2 : -
"You ruined My dinner time."
Tubuh Valesa seketika lemas, merasakan jari-jari dingin itu menyentuh lehernya, tubuhnya seolah sudah menyerah dengan keadaan.
Pria Itu tampak memejamkan matanya, seolah tengah menikmati aroma di depannya.
"Kau tahu, aku sudah tiga hari belum meminun setetespun darah, yang masuk kedalam perutku hanya makanan masak yang hanya bisa mengenyangkan perut kecilmu. Makanan seperti itu tidak ada rasanya bagiku."
"Aku kelaparan, dan ketika aku menemukan makananku kau melarang aku makan?" Valesa mengigit bibirnya berusaha menguatkan diri.
"Ta-tapi dia meminta tolong. Dia tidak mau kau makan!" Valesa berujar sembarangan, ia bahkan tidak memiliki waktu untuk memikirkan apa yang harus ia katakan.
Tawa pria itu terdengar, sedikit mendongak keatas, Valesa dapat melihat dengan jelas mata meremehkan yang menyorotinya.
"Lalu apa kau pikir, ayam yang selama ini kau makan secara suka rela menyondorkan dirinya untuk kau santap? Kau pikir mereka berbaris mengantri untuk disembelih? Tidak sayang, mereka berlari menyelamatkan diri, namun untuk memenuhi rasa lapar manusia, manusia tidak peduli, dan tetap membunuh mereka untuk dimakan." Berhenti sejenak, pria itu melemparkan senyumannya pada Valesa.
Mendekatkan wajahnya, jarak keduanya mungkin tidak dampai sejengkal. "Lalu apa bedanya dengan tindakan ku?"
Valesa terbungkam, otaknya lumpuh tidak dapat memikirkan apapun.
"Ahh, bagaimana kalau kau saja? Tidak buruk,'kan?" mata gadis itu membelalak lebar, dia apa?
"Kau sendiri yang datang menghampiri ku, bukankah itu artinya kau mau?"
"Aku-aku." Valesa kehilangan kata kata, otaknya seolah membeku saat itu juga, dibawah sorotan mata segelap malam itu, dibawah tekanan adrenalin dan rasa takut. Valesa benar-benar tidak mampu melakukan apapun.
"Kau baik sekali." Menahan nafasnya, Valesa membeku ketika merasakan hembusan nafas yang semakin dekat dengan lehernya.
Kedua taring itu menyentuh kulit Valesa, terasa dingin dan tajam. Memejamkan matanya kuat kuat ketika kedua taring itu menembus kulitnya.
Sakit! Sakit sekali!!
Valesa bergerak memberontak, bentuk respon dari rasa sakit yang ia rasakan, perlahan ia merasakan darahnya yang mulai tersedot keluar, gerakan pemberontakannya ditahan oleh pria itu. Entah karena alasana apa, ia memilih untuk merengkuh tubuh yang jauh lebih kecil dari nya itu untuk menghentikan pemberontakan tersebut.
Lehernya terasa sakit, tubuhnya terasa mulai lemas. Demi Tuhan! Apa dia akan mati dalam keadaan seperti ini?
Pandangan Valesa terasa berat. keadaan sekitar yang memang tidak begitu terang terasa semakin menggelap, sampai akhirnya ia benar-benar kehilangan kesadaran.
"Br-Bryan." Suara di belakangnya membuat pria dengan taring itu akhirnya berhenti.
Mencabut taringnya yang menancap, pria itu menjilat gigi-giginya.
Gadis didekapannya kehilangan kesadaran, tentu saja apa lagi?
Dengan segala shock yang ia terima, hampir sangat mustahil bagi sosok itu untuk terus sadar.
"Leo." Suara itu terdengar lebih tenang. Bryan menatap sosok ditangannya dengan tatapan yang sulit ia artikan.
"Apa?" Pria dibelakang sana menyahut, takut salah bicara dan membuat pria penghisap darah itu kembali naik pitam.
"Bawa dia pulang." menyerahkan sosok itu kepada Leo, Bryan berjalan santai, menghilang bersama bayangan gelap di ujung lorong.
"Tentu saja, tapi Ya Tuhan bagaimana aku bisa tahu dimana alamatnya." Leo memejamkan matanya frustasi, meruntuki pria itu dalam hati namun tidak berani membantah. Yang benar saja dia bisa benar-benar kehilangan nyawa kalo sampai berani.
.
.
.
.
.
.
Mata itu mengerjap, tampak membiasakan matanya yang masih belum bisa melihat dengan jelas.
Langit-langit kamarnya?
