Part 7: The Assassin
"Deadly nightshade atau disebut juga Belladona. Adalah racun yang memberikan efek membesarnya pupil mata, menyebabkan para penggunanya merasakan halusinasi yang berlebihan akan dirinya sendiri, bahkan apabila dosisnya berlebihan atau si pengguna mengalami halusinasi yang begitu kuat hingga memicu sebuah penyakit parah maka dapat berujung kematian. Belladona dalam bahasa italia artinya wanita cantik. Konon, dalam dongeng Romeo dan Juliet racun inilah yang diminum oleh Romeo untuk menyusul Juliet. Ironis memang, tapi cinta benar-benar zat yang berbahaya. Bisa dibilang setara dengan racun. Nah, kau sudah paham?"
"Foxy, itu dialog terpanjang darimu sejauh kita jadi partner," tukas Gilang.
Pipi gadis itu bersemu merah. "Err ... terima kasih?"
Lelaki berambut biru tosca itu menyeringai. "Sama-sama."
Foxy mengalihkan pandangannya pada rambut Gilang. Helaian biru tosca yang lembut itu mengingatkannya pada permen.
"Gilang, dalam seminggu berapa kali kau ganti warna rambut?"
"Biasanya sih sebulan dua kali, tergantung frekuensi penyamaran. Kenapa?"
Foxy memberengut. "Kau boleh mewarnai rambut? Bukannya warna kelompok kita adalah putih?"
"Astaga, kalau aku berkeliaran di luar sana dengan rambut putih pucat ini bisa-bisa aku dijebloskan ke Beacon Mental Hospital!" gerutu Gilang. "Lagipula cuci rambutnya juga susah, air di lantai kamar mandi jadi biru semua."
Gelak tawa Foxy mengaburkan kerutan di kening Gilang. Pemuda itu berharap seandainya gadis seperti Foxy yang ia temui dulu saat masih sekolah, mungkin saat ini dia bukanlah seorang merpati.
"Seandainya kau tidak gila...."
Foxy terdiam. "Apa katamu barusan?"
Gilang menggelengkan kepala. "Hiraukan saja." Ia mengambil cangkir kertas dan berjalan menuju mesin kopi. "Cuma omongan kosongku yang lain," tambahnya.
*****
Aroma anyir dan tembaga menguar dari dalam ruangan. Tembok yang dicat putih kini hampir tak terlihat lagi warna aslinya. Terlapisi darah berwarna merah menyala. Alih-alih kamar, tempat itu kini jadi bilik pembantaian.
Renaldo berdiri di tengah-tengah.
Rambut hitam yang dipotong pendek itu acak-acakan. Poni yang biasa tajam ke atas kini tak jelas lagi bentuknya. Rinka hanya menatap punggung lelaki itu tapi ia masih bisa melihat kilatan cahaya dari kedua tangan Ren.
Sepasang pisau pendek. Diikat di lengan.
Dengan suara 'snik' pelan, kedua pisau tadi menghilang ke dalam lengan jaket. Ren berbalik dan membalas pandangan horor Rinka dengan sebuah senyuman.
"Omong-omong, ibumu ada di sana." Dia menunjuk ke pojokan, satu-satunya tempat yang tak terkena darah. "Kau mau bicara kan?"
Rinka mengangguk, lalu melangkahkan kaki. Dia tak bisa menghindar dari darah, cairan itu ada dimana-mana. Tapi setidaknya ia bisa mencegah sepatu kets birunya menginjak sisa-sisa dari tiga penghuni lain kamar ini.
Ia tak akan pernah melupakan momen ini. Saat ia pertama kali melihat Ren membunuh seseorang ... oh ralat, tiga orang sekaligus.
Juga saat ia pertama kali melihat ibunya.
"Mama?" bisik Rinka.
Wanita itu tersentak. Ia mendongak hingga iris matanya menangkap wajah Rinka. Iris mata keduanya sama. Cokelat gelap.
"Ini aku, Rinka. Ma, aku pul-"
Rinka tak dapat menyelesaikan ucapannya. Wanita itu langsung meraih dan memeluknya erat. Tangis lirih keluar darinya. Bahunya berguncang sembari sesenggukan. Berkali-kali wanita itu membisikkan nama Rinka. Gadis itu balas menyapukan tangan ke bahu ibunya.
Mendadak, ibunya melepas pelukan. Raut wajahnya seperti baru saja melihat hantu. "Kau harus pergi dari sini!" bisiknya panik. "Cepat! Sebelum dia melihatmu!"
