Yang Terbaik?
Arjuna menemaniku tidur. Ia ada di satu ruangan denganku, tapi tak berniat menyentuh rambutku atau membisiku kalimat menenangkan. Arjuna berdiri di ambang ranjang. Memperhatikanku dalam diam.
Aku yang tak tega melihat Arjuna langsung pura-pura tidur. Aku tau dia lelah serta mengantuk. Tak mau membiarkannya berada di posisi itu aku pun berakting.
Begitu Arjuna meninggalkan kamar aku langsung menegapkan tubuh. Aku belum bisa tidur dan harus mencari kesibukan supaya merasa lelah. Kalau lelah dipastikan aku bisa mengistirahatkan badan serta pikiran.
Aku sangat berharap jika mata ini mau terpejam. Aku berharap kedua manik indah ini mau beristirahat meski sebentar. Tapi kenyataanya kedua manikku masih terbuka hingga matahari datang!
Aku memperhatikan gambaran diri melalui meja rias. Aku meraba kelopak mata bagian bawah. Sedikit menghitam. Shit.
Aku membuka kotak rias. Mengambil beberapa peralatan tempur untuk memperbaiki penampilan burukku. Aku merias diri sedemikian rupa. Sepuluh menit kemudian selesai.
Dirasa cukup aku melangkahkan kaki keluar kamar, menuruni anak tangga.
Singkat cerita saat ini aku sudah bergabung di meja makan. Dan tunggu dulu. Sepertinya ada tambahan anggota pagi ini.
"Audri, kenalin Mbak Zee. Istrinya Mas Alfa," ucap Mama mengenalkan.
Jadi dia istrinya mas Alfa? Untuk yang pertama kalinya aku bertemu dengannya. Hell, dulu waktu Mas Alfa menikah aku belum sedekat ini dengan keluarga kandungku.
Aku menghampiri Mbak Zee lalu cipika-cipiki. "Salam kenal, Mbak Zee," ucapku.
"Salam kenal juga, Dri!" balasnya ceria.
Mbak Zee memintaku duduk di sebelahnya. Ia mengajakku ngobrol. Mbak Zee seakan punya banyak topik menarik untuk dibahas. Aku tidak tahu apakah ini cara mendekatkan diri atau memang dasarnya Mbak Zee suka bicara. Ia seakan tak memberiku kesempatan menikmati sarapan.
Aku yang tadinya antusias ngobrol dengannya lama-lama merasa kurang nyaman.
"Kamu kerja di mana, Dri?" tanya Mbak Zee menganti topik entah untuk yang ke berapa kali.
"Di perusahaannya Mas Arjuna," jawabku melirik Arjuna yang sedari tadi sibuk mengumbar kemesraan dengan istrinya.
Walaupun Mbak Zee mengajakku bicara, tapi diam-diam aku mencuri pandang pada Arjuna. Manik kami sempat bertemu, tapi tak bertahan lama karena Arjuna memilih mengakhirinya.
Mbak Zee ber-oh ria. Setelahnya ia tidak melanjutkan perbincangan lagi karena Mas Alfa datang bersama seorang anak kecil.
Tunggu dulu. Anak kecil, kataku?
Artinya suara tangisan balita yang kudengar semalam benar-benar nyata?
"Audri?" sapa Mas Alfa sesudah menyerahkan bocah berkisar berusia tiga tahunan itu pada Mbak Zee.
Aku mengulum senyum. Kakak kandungku mendekat dan mendekap tubuhku erat. Ini dia pelukan yang kurindukan sejak lama.
"Kangen banget sama kamu," ungkap Mas Alfa menahan haru.
Mas Alfa melepas pelukan dan berganti menatapku lekat. Senyumnya terukir. Air beningnya mulai menetes. Aku tidak ingin Mas hebatku menangis. Karenanya aku langsung menghapus air mata berharganya.
"Banyak waktu yang seharusnya kita habiskan bersama, tapi nggak bisa terlaksana," katanya.
Ingatan tentang masa kecil kami terputar di memori. Ingatan tentang Mas Alfa menjagaku dan Audi. Tak sekalipun ia meninggalkan kami.
