Part 6: Rabbit

Iris mata merah darah itu hanya bisa melebar pasrah ketika tubuhnya diseret ke sebuah ruangan. Ia didudukkan ke kursi lalu ditinggalkan sendirian.

Ruangan itu berukuran 10x10 meter. Di depan kursi, sebuah manekin perempuan berdiri tegak. Eko mencoba berdiri, rasa sakit dari bahu membuat dirinya ambruk lagi. Kepalanya terasa pusing, kali ini ia berhasil bangkit. Dia mencoba berjalan ke arah pintu tapi suatu hal berhasil menghentikannya.

Seekor kelinci raksasa tengah menghalangi pintu itu.

Mendadak Eko meragukan pandangannya, tak mungkin ada kelinci sebesar itu. Sebuah suara mengagetkannya. Sepucuk pistol tiba-tiba saja berada di lantai dekat kakinya yang telanjang. Eko mengeluarkan magasinnya, semuanya penuh terisi peluru asli.

Bayangan hitam menutupi hampir sekujur tubuh ketika sebuah tangan terbang rendah di atas kepalanya. Tangannya melenting ke belakang lalu bersalto tepat saat tangan raksasa melumat lantai hingga retak.

"Apa aku sudah gila?" gumamnya tak percaya. 

Sang kelinci menoleh padanya. Gigi-gigi kecil mendadak berubah menjadi sederet taring. Mata merah itu melebar, terlihat sinarnya memantulkan sosok Eko yang tengah dipandanginya. Pemuda itu meneguk ludah. 

Baginya, ini tak akan mudah.

*****

Foxy memandangi layar laptop sembari tersenyum kecil. 'Mainan' barunya tengah sibuk melawan suatu makhluk yang bahkan tak pernah ada. Kalaupun ada, ukurannya jauh melebihi ekspektasi.

Iris mata merah yang melebar, hal tersebut menjadi perhatian Foxy sejak awal. 

"Gilang? Bisakah aku memainkan murid baru ini? Matanya menarik sekali, merah darah seperti ruby." Ia melirik ke arah lelaki di sebelahnya. Rambut putih cepak itu menggeleng tak setuju.

"Kau hanya akan membuat kerusakan padanya. Cukup patuhi perintah anon dan semua akan baik-baik saja," ucapnya dengan nada tegas.

Foxy merengut kesal. Jemarinya menekan tombol space terus-terusan. 

"Memangnya kenapa kalau aku tak mematuhinya? Bukankah merpati harusnya burung yang bebas?"

Gilang mendelik pada Foxy. Mendeham sedikit lalu berkata, "Kau tahu sendiri jawabannya: merpati yang terlalu bebas akan mati di tangan pemburu."

"Bolehkah kuralat?" Foxy nyengir lebar. "Merpati yang tak berhati-hati akan mati karena peluru sang pemburu."

*****

Tatiana menghentikan langkah tepat di depan pintu besi dengan jendela kecil berselimut kaca tebal. Melirik Rinka lalu mendeham.

"Kau siap? Aku bisa mengaktifkan sistem pengamanan kalau perlu." Ia menawarkan bantuan.

Rinka mengernyit, kedua alisnya menyatu. "Apa maksudmu? 

"Kau tahu ... manusia punya insting untuk tetap bebas. Dikurung di sini jelas akan membuat insting tersebut semakin kuat dari hari ke hari. Aku khawatir dia akan melesat seperti peluru ketika melihat pintu yang terbuka."

Gadis itu menggelengkan kepala. "Kurasa tidak ... iya kan?"

Tatiana menoleh pada Ren, pemuda itu menganggukkan kepalanya. 

"Ibu tak mungkin menyerangku, percayalah!" teriak Rinka.

Teriakan itu menggema hingga sepanjang lorong. Lalu terdengar oleh seseorang yang berada di balik pintu besi. Geraman pelan berhasil membuat bulu roma Rinka berdiri.