"Dia siapa?" tanya Rinka. Baru kali ini ia melihat ibunya sepanik itu.
"Si tudung biru! Dia mengincar siapa saja yang bersinggungan dengannya, dia ju-"
PETS!
Seluruh lampu mendadak mati. Bukan hanya di kamar tapi juga lorong. Gelap gulita, bahkan Ren saja tak bisa melihat tangannya sendiri. Tetapi, samar-samar ia mendengar langkah kaki.
Dan suara itu semakin mendekati mereka.
*****
"Panah biru itu hanya pemicu." Gilang kembali menghirup kopinya. "Sebetulnya tudung biru sudah pensiun beberapa tahun lalu."
"Lalu kenapa dia kembali? Maksudku, hanya dengan panah itu dia bangkit begitu saja?" tukas Raka.
Gilang mengangguk, ditaruhnya cangkir kertas berisi kopi ke meja. "Sebelumnya tudung biru bukanlah pembunuh," ucapnya.
"Lalu dia siapa?"
"Peneliti yang ada di dalam kapal Blue Arrow saat kejadian naas itu."
Foxy menggelengkan kepala. "Kenapa baru sekarang?" tukasnya dengan nada kecewa. "Kalau aku, pasti sudah kubunuh sejak dulu."
Gilang mendengus. "Tipikal peneliti, dia sangat berhati-hati. Anon bilang seandainya tidak dipicu saat ini juga, tudung biru pasti menyesal."
"Kenapa?" Raka dan Foxy bertanya bersamaan.
"Karena pimpinan tertingginya akan pindah ke luar negeri beberapa hari lagi."
*****
Ruangan divisi kejahatan berat terasa sangat sempit saat beberapa anggota dari unit lain bergabung. Rapat yang diadakan tengah malam ini dilakukan secara sukarela. Lebih tepatnya diam-diam.
"Ada indikasi kalau orang-orang dari kalangan atas terlibat dalam kasus ini, kusarankan untuk semakin berhati-hati." James memulai pembicaraan.
"Anda mendapat informasi ini dari mana?" tanya salah satu peserta rapat dari divisi kejahatan dunia maya.
Erick dan James saling berpandangan, lalu Erick mengambil alih.
"Kami menemukan selembar kertas yang digulung dari dalam leher mayat ke lima," tukasnya.
Terdengar beberapa orang yang batuk dan sisanya menahan mual. Bukan hal yang biasa untuk memasukkan kertas ke dalam leher seseorang.
"Dimasukkinnya setelah mati apa waktu masih hidup?" tanya Andi.
"Cukup ndi, cukup!" teriak seseorang dari pojok ruangan.
Erick terkekeh geli. "Kemungkinan setelah mati sih."
Andi membalasnya dengan cengiran. "Ada tulisannya ya, Pak?" tukasnya.
Erick mengangguk, kali ini ekspresinya berubah keras dan dingin. "Musuh bermain di lahan kita sendiri," bisiknya, sembari menatap teman-teman polisinya.
*****
Tatiana menjerit dan Rinka menahan napasnya saat Ren -dengan kecepatan luar biasa- berhasil menahan serangan dari seseorang bertudung biru. Sedikit bunga api dan kilatan cahaya terlihat dari gesekan kedua pisau. Saat Ren terlihat tak mampu lagi menahan dorongan pisau dari lawannya, Rinka pelan-pelan mendekati keduanya. Dengan sedikit lompatan, ia berputar di udara dan menghantam tenggorokan si tudung biru dengan kakinya.
Pria itu mengeluarkan suara seperti tercekik. Ia memuntahkan ludahnya ke samping.
"Sudah lama tak membunuh dan kau jadi lembek?" ujarnya. "Kemana perginya julukan 'gagak' itu Ren?"
Ren meneguk ludah. "Doni, itu kau?"
Pria itu menyingkap tudungnya. Memperlihatkan wajah yang selama ini dikenal Ren. Bahkan sejak ia masih tinggal di Banjarmasin.
Teman baiknya. Saat masih jadi pembunuh.
*****
To be continued....
Haleoo semua!
Lama tak berjumpa, muehehehe~~
Maafkan hibernasiku yang agak lama tapi kuharap bab ini menghibur kalian dan lagi-lagi menggantung kalian *devil's face*
Kuharap kalian tidak bosan membaca cerita ini karena semakin lama konfliknya akan tambah berat.
Salam,
Hamster.
P.s kuharap ku bisa mulai update setidaknya seminggu sekali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top