Aku masih ingat jika Mas Alfa pernah memukul anak nakal yang mengangguku di tempat bermain.
Mas Alfa langsung mendorong tubuh anak yang menarik rambutku hingga terjatuh.
Si Anak itu tak terima langsung mengadukannya pada Ibunya. Selanjutnya bisa ditebak; Mas Alfa yang hanya membela adiknya terpaksa menerima hukuman dari Mama.
Aku dan Audi tidak tega melihat Mas Alfa kena hukum memilih bergabung untuk menanggungnya bersama. Kami menghabiskan waktu di dalam kamar—saat itu hukuman Mas Alfa adalah tidak boleh ke luar kamar hingga pagi. Melihat kekompakan anak-anaknya Mama jadi tidak tega. Beliau datang lalu memeluk kami sembari mengucap maaf.
Masa itu... Aku jadi merindukan kebersamaan kami dulu.
"Papaku!" balita yang ada dipangkuan Mbak Zee berontak.
Gadis kecil yang memakai baju berwarna kuning itu turun dan berusaha melepaskan pelukan si Ayah dari tubuhku.
"Papaku! Huhuhu." dan tangisnya pecah.
Sebelum melepas pelukan Mas Alfa lebih dulu mengecup keningku cukup lama. Ia juga berkata; "Nanti kita jalan ya. Kita harus menghabiskan waktu bersama."
Pelukan terlepas.
Aku kembali menikmati sarapan yang sempat tertunda. Diam-diam aku memperhatikan orang yang ada di ruang ini. Ayah-Mama, Audi-Arjuna, Mas Alfa-Mbak Zee. Mereka sibuk dengan obrolan masing-masing.
Aku tersenyum miris.
Nggak ada pengaruhnya kehadiran lo di sini, Dri. Lo masih sama. Sama-sama nggak dianggap kehadirannya.
...
"Dri kenapa? Lemes amat?" Vella membawa kursinya di sampingku.
Aku merasakan apa yang dikatakan Vella; lemas dan tak bersemangat. Padahal beberapa menit yang lalu aku sudah minum satu cangkir kopi hitam. Kopi itu tak memberikan dampak apa-apa. Atau mungkin kopi yang kuminum kurang. Mungkin aku harus mengonsumsi segelas lagi?
"I need more coffe, Vee. Wait ya gue bikin dulu." aku beranjak dari kursi meninggalkan Vella.
Aku berjalan menuju pantry untuk membuat kopi hitam kental. Aku tidak bisa begini terus-terusan. Sedari tadi pagi aku tidak fokus mengerjakan tugas laporan sama sekali. Pikiranku melayang ke mana-mana.
Aku juga merasa tidak tenang. Khawatir tak berkesudahan. Entah apa yang ku khawatirkan tidak tahu.
Aku terlalu sibuk mengaduk kopi dalam gelas sampai tak sadar bahwa ada seseorang di sekitarku.
"Jangan kebanyakan minum kopi. Nggak baik buat kesehatan," petuah Yuda.
Aku tak pernah tertarik ngobrol dengan cowok itu. Biarkan ia berbicara sendiri.
"Are you okay?" tanyanya mendekat ke arahku.
Aku sudah selesai mengaduk kopi langsung mengeluarkan sendok dari dalamnya. Aku memilih pergi dari pantry meninggalkan si cowok payah sendiri. Anehnya Yuda tak berniat mengejar atau memberikan petuahnya lagi. Mungkin ia lelah mengejar hal yang tak pasti.
Aku kembali ke ruang kerja. Duduk di kursi dan mencoba fokus sembari menyesap kopi. Tetap tidak bisa. Aku sama sekali tak bisa fokus!
Hasilnya aku hanya bisa diam tak melakukan apapun. Bukannya bekerja aku malah memainkan ponsel.
Tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk menghubungi Dru.
Me: Mas Dru nanti jemput aku, ya!
Me: Mas Dru aja yang jemput. Ukhti-Ukhti yang kemaren nggak udah diajak.
Send. Centang dua.