"Mama? Itu kau?" 

Kemudian semuanya terjadi sangat cepat. Sesosok pria menghantamkan keningnya pada jendela, ia menjilat kaca tebal itu seraya menatap Rinka. Pusaran hitam di matanya bagai pisau yang menusuk. Rinka menjerit tatkala sebuah kepalan tangan menghantam sisi kepala si pria, membuat wajahnya terlempar seperti adonan. Darah kental memercik di kaca.

Ren memasang kuda-kuda pertahanan. Pintu besi digedor-gedor dari dalam. Siapapun yang melakukannya pasti punya kekuatan dalam jumlah besar karena pintu sudah mulai melengkung.

Saat semua orang mengira pintu akan menjeblak, tiba-tiba gedorannya berhenti. 

Hening, yang terdengar hanya hembusan napas Ren dan detak jantung Tatiana. Sedangkan Rinka menunduk dalam-dalam.

"Siapa mereka?" bisiknya, masih dengan kepala tertunduk.

"Pasien lain," jawab Tatiana. "Setiap ruangan berisi empat orang pasien."

"Apakah mereka dicampur?" 

"Ya." Tatiana menelan salivanya dengan tak nyaman.

"Apakah ibuku berada di dalam?"

Tatiana mengangguk, tak sanggup menjawab dengan kata-kata. Hening, lalu Ren secepat kilat membuka pintu dengan kunci yang diam-diam diambilnya dari Tatiana. 

Tatiana terperangah. "Sejak kapan dia mengambilnya?!" 

Ren masuk ke dalam. Suasana menjadi hening lagi. Rinka merasakan aura yang membuatnya kurang nyaman dan entah kenapa aura tersebut bersumber dari Ren.

"Apa temanmu itu baik-baik saj-" 

Tatiana tak sempat melanjutkan ucapannya. Jeritan kesakitan menggema dari balik pintu besi diiringi dengan darah yang menyembur. Melumuri jendela dengan cairan merah segar.

*****

Erick menyusun seluruh foto para korban di atas mejanya. Ekspresi ke limanya berbeda. Dari tersenyum lebar, tertawa, murung, menangis, yang terakhir bahkan tak punya ekspresi karena kepalanya sudah hancur. Menyisakan leher yang di tengahnya masih terdapat tulang. Bagian forensik jelas harus lembur selama beberapa hari ini karena harus menyusun potongan demi potongan dari tengkorak korban. 

Yang lebih parah, senjata yang dipakai tidak hanya satu. Korban kedua mati kehabisan darah setelah jari-jari kaki dan tangannya dipotong. Korban ketiga dikuliti mulai bagian pinggang ke bawah yang menjelaskan kenapa ada begitu banyak darah. Pinggang korban ke empat dipotong dengan gergaji tulang. Sedangkan yang terakhir, menurut kepala forensik, dihancurkan kepalanya saat masih hidup.

Anehnya, korban pertama mati karena serangan jantung. Walau begitu, bagian medis masih mengutak-atik mayatnya kalau ada hal lain. 

"Kurasa tidak mungkin mereka dibunuh secara bersamaan. Terlebih lagi ekspresi mereka. Jika jadi korban kedua, aku tak mungkin tertawa lebar saat jari-jariku dipotong," cetus Erick.

James mengiyakan dengan anggukan kepala. "Mungkin si pembunuh punya trik sendiri? Menurutku ekspresi mereka itu aneh."

"Aneh kenapa?" 

"Mereka dibunuh seperti ini karena dendam masa lalu. Kau tahu maksudku kan?"

"Ya, ini semakin menguatkan analisis kita. Satu hal lagi, menurutku para korban diberi semacam zat yang membuat mereka tetap sadar," cetus Erick. 

"Dan membuat semuanya berekspresi seperti itu? Mengerikan."

"Entah itu atau hal lain yang membuat mereka tak bisa tidur."

