The Dream La(n)dy *my fiction 18

Di sebuah tempat, tempat yang tersembunyi tapi tak tak sepenuhnya tersembunyi, ada sebuah gerbang menuju dunia lain yang terletak di tempat tersembunyi tersebut.

Mereka menamainya, Dreamland.

Di Dreamland terdapat banyak hal yang tak ada didunia manusia. Seperti benda-benda yang dapat terbang, rumah-rumah yang berbentuk makanan, ruangan yang dapat berubah tempat, dan banyak lagi yang lainnya.

Tempat itu adalah impian semua anak-anak. Kita dapat melompat di atas jamur raksasa seperti melompati trampoline, memakan tumbuhan yang berbentuk cupcake, berenang di air susu cokelat, serta awan yang berbentuk gula-gula kapas!

Dreamland dapat ditemui di berbagai tempat, lorong rahasia, ruangan rahasia, sampai istana-istana kuno pun, memiliki gerbang khusus untuk masuk ke dalam Dreamland!

Banyak anak-anak yang mengajak teman-temannya untuk pergi ke dunia Dreamland bersama.

Hingga mereka berbondong-bondong mencari gerbang itu.

Begitu ketemu, mereka langsung masuk begitu saja tanpa pikir panjang.

Saking banyaknya anak-anak yang ingin masuk kedunia Dreamland, gerbang itu lama-kelamaan tertutup karena tak bisa memasukkan semua anak-anak yang ada didunia ini sekaligus.

Karena hanya anak-anak terpilih yang bisa masuk ke dalam Dreamland.

Gerbang menuju Dreamland pun hilang.

Anak-anak tak dapat lagi pergi kesana.

Dan seluruh anak-anak yang pernah masuk ke dalam Dreamland dikembalikan lagi ke dunia manusia tanpa satupun ingatan tentang dunia itu.

Kecuali...

***

"Hah? Apa ini? Robek?"

Seorang gadis dengan rambut berwarna cokelat brunette dengan bendo hitam dikepalanya dan gaun abu-abu berenda hitam yang melekat ditubuhnya mengernyitkan dahinya.

"Padahal ceritanya seru," katanya cemberut. "Ya sudahlah. Aku baca saja yang lain."

Gadis kecil itu mengambil sebuah buku tebal di samping buku cerita yang dibacanya tadi.

"Nah, ini buku apa lagi? Judulnya ga bisa dibaca."

Dengan kesal, ia meletakkan buku itu kembali di atas meja. Ia beralih mengambil buku lain di rak yang tak jauh dari tempat duduknya.

"Cerita.. cerita... ah, ketemu!"

Gadis kecil itu mengambil buku yang tak terlalu tebal--jika dibandingkan dengan buku dengan judul aneh tadi--dengan judul yang menurutnya menarik.

Buku itu berwarna biru tua dengan hiasan emas dipinggirnya.

Dan judul buku ini yang membuat gadis kecil itu antusias.

Judulnya, The Dream La(n)dy.

"Baiklah, ayo kita baca!" serunya.

***

"Apa memang kita tak bisa pulang?"

"Terlalu banyak yang terjadi, jadi kita tak tau apa yang terjadi disana."

"Jadi itu mustahil...?"

"Kita harus tetap optimis, jangan pesimis dulu."

"Yang dikatakan Zoe benar, setidaknya gerbang Dreamland masih terbuka walaupun kita tak tau apa kita akan kembali atau tidak."

"Tapi kan, walau salah satu dari kita pergi, kita tak akan bisa memberi kabar pada yang lainnya."

"Ya, beberapa dari mereka memang sudah betah disini. Dan hanya tersisa kita bersepuluh disini yang mau kembali."

"Jadi? Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

(Srekk..)

Mereka bersepuluh langsung menoleh ke asal suara. Mereka menyiapkan kuda-kuda jika itu adalah musuh.

Hingga sosok itu keluar dari dalam semak.

Salah satu dari mereka menghela napas pendek, "Kau menakuti kami, Fia."

Fia tertawa kecil, "Benarkah? Aku tersanjung."

Seorang gadis dari mereka bersepuluh menjawab ketus, "Sebaiknya kau tinggal disini saja. Kau 'kan, sudah terlalu nyaman disini."

