Pelan, tapi Pasti

Raut terkejut Arjuna semalam belum bisa kulupakan. Aku tidak tahu apakah ia terkejut atau senang. Ekspresinya tidak bisa dibedakan, tapi aku yakin kalau Arjuna sangat senang dengan kehadiranku. Aku yakin dia masih mencintaiku. Hanya saja Arjuna terlalu naif untuk mengakuinya.

Waktu menunjukan pukul tiga dini hari. Sama seperti biasa aku tidak bisa memejamkan mata. Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini semakin sulit tidur di bawah jam sepuluh. Padahal dulu aku sering tidur jam delapan atau sembilan malam.  Jujur aku merindukan masa-masa itu.

Agaknya gangguan tidur yang ku alami  ini berhubungan dengan pikiran. Kurang lebih tiga bulan belakangan aku kembali terserang insomnia. Tentu saja itu diaebabkan oleh Arjuna.

Ah karena dia penyebabnya maka aku akan memintanya pertanggungjawaban!

Aku membuka aplikasi WhatsApp. Tak perlu mencari nama pangeran berkuda putihku karena nama itu sudah ter-pinned paling atas.

Online.

Aku melihat itu di bawah nama Arjuna.

Ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam puntiba.

Me: aku nggak bisa tidur.

Pesan terkirim. Centang dua. Tulisan online yang   terpampang apik di bawah nama Arjuna mendadak hilang.

Senyum di wajahku mengembang. Sejak kapan Arjuna suka bermain kucing-kucingan?

Me: kamu harus tahu kalau alasan dibaliknya
adalah kamu.

Me: aku mau kamu. Aku mau tidur berbantalkan tangan kamu.

Pesan beruntun itu belum mendapatkan jawaban meski sudah dibaca.

Arjuna: sudah dini hari. Tidur, Dri.

Jawaban Arjuna manis sekali...

Me: datang kekamarku dan temanilah aku.

Arjuna: jangan mulai. Jangan gila.

Arjuna: Aku nggak mau difitnah. Tidur dan jangan berulah.

Me: aku tidak bisa tidur nyenyak semenjak hari itu—hari di mana kamu memutuskanku. Aku tidak mau  menanggungnya  sendiri. Aku  mau kamu  ikut merasakannya.

Arjuna: merasakan apa? Jangan gila.

Aku membayangkan wajah Arjuna mengetikan balasan. Pasti menggemaskan.

Me: kemari sendiri atau kujemput?

Arjuna: nggak, Dri. Aku nggak akan menemuimu.

Me: kalau begitu aku yang datang ke kamarmu.

Arjuna: Dri, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa. Kumohon untuk kamu mengerti.

Me: aku tidak pernah mengiyakan keputusanmu, Ar.

Aku  membayangkan  wajah  frustasi  Arjuna. Mungkin ia sedang mengacak-acak rambutnya.

Arjuna: jangan macam-macam, Dri. Aku mohon.

Bukan  Audri  namanya  kalau  mau  menuruti perintah oranglain. Aku beranjak dari ranjang dan keluar  kamar.  Tujuanku satu:  mengunjungi Arjuna.

Aku berharap jika cowok itu mau menemaniku tidur. Aku ingin ia membisikiku kalimat "I love you." seperti dulu. Menceritakan apa saja yang membuatku tenang lalu terpejam dengan nyaman.

*toktoktok*

Aku sudah gila karena mengetuk kamar oranglain dini hari. Tapi tidak apa karena alasanku bertingkah seperti ini ada di dalam sana.

*toktoktok*

Aku kembali mengetuk pintu untuk kedua kali. Berniat mengetuk yang ketiga kalinya, tapi pintu telah terbuka menampilkan sosok Arjuna. Aku tersenyum sumringah karenanya.

"Hai," sapaku lebih dulu.

"Jangan—" ucapan Arjuna terhenti.

"Siapa, Mas?" tanya Audi muncul ke hadapanku.

Audi belum tidur juga ternyata. Lihatlah cewek yang  kini sedang menempel layaknya cicak di dinding. Bedanya Audi nempel di dada Arjuna. Sialan! Hal yang paling kubenci berhasil membuatku cemburu.

"Eh, Audri? Ada apa, Dri?" tanyanya.

Aku belum menyiapkan jawaban atas pertanyaan Audi. Aku tak menyangka jika ia belum tidur. Jadi, aku sedikit gelagapan atas pertanyaanya.

"Ada perlu apa, Dri?" tanya Audi sekali lagi.

"Eeh." Ayo berpikir, Dri! "I–ini aku mau pinjam charge," lanjutku tidak terdengar konyol 'kan?

Alis Audi terangkat. "Charge ponsel?"

Aku mengangguk.  "Aku baru sadar kalau chargenya nggak kebawa. Boleh pinjam?"

Giliran Audi yang mengangguk. Sungguh dia adalah kakak kembar baik hati. Tapi akan lebih baik lagi jika Audi mau membagi Arjuna denganku.

"Ponsel kamu sama dengan ponsel kita?"

