Psikiater *my fiction 11

Ini hanya FIKSI, okay? Jangan tanya apa aku pernah ke Psikiater atau tidak. Jelas saja tidak pernah! Mahal tau! Jadi jangan ada yang tanya begituan karna ini hanya fiksi semata.

Segitu dulu, selamat membaca!

VannesicaFimaze💞

**

Psikologi.

Sesuatu yang mengajarkan tentang sikap, fungsi mental, proses mental manusia secara ilmiah.

Itu yang kutahu tentang psikologi. Kalian ingin tahu pengalamanku saat mengunjungi Ahli Psikologi, Psikiater?

Ini adalah penggalan pengalamanku, yang sulit kulupakan, karna itu kutuliskan disini.

Penggalan kenaganku, yang takkan pernah bisa ku lupakan. Yang sangat ...

**

"Apa? Psikiater?" tanyaku.

Namaku, Fola Florence, aku sekarang berada di sekolah Pure Sign Senior High School. Aku sekarang kelas 12, tingkat terakhir sebelum aku menginjakkan kakiku kedunia perkuliahan. Disebelahku ada Meri Doukhan, dia bukan dari India, kalau kalian berpikir begitu maka kalian salah besar!

Meri mengangguk semangat. "Ya, Fol. Aku ke psikiater kemarin!" seru nya, aku memiringkan kepalaku bingung.

"Kenapa? Apa ada sesuatu dengan mentalmu?" tanyaku polos, dia menjitakku, menjawab tak suka.

"Bukan, Fol! Aku kemarin mau mengetes tentang kepribadianku. Aku tidak punya masalah jiwa!"

Aku meringis, karna jitakan nya yang 'melegenda' itu.

"Kamu tau, Fol? Psikiater-nya tampan banget! Cool, baik lagi!" Seru Meri semangat. "Kamu harusnya ikut aku kemarin! Sayang, lho. Sekalian cuci mata." ucapnya nyengir.

"Cuci muka apanya, oppamu udah kamu buang ya?" tanyaku menyindir, dia menoleh, tersenyum miring.

"Ya, ya. Aku sudah tak mau dengan ArKor lagi. Sudah saatnya maju ke reality, Fol!" aku terkekeh, "Memang setampan apa dia?" Meri duduk di kursi didepan mejaku.

"Gimana jelasin nya ya..." Meri menopang dagu, berpikir. "Pokoknya tampan deh! Kamu harus lihat! Sayang, aku tak sempat berfoto dengan nya. Dia sibuk banget." ucap Meri agak kecewa.

"Kamu tau? Dia juga seorang penulis, lho! Dia penulis 'The Mysterious Departure'! Aku beruntung banget!!"

Teman-teman yang lain melototi Meri karna dia berseru--berteriak terlalu keras. "Maaf, hehehe.." ujar Meri cengengesan.

"Memangnya kenapa kamu mau ke psikater, Mer?" Meri masih menopang dagu. "Kan sudah kujawab tadi, aku mau mengetes kepribadianku." Ucapnya malas, nah-nah, tadi dia bersemangat kenapa sekarang dia lesu?

"Maksudku kenapa kamu mau mengetes kepribadianmu? Psikiater itu bayaran nya mahal, lho. Kenapa mau repot-repot ke sana? Kan bisa ke Mbah dukun." aku nyengir dikalimat terakhirku, Meri terkekeh kecil. "Aku kan, sering emosian. Makanya mamaku saranin ke Psikiater biar bisa mengatasi emosiku, Fol."

"Gimana bayaran nya?" tanyaku, Meri menggeleng, berkata mantap.

"Kamu lupa aku ini siapa, Fol?"

Tentu saja aku tau, dia anak dari pemilik perusahaan keju ternama di kota ini, tentu saja orang tuanya kaya. Meri waktu itu risih karna banyak teman-teman sekelasnya yang berteman dengan Meri karna hartanya. Saat bertemu denganku, dia malah tersenyum karna aku mengeluarkan ekspresi datar.

"Kamu yang kucari!" itu kata-katanya saat kami kelas 7 SMP dimana kami pertama kali bertemu. Dia bilang dia ingin punya teman yang asik, bisa diajak curhat, jujur, kalem, dan yang terpenting.

Datar.

Karna itulah Meri memilih berteman denganku karna aku punya semua kriterianya, aku sempat bingung. Kenapa dia mau berteman dengan orang berwajah datar? Mungkin dia trauma dengan teman-temannya dulu.