Fia tersenyum sinis, "Oh? Terima kasih sarannya, Rin. Aku sebenarnya hanya ingin mengetahui kemana kalian akan pergi."

Rin membalas senyum sinisnya, "Dan kau sudah tau apa jawaban dari pertanyaanmu. Sekarang pergilah." Rin mengibaskan tangannya menyuruh Fia untuk pergi.

Laki-laki yang menghela napas tadi melerai mereka, "Hei, kalian berdua. Sudahlah."

"Dia yang mulai duluan, Jack!" balas Rin sengit.

"Kalian hanya membuat kepalaku tambah pusing," ucap laki-laki di sebelah Jack.

"Diam kau, Max!"

"Hei, Rin, Fia, sudahlah. Kalian apa tidak bosan begini terus?" tanya gadis disebelah Rin.

"Tuh." Max tersenyum kemenangan melihat wajah masam Rin.

"Oke-oke. Aku pergi."

Fia pergi menjauh setelah melirik Rin sekali. Rin hanya menatapnya datar.

"Jangan ditatap lama-lama, Rin. Nanti punggungnya bolong." Max terkikik.

"Ada yang punya rencana memangnya?" tanya gadis disebelah Max.

"Memangnya kau punya, Mon?" tanya gadis disebelah Rin.

"Mungkin," katanya ragu.

"Memangnya rencanamu apa?" tanya Jack.

"Sudah kubilang mungkin, kan? Aku tak tau caranya," katanya kesal.

Gadis disebelah Rin menghela napas, "Iya-iya, Monica."

Monica tersenyum, tapi tatapannya berubah sengit saat ia menatap Max, "Apa?"

Max menggeleng, mengalihkan pandangan.

"Sudah berapa tahun kira-kira, kita berada di Dreamland ini ya?" tanya laki-laki yang ada di seberang Monica.

"Sepuluh tahun, mungkin?" kata Rin sambil tersenyum geli.

Laki-laki itu berdecak, "Semoga saja adikku tidak berulah selama dia ada disana."

"Pikirkan dirimu dulu, Zoe. Kau saja belum bisa keluar dari dunia ini kan?" tanya Monica sinis.

"Oh iya."

"Aira, apa kau ada air?" tanya Jack.

Gadis yang ada disebelah Rin mengangguk, "Ada, kenapa?"

Jack menggeleng, "Aku hanya butuh."

Setelah Aira memberikan air yang ada dibotolnya pada Jack, Jack pergi begitu saja.

"Huh? Dia kenapa?" tanya Aira pada Rin.

Rin hanya mengangkat bahu.

"Kalian seperti tidak tau saja urusan laki-laki." laki-laki disebelah Aira menceletuk.

Rin dan Monica menarik alis, bingung. "Huh? Urusan laki-laki?" tanya mereka polos.

"Kau tidak cukup memberi clue ternyata." gadis disebelah Zoe menatap datar.

"Itu memalukan!"

"Ya, jadi?"

"Masa kau tidak punya urat malu? Astaga!"

"Baru kutinggal sebentar, kalian sudah berulah?"

Jack datang dari belakang. Ia mengembalikan botol Aira.

"Varons mengatakan hal yang tidak kami mengerti, makanya mereka berdebat."

Rin dan Monica menunjuk-nunjuk Varons dan Keia. Sedangkan yang di tunjuk membuang muka sambil mendengus.

"Kenapa kau diam saja, Aysha?" tanya laki-laki terakhir yang ada diantara Jack dan Rin.

"Tidak. Tidak ada. Aku hanya membayangkan," jawab Aysha yang ada disamping Keia.

"Ya ... aku tau apa yang kau rasakan, Sha." Zoe menyambung.

"Dan yang bisa kita lakukan sampai sekarang hanyalah menunggu. Tanpa tau apa yang kita tunggu sebenarnya," celetuk Gio.

"Setidaknya masih ada harapan. Tanpa harapan kita tak akan bisa melakukan apapun," kata Rin.

"Hara ... pan?"

Suara asing yang memasuki telinga mereka membuat mereka tersentak.

"Siapa?!" tanya Jack was-was.

Mereka mengarahkan pandangan ke suatu arah, asal suara itu.

"Harapan?" kata suara itu lagi. Kali ini makin keras.

"Keluarlah!" kata Rin.

