Part 3: Holy Mother

(Raka POV)

Dia memandangku sambil menyeringai. Gigi-gigi taring itu berkilat terkena cahaya, mengingatkanku pada film lawas yang bercerita tentang hiu pemakan manusia. Aku mencoba berkonsentrasi pada busur dan panah tapi cekikikannya yang mengerikan itu bagai menghantuiku.

"Hentikan suara itu." Aku mencoba mengusirnya secara halus. Walau dia memang menjengkelkan, tetap saja dia seorang gadis.

"Akuuuu tidaaaaaakkk mauuuuu!" serunya, lalu dia mengeluarkan serentetan bahasa alien yang tidak bisa kupahami.

Dia jelas-jelas menguji kesabaranku, buktinya saat ini gadis itu berteriak keras seperti orang gila. Melompat ke sana kemari dengan lincahnya. Diam-diam aku mengetatkan pegangan, membidik gadis itu dengan busurku.

Wuuuushh! Trak!

"Hanya segitu kemampuanmu? Sungguh memalukan!"

Kepalanya berjarak hanya lima senti dari ujung hidungku. Saat ini ia bergantung pada langit-langit kamar, dalam keadaan terbalik.

Aku bersumpah, atas nama keluargaku yang terkutuk. Aku membidik kepalanya dan itu meleset. Aku tak pernah meleset sebelumnya, itulah kenapa Gilang memilihku. Kini panah biru metalik itu menancap di dinding.

"Raka Aruda ... penembak sekaligus pemanah terbaik di kamp pelatihan merpati. Tidak pernah meleset selama latihan maupun praktek, apakah aku betul?"

Gadis itu mengucapkan semuanya seraya bergelantungan di langit-langit. Dengan satu sentakan, ia berputar dan mendarat dengan mulus. "Sayang sekali, rekormu sudah pecah karena ... akuuuuuu!"

Dia tertawa nyaring. Membuka rahangnya lebar-lebar dan mengeluarkan suara yang lebih bisa dibilang jeritan daripada tawa. "Rakaaaaa Aruuuudaaaa!" teriaknya, "ayooo tembak akuu dengan panah beracun ituuuu!"

Kemudian dia kembali berceloteh dengan kata-kata aneh, memintaku untuk menembaknya dengan pistol atau panah atau bahkan senjata mesin tapi aku hanya diam sementara ia bertingkah seperti itu. Lalu ia tiba-tiba menundukkan kepala.

"Sudah lelah?" Aku bertanya, mendadak merasa khawatir kalau hal yang sama seperti Erina lakukan padaku terjadi lagi tapi kali ini dengan orang sakit jiwa.

Mendadak, gadis itu mendongakkan kepalanya. Tersenyum lebar hingga mencapai mata. Lalu, dia berkata:

"Selamat pagi! Namaku Foxy Raunder, salam kenal! Kau pasti Raka Aruda kan? Selamat datang di markas kami! Oh ya, sebelumnya aku jelaskan dulu syarat-syarat di markas ini: satu, kau dilarang membunuh sesama anggota. Dua, dilarang memberitahukan keberadaan markas pada orang lain. Tiga, terakhir dan yang paling penting! Kau DILARANG berkhianat dari kami! Hanya itu dan kau akan baik-baik sa-"

Bruk!

Sebuah panah bius kutembakkan dan semua ocehannya berakhir.

(Raka POV end)

[***]

Marie Antoinette syndrom.

Sebuah kelainan yang membuat penderitanya memiliki rambut berwarna putih. Sindrom ini diakibatkan oleh trauma atau stres yang kuat dan dialami selama kurun waktu yang cukup lama. Penyakit jiwa ini terinspirasi dari Marie Antoinette yang setelah kepalanya dipenggal, seluruh rambut abu-abunya perlahan berubah warna menjadi putih dikarenakan tekanan batin  yang dialami semasa hidup.

Terkadang dalam beberapa kasus, penderita sindrom ini dapat menjadi sangat ganas. Dengan artian lain, bisa melukai orang lain. Tetapi ada juga yang masih hidup normal walau kemungkinan ini bisa dibilang cukup jarang. Selain itu, mereka bisa menjadi anti-sosial, bipolar, masokis, atau yang paling parah: psikopat.

