Ada apa ini? Ternyata Ice gak hilang ingatan kayak Taufan toh, tapi kenapa bisa sebenci itu sama keluarganya sendiri ya?
Bos besarnya masih belum keluar, tapi apa kalian benar-benar yakin bahwa itu adalah Noel?
Teori makin bertambah~ 🌚 yuk bisa yuk
Jadi yang tahu wa ruru nih sudah dapat beberapa spoiler hehe, tapi diem aja loh yg udah dapat spoiler ya 😔
Yeup! Yg follow ig ruru pasti udah familiar sama gambar ini. Ini di edit sama lagu-lagunya juga sekalian. Judul lagunya "sweet but pyscho"
Dan jugaaa 😳 jeng jeng Grace dapat fanart pertama yeeyy XD
Tenang, ga melulu highlight di Grace kok. Saatnya yang lain lagi yang menunjukkan aksi mereka.
See you~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top