Aku baru ingat aku berteman, bersahabat sepertinya lebih bagus, karna kami sekelas terus sampai kelas 12 ini, dengan anak orang kaya.

Aku terkekeh, "Iya-iya. Aku tau. Kamu kayaknya udah parah banget sampai harus ke psikiater segala." Meri cemberut, aku tertawa kecil.

*

"Hah.. Akhirnya waktunya pulang~" ucap Meri di sebelahku. Aku menyusun semua buku kedalam tas lalu mententengnya di punggung.

"Fol! Mau pulang bareng, gak?" tanya Meri, aku menggeleng. "Gak usah, Mer. Aku naik taksi aja."

Meri tetap berusaha meyakinkanku. "Fol, nanti kamu ditipu gimana?"

Memang akhir-akhir ini ada penipuan yang kudengar dari pembicaraan bapak-bapak yang sedang membaca koran, ibu-ibu yang ngerumpi sambil belanja sayuran, oh, jangan lupa dengan gosip-gosip disekolah ini, tentang supir taksi yang sengaja melebihkan uang bayarannya agar mendapat banyak untung.

"Gak apa-apa kok, Mer." Ucapku menolak Meri halus. "Yasudah. Hati-hati, ya!" ujar Meri keluar dari kelas.

Saat aku sudah di sekitar perempatan, seseorang menabrakku. "Ah, maaf, kamu tidak apa-apa?" tanya orang itu, aku menatapnya datar lalu berjalan tak tertarik.

"Tidak apa-apa." ucapku sambil berjalan menjauh.

Sekilas aku melihat wajahnya tadi, satu kata, tampan. Tapi aku segera pergi karna tak mau berurusan dengannya. Entah perasaanku atau tidak, aku merasa dia terus memperhatikanku sampai aku pergi ke perbelokan selanjutnya.

Apa aku saja yang berpikir demikian? Atau aku yaang terlalu pede? Ah sudahlah, lebih baik aku cepat-cepat pulang, berpikiran seperti itu membuatku semakin merasa aneh.

*

Kalian tau apa mimpi buruk seluruh siswa SMA? Ya, kalian pasti bisa menebak. Ulangan. Apalagi kalau gurunya killer dan matematika pula! Lengkap sudah penderitaan kami semua.

Hari ini kami ulangan matematika, ditemani guru killer nomor dua setelah guru BK kami yakni, Bu Hesti.

Begitu Bu Hesti masuk, dia segera menyerahkan lembaran berisi soal yang akan membuat kiamat disini.

"Baik, semuanya. Silakan dikerjakan! Jangan khawatir, ada 2 jam pelajaran, jangan terburu-buru mengerjakan nya. Dan ... jangan mencontek."

Dua kata terakhir mengemparkan seisi kelas, karna ada beberapa dari mereka yang menyiapkan kertas contekan yang entah dimana letaknya.

Aku? Aku biasa saja. Nilaiku selalu 90 keatas kalau matematika. Tapi itu tetap membuatku merinding, orang-orang yang mendapat nilai 90 keatas karna hanya kurang teliti saja. Aku tak bermasalah dengan pelajaran ini.

Dan kalian tau apa maksud 'merinding' yang kukatakan?

Merinding, mendengar nilai teman sekelasku yang hampir sangat-sangat bagus semua (alias kebalikannya) dengan suara Bu Hesti yang sangat keras. Juga melihat semua soalnya.

Jangan salah, walau aku pintar matematika tetap saja aku alergi dengan 'soal'nya.

Hening menghampiri seluruh kelas, ada beberapa murid yang ketahuan mencontek oleh Bu Hesti, jadi mereka terpaksa melakukan 'REMEDIAL'. Aku sudah selesai sejam lalu, sekaligus memperiksa apa jawabanku benar semua.

"Semua dikumpul!" suara Bu Hesti menggema diruangan kami.

Ada beberapa murid yang kelihatan menyerah karna kelihatan tidak bisa mengerjakan semua soal, ada juga yang berdoa semoga nilainya diatas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).

"Kamu mah, gak perlu berdoa ya, Fol." ucap salah satu dari mereka yang berdoa. "Kamu kan pintar."

"Pintar bukan berarti aku gak berdoa, lho. Emang aku gak punya agama, gak berdoa?" bantahku pada mereka.

"Yalah, pelanggan 90 keatas." sahut Meri membenarkan ucapan mereka.

