Surprise

"Gue akan nikahin lo, Dri. Gue akan bawa Abi dan Ami ngelamar lo."

Kalimat itu berhasil membuatku berhenti melangkah. Bukan hanya berhenti, tapi juga membalikan badan.

"Jangan bercanda. Nggak lucu asal lo tahu!"

"Sayangnya gue nggak bercanda sama sekali," jawabnya menatap manikku tajam.

Sial.

Lihatlah tatapan serta ekspresi wajahnya. Tidak ada raut bercanda.

"Gue nggak main-main sama apa yang pernah gue ucapin." perlahan namun pasti dia jalan mendekatiku.

Aku mengisyaratkan untuk dia berhenti. Sialnya Dru mengabaikan permintaanku. Bukannya menuruti malah semakin mendekat. Tak membutuhkan waktu lama untuk dia berhasil berdiri persis di depanku.

"Kalau bokap-nyokap gue udah nemuin keluarga lo. Gue jamin kelar hidup lo!" katanya tersenyum licik.

Aku benci keadaan ini. Aku benci seseorang mengancamku. Sialnya si Dru berhasil membuatku takut dengan kalimat serta ekspresinya. Bukan takut sih, tapi apa ya? Dia terlalu serius untuk dianggap bercanda. Nggak lucu juga kalau Dru benar-benar membawa orangtuanya menghadap keluargaku.

Tetapi tidak. Aku tau Dru sedang mengertak. Mana mungkin dia menikahiku? Bukankah dia masih mencintai Audi? Ck lihatlah akibat cinta Dru jadi bodoh.

Entah aku tidak tahu siapa yang bodoh di sini. Entah Audi yang buta akan ketulusan cinta Dru atau cowok itu yang terlalu mencintai Audi. Intinya mereka sama-sama bodoh!

"Berakhir gimana? Lo mau bunuh gue?" responku mencoba bersikap biasa saja.

Dru mengangguk. "Iya. Pelan-pelan," bisiknya di telinga kananku.

Aku sempat membeku beberapa detik. Namun tak bertahan lama karena kudorong tubuhnya sekuat tenaga.

"Taruh barang-barang lo di kamar gue kalau nggak mau gila!" katanya meninggalkanku.

...

Aku tak mengindahkan ancaman Dru. Aku tak peduli dengan gertakan sambal cowok itu. Sebagai bukti kalau aku tak menuruti perkataanya adalah aku tetap pergi meninggalkan huniannya.

Saat ini aku sedang on the way rumah Mama. Aku mendapat info bahwa Audi berserta suaminya tinggal satu atap dengan ibu kandungku. Sepertinya Mama terlalu menyayangi kembaranku sampai tak memberi izin Arjuna membawa istrinya pergi.

Audi. Terlalu banyak orang yang menyayanginya dibandingkan aku. Konyol padahal kami satu rahim. Sejak dari dalam kandungan selalu berbagi satu sama lain. Seharusnya kasih sayang mereka terbagi rata antara aku dan Audi. Mereka tidak boleh memihak salah satu dari kami. Kenyataanya? Pelukan hangat, senyuman lebar, dan semua keberuntungan didapatkan oleh Audi.

Saat itu aku tidak apa-apa, tapi tidak kali ini. Aku akan mengingatkan Audi untuk kembali berbagi.

"Audri?" panggilan itu mengtrupsi kedua telingaku.

Senyumku sedikit mengembang ketika mendapati seseorang menyembut kedatanganku. Tanpa meminta persetujuan cewek bernama lengkap Audi Nindi Hamida langsung memelukku. Mau tidak mau aku melepas handle koper demi membalas pelukannya.

"Kamu kenapa nggak datang ke acara ijab qabul dan resepsi pernikahan ku?" tanyanya melepas pelukan dan berganti menatapku.

Tidak ada jawaban untuk pertanyaan satu itu. Sebenarnya ada, tapi aku takut menyakitinya.

"Aku sibuk. Maaf ya?"

