Chapter 4
"Menerobos Dinding Ketidakpercayaan Murid Baru"
*** Yuuma's pov ***
"Hari ini (Surname)-san tidak masuk ya. Barusan keluarganya menelpon, ada urusan keluarga." ucap sensei saat mengabsen kelas.
Aku berkedip kaget lalu melirik bangku (Name).
"Hee~ baru kali ini (Name)-chan tidak masuk karena urusan keluarga." komentar Akabane.
"Biasanya (Name)-san tidak masuk karena dipanggil kepala sekolah." sahut Asano.
Selama 3 bulan ini, setidaknya sekali dalam seminggu itu (Name) dipanggil oleh kepala sekola yang membuatnya izin pelajaran sampai istirahat makan siang. Jadi kali ini teman-teman terkejut karena (Name) tidak masuk bukan karena dipanggil kepala sekolah, melainkan karena urusan keluarga. Tidak ada yang tau alasan kenapa (Name) dipanggil kepala sekolah, yang jelas bukan karena dia bermasalah mengingat dia itu anak yang pendiam saat pelajaran dan dia juga anak yang pintar. Selalu mendapat nilai tinggi, dibawah nilai Asano dan Akabane yang jelas.
"Baik, sekarang buka halaman 32."
Walaupun begitu, ada masalah lain yang sedang kuhadapi. Sejak kemarin sikap Maehara aneh sekali, dia terlihat sangat gelisah dan bahkan sekarang dia terlihat gelisah. Saat aku bertanya ada apa, dia hanya menjawab 'Tidak ada' dan saat aku bertanya apa dia baik-baik saja, dia juga hanya menjawab 'Aku baik-baik saja'.
'Ada sesuatu yang terjadi pada Maehara, aku yakin itu.' pikirku lalu fokus pada sensei.
***
Bel istirahat makan siang baru saja berbunyi, sensei baru saja ingin berbicara saat pintu kelas terbuka.
(Cklek!)
Dan berdiri disana (Name), dan itu membuat kami terkejut.
"(Surname)-san? Bukannya kau ada urusan keluarga?" tanya sensei yang sepertinya sama terkejutnya dengan kami.
"Ya, sudah selesai dan aku tidak mau melewatkan pelajaran yang masih tersisa hari ini." jelas (Name).
'Waw, anak rajin. Murid pada umumnya pasti akan tetap tidak masuk sekolah walaupun urusannya sudah selesai.' pikirku. ((termasuk author//diem lu))
"Kalau begitu silahkan masuk, (Surname)-san dan untuk murid yang lain sampai jumpa di pertemuan yang selanjutnya." dan dengan begitu sensei keluar kelas.
Kulihat (Name) sedikit terkejut dengan teman-teman yang keluar kelas seperti biasa. Hm, aku penasaran ada apa.
"Selamat siang (Name)-san." sapaku saat dia sudah duduk di bangkunya.
"Selamat siang Isogai-kun." balasnya singkat.
"Nee, (Name)-san. Bisakah kita bicara berdua? Di taman belakang?" (Name) hanya menoleh padaku dan menatapku cukup lama sampai akhirnya dia mengangguk.
***
"Aku penasaran..." ucapku memulai lalu menoleh ke arah (Name) yang berdiri di belakangku.
"Penasaran?"
"Kenapa kau terlihat terkejut tadi?"
"..."
"Kau sempat melamun lalu menggelengkan kepalamu singkat, yang sangat kukenali sebagai tanda kau terkejut." jelasku.
Yap, membaca emosi seorang (Name) (Surname) sangatlah sulit karena matanya tertutupi oleh kacamata yang besar. Satu-satunya emosi yang dapat kulihat dan kutebak hanyalah ekspresi terkejutnya.
"Apa kau tidak memberitahu mereka?"
"...huh?"
"Mengenai kejadian kemarin..."
"Oh, mengenai butler dan mobil jemputanmu? Apa maksudmu dengan itu?"
"Isogai-kun, aku dapat melihat dengan jelas ekspresi syok dan terkejutmu saat butlerku datang dan saat melihat mobil jemputanku." jelas (Name) melipat kedua tangannya di depan dadanya.
"Lalu?" tanyaku memiringkan kepalaku heran.
"Biasanya orang lain akan memberitahu teman-temannya saat melihatku punya butler dan mobil jemputan." gumam (Name), "Dan keesokan harinya aku dihujani pertanyaan mengenai keluargaku."
Aku hanya berkedip beberapa kali lalu memegang kedua pundaknya dengan cepat, membuat (Name) sedikit terkejut.
"Berhentilah menganggapku sebagai orang lain, (Name)." pintaku, "Berhentilah menutup hatimu terlalu rapat, bukalah sedikit untukku masuk... sebagai temanmu." ((Njiir, friendzone//diikat))
"Aku tidak bisa..." gumam (Name) lalu membuang muka, "Aku tidak sanggup menerima rasa sakitnya lagi jika kubuka walau hanya sedikit."
