BAB 2 : Badai Tornado
Matahari bersinar terik, menampilkan langit berwarna biru tanpa awan. Di bawah teriknya mentari, seorang gadis muda berdiri diam dengan mata tertutup. Satu tangannya menggenggam sebuah pedang bermata ganda sedang tangan lainnya menggenggam sebuah perisai kecil.
"Ujian sertifikasi pedang tunggal tingkat 5 Putri Raine Salvatine dimulai sekarang!" Setelah kalimat tersebut dilontarkan, suara gendrang ditabuh terdengar.
Raine perlahan membuka kelopak matanya. Baru saja Raine sepenuhnya membuka mata, dia merasakan serangan dari sisi belakang. Spontan Raine berbalik dan menangkis pedang itu dengan pedangnya sendiri.
Pemuda yang menyerangnya mundur dua langkah. Wajah pemuda itu ditutup dengan masker berwarna hitam senada dengan pakaiannya. Irisnya yang berwarna abu-abu mengawasi Raine dari atas hingga bawah. Matanya dengan tajam mencari celah yang mungkin dilakukan oleh lawannya.
Raine tidak menunggu lawannya untuk menyerang. Dia bergerak ke depan dan menusukkan pedangnya pada pemuda itu. Dengan lihai, pemuda tersebut menangkis pedang Raine.
Raine tidak membiarkan dia beristirahat dan terus menyerang dengan satu tangan. Satu tangannya yang masih menggenggam erat perisai hanya digunakan untuk menyeimbangkan tubuhnya.
Di luar lapangan, terdapat beberapa orang yang tengah memperhatikan jalannya ujian. Mereka hampir tidak berkedip setiap kali pedang Raine dan pemuda itu saling bertemu.
"Vemore, bagaimana menurutmu?" tanya seorang pria paruh baya yang sama sekali tidak bergerak kala menonton pertandingan.
"Putri bertanding dengan sangat baik. Tidak ada anak seusianya yang memiliki pencapaian seperti beliau. Ketangkasannya sangat bagus, ayunan pedangnya juga bertenaga. Karena beliau perempuan, tubuhnya juga lebih lentur dari prajurit yang lain. Bagaimana menurut Anda, Yang Mulia?" Vemore kembali bertanya pada orang di sebelahnya.
"Ya, kau benar. Sayangnya kekuatannya masih terbatas. Ayunan pedangnya tidak cukup bertenaga untuk menghempaskan lawan dalam satu ayunan. Kirimkan satu penyerang lagi!" Dia memberikan perintah dengan tegas. Intonasi berbicaranya pelan, tetapi penuh tekanan. Setelah mengatakan hal itu, seorang prajurit dengan pakain serba hitam langsung menuju lapangan.
Vemore menundukkan kepala. Dia mencatat beberapa hal pada kertas yang sedari tadi dia pegang. Setelah selesai, pria itu kembali menoleh ke lapangan.
Mata coklatnya menatap lapangan dengan pandangan teduh. Terdapat kebanggaan kala melihat Raine yang tengah bertanding dengan dua orang prajurit. Walaupun gadis itu masih kekurangan kekuatan, tetapi dia bisa memanfaatkan kelebihannya dengan sangat baik. Bagi Vemore itu sudah lebih dari cukup.
Sebagai guru pedang Raine, Vemore melihat sendiri perkembangan putri pertama Lithernia. Muridnya itu adalah seorang genius yang tidak pernah ditemukan. Hanya dalam tujuh tahun, dia sudah mendapatkan sertifikat tingkat lima ... hampir mendapatkan. Setidaknya Vemore yakin hari ini sang putri akan mendapatkannya.
Vemore menengadahkan kepalanya ke langit yang cerah. Pikiran pria itu berkelana ke waktu tujuh tahun yang lalu. Ketika itu sang putri masih sangat kecil. Dia tidak memahami apa yang ada di pundaknya dan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya kelak. Namun, kelahiran adiknya membuat semua berubah.
Vemore masih sangat ingat. Hari itu ibu kota Lithernia—Astuoni Demonai—mengalami badai yang besar. Angin topan berputar di seluruh penjuru gerbang ibu kota. Jika bukan karena pertolongan dari raja tanah yang mati, mungkin ibu kota akan mengalami kerugian besar.
Ibu kota kala itu ditutupi kegelapan. Langit berwarna kelabu, tidak jelas siang atau malam. Di luar tembok ibu kota, angin topan perlahan semakin membesar dan pergerakannya semakin liar. Jika tidak secepatnya diatasi, tidak lama lagi ibu kota sedikit atau banyak akan mengalami kerugian.
Kaisar berjalan mondar-mandir dengan cemas di istana. Dia sudah mengirim orang agar pergi ke Aurora—ibu kota negara bagian Preventin—untuk mencari bantuan. Namun, sayangnya sampai sekarang masih tidak ada tanggapan dari mereka.
"Yang Mulia, tolong istirahat sejenak. Anda belum beristirahat sejak kemarin," ujar Vemore memohon.
