BAB 1 : Kekacauan Dunia Bawah

Dalam kegelapan yang menyelimuti sang malam atau siang yang enggan memberikan sinarnya; dalam kedalaman dunia bawah, kau tak akan mendapat cahaya. Namun, walau mentari tak cukup kuat untuk menuju kedalaman dunia bawah, di sana tidak terselimut kegelapan sepenuhnya. Api abadi menerangi daerah itu. Siang maupun malam, tak akan ada bedanya di sana.

Keadaan di Nether, satu-satunya kerajaan di dunia bawah, tidak pernah baik. Dasar samudra yang mereka sebut langit berwarna hitam karena tidak tertembus cahaya matahari. Udaranya berwarna coklat kemerahan sebagaimana warna besi yang berkarat. Tidak tertinggal aroma karat yang tercium sejauh mata memandang.

Di sana terdapat gunung yang menjulang tinggi hingga menembus samudra. Gunung itu sangat besar dan kokoh hingga bisa bertahan dari guncangan apa pun. Di gunung itu, ribuan ras roh telah berdiri di sana selama tiga belas tahun.

Di belakang mereka, seorang pemuda berjalan mengawasi. Mata pemuda itu yang sewarna merah darah menatap mereka dengan tajam.

"Cepat selesaikan!" Dia membentak. Tangannya mengayunkan cambuk berduri yang sedari tadi dia genggam.

"Tuan Agares, kami kelelahan. Mohon sedikit pengertianmu untuk membiarkan kami beristirahat," ujar seorang roh yang wajahnya kini begitu pucat. Tubuh roh itu mulai transparan seiring dengan daya kehidupannya yang menghilang.

Agares menatap dingin. Satu tangannya yang bebas langsung mencengkam leher roh itu. Kuku-kukunya yang tajam menembus kulit si roh yang kini telah mulai transparan.

Dia mengangkat roh itu dengan satu tangan. Suara rintihan terdengar begitu pilu. Si roh tidak bisa protes maupun bersuara. Napasnya terasa sangat sesak. Ketika dia merasa akan mati tercekik, Agares melemparnya dengan kuat hingga menabrak samudra. Seketika itu juga lapisan yang memisahkan antara samudra dan Nether berpendar dan tubuh roh itu hilang sepenuhnya.

"Jika kalian tidak bisa melepaskan segel ini tanpa mati, maka matilah!" serunya dingin. Di setiap kata-katanya seolah terasa pisau es yang menusuk sukma.

Para roh itu gemetar ketakutan. Mereka kembali mengeluarkan divina ke lapisan yang menyegel Nether dari luar.

Dengan cambuk di tangannya, Agares kembali berkeliling. dia mengayunkan cambuk berduri itu terus ketika melihat ada roh yang divina-nya melemah.

"Sudah tiga belas tahun, tetapi kau belum bisa melepas segel yang mengunci dunia bawah. Dasar pecundang." Sebuah suara perempuan mengalihkan atensi Agares.

Pemuda itu berbalik, menatap gadis yang tengah berdiri di hadapannya dengan tangan yang terlipat di depan dada. Mata merahnya menatap Agares dengan pandangan remeh.

Agares melirik perempuan itu sejenak. Namun, dia segera kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia berjalan menjauhi perempuan itu, kembali berkeliling dan sesekali mengayunkan cambuk. Agares sepenuhnya mengabaikan perempuan itu.

Wajah si perempuan merah padam. Dia berjalan seraya menghentakkan kaki dengan kuat di tanah. Rambut keritingnya yang berwarna merah bergoyang seirama langkah kakinya.

"Dasar iblis rendahan!" Dia mengumpat.

Agares menghentikan langkah. Dia berbalik kemudian berujar, "Oh? Seingatku kita memiliki gelar yang sama. Jika aku iblis rendahan, maka kau juga iblis rendahan. Selamat atas betapa rendahnya dirimu, Aretha."

"Ka-kau!" Aretha tergagap. "Jangan sombong Agares! Kau mengira posisimu ini sama denganku? Kau hanyalah putra dari seorang pengkhianat yang bahkan tidak bisa membangkitkan kekuatan jiwanya!"

Agares menaikkan alisnya. Dahi pemuda itu mengkerut. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikir gadis itu.

"Bukankah ini bukti aku lebih hebat darimu? Bahkan tanpa perlu membangkitkan kekuatan jiwaku saja, aku sudah memiliki jabatan yang sama denganmu. Bagaimana jika kekuatan jiwaku bangkit? Mungkin sekarang kau harus berlutut ketika berbicara denganku." Agares menggelengkan kepala.

Aretha semakin kesal mendengar perkataan Agares. Apa pun yang dia katakan, Agares selalu bisa membalikkan kata-katanya. Kalaupun tidak, pemuda itu hanya akan mengabaikannya. Yang jelas, apa pun yang Agares lakukan kerap berhasil membuatnya marah.

"Jangan sesumbar. Kita sekarang memang memegang jabatan yang sama. Namun, peringkatku berada di atasmu!" Aretha berseru marah.

Pemuda yang menjadi objek kekesalan Aretha hanya bisa mengernyit bingung, lagi dan lagi. Dia tidak pernah bisa mengerti jalan pikir gadis ini.

"Dengar, jika kau tidak punya urusan denganku, sebaiknya kau pergi sekarang. Aku tidak punya waktu luang sepertimu yang tengah berada dalam masa hukuman karena kegagalan saudaramu tiga belas tahun yang lalu. Lihatlah aku. Sekarang aku harus membersihkan sampah yang dibuat oleh Amerta." Setelah selesai berbicara, Agares berjalan meninggalkan Aretha. Dia tidak mau repot-repot menanggapi seorang iblis muda yang bahkan belum berusia seribu tahun.