Didepan mereka muncullah seorang gadis kecil bergaun abu-abu berenda hitam dengan bando hitam di atas rambut cokelat brunette-nya.

"Ah!" kata gadis kecil itu. Ia tampak terkejut melihat keberadaan kesepuluh orang didepannya.

"Kalian ... siapa?" tanya gadis kecil itu.

Mereka bersepuluh masih terdiam menatap gadis kecil itu dengan tatapan menyelidik.

Akhirnya Aysha yang lebih dulu membuka suara, "Kenapa kamu berkeliaran disini? Dimana rumahmu?"

Gadis kecil itu menunjuk hutan tempat dia muncul tadi, "Aku tadi dari sana, lalu tiba-tiba aku ada disini.."

Gadis itu terdiam sejenak.

"Eh...?" tanyanya tak percaya.

Mereka bersepuluh menjadi bingung, apa yang di lihat gadis kecil ini sampai-sampai dia terbata-bata seperti itu?

"Apa ini di Dreamland?"

Mereka jadi makin bingung.

"Kamu bukan berasal dari sini?" tanya Rin.

Gadis kecil itu menggeleng.

"Tadi aku sedang membaca buku diperpustakaan yang ada dirumahku, lalu aku menemukan buku yang menarik. Saat aku mulai membaca, tiba-tiba aku sudah ada disini," jelas gadis kecil itu singkat.

Aira mendekati gadis itu.

"Dan rumahmu itu ... di dunia manusia?" tanyanya.

Mereka bersembilan sempat kaget mendengar pertanyaan Aira. Gadis ini masih kecil tau! Masa ditanya hal-hal yang ... aneh?

Gadis itu mengangguk. "Kakak-kakak semua, anak-anak yang dulunya masuk ke dalam Dreamland ya?" tebaknya.

Mereka mengangguk kaku.

Gadis kecil itu tersenyum lebar, "Kalau begitu, ayo kita kembali! Kita tinggal pergi kehutan itu saja!"

Mereka tampak tak yakin. Karena sudah berkali-kali mereka pergi kesana, tapi mereka tak menemukan apapun.

"Selain kalian, apa masih ada yang lain?"

Mereka mengangguk lagi. Gadis kecil itu menarik-narik tangan Aira, "Ayo-ayo! Kita beritau mereka!"

Tapi Rin mencegahnya menarik Aira ke arah pemukiman.

Gadis itu menoleh bingung, "Kenapa, Kak?"

"Sebenarnya.. beberapa dari mereka ... tidak ada yang mau kembali.." ucap Rin lirih.

Gadis itu pun terkaget, "HEE?! Kenapa?!"

Rin hanya diam. Begitu juga yang lainnya.

Gadis kecil itu menunduk. Memperhatikan sepatu mungil yang dipakainya, lalu kembali mendongak.

"I need you. They miss you. And now I wonder," katanya menyanyikan salah satu bagian lagu kesukaannya dengan senyum menenangkan.

Mereka bersepuluh tertegun.

Sebelum sempat mereka berkata apapun, seorang wanita gemuk dengan gaun yang besar berwarna merah dengan mahkota diatas kepalanya beseru lantang.

"Kamu!" serunya pada gadis kecil itu.

Mereka bersepuluh langsung berdiri tegap, "S-selamat siang, Yang Mulia Ratu!"

Wanita itu mengangguk, lalu menatap gadis kecil dihadapannya dengan selidik.

"Kamu, ikut aku," suruhnya.

Gadis kecil itu memiringkan kepalanya bingung. Ia menoleh pada mereka bersepuluh, yang dibalas anggukan oleh mereka.

Akhirnya gadis kecil itupun dibawa oleh wanita gemuk--yang dipanggil 'Yang Mulia Ratu' oleh kesepuluh orang itu--kedalam sebuah istana.

"Istana? Jadi kau benar-benar ratu?" tanya gadis kecil itu.

Wanita gemuk itu tak membalas. Tetapi setelah pintu utama diujung lorong terbuka, dia langsung berkata, "Ikuti aku."

Didalam ruangan itu terdapat kursi besar berwarna merah dengan ujung berwarna emas, dan dua pelayan disisinya.

"Diam disana."

Wanita gemuk itu duduk di singgasana dengan menaiki tangga yang lumanyan panjang. Gadis kecil itu ditatapnya dengan tajam.

