Part 4: Bloody World

(Eko POV)

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis. Saat aku dilahirkan? Saat masih tk? Atau sekolah dasar?

Entahlah, yang jelas embun terkutuk itu kembali mengalir. Kali ini lebih deras, bahkan mengalahkan hujan yang saat ini mengguyur diriku. Suara tangisan wanita itu masih terngiang-ngiang di benak. Aku tak bisa menghapusnya. Hal ini terlalu kuat bagiku.

Sensasi dingin yang menyiksa bagaikan melingkupi tubuh. Aku tak peduli akan tatapan orang-orang yang kulewati. Aku tak peduli rambutku sudah berbentuk seperti apa. Aku sudah tak memedulikan apapun lagi.

Persetan itu semua.

Kedua kaki ini membawaku ke jalan di antara rumah-rumah bertembok bata. Jalan ini hanya bisa dilewati manusia jadi setidaknya aku mengurangi angka kemungkinan kematianku karena ditabrak kendaraan.

Samar-samar aku melihat sekelebat bayangan bertudung putih dari lorong sebelah. Siapapun itu, dia semakin mendekat. Sinyal bahaya terdengar nyaring di dalam kepalaku. Butuh beberapa detik hingga aku tersadar.

Sialan! Dia tudung putih yang kutemui waktu itu. Aku tak sengaja melihat perban yang menjuntai dari lengan kanannya. Mau apa dia kali ini?

"Hei, kalau mau duel lagi. Mending pindah tempat gih." Aku diam-diam menyeka air mata sialan itu, memandang si tudung putih dengan mata memicing. Tunggu ... iris matanya berwarna hijau.

"Apa dia Zikri?" gumamku dalam hati.

Si tudung putih itu berlari ke arahku. Tangan kirinya terangkat, sebilah pedang keluar dari balik lengan bajunya.

Sret! Dia hampir menyabet leherku. Aku berusaha mengelak tapi ujung pisau itu tetap berhasil mendapat mangsa. Pipiku berhasil digoresnya.

Kemudian, dia mematung di tempatnya. Mataku melihat kilasan seringai di wajahnya. Aku merasa ada yang tak beres.

Tak sampai semenit, aku merasakan sengatan rasa sakit di bahu kiriku. Diiringi rasa sakit itu, sekejap kepalaku terasa berat. Sambil mencoba mengendalikan tubuh yang mulai sempoyongan ini, aku melirik ke arah bahuku yang masih terasa pedih.

Sialan, sebuah panah biru menancap di sana.

Aku ... apa-apaan ini? Mengapa ada kelinci putih di depan tudung putih itu? Tidak mungkin ada kelinci malam-malam begini.

Sialan, kepalaku seperti akan meledak.
Aku tak bisa melihat keadaan sekitar. Hal terakhir yang kuingat adalah keningku mendarat di permukaan aspal.

(End of Eko POV)

¤¤¤¤

Langit malam masih terlihat mendung walau hujan sudah reda. Kerumunan orang yang berteduh sudah mulai terurai.

Rinka menarik lengan jaket biru tuanya. Dengan bibir digigit, ia berjalan cepat menuju keramaian.

Seorang gelandangan di pinggir jalan sibuk memukul-mukul sebuah radio tua. Tanpa sengaja, radio itu memutar sebuah lagu.

Why do we have to be sacrificed?
Those who care to join our ring in the dark.
Why do we have to live in a bloody world?

Nadanya amat bersemangat, tapi siapapun yang tahu arti liriknya paham betul bahwa lagu itu dibuat berdasarkan perang.

"If there's nothing but survival, how can i believe in sin?"

Rinka menelengkan kepala dan mendapati Ren yang tengah berdiri di sampingnya. Kepala lelaki itu basah kuyup, nasib sama dialami oleh jaket kelabunya.

"Kau tahu lagu itu?" Rinka bertanya.

Ren membalasnya dengan anggukan kepala. "Carry On, lagu kesukaanku."

"Kau mengikutiku sejak di markas kan?"

Ren mendengus. "Tidak, aku hanya berkeliling di sekitar sini. Kau tahu? Susah mencari toko es krim yang buka di waktu dan cuaca seperti ini."

"Es krim?"

"Kirana mengajari Emily membuat kue dan mereka mengacaukan es krimnya."

"Astaga, bagian dapur pasti kacau balau."

"Tenang, kita punya Budi." Ren menyeringai.

Rinka tersenyum masam. "Kalau orangnya dengar, kau bisa dibantai loh."

Ren tertawa. Tangannya terangkat, menepuk pelan kepala Rinka.

"Nah, kau sendiri mau kemana?"

"Aku mencari seorang teman."

"Teman?"

"Ya, kau tahu dimana letak Beacon mental hospital?"

¤¤¤¤

Bangunan berlantai tiga tersebut lebih bisa disebut istana daripada rumah sakit jiwa. Di bagian tengah rumah sakit, terdapat sebuah mercusuar yang masih aktif. Dari luar saja bangunan ini sudah menampakkan keangkerannya. Konon, ada rumor yang menyebutkan bahwa jumlah pasien yang masuk dengan pasien yang keluar berbeda.

Rumah sakit Beacon ini adalah milik swasta, jadi mungkin saja hal tersebut benar. Walau sampai sekarang, rumor tersebut tetaplah sebuah teori.

