1 - Apa kabar?

Suara dering telepon membuatku terbangun. Aku lantas meraba-raba nakas dan meraih hanphone milikku. Melihat nama salah satu abangku yang terpampang di depan layar.

Aku mengucek mata. Lalu mengangkat telepon itu. "Halo bang Gempa."

"[Name], kau baru bangun?"

Mendengar Gempa seolah tidak percaya seperti itu membuatku melihat jam di layar handphone. Lalu menemukan angka digital jam tujuh pagi.

Aku tempelkan lagi handphone itu di telinga. "Iya bang, [name] ngantuk."

"Ayo bangun lagi, yang lain menunggumu di depan hotel."

Aku melirik ke kasur di sebelahnya. Tepat sekali, Grace lagi-lagi sudah pergi meninggalkanku. Grace selalu begitu, tidur paling lama dan bangun paling cepat.

"Iya bang, [name] siap-siap dulu." Setelah itu aku mematikan telepon dan beranjak dari kasur.

Aku merenggangkan tubuhku. Lalu mengintip arah mereka lewat jendela balkon. Aku bisa menemukan keempat abangku yang duduk-duduk di salah satu bangku yang ada di depan hotel. Namun tidak bisa kutemukan keberadaan Grace. Lagi-lagi ia menghilang tanpa mengabari.

Ini sudah hotel ketiga yang kami tempati. Grace membawa mobil dengan kencang. Kami bisa sampai ke pinggir pulau dalam waktu beberapa hari saja.

Hari ini kami berencana untuk bertamu ke pemakaman Rayn. Karena Rayn dimakamkan di pinggir pulau. Berbeda dengan Rena yang makamnya ada di kota.

Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Mengingat kenangan masa kecil bersama Rayn. Dia benar-benar anak laki-laki yang baik.

"Tiba-tiba aku merindukannya."

.

.

.

"Ayo naik." Grace memberhentikan mobilnya tepat di depan [name] dan yang lain. Grace hari ini terlihat berbeda dari biasanya. Biasanya ia akan memakai pakaian yang lengkap. Tetapi hari ini hanya memakai sweater biru muda. Dan rambut yang diikat ponytail asal-asalan.

[Name] dan yang lain beranjak masuk. Tapi Halilintar membuka pintu supir dan menyuruh Grace untuk keluar.

"Apa? Mau mengusirku?" tanya Grace dengan wajah datarnya. Halilintar menghela nafas, "Biar aku yang bawa mobilnya."

"Aku tidak lelah, aku masih bisa bawa mobil." Grace masih tak berkutik. Halilintar terlihat geram. Ia tanpa aba-aba mengangkat Grace dan memindahkannya ke kursi sebelah. Membuat yang lain melihat adegan tersebut sambil melongo.

"Apa-apaan itu?" ujar Grace tak percaya. Halilintar tanpa banyak bicara langsung masuk ke mobil dan menutup pintu. Kini dia yang mengambil alih kemudi.

"Diam, anak kecil harusnya duduk di bangku belakang." Setelah itu Halilintar melajukan mobil dengan kecepatan normal. Grace hanya memutar bola mata malas dan melihat ke luar jendela.

Bukannya Halilintar sebegitu takutnya karena Grace membawa mobil dengan kebut-kebutan. Ia tahu betul gadis bule itu kurang tidur. Meski kantung matanya tidak terlalu terlihat. Kadang saat tengah malam Halilintar keluar untuk mencari udara segar, ia bisa menemukan Grace yang baru kembali entah darimana.

Ia tidak tahu apa yang sedang dikatakan Grace. Melihat [name] tidak menjelaskan apapun tentang hal itu. Artinya Grace merahasiakan hal tersebut dari semuanya.

Baru beberapa menit sejak mereka beranjak pergi dari hotel. Grace yang sedari tadi sibuk melihat keluar ternyata sudah tertidur. Kepalanya tersender ke kaca pintu mobil.

[Name] mengambil bantal kecil dan menyelipkannya di kepala Grace. Tidak ingin kepala Grace sakit karena guncangan dari mobil.

Halilintar memelankan laju mobilnya saat jalan yang mereka lalui tak lagi beraspal. Melainkan jalan tanah yang dipenuhi batu.

"Ah, ke arah sana bang Hali!" [Name] menunjuk ke salah satu belokan di sana. Namun karena ternyata tidak muat untuk masuk mobil. Halilintar memarkirkan mobil itu ke tanah lapang di sebelahnya.

"Makam Rayn ada di bukit sebelahnya. Tapi [name] mau mampir dulu ke tempat bibi," ujar [name].

"Orang yang mengurusmu bukan?" tanya Gempa. [Name] mengangguk.

"Wah, aku ingin lihat orangnya!" seru Blaze bersemangat. Duri bahkan ikut-ikutan.

"Ayo, kita harus berterima kasih, kan?" Gempa tersenyum. Membuat Blaze dan Duri mengangguk setuju.

