🔸️ 02 | No Way

Yup, aku balik lagi.

Harus semangat, tetap semangat!

Bel sekolah berdentang dengan nyaring, menandakan jam pulang untuk hari pertama sekolah. Aileen tanpa basa-basi lagi dengan teman kelasnya, segera nyelonong keluar dari kelas di jam sebelas siang.

Karena, masih hanya pertemuan dan perkenalan antara murid dengan guru.

Gadis tersebut menunggu kedatangan abangnya di depan gerbang sekolahnya, lebih tepatnya berteduh di bawah pos satpam. Ia ingin menanyakan tentang ucapan sang Ketua Kelas tadi pagi pada abangnya.

"Dek,"

Aileen bisa melihat Alvin berjalan menghampirinya dengan tas sekolah di punggungnya, "Naik grab aja ya pulangnya? Ayah bilang tidak sempet jemput, mobilnya mau dipakai."

Aileen mengangguk menyetujui.

"Tadi, gimana kelas?" tanya Alvin sembari menunggu jemputannya.

"Ya begitulah. Aileen mengenal beberapa saja, tapi lebih banyak tidak mengenal mereka."

"Jangan dipaksa ya, dek. Nanti kepalanya pusing." ujar Alvin yang melihat sang adik dengan tatapan memprihatin.

Aileen POV

Aku segera berganti pakaian di dalam kamar mandi yang disediakan di dalam kamar pribadiku sendiri, masing-masing kamar memiliki kamar mandinya, hanya untuk memudahkan kami untuk membersihkan diri.

Bunda segera meminta untuk segera turun makan siang. Aku makan penuh rusuh dengan Bang Alvin. Ya, emang seharmonis itu aku dengan Bang Alvin kalau sudah ketemu. Kuharap sebelum aku amnesia juga, aku dekat dengannya.

Setelah makan siang, aku mengekori Bang Alvin sampai ke kamarnya sendiri yang letaknya di sebelah kamarku di lantai atas. Di lantai atas memang hanya ada kamar, kamarku, kamar Bang Alvin, kamar Ayah dan Bunda, lalu ada ruangan untuk kami membaca buku. Sedangkan, di lantai bawah ada ruang keluarga, ruang makan, dapur, dan sebuah kamar tamu serta toilet di dalamnya. Ada satu toilet lagi yang terletak di sebelah dapur. Di belakang ada taman kecil dengan kolam renang, di sebelahnya ada tenda

"Bang," kulihat abang hanya berdeham sebentar untuk menjawab panggilanku. Posisi abang rebahan di kasurnya dengan ponsel di tangan, sibuk main war. Sedangkan, aku duduk di meja belajarnya.

Aku jadi tidak yakin untuk bertanya.

"Apaan, dek?

Bang Alvin seperti tahu kalau aku gugup untuk bertanya padanya.

"Aileen ada adek gak sih?"

"Hah"

"Abang punya adek selain Aileen gak?"

Kulihat abang terdiam, lalu terkekeh pelan, "Ya, nggak ada lah. Ngaco kamu, dek. Adeknya abang tuh cuma satu. Aileen doang. Kecuali, Ayah dan Bunda bikin satu lagi."

"Terus, kenapa Vika bilang adeknya Aileen meninggal?" tanyaku. Aku baru tahu kalau namanya Vika, ketika pemilihan Ketua Kelas tadi, dia terpilih untuk menjabat titel itu sekali lagi.

Kulihat abang langsung berdiri dari posisinya. Dengan mudah, dia menecengkram pundakku.

"Si Vika yang bilang?"

Aku mengangguk, "Bang Alvin kenal?"

"Semua temanmu itu abang kenal semua, dek." ucapnya dengan santai. "Sudah, gak usah didengerin. Adeknya Bang Alvin itu cuma Aileen. Emang Aileen mau abang punya adek lagi?"

Aku terdiam sebentar sebelum menjawab, "Sebenarnya, Aileen udah cukup sih berdua gini. Punya Ayah, Bunda sama Bang Alvin. Kalau adek, Aileen gak tahu bisa ngejagain dia seperti abang jagain Aileen."

Bang Alvin mengusap rambutku yang terikat satu ke belakang, "Adek daritadi ngekorin abang hanya untuk ini?"

"Eum. Iya, habis adek penasaran sama perkataan Vika. Siapa tahu aja kalau kalian nyembunyiin fakta yang Aileen lupakan."

"Gak ada yang Ayah, Bunda sama Bang Alvin sembunyiin dari adek. Percaya deh."

Aku mengangguk, aku harus percaya sama Bang Alvin.