'Lagi? Jadi (Name) trauma karena membuka hatinya?'
Lalu aku menarik (Name) ke dalam pelukanku dan aku menenggelamkan wajahku ke bahu (Name).
"I--Isogai-kun!? A-a-apa ya-yang kau lakukan---"
"Aku tidak bisa berjanji padamu... tapi aku akan berusaha agar kau tidak merasakan rasa sakit yang sama, (Name). Walaupun aku tidak tau sakit seperti apa yang kau rasakan." gumamku mengeratkan pelukanku pada (Name), "Kumohon, (Name)... bukalah sedikit untukku."
Aku dapat merasakan tangan (Name) di punggungku.
"Kenapa kau berusaha sangat kuat untukku? Padahal aku selalu mendorongmu menjauh, tapi kau selalu kembali? Berhentilah bersikap baik padaku, aku tidak pantas mendapatkannya."
Aku melepas pelukanku dari (Name) dengan tiba-tiba dan ekspresi tidak senang sudah tertempel di wajahku.
"Apa maksudmu dengan kau 'tidak pantas' mendapatkannya? Semua orang pantas mendapatkan kebaikan tanpa kecuali!"
"Semua orang kecuali aku."
"Kau lebih dari sekedar pantas, (Name). Kau wajib mendapatkannya."
"Sudah kubilang aku tidak pantas---"
"Akan kubuktikan kalau kau pantas, (Name). Jadi, percayalah padaku."
(Name) hanya diam. Akhirnya setelah 3 menit terdiam, dia menghela nafas.
"Baiklah, aku akan percaya. Tapi ingat, jika kau hancurkan kepercayaanku maka jangan harap kita akan bisa bicara seperti ini lagi," ucapnya kembali melipat kedua tangannya di depannya lagi.
"Aku tau, (Name). Karena kepercayaan itu sendiri seperti sebuah kertas putih. Sekali kau menodainya dengan tinta hitam, maka sulit bahkan tidak mungkin untuk membuatnya kembali putih."
"Dan sekali kau meremasnya, kau tidak bisa mengembalikan kertas putih itu semulus sebelum kertas itu diremas."
*** Hiroto's pov ***
Baru kemarin kejadian itu dan aku sudah sangat merasa bersalah pada (Name).
'Dan juga... kenapa mereka lama sekali perginya!? Berdua lagi!' pikirku frustrasi.
Tunggu... kenapa aku jadi marah dan frustrasi sendiri?
(Cklek!)
Pintu kelas terbuka dan masuklah (Name) tanpa Isogai. Hm? Kemana dia pergi?
"(Name)-chan? Kemana Isogai pergi?"
"Dia membeli minuman kotak di kantin dan dia memintaku untuk duluan." jawab (Name) lalu dia membuka sebuah novel dan membacanya.
Da~n suasana menjadi sunyi dan canggung... yang entah kenapa membuatku menjadi lebih bersalah lagi pada (Name). Tak lama suasana canggung menyelimuti kami, pintu kelas kembali terbuka dan masuklah Isogai membawa 3 minuman kotak. Hm, 3?
"Ini untukmu Maehara!" ucap Isogai meletakkan minuman kesukaanku di mejaku dan aku hanya bisa menatap minuman itu seolah minuman itu bisa menjawab pertanyaan kenapa Isogai membawa 3 minuman kotak.
"Dan ini untukmu, (Name)-san." ooh, satunya untuk (Name)---eh?
Dengan cepat aku menoleh ke arah mereka berdua.
'Sejak kapan Isogai sedekat itu dengan (Name)-chan?'
(Name) hanya menatap lama minuman yang diberikan untuknya lalu menoleh Isogai.
"Kau tau darimana minuman kesukaanku itu smoothie rasa vanilla?" tanyanya. ((oke, author ga tau apa benar ada minuman kotak smoothie rasa vanilla tapi anggap saja ada))
"Kemarin kau sangat menyukai pesananmu jadi aku mengambil kesimpulan kau menyukai vanilla."
Pesanan?
'Apa jangan-jangan (Name) pergi ke cafe tempat Isogai bekerja?'
"Tapi kau tidak perlu sampai membelikanku minumannya kan? Aku bisa membelinya sendiri." ucap (Name) meminum minumannya dan Isogai duduk di bangkunya.
"Kau pantas menerimanya, (Name)-san." ucap Isogai.
"Aku tidak pantas--"
"Hush, aku tidak mau mendengar lanjutannya." ujar Isogai tersenyum jahil.
'Mereka terlalu dekat... dan aku tidak suka, walaupun aku tidak tau kenapa'
***
Bel pulang sudah berbunyi, semua murid sudah bersiap untuk pulang. Dan aku ingat hari ini Isogai ada shift kerja di cafe jadi aku akan pulang duluan.
"Isogai." panggilku mendekati mejanya.
"Oh, Maehara."
"Kau ada shift kan? Jadi aku pulang duluan ya." ujarku dan Isogai hanya mengangguk.
