Part 8: Old Friend

Jantung Ibu diambil. Kepala Ayah hancur.

Lalu beberapa orang masuk ke rumah, mengambil kulit Ibu dan Ayah. Mereka bersorak girang seperti menemukan harta karun. Katanya, selembar kecil kulit manusia itu bagaikan emas. Di pasar gelap, harga kulit sedang tinggi-tingginya.

Aku tak bisa apa-apa.

Hanya meringkuk di dalam lemari.

Tak berdaya....

Tak berguna....

Lalu, orang-orang itu pergi. Mayat orangtuaku sudah tak jelas lagi bentuknya. Merekalah yang membuat si pembunuh lepas. Mereka sudah merusak barang bukti.

Beberapa menit kemudian terdengar suara langkah kaki. Kupikir mereka kembali, tapi ternyata bukan.

Seseorang dengan rambut hitam sekelam gagak dan iris mata sebiru laut dalam. Dia berdiri di depan mayat lalu menggumamkan beberapa kata seperti 'monster', 'deskrota', dan 'gerbang yang terbuka'. 

Aku menahan napas. Mendadak, ia menatap lemari tempat aku bersembunyi. Aku menghalangi mata dengan tangan saat sinar menusuk pandangan. Siapapun dia, saat ini berdiri di depanku.

"Halo nak, sudah berapa lama kau ada di dalam sini?" 

Setelah itu, yang kuingat hanyalah aku yang menangis keras di dalam pelukannya. Tak perlu waktu lama, aku tahu namanya.

Rio Zarian. Orang yang menyelamatkanku, mengubah hidupku, dan mengutukku.

*****

"Kenapa kau lari dari kami, Renaldo?" tanya Doni. Ekspresi wajahnya berubah, gusar bak macan yang tidurnya terganggu.

Ren menghela napas. "Aku tidak lari, aku mengundurkan diri."

Doni Antakusuma hanya bisa terdiam ketika Ren mengatakan alasannya. Selama ini ia mengira temannya itu mati dalam misi. Sampai beberapa bulan lalu....

"Kau membunuh White Rose!" teriak Doni. "Wanita itu masih sempat menulis wasiat di sapu tangannya sebelum kau menembaknya di dalam air."

Ren menaikkan satu alis. "Oh ya? Apa tulisannya?"

"Yah, hanya dua kata. Tapi cukup berguna, ia menulis 'burung gagak' dengan darahnya sendiri."

Ren mengomentarinya dengan wajah datar. "Oh. Dengan darah. Aku merasa tersanjung." 

Doni mendekatkan mata panah ke leher Ren. "Kau tahu sendiri kan? Di benda ini ada apa?"

Ren mendengus. "Racun. Sangat mudah ditebak. Hei, apa kau tidur dengan Lily sampai wanita itu mau membagi racunnya?"

Bahkan di tengah kegelapan yang samar-samar diterangi cahaya bulan, Ren dapat melihat dengan jelas bahwa saat ini kedua pipi Doni memerah.

"Err ... yah, kau tahu sendiri." Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah sudahlah, tak usah membahas kemampuanku di atas ranjang. Kau tahu kan? Bahkan medusa sekalipun akan bersujud dan mencium ujung kakiku agar bisa tidur denganku." 

Hampir saja Ren melepas tawa seandainya dia tak melihat ekspresi Rinka yang mengeras. Kemudian ia kembali menatap Doni dengan tajam. 

"Itu kalau kau tidak membatu ditatapnya," tukas Ren. "Omong-omong apa urusanmu kemari? Aku masih ingat jelas tiga peraturan wajib dalam kelompok The Killers."

Doni menarik anak panahnya lalu melihat ke arah lain di ruangan itu. "Jangan kau pikir aku tidak tahu," bisiknya pelan.

Mendadak, ia mengalihkan topik. "Kau tidak bermaksud membunuh Rose kan?"

"Aku terpaksa. Aku harus memilih saat itu. Kau tahu sendiri kan? Rose amat kejam dalam permainan."

"Yah, The Wicked Games. Permainan membunuh atau dibunuh, siapapun pemenangnya orang itu akan dikutuk dengan rasa penyesalan tak terhingga. Kurasa sampai sekarang belum ada yang selamat dari permainan itu."

Ren menepuk pelan bahu sahabatnya itu. "Bisa dibilang, aku dan partnerku adalah orang pertama yang selamat."

*****

"Ada tiga aturan utama dalam kelompok ini. Satu, dilarang membunuh orang yang tak bersalah. Dua, dilarang membunuh sesama anggota. Tiga, dilarang membunuh anak-anak."

Seorang remaja bertudung hitam mengangkat tangan. Pandangan seluruh orang di ruangan tersebut menuju padanya. 