Sekejap kesadarannya kembali, Valesa merasakan nyeri dilehernya.
Apa yang terjadi?
Mengambil kaca kecil diatas meja samping tempat tidurnya, Valesa menahan nafas menemukan dua titik luka yang sudah mengering disana, dia tidak bermimpi?
Menoleh kearah jendela yang terbuka lebar, gadis itu semakin kebingungan? siapa yang membawanya pulang?
Memaksa tubuhnya untuk duduk, jam digital samping tempat tidur menunjukan pukul 4 pagi.
Disampingnya terdapat pelastik bening berisi obat, dan secarik kertas. Meraih kertas tersebut dengan perasaan kacau balau.
Terimakasih banyak sudah membantuku, aku minta maaf sebesar-besarnya karena kau sampai terlibat, aku membelikan obat penghilang nyeri dan tambah darah. Aku rasa kau akan membutuhkannya, ada nasi kepal juga, makan ketika kau sudah bangun dan jangan lupa minum obatmu.
Aku yang mengantarkan kau pulang, didalam tasmu aku menemukan alamat, maaf aku memeriksa tanpa izin, tapi aku tidak punya pilihan.
Sekali lagi terimakasih
Orang yang kau selamatkan
Leo
Semua itu bukan mimpi, Valesa merasa seolah dihantam batu besar. Untung saja semua sudah berkahir, dan semoga saja dia tidak akan pernah bertemu pria itu lagi.
Valesa meraih nasi kepa disamping pelatih obatnya, masih tersegel dengan rapi. Memakannya, kemudian melanjutkan dengan meminum obat yang pria bernama Leo itu berikan.
Mengingat darahnya yang di minum oleh Vampir tadi, Valesa rasa dia memang membutuhkan obat penambah darah dan penghilang nyeri.
Apa yang baru saja dia lalui, astaga!!
.
.
.
.
.
Valesa menhela nafasnya lelah, sebenarnya dia tidak mau keluar, kejadian malam tadi kasih berbekas dikepalanya dan Valesa jelas kasih merasakan ketakutan.
Tapi sahabatnya yang lain, Jane. Memohon pada Valesa untuk membawakan gadis itu laptop. Entah bagaimana ceritanya, laptop gadis itu mendadak tidak berfungsi.
"Vale!" Valesa menoleh mencari suara Jane yang memanggilnya, gadis itu ada di sana, berdiri di pinggir lapangan olahraga.
Tubuh Valesa mendadak dingin, menggegam tangannya erat.
"Vale! Kau penyelamat ku!" Jane berlari kearah gadis itu, merentangkan tangan bergerak memeluk Valesa.
Memaksakan senyumannya, Valesa berusaha tenang.
"Ah, ya Vale, ini senior kita, Kak Bryan. Demi Tuhan, dia akan membantu kita untuk project kelompok. Baik sekali bukan." Jane bwrujar, memperkenalkan sosok pria disebelahnya.
Pria itu tersenyum, menatap Valesa dengan tatapan ramah.
"Ah kita bertemu lagi, sungguh kebetulan. kita tidak sempat berkenalan bukan kemarin? Aku Bryan."
Menahan nafasnya, suara Valesa mendadak sulit keluar.
"Va-Valesa." menyambut uluran tangan itu, kulit nya bersentuhan dengan telapak tangan dingin itu lagi.
"Kali sudah pernah bertemu?" Jane mengerinyitkan dahinya. Menatap bingung kearah Valesa meminta penjelasan.
"Ya, tidak sengaja temanmu merusak makan malamku, jadi dia menggantinya." Bryan menjelaskan santai, menyorot gadis yang menunduk tidak menjawab.
"Ngomong-ngomong makanan semalam sangat lezat, aku bahkan masih bisa merasakan rasanya dilidahku. Mungkin kau bisa membaginya padaku lagi kapan-kapan. " nada ramah itu kembali terdengar.
"Tentu saja, Valesa memang pandai memasak. Aku yakin dia tidak akan keberatan membawakan masakannya saat Kakak membantu kami nanti." Jane berujar semangat, demi Tuhan sang senior mau melihat project mereka sebentar saja sudah merupakan berkah, apalagi jika dia bisa membantu kedepannya, project kali ini dari seorang dosen Killer, yang tidak akan segan-segan menggagalkan bila ia rasa kurang sempurna.
Dan Bryan adalah salah satu senior yang berhasil mengerjakan tugas tersebut dengan terlalu sempurna sampai sang Dosen tidak berhneti memujinya disetiap kelas yang ia masuki.
-------->
Part dua muheheheheheheh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top