Part 2: White is the new dead
Di ruang rapat markas UB saat ini hanya terlihat Budi seorang. Kedua tangannya sibuk mengutak-atik sebuah kamera polaroid yang kelihatan lusuh. Pandangan yang menerawang ke arah jendela menjadi bukti bahwa otaknya tengah dipenuhi pikiran. Sayangnya, teriakan Eko dan lengkingan Rinka yang bak penyanyi sopran itu berhasil menembus gendang telinganya.
Dengan tonjolan urat di kepala, ia segera memanggil pasangan partner paling amburadul itu ke ruang rapat. Mereka muncul di ambang pintu dengan wajah tak berdosa, yang membuat Budi makin kesal.
"Duduk,"
Keduanya menghenyakkan diri di kursi beroda. Budi memandang keduanya seraya menaruh kamera polaroid di atas meja.
"Para tudung hitam kembali memberi misi pada kita." Budi memulai pembicaraan.
"Kita? Kau jelas ingin memberi misi itu pada kami," sergah Eko. Raut wajahnya terlihat percaya diri.
Seringaian kejam terlihat jelas di bibir Budi. Bahkan seringai itu sampai menyentuh matanya.
"Kau salah besar Eko Andika, yang kumaksud 'kita' itu adalah kau dan aku," tambahnya.
Wajah Eko pucat seketika. Darah di wajahnya seolah kering tanpa sisa. "Kau serius?"
"Seumur hidupku, tak pernah aku seyakin ini," sahut Budi.
Tanpa diketahui siapapun, diam-diam pemuda berkacamata itu menyilangkan jarinya di balik punggung.
****
Hujan deras jelas bukan cuaca yang baik untuk siapapun yang ingin mengendap-endap masuk. Terutama Eko yang saat ini setengah hidup berusaha menahan bersin. Budi dengan mata memicing tajam, terus mengamati pergerakan para tukang pukul pabrik yang hilir mudik di depan pelabuhan.
Tudung jas hujan hitam yang mereka kenakan sudah tak mampu menampung air. Wajah Eko terciprat air tersebut, membuat bersinnya lepas. Beberapa tukang pukul di dekat mereka sontak menelengkan kepala, mencari asal suara. Iris kuning Budi memicing tajam ke arah Eko.
"Bagus, makasih buat bersinnya," bisik pemuda itu.
Langkah-langkah berat khas sepatu bot perlahan mendekati mereka. Tanpa banyak pikir, Budi mengambil sebuah granat dari balik jas hujannya. Memakai gigi, ia melepas kunci granat tersebut lalu dengan santai melemparkannya ke arah lain pelabuhan.
Tak sampai beberapa detik, granat tersebut bereaksi. Ledakannya cukup untuk membuat hampir seluruh tukang pukul itu berlarian panik. Budi dan Eko memanfaatkan momen tersebut. Keduanya menyelinap masuk ke pelabuhan.
Eko hanya mengikuti Budi yang sudah berlari duluan. Pembicaraan mereka beberapa jam yang lalu masih terngiang di kepalanya.
"Eko, misi kali ini cukup sederhana. Kita hanya perlu mengambil foto dari sebuah kapal selam." Budi melemparkan kamera yang sebelumnya ia pegang ke arah Eko.
"Foto itu untuk apa?"
Budi menghela napas panjang. "Misi kali ini bukan dari tudung hitam."
"Jangan mengalihkan topik, untuk apa foto itu?"
Suara gebrakan meja hampir membuat jantung Eko keluar lewat mulut. Iris kuning terang itu menatapnya setajam pedang. Alis Budi tidak berkerut, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk memberitahu Eko jika pemuda itu tengah marah.
"Inilah kelemahan terbesarmu ... Eko Andika. Kau selalu ingin tahu."
Eko mendengus, berusaha agar suaranya tidak bergetar. "Memang kenapa? Toh aku tidak akan membocorkan informasi tentang misi kepada siapapun."
"Kau pikir aku percaya padamu?" Budi balik membalas.
"Aku bukan Zikri." Eko membalasnya amat telak. Terlihat dari wajah Budi yang mendadak mengeras.
"Jangan ingatkan aku pada nama itu."
"Kau dulu mencintainya."
Budi mengacak rambutnya, kesal. "Ya, tapi itu dulu."
"Baiklah, aku akan memberitahumu. Misi kali ini diberikan oleh salah satu kenalanku di kepolisian."
"Siapa dia?"
Budi merengut. "Aku belum selesai bicara."
Eko mengangkat tangannya. "Terserah."
"Foto ini diperlukan sebagai bukti dari kasus 20 tahun lalu. Kasus ini masih belum terpecahkan sampai sekarang. Saat itu sebuah proyek kapal selam yang nantinya digunakan untuk penelitian biota laut mengalami sabotase, empat dari lima peneliti yang saat itu berada di dalamnya tewas."
"Lalu sisanya?"
Budi mengambil selembar foto dari map tebal di laci mejanya. Diperlihatkannya foto itu pada Eko. Seorang wanita berambut cokelat gelap dengan pupil berwarna senada, tengah duduk sembari tersenyum lebar. Foto itu berhasil membuat Eko membelalakkan mata.
