Jangan Macam-Macam

Hampir dua puluh lima menit aku menebalkan telinga untuk tidak mendengar ocehan manja Arjuna. Muak rasanya mendengar gombalan receh cowok itu untuk istrinya. Perjuanganku dinyatakan berakhir ketika Audi turun dari mobil.

"Jangan lanjutin perjalanan dulu," kataku membuka pintu mobil belakang dan sesegera mungkin pindah di depan. "Ayo berangkat!" Katanya ketika berhasil duduk cantik di samping Arjuna.

Perjalanan di mulai. Tak ada obrolan berarti antara aku dan Arjuna atau lebih tepatnya kami saling berdiam diri. Dia terlalu sibuk mengemudi sementara aku memandangi.

"Berhenti lihatin aku. Kamu buat aku nggak nyaman," ucapnya untuk yang ke empat kali.

"Emangnya kenapa? Kamu grogi aku lihatin?" jawabku mengoda.

"Gausah ngawur."

Setelah dua kata itu terlontar dari mulutnya kami kembali berdiam diri.

Aku merindukan cowok yang ada di sampingku ini. Aku rindu berceloteh dan bercanda dengannya. Sedih rasanya kehilangan Arjuna. Dia paling mengerti aku dan memberikan perhatiannya padaku telah berubah.

"Lain kali aku nggak mau kasih kamu tumpangan," katanya mengeluarkan suara. Akhirnya terjadi percakapan juga antara kita.

"Beralih jadi supir pribadi gitu?" jawabku. menatapnya.

Arjuna menghentikan mobil saat lampu merah. "Jangan ngaco, Dri!" katanya sedikit membentak.

"Aku lagi berjuang, Ar. Sialnya kali ini sendirian."

Aku tak menyangka jika keadaan akan terbalik. Mungkin selama ini ia terlalu banyak berkorban. Jadi, biar imbang Tuhan mengutusku berjuang.

"Perjuangan kamu nggak akan membuahkan hasil. Daripada kecewa lebih baik berhenti saat ini juga." Arjuna mengatakan itu sembari menatapku.

"Kamu ngasih aku kesempatan. Artinya perjuanganku akan membuahkan hasil suatu hari nanti."

Arjuna tak menjawab perkataanku kali ini. Diamnya memiliki arti bahwa ia setuju denganku.

Aku tidak akan menyerah hingga titik darah penghabisan. Apapun dan bagaimanapun caranya aku membawa Arjuna kembali dalam jangkauanku.

Aku  memeluk lengan kiri Arjuna. "Cepat atau lambat aku akan buat kamu kembali," janjiku.

Aku menatapnya penuh harap. "Kamu harus tau kalau aku cinta banget sama kamu, Ar. Meskipun kamu giniin aku," ungkapku jujur.

Arjuna membiarkanku bergelayut manja di lengannya. Dia seakan tak menganggap kehadiranku. Ck! Padahal dulu Arjuna selalu membalasnya dengan belaian penuh cinta juga kecupan di pucuk kepala.

Dan sepetinya aku terlalu asik flashback hingga tak sadar jika kami sudah sampai di parkiran. Aku
tersadar ketika Arjuna berusaha melepas pelukanku.

"Pilih aku atu kamu yang turun dulu?" tanyanya melepas seatbelt tanpa menolehkan kepala untuk bertatap muka denganku.

"Kenapa nggak bareng aja?" jawabku kembali memeluk lengannya.

Kali ini Arjuna menoleh. Untuk yang kedua kalinya ia menjauhkan tanganku dari lengannya. "Aku nggak mau orang-orang berpikir yang enggak-enggak tentang kita."

"Kenapa dengan kita?"

"Kenapa kamu tanya?" ucap Arjuna menatapku tak percaya. Ia menggeleng sembari menyungingkan senyum kecut. Tangan kanannya meraih pintu mobil. Detik selanjutnya pintu terbuka. "Nggak ada kata kita, Dri. Karena kita sudah berakhir," lanjutnya 'mengingatkan'.