"Bagaimana jika ada anggota yang berkhianat?" tanyanya.

"Maksudmu?" Salah satu anggota-bertudung biru- menimpalinya. 

"Bagaimana bila seseorang yang -misalnya- membunuhku dan orang itu sesama anggota?"

Seisi ruangan sunyi senyap hingga si wanita bertudung hijau yang sedari awal hanya diam, berkata, "aturan kedua punya catatan khusus. Aku lupa menambahkan kalau kau boleh membunuh sesama anggota apabila terpaksa. Tapi jika alasannya lain daripada itu-"

Wanita itu mengeluarkan sebilah pisau kecil. Melemparkannya tepat ke arah remaja bertudung hitam yang dengan sigap memantulkannya dengan pisau lain yang muncul dari balik lengan jaket.

"Mmm ... hidden blade huh? Senjata yang menggoda sekali." Wanita itu berkata sembari mengambil sebilah pisau lagi.

"Masukkan anak baru ini ke ruangannya. Aku dan Fox akan pergi belanja untuk makan malam. Rapat selesai sampai di sini."

------

Ren menghela napas panjang. Ia sudah memikirkan keputusan ini. Saat dia kabur dari kafe gatekeeper di wilayah Underground dan memutuskan untuk masuk ke tempat paling gelap dari seluruh area Underground, distrik paling akhir yang dipenuhi oleh penjahat-penjahat paling bedebah.

Walau dipenuhi pembunuh berantai maupun psikopat, dia hanya mencari satu orang. Orang yang suka membawa pinset besar setiap kali berburu, Jack Krueger.

Dirinya tahu, Rio pasti mencarinya. Dia dan istrinya itu mungkin kalang kabut mendapati kasurnya kosong. Meninggalkan sepucuk surat yang bertuliskan bahwa ia pergi untuk membalas dendam.

Kali ini ia pasti akan menemukan orang itu. Walau bayarannya cukup besar, tapi ia sudah tahu siapa dan dimana dia berada. Walau cap berbentuk gagak di lengannya tak akan pernah hilang, begitu pula dengan dosa-dosa yang akan ditanggungnya.

*****

Sejak dulu, Eko paling benci kelinci. Bukan karena hewan itu suka melompat. Bukan karena bulunya yang lembut. Tapi karena kelinci adalah hewan kesayangan pemilik panti asuhan yang ditinggali Eko dengan adiknya setelah diusir dari rumah.

Mereka hanya tahan sebulan. Keduanya berhasil kabur setelah Eko bisa membuka gembok yang mengunci rantai pengikat leher anak-anak lain. Semua anak panti, termasuk mereka berdua langsung melarikan diri. 

Kali ini, ia menyerah. Kelinci besar itu terlalu kuat. Setelah tinju terakhir mengenai dada, Eko langsung ambruk. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya bersimbah keringat. Belum lagi otot-otot kakinya yang meneriakkan kelelahan.

Telinganya samar-samar mendengar suara langkah kaki, mendekat ke arahnya. Pintu di belakang sosok kelinci itu membuka, menampakkan seorang bermantel putih dengan rambut merah api. Saat sepatu orang itu terlihat jelas di hadapannya, Eko menghela napas dan terjatuh dalam lubang hitam yang dalam.

*****

Erick menopang kepalanya dengan sebelah tangan. Pikirannya berputar dalam pusaran kebingungan. Emosinya sedikit banyak kembali menggelegak, mengingat ia masih mengalami fase kedukaan. 

Sejak awal kasus hingga sekarang, ia dibingungkan dengan motif si pelaku. Untuk apa ia melakukan semua ini? Ditambah lagi dalam membunuh ia tak lagi memakai panah, melainkan racun dan gergaji. Itu semua membutuhkan minimal dua orang.

Andi yang berdiri di sudut ruangan tepat di depan dispenser, hanya menatap Erick. Setelah mengambil cangkir, ia beringsut pergi.

Tak lama kemudian, datang James yang wajahnya terlihat gembira sembari membawa sebuah map.

"Hei Erick, coba kau baca laporan ini!" serunya, dengan senyuman tersungging di wajah.

Erick mengerutkan kening. "Ini kan laporan dari BNN? Nggak salah nih?"

Senyuman James berubah jadi seringaian. "Justru itu! Cobalah dibaca!"

Erick mendengus. Entah apa maksud seniornya ini tapi dia tetap membuka file tersebut dan membaca. Laporan itu berisikan tentang obat penenang jenis baru yang menghilang beberapa tahun lalu setelah melewati bagian bea cukai.

Erick menyadari maksud James dan langsung tersentak. "Tunggu, obat-obatan ini menghilang bersamaan dengan proyek kapal selam!"