"Ponsel aku satu tipe sama ponsel Mas—pak Arjuna," jawabku.

Ya-iyalah ponsel kami sama. Orang dulu belinya   samaan. Lebih tepatnya Arjuna yang membelikanku. Satu tahun lalu.

Setelah mengatakan itu Audi pamit mengambil barang yang ku minta. Audi pergi begitu pula dengan Arjuna.

Sial dia meninggalkanku.

"Alasan kamu nggak pernah masuk akal," kata Arjun menyerahkan charge berwarna putih.

Dia kembali tanpa sosok istrinya. Bagus.

"Artinya kamu mau mendengar alasanku yang sebenarnya? Kamu mau Audi patah hati?" tanyaku
menerima charge miliknya.

Arjuna membalasnya dengan gelengan singkat.

"Aku tidak pernah suka dengan sikap nekatmu."

Aku maju selangkah. Menatap lekat bibirny. "Dan   kamu tahu betul alasan dibalik kegilaanku."

Arjuna mengisyaratkan untukku berhenti mendekat. Kali ini aku menuruti kemauannya.

"Lain kali jangan lagi ya, Dri?" katanya memohon.

Aku mengangguk. "Iya, tapi kamu harus peka. Kalau    aku minta ditemui dan ditemani ya laksanakan."

"Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk kamu tahu sifatku, Ar," lanjutku menatap lekat maniknya.

Arjuna  memejamkan  mata.  Seketika itu aku tersadar jika aku sudah kehilangannya. Kehilangan  tatapan  penuh cinta milik Arjuna. Aku kehilangan  tatapan kasih miliknya. Tidak ada Arjuna yang dulu.   Aku menemukan banyak perubahan.

"Baiklah. Sekarang aku mau kamu kembali ke kamar lalut idur," katanya membuka mata.

Arjuna memang tampak berubah, tapi tak sepenuhnya. Kebaikan hatinya masih ada.

"Aku menginginkanmu."

"Mas, Audri sudah pergi?" terdengar suara Audi
dari dalam. Dasar penganggu!

"Sebentar, Di," jawab Arjuna atas pertanyaan istrinya. "Pergi sekarang ya,Dri?" katanya menanggapi ucapanku.

"Tapi—" kataku terhenti karenatatapan Arjuna.

Tangan besar Arjuna menyentuh rambutku.

"Kembali ke kamar dan tidurlah," katanya.

Aku memejamkan mata. Menikmati belaian tangannya. Tapi tak bertahan lama karena suara Audi kembali terdengar.

"Terus ngapain Mas nggak masuk?"

Bersamaan dengan ucapan itu belaian Arjuna terhenti. Aku membuka mata ketika tak merasakan belaian tangannya.

"Aku masuk dulu. Kamu selamat tidur dan mimpi indah," lanjutnya menghilang dari balikpintu.

Aku kembali memejamkan mata bersamaan dengan tertutupnya pintu kamar Arjuna,

"Selamat tidur dan mimpi indah." Kalimat itu sering terlontar dari mulutnya, dulu. Bahkan Arjuna sering     mengimbuhi kata lain—aku sangat mencintaimu,     di belakangnya. Namun, itu dulu—ketika hubunganku dan Arjuna belum kandas. Itu dulu ketika ia belum melontarkan kata putus. Itu dulu ketika—argh! Aku benci kata dulu. Aku benci ingatan itu.

...

Aku hanya tertidur tiga jam setengah. Pukul enam lebih tiga puluh menit aku sudah terbangun,
selesai mandi, dan sudah berpakaian rapi. Aku siap bekerja. Namun sebelum berangkat  ada satu adegan yang harus semua orang laksanakan, yaitu: sarapan.

Aku sangat bersemangat sarapan karena kehadiran Arjuna. Lagi-lagi cowok itu yang menjadi alasanku.

Jujur aku tidak pernah mencintai seseorang segila ini. Aku juga tidak pernah sebodoh ini dalam mencintai. Tapi aku gila dan bodoh bukan tanpa alasan.

Asal kalian tahu bahwa aku tidak akan 'gila' jika Arjuna tidak mengucap janji setia. Aku tidak  akan 'bodoh' hanya karena janji bullshit—namun  berarti—  itu ternodai. Aku tidak akan berusaha mendapatkannya dengan merebutnya dari saudari kembarku—  jika alasannya memutus hubungan masuk akal.

Aku ingin mendengar alasan Arjuna yang lebih masuk akal, aku bertahan karena satu alasan yang mengikat.

Ikatan itu terlalu kuat. Tak akan terlepas sampai kapanpun itu. Bahkan sampai aku atau Arjuna mati sekalipun.

"Selamat pagi semuanya," sapa Audi ceria.

Kembaranku memasuki ruang makan bersama Arjuna di sampingnya. Tak sedetikpun aku melihat kakak kembarku murung dari hari pertama bertemu. Aku selalu melihatnya tersenyum. Jujur saja itu membuatku iri.

"Duh pengantin baru gandengan mulu," celetuk Ayah membuat senyum di wajah Audi semakin mengembang.