Rinka dan Ren melangkahkan kaki menuju pintu depan bangunan. Maklum, rumah sakit jiwa memang harus selalu menutup pintu depannya.

"Kalian ada janji temu?"

Rinka nyaris terlonjak begitu mendengar suara pria tua yang mendadak muncul di samping kirinya.

"I-iya, kami ada janji dengan seseorang," jawab Rinka. Jantungnya masih berdegup kencang.

Pria itu mengambil tongkatnya yang bersandar di dinding, lalu mengetuk pintu dengan tongkat tersebut.

Dua ketukan panjang dan dua ketukan pendek lalu dari pintu terbukalah sebuah bagian yang hanya bisa memuat sepasang mata. Si pemilik mata langsung bertanya,

"Siapa?"

Rinka menjawab. "Rixa Suliana."

Tak ada jawaban. Kemudian pintu tersebut terbuka sedikit.

"Masuklah kalian jiwa-jiwa tersesat!" Si pemilik mata berseru nyaring.

Rinka melirik si pria tua yang membantu mereka. Dia tak sengaja melihat mata lelaki itu.

Kuning seperti petir.

¤¤¤¤

"Budi? Tapi bukannya dia tidur nyenyak di markas?" Gumam Rinka dalam hati.

Pria tua itu berdiri. Tongkat kayunya tergenggam erat. Sedikit menundukkan punggung, dia berjalan melewati Rinka. Menghilang di tengah gelapnya lorong. Walau begitu, suara tongkatnya yang mengetuk lantai tetap terdengar.

Ren masuk duluan, Rinka mengekor di belakangnya. Si pemilik mata itu ternyata adalah seorang dokter di rumah sakit itu.

"Loh, anda wanita?" seru Ren, terkejut.

Dokter itu mengangkat sebuah benda kecil berbentuk kotak. Alat perekam.

"Suara tadi hanya rekaman," jawabnya.

Dia membetulkan kacamata merah yang bertengger sembari menyalami Ren.

"Tatiana Bougenvil," ujarnya.

Ren membalas salam tersebut, begitu pula dengan Rinka.

"Ikut aku."

Wanita tadi berjalan menuju lorong. Ren dan Rinka mengikuti di belakangnya.

¤¤¤¤

Untuk sementara, kita berpindah ke tempat lain. Jauh dari rumah sakit jiwa Beacon, apalagi Eko yang tak diketahui keberadaannya, melainkan kantor kepolisian Jakarta pusat yang lagi-lagi digemparkan dengan kasus pembunuhan....

James mengerutkan keningnya sedalam yang ia bisa, tak habis pikir akan sekumpulan mayat yang akan ia hadapi saat ini.

"Berapa jumlah korban?" tanya Erick.

James mengangkat papan kayu kecil berisi data korban lalu menjawab,

"Lima orang."

"Apa mereka semua adalah pimpinan perusahaan swasta itu?"

James menganggukkan kepala. "Aku kenal dua di antara mereka, sisanya tidak."

Erick mengambil kamera, memfoto para korban. Lima orang yang telah tewas tersebut duduk di lima kursi kayu, dibentuk melingkar seolah tengah mendengarkan khotbah. Bedanya, mereka dalam keadaan terikat rantai di tangan dan kaki masing-masing.

Wajah dan tubuh mereka berlumuran darah. Bahkan ada salah satu yang kepalanya pecah. Senjata pembunuh masih dicari sampai saat ini, tapi ada kemungkinan bahwa yang digunakan adalah sebuah alat khusus yang mampu memecahkan kepala manusia.

"Menurutmu kenapa mereka diletakkan dalam posisi seperti ini?"

Erick menatap James, mencari jawaban yang akan diucapkan rekannya itu. Tapi dia hanya mematung di tempatnya.

"Aku ... tidak tahu," ujarnya.

"Apakah mereka tengah melakukan suatu diskusi?"

Ucapan Andi yang baru datang ke lokasi kejadian membuat kedua polisi senior itu terperanjat.

"Diskusi? Dari mana kau mendapat ide itu?" Erick bertanya sembari menatap Andi tajam, membuat polisi muda itu bergetar ketakutan.

James menghela napas. "Erick, kau membuatnya takut."

"Jadi darimana kau terpikir hal itu?" selidik Erick, tanpa memedulikan ekspresi James yang menatap dirinya tajam.

"Ekspresi mereka semua," tukas Andi, "ke lima orang ini sepertinya membicarakan sesuatu yang penting, sampai tidak sadar akan dibantai."

Sadar akan sesuatu, Erick mendekati salah satu korban.

Dia mengambil foto salah satu korban yang wajahnya paling banyak berlumur darah. Setelah mengambil fotonya beberapa kali dari berbagai sudut pandang, Erick mengambil selembar kain lap. Setelah dibasahi dengan air, ia menyapukan kain ke wajah korban.

Cairan merah beraroma anyir tersebut tidak sepenuhnya dihilangkan. Tapi sudah lebih dari cukup untuk memperlihatkan ekspresi wajah terakhir sang mayat.

Senyum lebar tersungging di wajahnya.

¤¤¤¤

To be continued....

Saya tunggu vote dan komentar kalian :)

Silahkan yang mau buka forum diskusi di kolom komen, asal jangan kebablasan aja sampai gak sadar ada pembunuh di belakangmu.... *nyehehe*

As usual, another cliffhanger *smirk*.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top