"Tolong terima kenyataan. Terimalah kenyataan bahwa sekarang aku menjabat sebagai kakak ipar kamu. Ingat kalau aku adalah suami kembaranmu," ucap Arjuna sesaat sebelum akhirnya turun dari mobil. Meninggalkanku seorang diri.

"Nggak ada kata kita, Dri. Karena kita sudah berakhir."

"Terimalah kenyataan bahwa sekarang aku menjabat sebagai kakak ipar kamu."

"Ingat, aku adalah suami kembaranmu."

Mataku memejam. Kalimat itu terputar layaknya kaset rusak. Terus berputar hingga membuat kepalaku hampir meledak.

Bayangan sosok Arjuna memenuhi pikiran. Ia tidak
mendekat melainkan menjauh. Hal itu membuatku membuka mata.

"Aku nggak akan ngelepasin kamu gitu aja, Ar."

Manikku mendapati Arjuna masuk ke gedung.

"Bajingan kayak kamu nggak pantas dapat istri sebaik Audi. Kita sama, Ar. Nggak adil kalau kamu bahagia, tapi bukan aku alasan dibaliknya."

"Aku nggak rela kamu dimilikin oranglain. Cepat atau lambat kamu akan kembali bersamaku. Demi Tuhan aku bersumpah untuk itu!"

...

Aku bekerja seperti biasa. Tetapi sepanjang jam kerja tak sedetikpun aku berhenti memikirkan Arjuna. Otakku berpikir keras bagaimana caranya
agar ia kembali.

Agaknya aku terlalu sibuk berpikir sampai tak sadar bahwa Arjuna telah pergi dari kantor. Fyi, aku
mengetahui ini dari Adriani-sekertaris Arjuna.

"Lima menit lalu Pak Arjuna pergi," lapor Adriani.

Aku berdecak. Kenapa aku bisa lengah dalam mengawasi gerak-gerik Arjuna? Padahal lima menit lagi jam kantor bubar. Seharusnya Arjuna menungguku untuk pulang bersama.

"Kenapa memangnya? Kamu ada urusan sama beliau?" Adriani kembali bertanya.

Aku menggeleng lemas. Kemudian aku pamit pada Adriani untuk kembali ke meja kerja. Aku kembali menatap layar komputer tanpa minat.

"Kenapa, Dri?" Vella membawa kursinya mendekat.

"Arjun balik duluan," jawabku sedih.

Vella tahu segalanya. Ia adalah orang pertama yang tahu tentang hubunganku dan Arjuna. Vella tahu masalalu kami. Maka dari itu ia mendukungku merebut kembali Arjuna. Bahkan dia membantuku mencari cara. Terkadang Vella juga menyumbangkan idenya.

"Terus?" respon Vella.

"Tadi gue berangkat bareng dia. Seharusnya pulangnya barengan dong!" jelasku.

Vella ber-oh ria. Ia juga mengangguk-anggukan kepala. "Ya udah lo hubungin dia lah! Kenapa harus
dibawa repot sih?"

Ah, iya! Benar juga apa kata Vella. Tanpa menunggu lebih lama aku langsung mengambil ponsel. Kutuju kolom obrolan Arjuna lalu mengirimnya beberapa pesan.

Sialnya tak terkirim. Hanya centang satu.

"Offline," kataku lesu.

Vella mengelus punggungku. "Telefon nomor biasa coba," usulnya.

Aku mengangguk kemudian mencoba menghubungi Arjuna. Tetapi sial yang kudapat. Ia tidak mengangkat telefonku!

"Nggak bisa, Vel," kataku hampir menangis.

Vella kembali mengelus-elus bahuku. Aku memang tipe wanita yang 'lebay' ketika sudah benar- benar mencintai seseorang. Aku lumayan posesif. Sifat berlebihan itu hanya kutunjukan saat berhadapan dengan Arjuna.