Cornelio—Kaisar Lithernia—menggeleng. Dia tidak bisa istirahat. Di luar ibu kota, angin topan masih mengganas dan nyawa puluhan ribu rakyatnya sedang dipertaruhkan. Di lain sisi istrinya tengah berjuang untuk melahirkan sehingga dia tidak bisa sembarangan mengirim penyihir untuk keluar gerbang kota.
Masih berusaha membujuk Cornelio untuk beristirahat, suara ribut-ribut di luar ruangan mengalihkan atensi Vemore.
"Hamba permisi keluar dulu, Yang Mulia. Anda istirahat saja dahulu di sini," ujar Vemore lembut. Setelah mengatakan itu dia pergi keluar ruangan.
Vemore seketika bergeming kala melihat kekacauan di luar. Prajurit yang ditempatkan untuk melindungi istana sudah terbaring tak berdaya. Tidak ada yang meninggal, tetapi rata-rata dari mereka sudah tak sadarkan diri.
"Siapa yang membuat kekacauan ini?" Vemore bertanya lantang. Dia langsung mengambil pedang dari salah satu prajurit yang tak sadarkan diri dan berjalan menyusuri lorong.
"Aku. Apakah ada masalah?" Dari salah satu lorong, muncul seorang pemuda berusia pertengahan 20-an. Tatapannya tajam, wajahnya tanpa ekspresi. Pemuda itu merapikan jubah hijau tuanya dan berjalan mendekati Vemore.
"Ah?" Vemore kembali bergeming. Pikirannya mendadak kosong.
Pemuda itu tidak repot-repot mengurus Vemore yang masih mematung dan berjalan memasuki ruangan. Tidak lupa dia membuka pintu dengan keras ... hampir saja menghancurkan pintu ruangan yang malang.
"Vemore, kenapa kau harus membuka pintu sekeras ...." Perkataan Cornelio menggantung di udara kala melihat pemuda yang membuka pintu.
"Aku bukan Vemore, Yang Mulia," ujar pemuda itu santai lalu duduk di sofa terdekat.
Vemore di luar ruangan kembali ke kesadarannya. Dia buru-buru masuk ke dalam ruangan dan menodongkan pedangnya ke pemuda tersebut.
"Tunjukkan sopan santunmu pada Yang Mulia Kaisar, Anak Muda. Kau telah membuat kekacauan di istana dan sekarang bertingkah laku seolah istana ini rumahmu?" Vemore menatap tajam. Pedangnya semakin menempel di leher pemuda itu.
"Vemore, turunkan pedangmu sekarang! Dia Raja Althera, tunjukkan hormatmu padanya!" Cornelio memijat pelipisnya. Bagaimana bisa ada kekacauan seperti ini di tengah-tengah kekacauan yang terjadi.
Vemore menatap kosong begitu mendengar perintah Cornelio. Dia dengan cepat mengembalikan kesadarannya dan segera menurunkan pedangnya.
"Maafkan kelancangan hamba," ujar Vemore begitu berlutut.
"Lupakanlah. Tidak perlu formalitas seperti itu," ujar pemuda itu. Dia menyandarkan tubuhnya di sofa kemudian lanjut berbicara, "Ketika aku ke sini, kulihat ada badai yang sedang mengamuk di luar ibu kota. Aku tidak bisa menghentikan badai, jadi aku mengurung ibu kota. Untuk sementara sampai badai berhenti, semua orang harus bersedia hidup dalam kegelapan."
Cornelio mengerjap. Dia buru-buru keluar ruangan dan melihat keluar jendela. Benar saja, keadaan kota gelap gulita sebagaimana malam tanpa bintang. Di langit, sebuah kubah besar dari akar tanaman yang saling melilit menyelimuti seluruh kota. Embusan angin dari badai di luar tidak lagi mengancam kota.
"Syukurlah masalah ini teratasi." Cornelio mengembuskan napas lega; tangannya menggenggam erat kusen jendela. Dia tersenyum melihat kota setidaknya aman untuk sementara.
Cornelio tidak berlama-lama di sana dan kembali ke dalam ruangan. Dia melihat penyelamat ibu kota tengah memejamkan mata bosan.
"James, bagaimana caraku berterima kasih untuk ini?" tanyanya penuh syukur.
"Tidak perlu. Aku hanya melakukan tugasku," jawabnya acuh tak acuh. Dia membuka mata, kemudian menoleh ke arah ruangan lain tempat sang permaisuri bersalin.
Cornelio mengikuti arah pandangnya. Satu pertanyaan tiba-tiba terlintas di benaknya. Apa yang membuat James Althera, raja dari tanah yang mati keluar dari wilayahnya dan datang ke istana? Jika bukan karena dipanggil, pemuda itu tidak pernah bersedia keluar dari wilayahnya.
"Apa yang membuatmu datang ke sini? Jangan salah paham. Aku senang kau datang, tetapi mengingat kepribadianmu ... tidak mungkin kau datang tanpa alasan yang jelas." Cornelio bertanya lembut. Dia turut duduk di samping James.
"Bukankah Permaisuri Annea akan melahirkan? Aku datang karena ingin mengunjunginya," jawab James dengan santai. Dia mengalihkan pandangan ke arah Vemore yang masih setia berlutut dan tersenyum.