Budi berdeham, wajahnya terlihat menyesal. "Kau yakin mau bertemu dengannya?"
Eko menganggukkan kepala. "Dimana orang ini berada?."
****
Sembari mengawasi pintu, Eko sesekali melirik Budi yang tengah sibuk mengambil foto dari benda yang mati-matian mereka cari ini. Butuh keluar masuk gudang pelabuhan sampai sembilan kali karena tidak jelasnya informasi yang Budi dapatkan. Iris merah darah itu menatap kapal selam lekat-lekat. Tubuhnya berwarna biru laut dengan ornamen khas kapal selam, seperti periskop dan jendela berbentuk bulat yang dilapisi besi.
Telinga Eko berhasil menangkap samar-samar suara langkah kaki, tengah mendekati mereka. Eko berdecak, membuat Budi mengalihkan perhatiannya dari bangkai kapal selam itu.
"Sedikit lagi," ucapnya, paham dengan isyarat Eko.
Bukan hanya suara, kali ini sekelebat bayangan melintas tepat di hadapan Eko. Mendadak, kulitnya meremang. Otaknya sudah meneriakkan tanda bahaya. Pemuda itu tak sempat menghindar ketika sebuah tendangan melesat dari samping kepala. Mendarat di bagian pelipisnya.
Rasa sakit yang teramat sangat menyerbu syaraf. Langkahnya mulai tak teratur dan tubuhnya sudah akan ambruk saat sebuah kepalan tangan meluncur ke arah perut. Iris merah darah itu berkilat terang, seolah mengalirkan adrenalin secepat sambaran petir. Tangan kirinya menghalau tinju itu, membuat si penyerang lengah, lalu dengan kekuatan penuh ia melancarkan tendangan cangkul tepat di lengan hingga menimbulkan suara 'krak' cukup keras.
Siapapun yang berusaha menyerang Eko pasti sangat kesakitan karena saat ini ia menggenggam lengan kirinya sembari mendengus. Ia menatap Eko yang sudah menyiapkan kuda-kuda menyerangnya. Diam-diam diambilnya sebilah pisau, melemparkannya ke wajah Eko. Pemuda itu berhasil menghindar tapi saat ia menoleh, orang bermantel putih itu sudah menghilang.
Eko meringis saat ia menempelkan kain basah tepat di pelipisnya. Rasa dingin sekaligus perih membuat air matanya hampir keluar. Sementara itu, Budi tengah berada di ruangan yang sama tetapi pikirannya menerawang ke tempat lain.
"Hei Budi, menurutmu siapa orang bertudung putih tadi?"
Yang ditanya hanya menggeram seraya mengacak-acak rambut. "Aku ... juga tidak tahu. Siapapun dia, kemampuannya cukup hebat sampai bisa membuat kepalamu benjol begitu."
"Ini bukan apa-apa."
"Aku tahu itu, tapi apa kau sadar? Tinjunya tadi mengarah kemana?"
"Ya, ulu hati. Hampir saja, tapi aku berhasil menghindar."
Iris merah darah itu berpendar, telinganya menangkap suara sang partner yang sibuk bercengkerama. Entah kenapa, benda di dalam dadanya terasa sakit. Seolah tak mampu menahan perasaan. "Hei Budi, kau yakin aku tak boleh cerita padanya?"
Pemuda berkacamata itu terlihat sedikit gelisah, ia berdeham sedikit. "Tunggu saat yang tepat, aku khawatir dia akan mengalami syok atau semacamnya."
"Ya ... tapi kurasa ia akan membenciku kalau tidak kuberitahu."
[***]
Tali busur itu meregang kuat, tangan yang memakainya jelas sudah terlatih. Iris mata seperti bara api itu menatap papan sasaran lekat-lekat. Dihembuskannya napas lalu melepas tali busur. Anak panah biru metalik itu meluncur cepat, membelah angin dengan suara desingan pelan. Nyaris tak terdengar, menjadikannya alat membunuh yang mengerikan.
"Latihan?"
Raka menelengkan kepala. "Perintah Anon."
"Gak bosan?"
"Apa maksudmu?"
Raka berpaling dan mendapati salah satu anggota merpati tengah menatapnya. Tudung putih tetap dipakai sehingga wajahnya tak terlihat. Raka mendengus pelan, tahu betul siapa yang mengajaknya bicara.
"Keluar dari sarang ya? Tidak membuat 'air mata malaikat' lagi?"
[***]
To be continued....
Catatan hamster: FINALLY IM BACK! *suara jangkrik*
Yup, setelah satu minggu dan dua hari digempur sama UAS-47 akhirnya aku update lagi *happy tears*. Mungkin bakal banyak pembaca yang 'menghilang' karena aku lama (naujubilah) banget updatenya *sorry*.
Semoga part ini dapat memulihkan kerinduan kalian dan sedikit spoiler: UB punya rival (kalau ini sih mungkin kalian udah pada tau) -_- *namanya bukan spoiler lagi dong*. Iyaa aku tambahin nih: rival mereka ini sekelompok manusia (bukan hewan ya, walau namanya memang pake nama hewan) yang err ... rada insane gitu.
Okay, sampai di sini dulu catatanku. See you guys at the next part!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top