"Mau jalan-jalan." ucapku dengan nada pelan. Sudah lama tidak jalan-jalan, sebulan liburan hanya dihabiskan di rumah dengan berbagai kegiatan yang bisa dilakukan. Seperti, camping di belakang rumah, bbq juga dengan kerabat keluarga Ayah. Lalu, movie marathon dengan Bang Alvin sampai jam dua pagi berakhir molor sampai jam dua belas siang.

Untungnya tidak dimarahi Bunda.

"Ntar malem, ya, dek. Kita jalan-jalan. Abang pinjam mobil Ayah."

"Abang punya SIM?" tanyaku dengan penasaran. Bang Alvin mengangguk, "Dua minggu yang lalu."

Aku tidak tahu kapan Abang pamit keluar untuk buat SIM. Padahal dia selalu ada di rumah, setiap aku mencarinya.

Malamnya, kami jalan-jalan keliling Kota Medan. Hanya jalan-jalan sih, sedikit berhenti di supermarket hanya untuk menyetok jajanan di rumah.

"Mau mampir drive thru McD?"

Aku mengangguk. Sudah jam sembilan, tapi, baik aku atau Bang Alvin sama-sama belum mau pulang. Akhirnya, dua kantung berisi burger dan french fries berada di dekapanku dengan hati riang.

Tentu saja.

Kalian rasa siapa yang akan membayar makanan ini?

Kalau punya abang, emang enaknya ini.

Royal.

Aku sedikit teralihkan siang itu, tapi, tetap saja aku masih ingat saat menjelang tidur untuk besok kembali ke sekolah.

"Vik," aku memanggil Ketua Kelas itu saat masuk ke dalam kelas. Aku tidak lagi melihat tatapan mereka seperti kemarin.

Mereka semua seolah bersikap acuh padaku, aku tidak peduli. Aku tidak terlalu mengenal mereka semua. Tetapi, ada beberapa tatapan mata yang masih sama dengan kemarin.

Vika melihatku, menghentikan aktifitas ponselnya sejenak, "Ada apa, Lin?"

"Ucapan dukamu yang kemarin-"

"Gak usah dipikirin. Itu gua sama teman-teman berniat nge-prank doang. Eh, tahunya lo malah beneran percaya."

Aku mengernyit dahi, prank?

"Itu cuma ... prank?" ulangku dengan hati-hati. Berharap kalau aku salah dengar.

Vika mengangguk, mematahkan asumsiku.

"Itu gua dan teman-teman berniat nge-prank. Gak ada niat yang lain. Kenapa? Lo beneran percaya?" tanya Vika dengan tatapan bingungnya.

Dengan polos, aku mengangguk.

"Ya Tuhan, Lin. Keluarga lo itu paling sempurna tahu, gak? Paman Darrel, Tante Gina, lo dan Bang Alvin. Itu adalah keluarga yang kami semua impikan."

Aku semakin gak paham dengan semua ini.

"Tapi, kemarin-"

"Itu beneran cuma prank, Lin. Percaya sama gua. Maaf, gak langsung klarifikasi ke lo. Habis muka lo kemarin bikin kita semua sepakat gak mau bocorin di hari itu juga. Jangan dipikirin larut-larut. Lo baru sembuh kan? Harus jaga diri." kata Vika panjang lebar.

Merasa kalah dan gak ada gunanya juga jika terus disambung. Aku memilih untuk mundur.

"Ya udah deh, aku balik ke tempat aja."

Aku emang balik ke tempatku. Dengan tatapan kosong melihat ke arah papan tulis yang masih bersih karena, jam belajar belum dimulai. Aku masih memikirkan jawaban Vika tadi. Aku masih tidak paham.

Masa sih itu cuma prank? Satu sekolahan gitu nge-prank aku? Buat apa?

Emangnya aku yang amnesia itu pantas dipermainkan dengan permainan anak-anak seperti ini?

Aku beneran penasaran, bagaimana jika aku beneran punya adek? Kalau iya, bukankah aku sangat tidak berguna, tidak bisa menjaganya?

Aku tidak berharap ini adalah prank. Tidak juga berharap perkataan Vika itu nyata.

Entah lah. Mungkin, aku terlalu lelah mengitari Medan semalaman dengan Bang Alvin. Akhirnya, aku tidak bisa berpikir dengan baik.

Tapi, ...

Entah kenapa, hati kecilku menolak pernyataan Vika hari ini.

To Be Continue

Tin jadi nggak berani janji kalau bisa update ini terus-terusan. Karena, masih banyak lagi yang ngantri untuk disentuh.

Ini deadlinenya tinggal dua bulan lagi, jadi, aku nyicil.

Semoga aja keburu sampai deadlinenya.

Kalau nggak ... ya mau gimana, mungkin bisa pake sistem ngebut sehari.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top