Aretha mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Kuku tajam gadis itu menusuk telapak tangannya. Iris merah gadis itu menatap Agares dengan penuh kebencian dan rasa iri.

Agares ... dia seorang iblis yang merupakan putra dari pengikut raja yang sebelumnya. Namun, dikarenakan ketakutan pemuda itu akan kematian, dia memohon pada Ratu untuk membiarkannya hidup dan bersumpah setia. Sayangnya, setelah bersumpah setia kekuatan jiwanya tidak bisa dibangkitkan. Hal itu menyebabkan banyak orang merendahkannya, mengolok-oloknya, menghinanya.

Tanpa mereka duga, orang yang mereka olok-olok berhasil menjadi salah satu dari tiga belas jenderal.

Baru beberapa langkah dia berjalan, pekerjaannya lagi-lagi terhenti ketika seorang iblis rendahan datang mendekat. Wajah Agares langsung tidak sedap dipandang. Dia tidak punya banyak waktu luang, tetapi kini bahkan iblis rendahan pun turut mengganggunya.

"Sekarang apa lagi? Kalau kau tidak punya alasan bagus, aku akan melemparkanmu untuk melepas segel itu!" Agares berujar kesal.

"Maaf Tuan Agares, tetapi Yang Mulia Ratu memanggil Anda untuk segera menghadap." Tanpa menunda lebih lama, dia langsung berlutut dan menyampaikan pesannya.

Agares terdiam sejenak. Dia mengangguk dan melambaikan tangannya untuk menyuruh iblis rendahan itu pergi. Setelahnya, dia kembali melihat ke arah kumpulan roh yang tengah menghancurkan segel.

"Kalian dengar? Ratu telah memanggilku. Kalau kalian tidak bekerja keras, saat aku kembali mungkin kalian semua akan dikorbankan. Jadi cepat hancurkan segelnya!" seru Agares memberi perintah. Setelahnya dia langsung bergerak menuju istana.

Istana Clareth—istana kediaman sang ratu—bernuansa sama sekali berbeda dengan di gunung. Di sana sunyi dan senyap nyaris tak bersuara. Hanya suara bara yang terbakar yang dapat terdengar jelas di istana megah berwarna merah darah.

"Hormat hamba kepada Ratu Astareth, permata Nether," ujar Agares dengan suaranya yang dalam.

Di hadapannya seorang wanita duduk dengan angkuh di singgasana. Pakaiannya serba berwarna hitam dan kulitnya putih pucat. Satu-satunya yang berwarna dari dirinya hanyalah bibir, iris mata, dan rambutnya.

"Kapan penghancuran segel itu akan selesai? Fenicia itu telah dilahirkan. Kau harus segera melepaskan segel itu untuk pergi ke dunia atas dan membunuhnya." Astareth bertanya tanpa melihat Agares. Pandangannya masih terfokus pada seorang gadis berambut kuning yang tergeletak tak berdaya di sudut ruangan.

Agares refleks menoleh ke arah pandangan Astareth. Hanya sebentar dan dia kembali menundukkan pandangan.

"Satu tahun lagi, Yang Mulia," jawabnya tanpa ragu.

"Jadikan itu satu minggu. Aku tidak ingin terlalu banyak waktu yang terbuang." Astareth langsung merespon jawaban Agares dengan enteng.

Agares menelan ludah. Dia menundukkan kepala serendah-rendahnya.

"Yang Mulia, itu mustahil dilakukan," jawabnya pelan.

Astareth mengalihkan pandangan. Dia menatap Agares dingin. Wanita itu bangkit dari duduknya. Dia lalu berjalan menuruni singgasana dan mencengkam leher Agares.

"Apa aku pernah mendengar penolakan?" tanyanya dingin.

Agares dengan susah payah menelan saliva.

"Kita tidak memiliki ... cukup sumber ... daya, Yang Mulia. Kegagalan tiga belas ... tahun lalu terlalu besar ... untuk diremehkan. Daripada menggunakan ... mereka untuk membuka segel, lebih baik ... digunakan dalam ... pasukan pembantaian," ujar Agares terputus-putus.

Astareth terdiam untuk sejenak. Dia tahu apa yang Agares katakan itu adalah hal yang sebenarnya. Belum lagi fakta bahwa anak yang lolos dari pembantaian tiga belas tahun yang lalu pasti kini telah dewasa. Namun, dia terlalu sulit untuk menerima hal itu.

"Satu ... bulan," ujar Agares melanjutkan.

"Apa?" Mendengar perkataan Agares, Astareth melonggarkan cengkamannya.

"Berikan hamba waktu satu bulan, Yang Mulia. Hamba akan segera melepas segelnya dan pergi ke dunia atas," ujar Agares lagi. Dia menjadi lebih lega dan lebih lancar berbicara ketika Astareth melonggarkan cengkamannya.

Astareth kembali terdiam untuk beberapa saat. Setelah memikirkan untung dan ruginya, dia kemudian melepaskan Agares. Wanita itu lalu kembali ke singgasananya dan duduk.

"Baiklah. Satu bulan dari sekarang, tepat 30 hari, tidak boleh lebih! Sekarang pergilah," ujarnya acuh tak acuh.

"Hamba pastikan sebulan dari sekarang kita siap menyerang Fenicia, Yang Mulia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top