Oh iya tadi pagi aku masih nebeng Arjuna. Bedanya tadi ia mengantarkanku lebih dulu kemudian mengantar istirnya. Aku dan semua orang tahu bahwa hal itu membuang-buang waktu. Tapi bagi Arjuna lebih baik buang waktu daripada satu mobil denganku.
Dru: balik jam berapa?
Tumben dia langsung membalas pesanku?
Me: setengah lima.
Me: tapi lo jemputnya jam 4 aja. Gue nggak mau nunggu kayak kemarin ya!
Aku sengaja minta jemput Dru karena Arjuna tidak mungkin memberikan tumpangan pulang. Mungkin mulai besok aku akan membawa mobil sendiri.
Dru: iye nanti gua jemput lu.
Me: gosah ajak ukhti-ukhti yg kemaren itu ya.
Dru: Y
Endru sialan!
...
Saat semua karyawan/ti pulang tinggalah aku di ruangan ini. Aku tidak tahu jika tugas yang kutangani ini harus selesai besok. Karena tidak mau keteteran besok pagi aku memilih menyelesaikannya sekarang.
Persetan dengan Dru. Biarkan saja ia menunggu. Anggap saja ini balasan karena kemarin Dru sudah membuatku menunggu. Impaskan?
Aku fokus pada kerjaan. Aku mengabaikan puluhan panggilan dari Dru, awalnya. Tapi ketika membaca satu pesan berisi ancaman aku jadi kelimpungan. Aku juga terpaksa menerima panggilan darinya.
"Lo ngerjain gue, ya?" tuduhnya begitu panggilannya kuterima.
"Apaan?"
"Lo diem-diem udah pulang, kan? Nggak lucu ya! Gue udah nunggu lo selama sejam lho!" katanya.
Aku terkekeh pelan. Rasakan itu, Dru!
"Shit gue dikerjain beneran ya? Taik. Gue balik sekarang!"
"Eh, tunggu-tunggu! Enak ae lo mau pulang," cegahku. "Gue beneran masih di atas, Dru. Masih ngerjain sesuatu," lanjutku memberitahu.
"Kalau lo masih lama gue balik sekarang. Nanti gue jemput lagi atau gue pesenin ojek deh," katanya.
Aku menggeleng. Tidak mau ditinggalkan pun tak mau naik ojol.
"Lima menit lagi gue turun," kataku.
"Ck—"
"Lima menit janji. Kalau lo beneran tinggalin gue gue jamin malemnya lo nggak bakal tidur nyenyak. Jangan ganggu lagi gue kelarin dulu kerjaanya. Bhay!"
*Tuttuttut*
Panggilan kuputus sepihak. Aku sedikit merapikan kerjaan sebelum akhirnya memilih menyimpan lalu mematikan komputer. Karena sudah beres aku langsung bergegas meninggalkan ruangan.
Aku masuk lift menuju lobi. Setelah sampai di lantai bawah aku langsung mencari mobil Dru dan ketemu!
Aku sedikit berlarian kecil seperti orang yang takut ketinggalan kereta.
"Huh. Huh. Huh." terdengar napas tak beraturanku.
"Lo telat dua detik. Untung gue belum balik," kata
Dru menyalakan mesin mobil ketika aku sudah duduk di sampingnya.
Aku lebih memilih mengatur napas daripada meladeni perkataan Dru.
Mobil berjalan meninggalkan gedung. Sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang berarti. Bisa dikatakan tak ada obrolan sama sekali malah.
"Kalau gini kita kayak pasangan abg yang lagi nggak sapa-sapaan tahu!" kataku memulai obrolan.
"Gue diem karena lagi mikir," jawabnya.
Aku menoleh. Memiringkan badan. "Mikir apa?" tanyaku penasaran.
Ia diam. Lalu Dru menepikan mobil di pinggir jalan. Ia mulai menatapku. Tatapannya aneh. Tak bisa kuartikan.
"Gue mau menyampaikan sesuatu," awalnya.
Deg.
Alisku terangkat. "Apa itu?"
Sebelum menjawab pertanyaanku Dru lebih dulu menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia meraih tanganku. Demi Tuhan jantungku kembali berdetak kencang.