Anakku, orang-orang mencurigakan yang kau sebut di penjara itu ... berbahaya. Aku bisa merasakannya. Mereka mungkin lebih mengerikan daripada pembunuh yang satu sel denganku ini.

Tersiar kabar angin yang mengatakan bahwa 'mereka' mulai berburu, orang-orang itu mengincar pimpinan dari 15 perusahaan swasta yang ada di Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu pernah memodali sebuah proyek pembuatan kapal selam bernama 'Blue Arrow'. 20 tahun lalu proyek itu mengalami kegagalan lalu diabaikan.

Anakku, dari lima orang kru yang berada di kapal selam itu ... ada satu yang selamat.

Namanya Rixa Suliani.

Suaminya yang satu kapal dengannya, tewas.

Namanya Alex Aurora.

Tertanda,

Don Buos.

Iris mata merah darah itu membaca tiap kalimat dalam surat sembari mengunyah sebungkus permen kacang. Wajahnya terlihat datar tanpa emosi sedikitpun tetapi otaknya berpikir keras. Eko berusaha mengatur semua informasi yang terkesan sangat mendadak ini.

Seandainya Rinka mengetahuinya, Eko tak mau memikirkan apa yang akan dilakukan partnernya itu. Tapi ia tahu, gadis itu punya rasa sabar di atas dirinya. Ia masih mending hanya ditinggal Mama demi papa yang baru, Rinka? Dia dibohongi selama bertahun-tahun. Menganggap orangtuanya tak akan pernah memeluknya lagi.

"Orangtua huh?" Eko membatin. "Jadi kangen si paman, padahal orangnya nyebelin minta ampun."

[***]

"Mama, Papa di dalam sini?"

Aku melirik kotak kayu di depanku dengan bingung. Ku alihkan pandangan ke arah Mama. Air berjatuhan dari matanya. Kutarik lengan bajunya.

"Ma?"

"Eko, lepaskan."

Suara Mama saat itu sedingin es. Nada yang belum pernah kudengar. Ada apa dengannya?

"Mama marah?" bisikku.

Dia hanya menggeleng lalu bersimpuh di samping kotak kayu. Meratapi serpihan-serpihan daging yang mereka bilang "Papaku".

Tubuh Eko bersimbah peluh hingga membasahi kaus yang ia kenakan. Kenangan singkat akan kematian itu kembali memenuhi setiap inci relung benak, mendesak air di pelupuk mata. Perlahan, dia mendekati laptop di meja kerjanya. Diam-diam memperhatikan Rinka yang masih tertidur pulas. Kembali pada laptop, ia membuka suatu aplikasi pelacak. Jarum radar terus berputar, mencoba menangkap seseorang yang dicari Eko.

Tak lama kemudian, sebuah titik merah muncul. Membuat pemuda itu menghembuskan napas lega.

"Distrik 3, tak jauh dari sini. Itu lingkungan baik-baik, kurasa dia tak akan mengalami masalah lagi."

Mendadak, Eko merasa nasibnya jauh lebih beruntung.

[***]

Bunyi klik pintu tertangkap oleh radar pendengaran Rinka. Perlahan dibukanya sebelah mata, mendeteksi keberadaan partnernya. Jaket hoodie berwarna hitam telah lenyap dari gantungan di samping lemari. Ia berjalan pelan menuju pintu, tak sengaja mendengar pembicaraan Eko dengan Roni di lantai bawah.

"Hei, tengah malam begini mau kemana?"

"Biasa, jaga malam."

"Kali ini dimana, Eko?"

"Distrik 3, kujamin dia tak akan macam-macam."

"Baguslah, cepat pergi sebelum kau membangunkan seisi markas."

"Memangnya kau sendiri tidak?"