Aku mengendikkan bahu, yang penting aku kan bisa mengerjakan.

.

.

.

.

"Bye, Fol!" ucap Meri berbelok kearah kanan. Aku melambaikan tanganku dengan arti 'sampai jumpa' pada nya.
Lagi-lagi aku diperempatan.

"Ah, kamu gadis kemarin 'kan?" suara seseorang membuyarkan pandanganku yang kosong.

Lho?

Dia kan, laki-laki yang kemarin bukan?

"Hm.. Iya." jawabku, dia menatapku intens membuatku risih. "Erm.. Ada apa?" Tanyaku hati-hati, dia menggeleng, tersenyum tipis.

"Tidak ada. Hanya saja ... kamu mirip dengan seseorang."

Ha? Emang aku punya kembaran? Dasar orang aneh.

"Mau ke kafe sebentar? Aku yang traktir." aku melongo mendengarnya, apa dia serius?

"Aku mau pulang saja." tolakku, aku segera melangkahi nya menuju perempatan berikutnya.

"Tunggu!" Aku membalikkan setengah badanku, dia langsung menghampiriku masih dengan senyum nya. "Namamu?"

"Fola Florence."

Dia menjulurkan tangan nya.

"Fiandra Harismane Zoeland."

Wow, nama nya panjang juga. Aku menyambut uluran tangannya. "Panggil saja aku Andra. Ngomong-ngomong, aku seorang psikiater."

Wait a minute, psikiater?

"Kamu mau mengetes mental?" Aku langsung menatapnya datar. "Tidak, mental ku masih normal." dia tertawa cukup keras sampai mengeluarkan air mata.

Ada apa dengan orang ini?

"Haha.. Pfftt.. Hahahaha!! Maaf, maaf. Maaf, Fol."

"Fiandra Harismane Zoeland." panggilku membuat tawanya berhenti.

"Aku harus pergi sekarang." Dasar orang aneh, makiku dalam hati.

Dia terdiam ditempatnya, mulutnya menganga tak percaya.

"Dia menyebutkan nama lengkapku? Apa jangan-jangan.."

'Dia' yang dimaksud olehnya itu?!

*

"Ha? Psikiater?" tanyaku pada mama. Mama mengangguk, ia melirik adikku yang sedang bermain sendiri dan juga bicara tak jelas.

"Ayo kita ke atas sana!!" Noel berbicara seperti itu. Aku tak tau mengapa dia jadi seperti ini. Mungkin yang dikatakan mama memang benar. Noel harus diperiksa ke psikiater.

"Tapi bagaimana dengan biaya nya, Ma?" tanyaku khawatir. Mama tersenyum lembut, "Tidak papa kok, Fol. Psikiater nya anak sepupu teman mama, jadi jangan khawatir. Dan kamu tau? Dia baik dan tampan, lho~"
goda mama membuatku menatapnya datar.

"Mama.. Mama.." aku menggelengkan kepala sambil memijat pelipis ku.

Aku saja belum lulus SMA malah mau dikenalin sama psikiater yang dikatakan 'tampan' dan 'baik' seperti kata mama.

Eh? Kok aku malah mengingat Andra? Hush! Jangan mikir aneh-aneh deh, Fola Florence!

*

"Emang orangnya seperti apa sih, Ma?"

Sekarang kami sudah ada didepan ruangan psikiater anak sepupu teman mama ku. Mama ngotot bilang harus pergi hari ini, karna kondisi Noel sudah tak bisa diatasi lagi. Dia melompat kesana kemari, berteriak tidak jelas, memecahkan barang-barang, bahkan dia cukup pintar bersembunyi sehingga kami kewalahan mengatasinya dalam 4 jam ini.

"Permisi, saya mau mengetes psikologi anak saya." ucap mama ketika pintu terbuka dan menunjukkan seorang lelaki yang berumur 20an.

"Oh! Silakan masuk." ucapnya.

Aku, mama, dan Noel duduk dikursi yang sudah disediakan.

"Eh? Kamu kan Fola!"

Tebakanku benar! Dia Andra!! Fiandra Harismane Zoeland!! Wow, alu mengucapkannya dengan cepat.

"Eh? Kalian saling kenal?" tanya mama melirikku dan Andra bergantian. "Kok bisa?"

"Dia menabrakku diperempatan dua hari lalu, Ma." sahutku, "Kami juga bertemu tadi saat aku pulang."

