🔸️ 03 | Should I?
Ya mau gimana lagi...
Maaf, kalau telat update.
Aileen duduk di taman belakang rumah, melihat langit biru dengan kapas putih yang terbentang di atas. Menenangkan hati ketika melihatnya. Sayangnya, pikirannya tidak setenang kapas putih tersebut. Perkataan Alvin dan Vika, sama-sama tidak bisa membuatnya percaya. Hati kecilnya hanya mengatakan kalau mereka tidak berkata jujur.
Tapi, ada satu hal yang membuatnya bimbang mengambil keputusan ini.
Aileen segera mendekat ke arah kamar Ayah dan Bunda, kamar terluas di rumah ini, Aileen melihat isi dalam kamar, ada lemari besar yang berisi pakaian, di depannya ada meja rias Bunda, lalu sebuah tempat tidur yang cukup menampung tiga orang dewasa diletakkan diseberang meja rias. Anak bungsu itu mendekat ke meja rias Bunda dan mengecek isi dalam meja tersebut.
"Cari apa, adek?"
Aileen berhenti, Bunda datang, mungkin karena, mendengar kegaduhan di kamar. Alvin pulang telat karena, ada les tambahan untuk pejuang UN, "Bun, pinjam kartu keluarga."
"Untuk apa, adek?"
"Aileen berencana mengikuti perlombaan melukis. Syarat pendaftaran usia di bawah 18 tahuan, harus melampirkan Kartu Keluarga, Bunda." Ucap Aileen dengan tenang.
Bunda mengangguk paham, anak bungsunya senang mewarnai sejak kecil, berkembang menjadi menggambar, lalu menggali lebih dalam melukis. Bahkan, Ayah mau membeli satu set perlengkapan lengkap untuk anak bungsunya. Sepasang suami-istri ini menganut paham kalau bakat anak harus disalurkan, sehingga mereka tidak kehilangan kreatifitas dan arah.
Lagipula, setiap kali Aileen melukis dan menunjukkannya pada Bunda. Bunda selalu bangga dengan lukisan Aileen yang sempurna.
"Sebentar ya, Bunda ambilkan. Dokumen sepenting itu tidak diletakkan di meja rias, Dek." Ucap Bunda sambil berjalan ke lemari pakaiannya, menarik satu koper hitam besar dari dalam sana, dan membaringnya di atas lantai keramik dingin.
Aileen cengengesan, "Aileen kan tidak berani membuka lemari pakaian Bunda."
Bunda tersenyum, ia mengambil satu map dan melihat isi dalamnya, "Yang fotokopi, kan, dek?"
"Iya, Bunda."
"Ini, Dek." Ucap Bunda sambil memberikan Kartu Keluarga untuk anaknya.
"Hanya ini, Bun?"
"Iya, Adek. Yang namanya Kartu Keluarga Cuma selembar kertas. Mau Bunda bantu persiapkan dokumennya? Perlu apa lagi selain Kartu Keluarga?"
Aileen tersenyum, "Sementara ini saja deh, Bunda. Kalau ada yang lain, mungkin juga KTP."
"Tapi, kan, Adek belum punya." Sanggah Bunda yang merapikan kembali koper tersebut dan menyimpannya di lemari.
"Maksudnya, Kartu Tanda Pelajar, Bunda."
Bunda menggeleng, anak bungsunya mungkin terlihat diam di luar rumah, enggan untuk berinteraksi banyak dengan teman sekelasnya. Tapi, anaknya merupakan anak bungsu yang mewarnai kehidupan rumah tangganya. Selalu menampilkan aura bahagia untuk sekitar.
"Ada-ada saja kamu, Dek. Ya sudah, Bunda tinggal dulu, ya. Abang sudah mau pulang, Bunda lagi masak kari untuk Abang."
Aileen meraung melas, "Abang doang? Aileen gimana?"
"Kamu kan sudah makan, Dek."
"Masih lapar, Bun. Apalagi, saat Bunda bilang Bunda masak kari. Perut Aileen langsung kosong."