Langkah kaki yang terburu-buru mengejutkan keduanya, apalagi saat pintu dibuka hingga menghantam dinding.

"Pak Erick, ada laporan penting!" ucap Andi.

James mengurut dadanya. "Lain kali kau melakukannya, akan ku ambil semua cola diet milikmu."

"Eh? Melakukan apa?" Andi balas bertanya dengan wajah polos.

"Lupakan saja," James menghela napas. "Omong-omong laporan apa yang membuatmu sampai membanting pintu seperti penggrebekan sarang narkoba?"

"Oh ini." Andi memberikan selembar kertas pada Erick yang langsung membacanya.

Erick hanya terdiam setelah membaca tulisan demi tulisan di kertas tersebut. Setelah beberapa saat, ia berkata:

"Tekniknya berubah 180 derajat. Sekarang aku yakin, si penembak panah beracun dengan kasus pembunuhan kali ini adalah orang yang berbeda."

"Oh ya? Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanya James.

"Karena seandainya sama, saat ini kita pasti akan melihat lima manusia yang ditusuk dengan panah biru beracun. Bukannya dikuliti hidup-hidup lalu didudukkan di kursi seperti sedang rapat," jawab Erick. "Ditambah lagi, berkat laporan ini sekarang aku paham bagaimana ekspresi mereka bisa tercipta." 

James memandang Andi dan polisi muda itu melirik laporan tersebut. James menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk kedua mata yang polos. Andi mengangguk paham, seniornya itu meninggalkan kacamata bacanya di suatu tempat.

"Keempatnya diberi racun Deadly nightshade."

*****

Kaca tebal itu berlumur darah segar.

Tatiana menahan napas dan Rinka meneguk saliva dengan rasa cemas yang tak dapat ditutup-tutupi. 

Kirana sudah cerita padanya, tapi dia tak menyangka seorang Renaldo bisa sebuas itu.

Rinka hampir meraih gagang pintu ketika suara pukulan dilanjutkan dengan bunyi sesuatu yang retak, membuat Rinka mengurungkan niatnya.

Mendadak, ia memikirkan partner Ren.

Rinka akui, Kirana adalah gadis yang kuat.

Temannya itu korban pelecehan dan partnernya seorang pembunuh berantai.

Sebenarnya Rinka sangat ingin mengetahui masalalu Kirana, toh teman berbagi segala sesuatu tanpa perlu khawatir kan? Asal jangan cowok aja yang dibagi. 

Tapi dia tak pernah mau menceritakannya. 

Dulu, Budi tak sengaja mengatakan padanya kalau Kirana pernah dilecehkan. Hanya sebatas itu. Dia juga tahu tentang Ren juga karena menguping pembicaraan antara Budi dengan Roni. 

Keduanya berdebat tentang Ren. Rinka mencoba mengusir kenangan itu dari kepalanya. Ia tak ingin Ren sampai dikeluarkan dari UB. Lelaki itu baik padanya, terlebih lagi ia tak mau melihat Kirana bersedih.

Berkat Roni, Budi melunak dan tetap mempertahankan Ren dalam markas.

Astaga, Rinka bersumpah akan membuat kue cokelat rempah kesukaan partner Elena itu.

Sembari mengumpulkan keberanian, ia menggenggam gagang pintu. Menoleh pada Tatiana yang menganggukkan kepalanya lalu mendorong pintu besi tebal.

Yang dilihatnya saat itu tidak akan pernah ia lupakan sampai kapanpun.

*****

To be continued....





Haleoo! 

Berjumpa lagi dengan si hamster ini 🐹🐹🐹.

Hehehe, maaf hibernasinya kelamaan jadinya nih cerita nggak update-update 😅.

Kalau ada typo atau semacamnya bilang aja ya! Btw, ditunggu vote dan komennya 😉.

See you at the next part!

Salam,

Hamster


















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top