"Harusnya kamu minta izin ke Mas Juna-"

Blablabla...

Audi membahas cowok yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Dengan bangga dia menceritakan sosok Arjuna. Padahal apa yang diceritakannya sudah kuketahui sebelumnya.

Audi berhenti di menit ketiga. Dia terlalu semangat berceloteh sampai tidak sempat membawaku masuk ke dalam rumah. Sadar akan kesalahannya Audi langsung mengajakku masuk ke dalam bangunan masa kecil kami.

Sedikit cerita mengenai keluargaku di masa lalu. Aku, Audi, dan Mas Alfa dibesarkan bersama oleh Mama-Papa. Kami terlalu bahagia sampai tak sadar jika kebahagiaan itu tidak akan menetap. Kami lupa bahwa ada masanya kebahagiaan itu pergi.

Kebahagiaan serta keharmonisan keluarga kami hancur dalam waktu satu malam. Malam dimana Papa mendapati Mama bermesra dengan pria lain.

Waktu itu harusnya Papa masih bertugas. Entah kenapa tiba-tiba beliau pulang. Dan kalian bisa tebak kelanjutannya. Papa tak terima dikhianati langsung melontarkan talak sebanyak tiga kali.

Tidak ada yang bisa diperbaiki dari rumah tangga mereka. Papa terlalu sibuk dengan pekerjaannya sampai sering mengabaikan kami. Karena kurang kasih sayang seorang suami Mama bermain api di belakang Papa.

Mama mengenalkan Ayah Jordi-ayah tiriku- ke hadapan anak-anaknya. Mereka seakan tak punya rasa malu untuk mengumbar kemesraan. Jadi, setelah Mama-Papa resmi bercerai Mama langsung menikah dengan Ayah.

Hubunganku dengan Ayah Jordi baik. Beliau sosok Ayah yang baik, perhatian, dan hangat. Aku senang bermanja dengannya, tapi sayangnya Papa tidak mengizinkanku dekat dengan Ayah.

Aku sempat putus kontak dengan Mama, Mas Alfa, dan Audi selama bertahun-tahun. Papa mengajakku tinggal di Jakarta. Aku dirawat dan dibesarkan oleh Bunda sambung. Awal SMA Papa kembali mengajakku kembali ke Malang. Aku bertemu dengan keluarga kandungku yang sebenarnya dengan keadaan yang sudah berubah.

Bertepatan dengan kembalinya aku tinggal di Malang saat itu pula benih kebencian pada Audi mulai tumbuh.

"Audri," panggilan lain mengintrupsi telingaku.

Bersamaan dengan panggilan itu aku dan Audi berhenti melangkah. Seseorang yang memanggil namaku mendekat.

"Kamu apa kabar sayang?" tanyanya di tengah adegan berpelukan.

Namanya Jordi Gunawan. Seorang pria keturunan Jepang yang sukses membuka rumah makan di Malang. Beliau orang paling ramah yang pernah kukenal. Selain ramah dia juga baik. Ayah tiriku pantas dijadikan panutan. Berbeda dengan Papa.

Ayah kandungku mempunyai profesi yang idamankan banyak orang, tapi tidak dalam sifat dalam mendidik anak-anaknya. Papa menjadikan uang sebagai pengganti kehadirannya.

Huh, dia pikir dengan memberi uang, aku bisa senang? Memang senang, tapi aku kehilangan banyak waktu bersamanya.

"Aku baik. Ayah sendiri apa kabar?" jawabku melepas pelukan.

Beliau berganti menatapku dengan manik menenangkannya. Ayah mengelus pipiku.

"Alhamdulillah baik. Nanti nginep sini ya?" katanya seakan tahu niatku datang ke rumah ini.

Aku mengangguk, tentu saja. Tujuanku datang adalah untuk mencari tumpangan. Aku tidak akan kembali ke rumah papa.