"Aku di sini saja," ujar Halilintar. Mereka langsung melihat ke arah Grace yang tertidur. Benar juga, harus ada satu orang yang menjaga Grace.

"Kalau begitu kami pergi dulu ya bang," Ijin [name]. Lalu mereka keluar dari mobil dan meninggalkan kedua orang itu. Halilintar bisa melihat mereka berjalan memasuki rumah penduduk. Serta beberapa penduduk yang tampaknya mengenal [name] dengan baik.

Iya, ini adalah tempat dimana [name] dibesarkan. Sedangkan pulau rintis hanyalah kampung dan kenangan masa kecil mereka yang telah musnah.

Halilintar melirik Grace yang tertidur melalui ekor mata. Ia mendengkus.

"Sebenarnya apa yang kau sembunyikan?"

.

.

.

Tuk!

"Ngh!"

Grace mengusap kepalanya yang terantuk. Ia membuka kelopak matanya, menampilkan iris matanya yang berwarna cyan. Ia melihat seisi mobil yang orang-orangnya telah menghilang.

Ia mendudukkan diri. Lalu mengusap matanya yang terasa lelah. Ia membuka handphone untuk melihat jam. Menemukan sudah siang hari, beberapa jam sebelum makan siang.

Grace langsung saja keluar dari mobil dan menghirup udara segar. Terasa berbeda ketika ia berada di kota.

Ia tidak hapal daerah ini. Bahkan mungkin baru pertama kali ke sini. Tapi ia tahu bahwa mereka ke sini karena ingin mengunjungi makam Rayn yang berada di bukit dekat desa.

Grace melihat sekeliling. Mencari bukit terdekat. Ia lalu menemukan satu bukit rendah, dengan pohon besar di tengah-tengah. Namun sekelilingnya hanya ada rerumputan.

Daripada menunggu tidak jelas di sini. Ia memutuskan untuk segera pergi ke sana. Mana tahu menemukan [name] dan yang lain di bukit itu.

Namun sesampainya di bukit, ia tidak menemukan apapun. Justru hanya menemukan batu nisan kosong. Menurut Grace, ini adalah makam Rayn. Karena tidak ada makam lain di bukit ini. Dan letak bukit yang lain terlalu jauh.

Grace mendekat ke makam. Lalu berjongkok di depannya.

"Rayn, makammu jelek sekali ya. Apa harus aku pindahkan kamu ke ibukota agar makammu terlihat layak? Tapi pasti yang tersisa darimu hanya tulang belulang." Ia terkekeh sembari mengusap-usap batu nisan kosong tersebut. "Kalau seandainya aku tidak koma dan melihatmu mati, pasti mayatmu sudah kuawetkan agar terlihat bagus. Tapi Rena pasti marah."

Angin berhembus pelan. Menerbangkan helai-helai rambut pirangnya. Kelopak matanya tertutup, memikirkan memori indah bersama Rayn dan Rena. Tentang mereka bertiga yang pernah menjadi teman setim meski berakhir hancur.

Grace ingat bagaimana Rena melotot saat tahu jika Grace tidak bisa bela diri.

Grace juga ingat saat Rayn yang berkeringat dingin setiap hari untuk menghentikan bom yang ia lempar ke depan wajah laki-laki itu.

Bahkan ketika mereka bertiga bercerita tentang bagaimana kehidupan mereka seandainya hal ini berakhir. Cita-cita yang mereka dambakan.

Keinginan mereka saat dewasa.

"Aku ingin membuka toko roti, agar setidaknya hidupku nyaman daripada bergantung terus pada orang lain."

Rena yang mendambakan menjadi pembuat roti dan membuka toko roti sendiri. Bahkan ingin hidup nyaman. Justru malah pergi ke surga.

"Aku sebenarnya tidak terlalu memikirkan tentang masa depan. Tapi kupikir asyik jika kita dewasa bersama-sama dan akrab."

Keinginan Rayn yang sederhana. Namun lucunya pergi ke surga saat ia belum beranjak dewasa. Rayn yang dari awal sudah memiliki penyakit, memang wajah jika ia tidak memiliki cita-cita ketika dewasa.

"Kalau kau?"

Entahlah, Grace saat itu tidak mengatakan apa-apa. Ia juga tidak punya keinginan.

Ia membuka matanya lagi. Menatap langit biru terang. Tersenyum tipis seolah melihat Rayn dan Rena di atas sana.

"Kapan aku boleh menyusul?"

Ia kini menunduk. Menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan.

"Aku lelah."

Tanpa ia sadari. Ada Halilintar yang diam-diam mengikutinya dan bersembunyi di semak-semak. Mendengar semua kata-kata yang diucapkan oleh Grace.

Ia menengadah menatap langit. Menghembuskan nafas lelah.

Halilintar tidak mengerti, kenapa harus mereka yang mendapat semua hal seperti ini?