"Aku duluan ya, Isogai-kun. Kutunggu disana." ucap (Name) sudah berdiri di depan pintu.
Eh?
'Disana...?'
"Eh, tunggu aku (Name)-san! Kita kesana sama-sama!" ucap Isogai buru-buru menuju (Name).
'Mereka pergi bersama-sama?'
"Heeei, kalian mau kemana?" tanyaku.
"Oh, (Name) ingin--Mph!" tiba-tiba mulut Isogai ditutup oleh tangan mungil (Name).
"Itu bukan urusannya, Isogai-kun." (Name) memberikan tatapan dingin padaku, "Ayo." lalu (Name) menarik tangan Isogai, meninggalkan aku sendiri di kelas.
'Sekarang aku tau kenapa aku merasa bersalah pada (Name). Walaupun tidak ditunjukkan dari emosi, (Name) menunjukkan rasa sakit hatinya lewat sikapnya.' pikirku lalu mengacak rambutku dengan frustrasi.
*** Omake ***
*** (Name)'s pov ***
"Kau jadi suka 2 menu itu ya?" tanya Isogai saat aku sedang asik meminum smoothie vanilla.
"Mhm." balasku singkat karena aku sedang asik menikmati rasa vanilla yang menyebar di mulut.
(Kling-Kling!) ((Bunyi apaan ini//ditabok))
Bel pintu berbunyi tanda pelanggan masuk. Jika dilihat jam, biasanya yang datang adalah Yuusuke jadi aku menoleh ke arah pintu dan benar yang datang adalah Yuusuke.
"Maaf---"
"Kau tidak terlambat, Yuusuke." ucapku memotong perkataan Yuusuke lalu memakan kueku, "Aku habiskan ini dulu ya. Oh, iya Isogai-kun, aku ingin memesan ini lagi tapi untuk di rumah."
"Baiklah." ucap Isogai berdiri dari kursi yang ada di depanku lalu pergi.
Yuusuke duduk di depanku, tempat Isogai sebelumnya.
"Yuusuke mau?" tanyaku menyodorkan smoothie vanilla milikku.
"Tidak terima kasih, Ojou-sama." aku hanya memasang tampang ngambek, "Ji-jika itu perintah maka baiklah." ucap Yuusuke lalu perlahan meminum smoothie vanilla.
"Bagaimana?"
"E-enak..." kagum Yuusuke, "Saya rasa Ojou-sama harus memesannya lagi karena sepertinya Tuan Muda akan menyukainya."
Aku langsung tersedak kue yang sedang kukunyah, "O-Onii-sama!?" kagetku.
"Ya, beliau juga sedang berada di dalam mobil sekarang."
Tanpa memikirkan sopan santun di depan umum, aku langsung memakan habis semua kue milikku dan berlari menuju kasir.
"Oh (Name), Yuuma sedang--"
"Aku tambah pesanannya jadi masing-masing 2!!" ucapku di depan wajah pemilik cafe, Rika.
"Ara? Apa kau benar-benar ingin memakannya sendiri?" tanya Rika-san tersenyum, "Yuuma-kun, kau dengar teriakkan kecil (Name) kan?"
"Ya, aku dapat mendengarnya dengan jelas." sahut Isogai di dapur.
Aku berdiri dengan resah di depan kasir, sementara Yuusuke membayar pesananku pada Rika.
"Kau terlihat terburu-buru, ada apa (Name)?"
"U--uuh, salahkan Yuusuke yang tidak memberitahuku kalau ada orang yang sedang menungguku di mobil." ucapku lalu sedikit menatap tajam Yuusuke.
Dan yang ditatap hanya menunjuk dirinya sendiri. "Saya, Ojou-sama?"
"Ya, jika Yuusuke memberitahuku bahwa ada yang ikut maka aku akan memakan kueku secepatnya." jelasku.
"Salahkan Ojou-sama yang tidak mau mempunyai handphone."
"Kau berani menyalahkanku?" tanyaku memberikan tatapan heran.
"U-uhm..." lalu Isogai muncul sambil membawa pesanank, Yuusuke langsung menyambarnya dan keluar cafe.
"Hei!" panggilku mengikuti Yuusuke.
Tapi lagi-lagi detak jantungku meningkat, keringat dingin bermunculan, dan wajah memucat.
...sama seperti saat Onii-sama yang mendadak pulang dari Amerika Serikat.
'Kemarin aku masih bisa masuk ke kamar sebelum ketahuan Onii-sama... tapi sekarang?'
***
Hohoho, ada yang tidak ingin bertemu dengan si 'kakak' nih (͡° ͜ʖ ͡°)
Ada apa sebenarnya yang membuat (Name)-chan takut bertemu dengan si 'kakak'? (¬.¬)
Ah, tapi sebelum itu. Ayo beri selamat pada si ikemen Isogai Yuuma karena berhasil menembus dinding ketidakpercayaan (Name)-chan!! 🎉
Apakah si ikemen lainnya yaitu Maehara Hiroto bisa menembus dindingnya?
Kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima~
-Rain
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top