Cornelio menyandarkan tubuh ke sofa. Dia menganggukkan kepala dan memejamkan mata. "Benar, Putraku sebentar lagi akan lahir."
James mengernyit. Dia menoleh ke arah Cornelio lantas berujar, "Yang Mulia, bagaimana Anda bisa berkata dengan yakin seperti itu? Bagaimana jika anak itu perempuan dan bukannya laki-laki?"
"Itu harapanku James. Hanya harapan dan keinginanku," jawab Cornelio sembari menatap putrinya yang tengah tertidur di sofa yang lain. Mendengar hal itu, raut wajah Cornelio terlihat sayu. Dia lalu melanjutkan. "Aku sangat menyayangi putriku, James. Aku ingin memberikan dia segalanya. Aku yang seorang kaisar ini ingin membuat putriku bahagia tanpa memikirkan apa pun."
"Anda terlalu memanjakan dia hanya karena kejadian langka, Yang Mulia. Yah, dia memang perempuan pertama dalam sejarah Salvatin dan Anda ingin memanjakannya hanya karena legenda kuno? Ya ampun, jika seperti itu, dia tak akan cocok mewarisi takhtamu kelak." James menggelengkan kepala.
Terdapat sebuah legenda di Lithernia. Konon katanya klan Salvatin—klan yang menjadi keluarga kerajaan—hanya akan memiliki satu anak laki-laki tanpa seorang putri. Dari kerajaan berdiri hingga sekarang kenyataan itu tidak pernah berubah. Karena hal ini politik di istana selalu damai. Tidak pernah ada pertikaian sama sekali. Namun, kenyataan itu berubah enam tahun yang lalu ketika Raine lahir.
Kelahiran anak perempuan yang pertama menggemparkan seluruh kerajaan. Jika bukan karena rambut dan iris matanya yang ungu, mungkin tidak ada yang mempercayai dia seorang Salvatin.
"Kau akan mengerti ketika engkau telah menjadi seorang ayah, James. Pikirkanlah usiamu sekarang. Kau tidak pernah keluar dari wilayahmu dan tidak pernah bertemu siapa pun. Sampai kapan kau mau melajang?" Cornelio membuka matanya. Dia menatap James dengan khawatir.
"Aku masih muda." James mengalihkan wajahnya ke tempat lain. Beberapa saat kemudian, dia berkata, "Ah iya. Tujuanku datang ke sini bukan hanya untuk mengunjungi Permaisuri. Ada yang harus kukatakan. Badai di luar sepertinya berhubungan dengan kelahiran anak kedua Anda, Yang Mulia. Aku merasakan firasat aneh seperti tiga tahun lalu waktu Slayera murni lahir. Jadi ...."
Cornelio menggenggam erat pegangan sofa. Dia menatap James dengan tidak percaya. Dahinya berkerut dan alisnya tertaut.
"Apa maksudmu? Anak keduaku tidak akan menjadi Preventin murni, 'kan?" tanya Cornelio memastikan.
"Aku ke sini untuk memastikan hal itu." James menjawabnya dengan pelan.
Suasana berubah menjadi sunyi. James berdiri dan berjalan mengelilingi ruangan. Dia melihat berbagai tanaman dan pajangan yang menghiasi ruangan itu.
"Enam tahun yang lalu sebelum wilayahku berubah menjadi tanah yang mati, aku merasakan firasat aneh itu. Sejak saat itu, aku menjadi tidak nyaman. Setiap kali perasaan itu muncul, aku selalu terbayang-bayang akan ada lagi tanah yang hancur." James terdiam sejenak. Dia mengambil sebuah pedang bermata satu yang menjadi pajangan.
"Aku sangat bersyukur tiga tahun lalu ternyata firasat aneh itu membawa kebahagiaan. Seorang Slayera murni lahir. Bukankah itu bagus? Lalu sekarang, aku merasakannya lagi. Aku hanya ingin memastikan apakah kali ini ada keturunan murni yang lahir atau ada penyerangan lagi dari para iblis? Kuharap jawabannya yang pertama karena itu jauh lebih baik dari apa pun," ujarnya melanjutkan. Dia meletakkan kembali pedang itu dan menatap lurus ke arah Cornelio.
Vemore mengingat jelas setiap detail percakapan saat itu. Hal itu karena setelahnya terbukti Annea melahirkan seorang Preventin murni. Sejak saat itu, Raine langsung berada di bawah pelatihan Vemore untuk bisa menguasai pedang.
Kini sudah tujuh tahun berlalu. Putri yang sebelumnya hanya seorang anak kecil tanpa pengetahuan apa pun sekarang sudah mendapatkan sertifikat tertingginya dalam ilmu pedang tunggal.
Vemore tersenyum menatap Raine yang tengah berdiri di tengah lapangan. Senyuman gadis itu begitu cerah. Dia mengangkat tinggi pedangnya. Tidak ada satu pun luka di tubuhnya. Sedangkan di sekitar gadis itu, dua orang prajurit sudah berlutut memberikan hormat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top