Keduanya tertawa pelan. Suara kunci besi yang diputar menjadi bukti bahwa Eko telah pergi. Kemudian Rinka memutar kunci pada slot pintu sepelan yang ia bisa. Memastikan bahwa pintu kamar tertutup rapat, ia berjalan menuju meja kerja Eko. Membuka layar laptop lalu menekan aplikasi yang sama seperti yang Eko buka sebelumnya. Sebuah titik merah berpendar di tengah radar yang terus berputar. Pupil mata cokelat muda itu melebar. Bukan titik merah itu tapi karena kata yang tertulis di atasnya.

Mother.

[***]

Malam itu bintang-bintang di langit tak satupun yang nampak. Terhalangi oleh gumpalan awan kelabu yang sudah tak mampu menahan tampungan air. Orang-orang yang memakai motor serentak menepi, mengeluarkan jas hujan masing-masing. Jalanan menjadi agak lengang, hanya mobil-mobil yang melintas.

Tak lama kemudian, hujan lebat mendera.

Di antara orang-orang yang sibuk menyelamatkan diri dari serbuan air, seorang anak lelaki justru berlari menerobos hujan. Anak itu tak peduli sudah seberapa basah jaket hitamnya atau genangan yang ia lalui. Anak itu hanya memikirkan tujuannya.

SELAMAT DATANG DI DISTRIK TIGA.

Sekilas, iris mata merah darah itu melihat papan selamat datang yang ditaruh tepat di tengah-tengah halaman sebuah pusat perbelanjaan yang membelah jalan. Napasnya tersengal-sengal, berlari dari distrik satu ke distrik tiga memang membutuhkan tenaga ekstra. Anak itu mengambil lajur kiri, menembus kerumunan manusia dengan payung masing-masing. Beberapa dari mereka berjengit saat anak tersebut melesat bagai peluru. Salah satunya bahkan menyumpahi anak itu.

Tetapi hal itu tak menghentikannya. Langkah kaki yang jenjang tersebut semakin menggila saat titik merah di jam tangannya mulai memudar.

"Kumohon ... jangan hilang lagi!"

Bisikan tersebut seolah dikabulkan Tuhan karena titik merah yang awalnya hampir hilang mendadak kembali dan bahkan kali ini sinarnya semakin kuat. Dia kembali mengalihkan perhatiannya pada jalan, tak sengaja melihat sebuah bangunan berbata merah tanpa lapisan cat. Menghindari keramaian orang yang menatapnya bingung, ia melesat pergi menuju jalan sempit di antara bangunan tersebut.

Telinganya tak sengaja mendengar isak tangis lirih dari salah satu sisi ruko (rumah toko) tersebut. Ia menghampiri jendela yang terlihat terang, diam-diam mengintip ke dalam.

"Semua ini salahku...."

"Aku ... tak bermaksud mengusirnya...."

Lalu terdengar suara wanita lain yang lebih berat. Terdengar seperti manula.

"Bukan salahmu. Terkadang, kematian dapat membuat manusia menjadi gila. Bahkan pada anaknya sendiri. Omong-omong, anda sudah mencari anak anda?"

"Sudah, tapi ... dia lenyap bak ditelan bumi."

"Wah, lenyap?" gumam Eko, dalam hati.

"Boleh aku tahu siapa namanya? Barangkali teman-temanku dapat membantu."

Wanita itu menyebutkan sebuah nama sembari sesenggukan. Nama yang membuat Eko menahan napasnya. Eko tidak menyadari bahwa titik merah di jam tangannya berpendar. Lalu berkedip-kedip tanpa pola.

Sebuah kalimat muncul di layar jam tersebut:

TARGET DITEMUKAN.

[***]

To be continued....

Im waiting for your vote and comment guys! *changing subtitle*

Haleoo! Lama tak berjumpa dengan kalian! Hehehe, cerita ini mungkin sampai berdebu gara-gara hamsternya kelamaan hibernasi *ditimpuk readers*.

Nyehehe~ dan lagi-lagi diakhiri dengan hanging ending #tipeauthoryangusil

Last but not least, thank you banget buat kalian yang sudah membuat cerita A Black Fox menang ajang the wattys 2016! Gak nyangka cerita dari genre minoritas ini bisa menang di kategori cerita sosial :D.

Sekian dulu cuap-cuapnya!

See you guys on the next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top