"Siapa namamu?"

Gadis kecil itu menjawab tanpa bertanya, "Amara. Amara Jafrina."

Wanita gemuk itu melotot. "Ammarissa?" gumamnya.

"Eh? Ammarissa?" Amara bingung.

"Ammarissa adalah nama nenekku."

Kali ini wanita gemuk itu tak bisa menutupi keterkejutannya. "Ammarissa adalah ... nenekmu?"

Amara mengangguk. "Oh ya, namamu?"

"Dione Draniela. Aku adalah ratu di dunia Dreamland," jawabnya angkuh.

"Dione..? Aku sepertinya pernah mendengar namamu." Amara berpikir.

"Ah! Dione Draniela, sahabat nenek!"

Dione menggertakkan giginya, "Sahabat?" gumamnya.

Amara mengangguk yakin, "Tidak salah lagi. Kau adalah Dionechi, sahabat nenek!"

"Aku masih ingat saat nenek memanggilmu 'Onechi'," sambungnya.

Dione berdiri dari singgasananya.

"Amara Jafrina," panggilnya. Dione mendekati Amara. "Cucu dari Ammarissa, yang merupakan sahabatku dan ..."

Dione mencengkeram kuat dagu Amara, "Musuh bebuyutanku."

Amara meringis kesakitan karena Dione mencengkeram dagunya terlalu kuat.

"Le-lepas!" rontanya.

Dione tersenyum remeh, "Diam saja kau, bocah. Aku tak menyangka kalau Ammarissa memiliki seorang cucu. Dengan nama yang sama pula dengannya."

Amara tak kehabisan akal, dia menggigit tangan Dione.

"Kau--kau bukan Dionechi!"

Dione tertawa keras, "Ya. Aku bukan lagi Dionechi sahabat nenek tersayangmu itu. Dionechi sudah lama sekali mati."

Dione kembali mendekati Amara.

Tapi Amara sudah lebih dulu mendorong mundur Dione dengan keras lalu lari tanpa menoleh lagi.

"Sial!" umpatnya. "Pengawal! Kejar anak itu!"

***

"Kak! Kak! Kita harus secepatnya pergi darisini!" Amara berteriak saat ia sudah sangat jauh dari istana.

Mereka bersepuluh menoleh kearah Amara dengan bingung.

"Siapa kamu?" tanya Rin.

Deg.

Amara mematung, "K-kak, kau ... tidak ingat siapa aku? Kita baru bertemu beberapa jam lalu!"

Mereka menaikkan alis bingung, "Huh? Beberapa jam lalu?"

Amara membelalak tak percaya.

"Semuanya!" seseorang melambai pada mereka bersepuluh. "Ayo! Saatnya pergi!"

Kesepuluh orang itu meninggalkan Amara sendirian.

"Ke-kenapa bisa...?"

"HAHAHAHA!" tawa dari Dione menggema.

"Sudah kubilang, bocah. Tak ada gunanya."

"Sialan, kau! Apa yang kau lakukan?!" bentak Amara dengan amarah yang membendung.

Dione tertawa, "Aku? Aku menghilangkan ingatan mereka."

"Siapa cepat, dia dapat," ucapnya menyeringai.

"TIDAKKK!!!!"

***

"Akhirnya."

Amara dengan cepat menutup buku yang dibacanya.

"Hampir. Hampir saja."

Amara meletakkan buku itu kembali pada rak.

"Aku hanya berharap tak ada orang yang akan menemukan buku terkutuk ini lagi," gumam Amara.

Terdengar suara pintu yang menutup.

Buku The Dreamla(n)dy yang dibaca Amara tadi pun berubah halaman. Menceritakan kisah yang tak akan pernah seorangpun tau apa artinya.

***END***

Hai-hai! Kembali lagi pada Vanne!

Maaf ya. Akhir-akhir ini Vanne lagi sibuk sekolah. Jadi tugas menumpuk, juga ide makin menipis.

Tapi jangan khawatir, Vanne akan up lagi secepatnya dan segera memberikan kalian kejutan baru.

Jangan lupa tradisi kita, VBO ya!!

Cukup saja chit-chatnya sampai sini.

Sampai jumpa lagi!!!

Love Rainbow🌈

Vanne💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top