Bunda tertawa tanpa suara, "Ya sudah, nanti makan bersama Abang, ya. Bunda tinggal dulu."
"Siap, Bunda."
Aileen melihat wanita tersebut menghilang dari daun pintu yang kembali tertutup rapat. Setelah memastikan Sang Bunda tidak akan lagi balik ke dalam kamar, Aileen memandang lama-lama Kartu Keluarga tersebut.
Johan Lionel Hartono
Karina Elisabeth
Alvin Hartono
Aileen Febriani Hartono
Aileen membaca sekali lagi daftar anggota keluarga. Hanya empat, tidak ada yang lain. Anggota keluarga termuda adalah Aileen. Persis seperti apa yang dikatakan oleh Alvin dan Vika.
Apa yang dikatakan oleh Vika itu benar?
Apa ini semua adalah prank?
Aileen melihat ke luar jendela, melihat atap rumah di kompleknya dengan tatapan sendu.
Haruskah ia menyerah saja?
"Bang," panggil Aileen dari arah tangga dengan piyama yang dibalut dengan jaket hijau lumut. Matanya mendapati sang abang sedang bermain ponsel di atas sofa dengan posisi rebahan.
"Bang, keluar, yuk. Aileen bosan."
"Nanti, ya, dek. Abang main game dulu. Bentar lagi menang."
Aileen mendengus, "Bang, ayo, keluar. Aileen mau jalan-jalan."
"Jalan-jalan sendiri saja, dek. Komplek juga aman. Abang lagi malas keluar. Cape banget dengar penjelasan gurunya."
Aileen menjulurkan lidahnya, mengejek sang abang, "Derita pejuang UN. Ya sudah, adek keluar sendiri."
"Heum." Alvin hanya membalas dengan sebuah dehaman kecil. Lalu, benar-benar fokus pada permainan tembak-menembak yang ia mainkan, mengacuhkan bagaimana debuman pintu rumah terdengar dengan kuat.
Aileen berjalan seorang diri, dia baru saja selesai dengan belanja kecil-kecilan di minimarket dalam kompleknya. Dengan satu tangan lagi sedang menyangga susu kotak rasa vanilla yang sedang ia minum sepanjang jalan, Aileen melihat lampu jalan yang menyala, menemaninya untuk jalan-jalan yang terasa sepi ini.
Kalau tadinya ada Alvin, Aileen bisa pastikan, akan ada salah satu tetangga yang akan keluar dari rumahnya dan menegur mereka untuk memelankan suara. Seribut itu memang keturunan Hartono dipertemukan.
Meow ...
Aileen menghentikan pergerakan kakinya. Seekor anak kucing berdiri di sudut jalan menyita perhatian gadis tersebut.
Aileen berjongkok di depan anak kucing tersebut, dengan ragu-ragu ia mengusap bulu halus anak kucing tersebut yang kumal.
Ya memang, anak kucing itu sedikit memundurkan kepalanya. Tidak biasa dengan keberadaan manusia baik di sekitarnya.
Meow ...
Anak kucing itu mengeong dengan lemah. Aileen tidak menyerah, ia mengusap bulu kucing tersebut.
"Kamu terluka, cing?" tanya Aileen saat melihat kaki belakang anak kucing tersebut terluka. Mungkin itu alasan kenapa makhluk hidup yang mengeong ini hanya berdiri di sudut jalan.
"Aku tidak bisa membawamu pulang. Bunda alergi dengan bulu kucing. Kamu mau makan?"
Aileen mengeluarkan satu kotak susu yang sama dengan yang ia minum di kantung plastik, lalu memberikannya pada kucing tersebut dengan hati-hati.
"Aku pulang dulu, ya, cing. Cepat sembuh."
Meow ...
Aileen tersenyum tipis, ia mengusap bulu anak kucing tersebut terakhir kali sebelum ia pulang ke rumah.
To Be Continue
Hei hei,
Harusnya senin lalu dipublikasi. Ada kendala sedikit yang harus diselesaikan.
See ya next monday
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top