"Biarin dia lolos hari ini. Lo pulang bareng gue aja," kata Vella. "Siap-siap ya. Kita pulang bentar lagi," lanjutnya menjauhkan tubuh dariku.

Mungkin benar kata Vella. Biarkan kali ini Arjuna pulang dengan Audi. Lagipula bisa nebeng Vella atau aku bisa mengabari Dru untuk menjemput. Aha! Ide bagus. Biarkanlah Arjuna pergi karena Dru siap menjadi penganti.

Aku mencari kontak Dru. Setelah ketemu langsung kuhubungi. Nada tersambung.Tak menunggu lama panggilan pun terangkat.

"Hallo?" sapanya.

"Dru jemput gue di kantor. Gue nggak bawa mobil soalnya. Oke gue tunggu love you," kataku langsung mematikan sambungan tanpa menunggu jawaban Dru.

Sembari menunggu kehadiran Dru aku mulai berkemas.Vella kembali mendekat sembari bertanya apakah aku jadi nebeng atau tidak. Aku
menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Beneran nggak bareng?" tanyanya sekali lagi.

"Gue udah minta jemput seseorang," jawabku meyakinkan.

Setelah itu barulah Vella pergi meninggalkanku. Aku lanjut berkemas. Dirasa tidak ada yang tertinggal aku pun meninggalkan ruang kerja. Beberapa menit setelahnya aku sudah berada di lobi kantor. Aku menunggu kehadiran Dru.

Kurang lebih tiga puluh menit aku menunggu kehadiran Dru. Si sialan itu tak kunjung datang. Di luar sedang turun hujan besar sejak sepuluh menit lalu.

Tidak ada tanda kehadiran Dru. Ck! Tidak mungkin aku pulang naik ojek kan? Kalau pesan Go- Car aku harus menunggu beberapa menit lagi. Tapi tidak apa lah. Daripada aku terus menunggu orang yang tak pasti.

Apa yang nenimpa lo adalah kesalahan lo sendiri, Dri.

Aku?

Lo tadi matiin sambungan telefon sepihak.

Harusnya lotunggu jawaban Dru bisa apa enggak!

Shit up! Diam! Kenapa sebagian diriku malah menyalahkanku? Ck!

+6281435278+++: gue udhdi depan. Burukluar.

Satu pesan dari nomor asing masuk. Si anak setan ganti nomor? Tidak penting! Aku sudah menunggu Dru cukup lama dan sekarang adalah
saatnya.

Aku ke luar lobi dan tidak mendapati mobil Dru. Dia mengerjaiku?

Me: dimana?

Me: nggak lucuya!

Pesan terkirim. Aku menunggu sekitar dua menit kemudian baru Dru menelfon dengan nomor barunya.

"Gue disebrang jalan- "

"Samperin gue lah! Lo jangan gila. Sekarang lagi hujan ya. Ya kali gue nyamper lo. Bisa basah baju gue!" potongku cepat.

"Ribet, Dri. Gue harus puter mobil sedangkan nanti kita tinggal lurus aja. Buruan nyebrang atau lo beneran gue tinggal. "

*tuttuttut...*

Panggilan dimatikan sepihak. Sialan!

Tanganku mengepal. Kumasukan ponsel dalam tas. Sempat memejamkan mata sebelum akhirnya menatap lurus ke luar sana. Aku bisa melihat mobil Dru. Si sialan itu tak tanggung-tanggung kalau mengerjaiku. Awas saja akan kubalas nanti!

Dengan tekat bulat aku berlari menyebrang jalan. Aku menjadikan tas mahalku untuk melindungi kepala supaya tak terkena hujan. Saat sudah di tengah aku berhenti. Dan sialnya saat aku berhenti ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Hal itu mengakibatkan genangan air hujan berhasil
membasahi bajuku.

"TOLOL!" makiku kesal.

Dru membuka pintu mobilnya. Ia membuka payung berwarna pink lalu menjemputku. Sialan kenapa baru sekarang? Makiku dalam hati.