Sebenarnya, kenapa semua bisa jadi seperti ini?

.

.

.

Grace yang dalam perjalanan kembali ke mobil bertemu dengan yang lain. Termasuk Halilintar yang baru muncul juga. [Name] buru-buru mengajak mereka berdua untuk ke rumah bibi.

Karena sang bibi mengajak mereka untuk makan siang bersama.

Kini mereka berada di dalam rumah sang bibi yang bernama Wina. Mereka duduk di lantai berhias karpet. Tersaji berbagai macam makanan buatan sang bibi, yang tentu saja dibantu oleh [name].

"Astaga, maaf merepotkan," ujar Gempa tidak enakan. Awalnya ia ingin membantu juga, tetapi [name] menyuruhnya untuk diam saja.

"Ah, tidak apa-apa." Wina tersenyum lembut.

"Tak kusangka jika [name] mempunyai keluarga sebanyak ini, dia gadis yang beruntung." Paman yang merupakan suami Wina, atau biasa dipanggil Adas pun terlihat kagum. Mengangguk-angguk senang karena keluarga [name] adalah keluarga yang baik.

"Bibi pikir ada apa-apa saat kamu tiba-tiba tidak mengirimkan surat lebih dari sebulan, ternyata ada sesuatu." Wina ikut duduk di sebelah [name]. "Nah, ayo makan makannya, maaf kalau cuma sederhana."

"Ah tidak, malah kami yang berterima kasih," ujar Gempa lagi-lagi sungkan.

Blaze dan Duri yang makan terlihat lahap. "Enak banget!" ujar keduanya.

"Haha, terima kasih."

Mereka mulai makan. Menyantap masakan tradisional khas desa bibi Wina. Tak disangka jika bumbu di sana terasa gurih dengan olahannya. Berbeda dengan makanan siap saji di kota.

"Omong-omong kamu kemari ingin mengunjungi makam anak itu?" tanya sang bibi. Wajar saja, Wina tidak mengetahui nama anak laki-laki yang meninggal 5 tahun lalu.

"Ah, hanya [name] yang akan ke sana. Abang-abang tidak terlalu mengenal Rayn." [Name] menyeruput air putihnya. "Oh ya Grace, kau mau ikut?" tawarnya.

Grace terlihat mengunyah makanannya dengan pelan, lalu menggeleng. "Tidak, kau saja."

[Name] mengangguk mengerti. "Baiklah."

Sang bibi mengusap puncak kepala [name] dengan lembut. Lantas terkekeh. "Kau terlihat berbeda sejak terakhir kali kami melihatmu."

Wina tidak salah. Waktu [name] tinggal bersamanya, [name] benar-benar terlihat kosong. Namun kini, wajah gadis itu berseri-seri.

Pertemuannya kembali dengan abangnya membuat [name] kembali menemukan cahaya.

"Berhati-hatilah ketika kalian ke pulau bencana," ingat sang bibi. [Name] mengangguk antusias.

"Ya! Makasih bibi."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Halo~ akhirnya ya update juga cihuy~

Gimana? Akhirnya kalian bertemu lagi dengan Halilintar, Gempa, Blaze, Duri dan Grace setelah satu bulan berlalu.

Sekarang kalian bisa melepas rindu dengan cerita satu ini 😔👌

Ada yang tahu Grace kemana sampai tengah malam?

Oke, karena cerita ini sudah muncul. Saatnya berteori kembali XD Ruru menunggu berbagai macam teori kalian yang menarik.

Untuk arc cerita season dua ini tidak berfokus pada [name] aja ya. Tapi juga Grace, karena kita perlu mengulik kejadian sebenarnya. Tentang kenapa semua hal ini bisa terjadi.

Kalian pasti bertanya-tanya kan? Kenapa sih [name] dikejar sampe segitunya? Kenapa sampai menghancurkan pulau rintis? Kenapa Noel sebegitunya dan jadi orang yang berbeda?

Dan Solar waktu itu menelepon Grace kan? Kok dia tidak memunculkan diri? Dan Grace gak kasih tau ke siapa-siapa?

Kenapa?!

Omong-omong udah mulai daring kan? Jangan terlalu pusing ya XD

Untuk jadwal update seharusnya Ruru mau update setiap hari. Namun ada perubahan rencana dikarenakan selain Ruru yang mau melamar kerja dan commission yang menumpuk, Ruru akan update sebisanya.

Kalo semisal Ruru gak update lebih dari seminggu. Boleh kok nanyain. Tapi jangan sampai ke IG, tik tok, bahkan komen Ruru di lapak orang ya :"D

Boleh kok mengingatkan Ruru supaya update. Tapi kalau bisa ya di kolom komentar ini aja atau PM di profil.

Okeh?

Semangat ya daringnya 🔥🔥 Ruru juga semangat nih mau kerja hehehe, semoga diterima.

Babay!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top