Andra mengangguk sambil melipat tangannya. "Nah, apa masalahnya?"

-

"Jadi dia harus melakukan semua ini?" tanya mama setelah Andra memberikan langkah-langkah mengobati anak hiperaktif/autis.

Mama awalnya membantah karna tak mungkin Noel itu autis, tapi Andra meyakinkan nya dengan mengatakan posisi Noel sekarang berada diantara autis dan hiperaktif. Noel itu tak pernah bisa diajak bicara seperti sedang berada didunianya sendiri, juga dia tak mendengarkan orang lain ketika bermain, juga penjelasan lain yang masuk akal.

Andra mengangguk, "Dia harus diberi banyak perhatian, ajari dia agar dia tidak begitu konsentrasi dalam melamun dan bermain agar dia tak mengabaikan dia." mama mengangguk, aku hanya diam mendengarkan mereka berdua.

Sedari tadi Noel tidak bisa berhenti memutari ruangan ini. Dia memeriksa, mengambil, lalu menunjukkannya padaku seperti figuran bagus yang harus dibeli. Aku berkata padanya untuk meletakkannya kembali ketempatnya. Noel langsung menurut setelah 3 detik berusaha memahami kata-kata ku.

"Fola, kamu mau tidak, tinggal disini sebentar? Mama mau keluar dulu." kata mama, awalnya aku bingung, tapi aku tetap menuruti mama. Mama bahkan menggendong Noel keluar, sekarang tinggal aku dan Andra didalam sini.

"Duduk dulu, Fol." titah Andra saat melihatku berdiri masih menatap pintu.

Aku segera menoleh lalu duduk dihadapannya. Kami hening sejenak, lalu aku mulai mengeluarkan suara.

"Apa maksudmu tadi aku 'mirip dengan seseorang'?" tanyaku, kalian ingat dia mengatakanku begitu beberapa jam lalu?

Dia tersentak sebentar lalu tersenyum manis. Uh-oh, kenapa dia?

"..kamu mau tau?" tanya Andra, aku mengangguk penasaran. Apa aku punya kembaran tapi bukan saudara disini? Kalau iya berarti itu sangat awesome! Karna aku bisa masuk on the sp*t nanti!

"Kamu mirip dengan ... kekasihku." ucapnya mulai mendatar.

Heh? Kenapa ekspresinya itu? Dan hei, kenapa dia menatapku seakan aku ini berlian paling berharga di bumi ini? Aku bingung!

"Bercanda kok. Aku masih single," ujarnya membuatku membalas tak kalah datar. "Heh? Kasian deh kamu. Gak laku." Andra mendelik tak suka lalu menatapku dengan seringainya.

"Fola, apa kamu mau jadi temanku sekarang?"

"Apa?"

Dia bangkit dari tempat duduknya lalu mengambil tanganku.

Kalian tau pasti apa yang terjadi, itu benar-benar sangat memalukan. Dan dari sanalah aku mulai ...

Merasa aneh pada jantung dan tubuhku.

Anehkan? Sangat aneh malah. Aku tak tau kenapa diriku jadi seperti ini sekarang, mama waktu itu juga bertepuk tangan keras-keras. Dan entah bagaimana, Noel tak jadi seperti tadi lagi, dia bahkan tertawa terbahak-bahak melihatku. Aku tak mengerti apa yang terjadi disini, mamaku menjelaskan semuanya.

Dan itu adalah hal yang tak akan pernah kulupakan selama hidupku.

Aku tak akan pernah bisa melupakan ini - Fola Florence

Dialah yang kucari, kamu hanya milikku, Fola. - Fiandra Harismane Zoeland

***END***

Hai! Ketemu lagi sama Vanne. Hehe~ maaf aku gak langsung up kemaren-kemaren, soalnya lagi bingung gimana mau buat part ini biar kelihatan wajar dan tak ada konten yang tak wajar:v tapi tadi ya ada lah sedikit.

Aku kayak merasa gak polos lagi/emangdarisononyatolol/:(

Makasih yang udah baca, jangan lupa vomment. Chapter kali ini memang absurd gak tau dapat darimana ide cerita ini. Wkwkwk aku juga bakalan publish cerita baru kalau views nya bertambah jadi 200 lebih dan vote nya 100 lebih. Aku kan masih pemula, jadi ya wajarlah ya.. Hehe.

See you next chapter.

Big Love, Vanne💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top