Aku belum bisa menyuarakan isi hati ketika Dru sedikit mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam mobil. Aku tidak duduk di depan melainkan duduk di jok belakang.

"Bang-"

"Kamu nggak papa?" suara wanita asing mengintrupsi kedua telingaku.

Dia duduk di depan. Seorang wanita berhijab menoleh ke arahku. Raut kekhawatiran terpancar
jelas di wajah kalemnya.

"Kamu basah semua," katanya kembali mengembalikanku ke alam sadar. "Dia basah semua, Mas," katanya memberitahu Dru.

"Nggak papa. Bentar lagi kita sampai di rumah dia," jawab Dru enteng.

"Tapi aku takut dia masuk angin," ucap wanita itu.

"Nggak papa, Lin. Audri kuat kok. Lagian jarak rumah dia nggak jauh dari sini," kata Dru menenangkan. "Kamu nggak papa 'kan, Dri?" lanjutnya menanyaiku.

Aku melihat Dru dari kaca mobil. Ia seakan mengisyaratkan untukku menjawab 'iya'. Dan sialnya aku menuruti perintah Dru. "Iya aku nggak papa kok."

Wanita bernamaLintang-Lintang itu menghembuskan napas lega. Setelahnya aku memilih diam. Aku berusaha membersihkan baju dengan tissue. Sementara Dru dan Lintang asik ngobrol. Ck!

Mereka beneran nggak menganggap kehadiranku.

Btw sampai sejauh ini aku tidak tahu siapa si sebenarnya si Lintang. Dari penglihatan dan pengamatan aku menebak Lintang adalah gebetan Dru.

Si kampret itu melanggar aturan. Aku tidak boleh terikat hubungan dengan oranglain sementara Dru malah pdkt dengan wanitalain.

"Dri sekali lagi aku minta maaf ya. Karena Mas Dru jemput aku duluan dia terlambat jemput kamu," ucap Lintang sebelum aku turun dari mobil
Dru.

Fyi, mobil Dru sudah berhenti di depan rumah Bunda. Iya. Biarkan seperti itu karena ia belum tahu jika aku tinggal di rumah Mama. Lagipula aku juga mau mengambil barang-barang untuk dibawa ke rumah Mama.

"Nope," jawabku singkat.

Enak saja aku memaafkan orang yang diprioritaskan Dru. Kalau sajaLintang tidak minta jemput aku tidak akan menunggu Dru.

"Ya udah turun. Gue mau anter Lintang pulang," kata Dru secara tidak langsung mengusirku secara lembut.

Demi Tuhan aku tidak terima diperlakukan Dru
seperti itu. Aku turun dari mobil sembari berpikir
bagaimana caranya membalas sifat menyebalkan Dru.

Aku mengentuk kaca mobil Dru. Kaca terbuka. Menampilkan wajah Lintang dan Dru di kursi pengemudi.

"Kenapa lagi?" tanya Dru terdengar kasar.

Senyum di wajahku mengembang. Cukup lebar.

"Enggak papa sih. Tapi aku cuma mau ngasih tahu Lintang sesuatu," ucapku. Masih tersenyum.

Aku melihat raut kekhawatiran Dru.

"Kenapa, Dri?" tanya Lintang.

"Aku cuma mau ngasih tahu kamu lain kali jangan minta jemput cowok orang."

Dru melotot sementara Lintang terkejut.

"Huh, sepertinya Mas Dru gak ngasih tahu kamu kalau dia sudah punya pacar," lanjutku
menegakan tubuh.

Aku berdeham. "Nggak papa deh. Dan sekarang karena kamu sudah tahu lain kali jangan keganjenan dengan meminta antar-jemput calon suami orangya!" kataku tersenyum puas.

Lihatlah wajah-wajah terkejut itu.

Menggemaskan sekali.

Tbc.

Ntr lagi pindah platfrom yakk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top