"Pengennya gandengan terus, tapi sebentar lagi pisah karena berangkat kerja," jawab Arjuna tanpa malu.

Umbar saja kemesraan kalian di hadapanku. Umbar   saja keharmonisan keluarga kalian hadapanku. Aku tidak apa-apa!

"Kamu sudah mulai kerja, Di?" kali ini Mama ikut bersuara.

Audi mengangguk. "Iya, Ma. Nanti akhir tahun baru ambil cuti bulan madu."

Bulan madu?

"Rencana mau honeymoon ke mana?" tanya Mama lagi.

Audi dan Arjuna sempat beradu pandang sebelum akhirnya salah satu dari mereka menjawab.

"Aku maunya ke Bali, tapi Mas Juna ngajak ke Paris,"  jawab Audi sembari mengoles selai nanas  di  atas selembar roti.

Paris? Ulangku dalam hati.

Hatiku seakan teriris mendengar jawaban Audi. Dulu aku dan Arjuna sempat merencanakan honeymoon di Paris. Lebih tepatnya Arjuna yang memaksaku agar sependapat dengannya.

Arjuna bilang kalau suatu saat nanti—setelah aku dan dia  menikah— akan membawaku  terbang ke negeri itu. Arjuna mau berciuman di depan menara  Eiffel. Ia juga bilang akan menuliskan namaku dan  namanya di satu gembok lalu membuang kuncinya  di sungai Seine.

Sayangnya akhir cerita cinta kami tidak semulus itu.

"Enakan ke Paris udah. Di sana memang terkenal dengan keromantisannya," kata Ayah.

Kemudian tatapan ayah mengarah padaku. "Kamu cepat nikah juga, Dri. Biar honeymoonnya bisa barengan. Seru kayaknya."

"Pengennya juga gitu sih. Sayangnya calon aku khilaf nikahin oranglain," jawabku tersenyum pedih.

Mendadak semua orang  yang ada di sini menatapku   iba. Kecuali Arjuna. Cowok itu tak berkutik. Ia tak  mau repot-repot berbelas kasih padaku.

"Sabar ya, Dri. Mungkin Tuhan mau ngasih tahu  kalau cowok itu nggak pantas bersanding dengan wanita sebaik dan secantik kamu," kata Audi lebih terdengar sebagai hiburan.

Bukannya terhibur yang ada malah aku tertampar. Bukannya seseorang itu yang tak pantas untukku, tapi aku yang tak pantas untuknya.  Setidaknya  begitu alasan Arjuna memutuskan hubungan kami.

"Kami pantas bersanding, tapi karena wanita yang  kini dipilihnya kami batal menikah," kataku penuh kebencian.

"Ikhlaskan, Dri," kata Mama.

"Belum saatnya, Ma  "  jawabku mengantung.

Mereka serentak menatapku termasuk Arjuna.

"Mm,  iya. Sekarang Audri sedang mencoba," tambahku membuat mereka terlihat lega.

Mencoba untuk menghancurkan rumah tangga Audri. Ralatku dalam hati.

Arjuna yang terlihat 'kepanasan' sepertinya tak tahan jika berada dalam satu ruangan denganku. Ia terlihat terburu-buru menghabiskan sarapannya. Setelah menghabiskan dua lembar roti Arjuna mengajak sang istri berangkat.

"Kita berangkat sekarang, Di."

Audi yang belum menyelesaikan sarapan menatap  sang suami tak percaya.  "Mas tumben cepat selesainya?"

"Ya biasanya juga cepat kan? Ayo berangkat?" katanya terburu-buru.

Audi sebagai istri penurut mengangguk. Ia menghabiskan sarapannya secepat kilat. Begitu pula denganku. Begitu Audi selesai, aku juga usai. Sepasang suami istri itu kembali berpandangan untuk berkomunikasi lewat bahasa kalbu. Mereka   tak mengucap kata, tapi tak lama setelah itu  Audi
memint aizin mengambil tas kerja.

"Sudah, Di?"  tanya Arjuna mendapati istrinya telah kembali.

"Sudah, Mas," jawab Audi.

"Ya sudah kalau gitu kita berangkat—" belum sempat Arjuna melanjutkan kalimatnya, aku lebih dulu memotongnya. "Eh aku numpang mobil kalian boleh nggak? Mobil aku lagi jadwalnya di service. Kalau dipaksain jalan takut kenapa-napa."

Sepasang pengantin baru itu kembali bertatapan. Mereka kembali melakukan komunikasi batin.  Dilihat dari ekspresi Arjuna, ia tidak mungkin memudahkan jalanku begitu saja. Namun bukan Audri namanya jika tak bisa menaklukan seseorang.

"Lagipula aku dan Mas Arjuna satu kantor. Kita satu  tujuan, tapi kalau nggak boleh nggak papa juga sih. Aku bisa pesen ojol," kataku.

"Kamu boleh numpang di mobil kami," jawab Audi tanpa ragu.

Pernah kubilang kalau Audi baik kan?

Dia memang baik. Saking baiknya dia sampai tak sadar jika aku mempunyai tujuan lain.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top