Aku sudah besar. Sudah bisa membuat keputusan sendiri. Sudah tak mau diatur-atur lagi. Sudah cukup selama ini Bunda dan Papa melarangku untuk tidak terlalu dekat dengan Mama. Mulai detik ini akan aku langgar larangan mereka.

"Audri?" satu panggilan lain kembali membuyarkan konsentrasiku.

Aku membalikan badan untuk melihat wajah si pemanggil. Suara itu berasal dari wanita yang sudah melahirkanku ke dunia.

Mama mendekat. Tanganya terbuka lebar untuk membawaku ke dalam dekapannya.

Aku masuk ke pelukan mama. Ini dia pelukan yang paling kurindukan. Pelukan yang tak ada tandingan. Entah kenapa saat berada di dekapanya semua rasa takut, rasa sakit, dan rasa lelah yang menimpaku tak lagi terasa. Semua hilang berganti ketenangan.

"Kangen," ungkapku jujur.

Aku berada di satu kota yang sama dengan Mama, tapi kami jarang bertemu. Mama seorang ibu rumah tangga biasa. Beliau selalu siap menemui dan menemani kapanpun aku mau. Tapi setiap aku berencana menemui, papa atau bunda melarangku. Aku tidak tahu darimana mereka tahu niatku. Padahal aku melakukannya diam-diam, tapi tetap saja ketahuan.

"Mama lebih kangen sama kamu."

Pelukan terlepas. Mama mengiringku ke sofa terdekat. Beliau mengajakku duduk.

"Tinggal sama mama ya? Izinin Mama tebus waktu yang kamu lewati sendirian." Mama meraih wajahku dengan sepasang tangan halusnya.

Aku mengangguk mantap. "Iya."

Sekali lagi aku akan tinggal dirumah ini bukan untuk penembusan dosa Mama. Bukan karena aku ingin merasakan bagaimana kasih sayang yang seutuhnya. Aku melakukan ini karena mau lebih dekat dengan Arjuna. Aku akan memantau keadaannya. Memastikan dia baik-baik saja.

"Eh ada apa kok ramai?" suara yang sudah sangat kukenali mendekat.

Fokus kami terpecah. Aku, Ayah, Audi, dan Mama serentak mengalihkan pandangan menuju sosok yang baru saja turun dari lantai dua.

Audi meninggalkan kami dan langsung menyambut kehadiran si suami. Dia meraih pinggang pria berkaos putih polos itu. Arjuna membalasnya dengan mengecup mesra kening si istri.

"Ini lho, Mas. Dri datang." Audi membawa Arjuna mendekat ke arah kami.

Tadinya Arjuna tak sadar akan kehadiranku. Tapi setelah Audi berkata seperti itu dan membawanya menghadapku, Arjun langsung tahu.
Aku menyungingkan senyum manis sebagai sambutan.

"Mulai sekarang dia akan tinggal bersama kita di sini," tambah Audi tersenyum senang.

Wajah Arjuna memucat. Dia menggeleng kuat-kuat. Aku semakin menyungingkan senyum lebar. Tanpa menunggu waktu aku beranjak dari tempat duduk. Aku berdiri tepat di hadapan Arjuna.

"Saya ucapkan selamat atas pernikahan kalian. Maaf tidak bisa hadir karena suatu alasan," awalku bersuara.

Senyumku terus mengembang. Aku menunggu respon dari Arjuna. Sialnya dia tak kunjung membalas uluran tanganku. Aku sempat berniat menarik tangannya karena tak ada tanggapan. Hebatnya Audi tahu niatku. Karena itu dia menyengol lengan suaminya hingga Arjuna merespon.

Dia menerima jabat tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang dingin.

"Terimakasih, Audri," jawabnya berniat mengakhiri sesi jabat tangan. Belum sempat terlepas aku menariknya. Tanpa sungkan aku langsung memeluk tubuhnya.

"Senang bisa tinggal di bawah satu atap yang sama dengan Pak Arjuna!" kataku berhasil membuat tubuh Arjuna tegang seketika.

Tbc.

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top