"Dri apapun yang gue sampaikan nanti lo terima ya?" katanya hati-hati.
"Apa? Jangan bikin gue deg-deg'an deh, Dru!"
"Gue nggak bisa lanjutin kerjasama kita," ungkapnya.
"Maksud lo?" responku.
"Sebelumnya gue minta maaf, Dri," ucap Dru lirih.
"Gue nggak bisa nerusin kerjasama kita," ulangnya sekali lagi.
Aku menarik tanganku dari Dru. "Iya. Kenapa?"
"Gue baru sadar kalau menjaga atau melindungi Audi bukan lagi tugas gue," jawabnya.
Mataku sontak terpejam.
"Apapun yang menyangkut Audi. Termasuk lo mau sakitin atau mau apain juga bukan urusan gue. Gue nggak mau ikut campur sama urusan Audi atau lo," katanya.
"Lo udah tega?" tanyaku.
Dru menatapku lekat. "Tega nggak tega. Gue harus ngelakuin ini karena apa yang terjadi padanya bukan urusan gue."
Seharusnnya Dru bersikap seperti ini sejak awal.
"Lagipua lo nggak akan tega nyakitin Didi. Nggak ada ceritanya seorang suadara menyakiti saudara kandungnya sendiri," tambahnya penuh keyakinan.
Aku tesenyum licik.
"Gue nggak peduli saudara atau bukan. Kalau dia berani usik gue artinya gue harus usik balik," kataku memberitahu.
Dru ikut tersenyum. "Dan gue mencoba tidak peduli."
Sialan!
"Alasan lain gue nggak bisa melanjutkan kerja sama ini adalah karena gue nggak bisa menjalin hubungan sama lo."
Dahiku kembali berkerut. Apa maksudnya?
"Gue nggak mau jadi orang munafik. Gue sadar banget kalau gue bukan orang baik. Begitupun lo.
"Lalu bayangin kalau kerjasama ini terus berjalan dan berhasil. Selanjutnya mau dibawa ke mana hubungan kita? Gimana jadinya kalau kita terus bersama-sama?" lanjutnya bertanya.
Kalimat Dru yang mengatakan bahwa aku dan ia sama-sama bukan orang baik berputar dipikiran.
"Katakan gue semaunya sendiri, tapi deh Dri. Kita butuh pasangan yang baik. Supaya apa? Supaya bisa membimbing kita ke jalan yang benar."
Aku tertampar.
"Gue—kita butuh orang seperti Lintang, Dri. Kalau gue sama dia masa depan gue akan—"
Aku menggeleng. Tak mau mendengar kelanjutan kalimat Dru. "Cukup," kataku menghentikan Dru.
"Maaf."
"Maaf dari mulut lo nggak berguna."
Rasa sakit hatiku mulai terasa.
"Maaf dari mulut lo nggak bisa rubah penilaian lo tentang gue, " lanjutku memejamkan mata.
"Dri," panggilnya.
Aku menatap jendela mobil. "Lo bener gue bukan cewek baik. Nggak hanya buat lo gue emang nggak pantas buat semua cowok," lirihku kembali menatap Dru.
Ia balas menatapku. Tatapan iba terpancar jelas dari kedua maniknya.
"Arjuna, lo, dan semua cowok di luar sana nggak ada yang mau berjodoh sama gue," kataku meneteskan air mata. Tapi dengan segera aku menghapusnya. Aku menghapusnya hingga tak tersisa.
"Fine. Gue terima keputusan lo," kataku mencoba tersenyum di hadapannya.
"Gue akan tetap maju. Kalau ada apa-apa jangan berani ikut campur atau salahin gue," tambahku.
Persetan dengan Dru! Ada atau tidaknya dia di sampingku itu tidak akan berpengaruh. Aku akan tetap menghancurkan rumah tangga Audi!
Malah dengan terputusnya kerjasamaku dengan Dru, aku lebih leluasa menghancurkan cewek itu
Hah! Lihat saja setelah ini aku tidak akan memberinya ampun lagi. Akan segera kuhancurkan Audi.
Tidak hanya Audi, tapi semua orang yang sudah berani menyakitiku!
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top