"Nah, itulah yang kumaksud." Seringaian James tambah lebar.

Erick ikut menyeringai. "Sekarang aku bisa memetakan kemungkinan-kemungkinan pelaku. James, panggil yang lain. Aku akan memberikan beberapa instruksi dan nama-nama yang akan diinterogasi."

"Oke!" seru James, sembari mengacungkan jempol. "Eh, omong-omong kasih bocoran dong."

"Satu nama saja ya," bisik detektif polisi ber iris biru malam itu. "Barata Van Rick, saudara kandung pimpinan kita."

*****

"Kenapa muncul kembali? Bukannya kau bilang ingin pensiun?" 

Doni menarik tudung biru kelam itu. Bulir keringat yang menetes di kening, berkilau diterpa sinar purnama. "Dulunya aku berniat begitu," bisiknya. 

Ren mengelap hidden blade di lengannya dengan secarik sapu tangan. Bola matanya melirik ke arah Rinka yang masih memasang kuda-kuda pertahanan, Tatiana yang memasang wajah sepucat mayat, dan mengalihkan pandangannya pada Doni yang mulai menunjukkan tanda-tanda gugup.

Lelaki itu membalas tatapannya dan berujar, "Kau tahu aku bisa saja memberitahu anggota lain dan membunuhmu, kan?"

Ren mendengus. "Kau bukan tipe orang seperti itu."

Doni menganggukkan kepala. Bibirnya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu tapi menutup kembali saat suara sirene terdengar nyaring dari luar gedung.

"Sial, polisi?!" seru Ren, ia mengalihkan pandangan pada Tatiana yang masih mematung.

"Kau menelepon polisi?" tanyanya, yang dibalas dengan gelengan kepala Tatiana. 

Doni menaruh busur dan anak panahnya ke kantong besar di bahunya. Tepat sebelum ia berbalik hendak kabur, tangan Ren menahannya. Doni berpaling dan mendapati Ren yang menatapnya dengan iris hitam menggelap. Ia membalasnya dengan anggukan kepala lalu tangan pemuda itu terlepas dari bahunya. 

Ren hanya menatap kepergian temannya itu dengan bibir terkatup rapat. Sesaat kemudian, kesadarannya kembali dan ia cepat-cepat menarik lengan Rinka. Mengajak gadis itu kabur. Tetapi, Rinka mematung seperti batu.

"Kau pergi saja duluan," bisiknya. "Aku tetap di sini."

"Tapi, polisi akan...."

"Polisi tidak mengincar aku, mereka mengincar kau.

Jantung Ren mencelus. Ia tak mampu membalas Rinka dengan kata-kata. Suaranya tertahan di tenggorokan. Ren membuka bibir lalu mengatupkannya kembali. Tatapan gadis itu berhasil menorehkan satu luka tambahan di hatinya. Tatiana yang melihat ekspresi Ren, mencoba membantu.

"Jika kau tetap di sini polisi akan-" Ucapan Tatiana langsung disela oleh Rinka.

"Mereka tidak akan menangkapku," sahut gadis itu.

Ren mengangkat sebelah alis. "Oh ya? Apa kau punya jaminan akan itu?"

Rinka meneguk ludah, lalu menghela napas. "Terserah, tapi mama juga harus ikut."

"Kalau itu sih bisa diatur," ujar Tatiana. "Aku akan menunjukkan pada kalian tempat lift rahasia."

"Lalu bagaimana dengan semua kekacauan ini?" tanya Rinka. "Tidak mungkin kita bisa membersihkannya dalam sekejap!" 

Cengiran usil nampak di wajah Ren. Pemuda itu jelas punya ide. "Aku punya skenario kecil," ujarnya. "Mau coba?"

*****

To be continued....











Haleoo readers! Maaf saya baru update setelah sekian lama. Semoga kalian suka dengan bab ini *walau lagi-lagi gantung muahahaha*.

Maaf nih, soalnya saya sedang menghadapi ulangan kenaikan kelas. Jadi gak bisa nulis banyak-banyak 😢. Selain itu saya menggeluti hobi lama yang sempat dilupakan yaitu: membaca buku. Ya, membaca. Sekalian nambah ilmu juga. 

Btw, ini akun instagram saya: hamster.in.a.bookshelf

(Kalau-kalau ada yang mau temenan gitu atau bahas buku-buku yang disukai. Tenang, saya gak gigit kok 😂😂😂).

Update selanjutnya? Mmm ... gak pasti sih. Tapi mengingat bentar lagi bulan puasa kayaknya saya bakal banyak update 😉.

Last but not least, see you guys on the next chapter! 

Regards,

Hamster.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top