Berkemah
Quest 14 : Lanjutkan quest yang kemarin. Pemberian nama bab terserah dan jangan lupa ketentuan yang berlaku.
***
Bukan tanpa alasan aku langsung mengacungkan belati yang kusimpan pada mereka. Walau mereka berlima tampak familiar karena kami pernah bertemu sebelumnya, tetap saja mereka orang asing.
"Aku tidak suka melakukan ini. Maka jujurlah padaku, siapa yang mengirim surat konyol itu?"
Seorang pemuda dengan tangan diperban meringis. "Bu-bukan aku," cicitnya.
Kuarahkan belati pada elf yang seingatku bernama Silviu. Meskipun ia mempesona, bisa jadi dia adalah kandidat mencurigakan.
Namun, dia malah berkata, "Lebih baik aku belajar memasak."
Ah, jadi mereka juga sama?
Sebelum belati kuarahkan pada seorang gadis di sebelahku dan seorang cowok yang wajahnya tampak asing, gadis itu lebih dulu membuat gestur agar aku menurunkan belatiku.
"Tenanglah, Olita," katanya.
"Hei, tenanglah." Suara roh kupu-kupu bergema dalam kepalaku. "Bukan mereka."
Kuhela napas kasar, lalu menyimpan belati kembali. "Baiklah. Tapi apa kau tidak bisa mencari tahu hal itu untukku?"
Keempat pasang mata menatapku aneh. Mungkin menyadari bahwa aku tampak bicara sendiri.
"Banyak kemungkinannya. Kita lihat saja nanti."
Aku berdecih sebal. Gadis di sampingku berjengit mendengarnya. Kini air mukanya tampak sungkan denganku.
"Lebih baik perkenalkan diri kalian." Si cowok aneh bersuara. "Aku Bullet."
"Silviu," kata Elf itu disusul lelaki tangan perban di sampingnya. "Algasta."
"Olita," ucapku tak minat.
"Zeya." Si gadis di sampingku tersenyum.
"A-ayo kita diskusikan ...." Si tangan perban—maksudku, Algasta berkata lirih, telingaku tidak mendengarnya. Sepertinya ia tampak malu dan gugup. Apalagi kami sekarang memperhatikannya.
"Katakan saja, Alga. Jangan ragu." Silviu menguatkan.
Algasta tampak menarik napas, dan membuanya perlahan untuk menetralisir rasa gugupnya. "Ayo ... kita diskusikan ... emm, maksudku ... kita pikirkan siapa yang mengirim surat itu?"
Aku sempat diam sejenak untuk mencerna maksudnya. Setelah itu, Bullet angkat suara.
"Tidakkah kita duduk dulu?"
Kutatap cowok itu tak paham dengan pemikirannya. Namun pada akhirnya Algasta menyetujui dan kami berlima duduk di rerumputan, hampir membentuk lingkaran.
"Izinkan aku bicara." Zeya membuka percakapan. "Aku tahu, kita semua tiba di sini karena surat itu. Tapi, alasan kenapa tiba di sini yang perlu ditanyakan. Kurasa pengirimnya juga bukan salah satu dari kita."
Aku menyimak.
"Kupikir pengirimnya monster kemarin," celetuk Bullet membuatku melotot padanya. "Dia dendam pada kita. Kemarin kita membunuhnya juga di sini, bukan?"
"Jangan bercanda," peringat Silviu. "Kau pikir monster mati bisa mengirim surat?"
"Bisa, saja." Bullet tersenyum percaya diri. "Mau dengar konpirasiku?"
Sebelum bocah aneh itu berceloteh hal tak masuk akal, aku lebih dulu menyela. "Alga, kau ada usul?"
"Eh?" Ia tampak kikuk. "Emm ..., tidak ada."
"Bukannya lebih baik dipikirkan sendiri-sendiri?" Zeya memberi usul.
"Ide bagus." Bullet menjentikkan jarinya. "Terkadang aku perlu bermeditasi buat berpikir lurus."
"Jadi, selama ini pikiranmu bengkok?" Silviu bertanya menusuk. Tetapi, Bullet sama sekali tidak tampak tersinggung.
"Yah, apa boleh buat," ucapku menginterupsi mereka semua. Kurebahkan diri di rerumputan, tidak peduli pada mereka yang terkejut dengan tingkahku. "Mari berpikir sendiri. Aku pun lelah."
Ajaibnya, mereka semua menurutiku, membuatku melongo sesaat. Sontak, suasana menjadi hening, hanya terdengar suara alami dari hutan.
Hingga tidak terasa hari mulai petang. Aku tidak menghasilkan pemikiran apa pun karena sedari tadi hanya berguling di rerumputan hingga pakaianku kotor dan menumbuhkan bunga liar di sekelilingku.
Sampai malam tiba, barulah aku bangkit. "Kenapa kalian diam saja? Seharusnya kita membuat tenda!"
Rasanya aku marah sekali melihat mereka diam saja seperti gelandangan.
"T-tapi kau yang menyuruh kami untuk—"
"Aku bukan pemimpin kalian!" seruku memotong perkataan Algasta. Lalu perasaan bersalah menghampiriku karena mereka tampak terkejut melihatku membentak.
Kulunakkan nada suaraku."Sebaiknya kita segera membuat api unggun dan memasak makan malam."
"Aku akan berburu." Silviu bangkit. "Bullet, kau ikut denganku.
"Siap, Bang!" Lalu keduanya pergi ke dalam hutan.
"Aku akan mencari kayu bakar saja." Zeya menawarkan diri dan bangkit.
Aku bergumam menanggapinya.
Ketika semua orang pergi ke dalam hutan, tersisa aku dan Algasta di sini. Kutepukkan tangan untuk memanggil kupu-kupu bercahaya karena sekitarku sudah mulai menggelap. Algasta hanya mengamatiku.
"Tanganmu, kenapa?" tanyaku tiba-tiba.
Cowok itu tampak terkejut sebentar. "Ber-tarung."
Kukumpulkan ranting kecil berserakan untuk membuat api unggun sederhana. Kukeluarkan belatiku karena terpaksa membuat api secara manual.
"Maaf, aku tidak punya sihir api." Algasta mengangguk menanggapiku.
Tak lama kemudian, Zeya datang dan kami membuat api unggun sungguhan. Ketika sekitar kami terang dan hangat, barulah Silviu dan Bullet datang, membawa buruan. Kelinci dan ....
"Aku bawa burung endemik!" Bullet berseru.
Kutatap bocah itu jengah. "Kau bercanda? Itu burung beracun!"
"Bagi kalian beracun, tapi tidak denganku." Dia tersenyum cerah. "Selamat memanggang!"
Terlepas dari kerandoman Bullet, setelahnya kami fokus untuk memanggang bagian masing-masing.
***
738 words
Nichole_A
wga_academy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top