Hadiah untuk Sepasang Pengantin

Aku keluar dari mobil Dru tanpa mengucap terimakasih. Begitu mobil berhenti aku langsung membuka pintu mobil lalu turun dengan segera. Aku sudah tidak mau berhadapan dengan Dru lagi. Aku bersumpah tidak akan berhubungan dengan pria yang sudah nge-judge orang sembarangan.

Aku melangkahkan kaki ke rumah tanpa semangat. Perkataan si brengsek Dru mempunyai efek bagiku. Kalimat yang dilontarkannya berhasil merusak mood baikku.

"Kok Audri baru pulang sih?" perkataan itu mengintrupsi telingaku. Membuatku terpaksa berhenti melangkah.

Mas Alfa menghampiriku. Begitu sampai persis di depanku ia menangkup wajahku dengan kedua tangan besarnya.

"Audri baik-baik aja?" tanyanya kemudian.

Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap mengangguk. "Baik."

"Bukannya kamu satu kantor sama Arjuna?" mas Alfa menatapku lekat. "Dia sudah pulang beberapa jam yang lalu. Kok kamu baru pulang?" lanjutnya.

"Tadi Arjun nggak mau ngasih tumpangan. Jadinya Audri naik ojol. Itupun nggak langsung dapet. Makanya lama," jawabku memasang tampang sedih. Pura-pura.

Tanpa minta izin Mas Alfa membawaku dalam peluknya. Aktingku berhasil rupanya.

"Kelamaan nunggu driver ya?" tanya Mas Alfa.

Entah berasal darimana kemampuan aktingku hinggaberhasil membuatnya iba. Tak tanggung-tanggung dalam menjalani peran, air mataku ikut berpartisipasi. Aku menangis.

"Ssshhhtt..." Mas Alfa mengusap air mata yang jatuh di pipiku. "Lain kali Dri bisa telefon Mas untuk minta jemput," katanya lembut.

"Drivernya nggak ada yang mau nerima orderan Dri," aduku semakin menjadi.

Kali ini aku bisa merasakan Mas Alfa mengelus rambutku lembut. Sesekali ia mengecup pucuk kepalaku penuh kasih.

Aku merasa beruntung. Setelah sekian lama tak merasakan hangatnya perlakuan kakak akhirnya aku merasakannya kembali.

"Mulai besok Mas yang akan antar-jemput Dri. Jangan khawatir lagi," katanya mengelus lembut rambutku.

Senyumku terukir bertepatan dengam pelukan yang terlepas.

"Nggak usah, Mas. Besok mobil Dri sudah bisa dipake lagi. Tadi kata Pak Solikin udah selesai service," ucapku memberitahu.

Belum sempat Mas Alfa menanggapi ucapanku tiba-tiba Ayah, Mbak Zee, dan Mama–yang sedang mengendong cucu semata wayangnya, bergabung. Mereka berpakaian rapi.

"Lho Dri baru pulang?" tanya Ayah retoris.

"Iya, Yah," jawabku ala kadar.

"Audri mau ikut makan malam di luar?" tawar Mama.

Makan malam di luar?

Tadi kalau semisal aku belum pulang mereka akan pergi tanpaku? Begitu?

"Kita tungguin kamu bersihin diri. Sekarang mandi dulu gih," titah Ayah.

"Ah kalau gitu aku hubungin Didi dulu. Supaya dia dan suaminya memaklumi keterlambatan kita," kata Mbak Zee mengundurkan diri.

Didi?

Mereka akan pergi bersama sepasang pengantin itu? Mereka akan makan malam bersama tanpa aku?

"Dri?" panggil Mas Alfa.

Aku menerjap. Kemudian menatap Mas Alfa.

"Mas antar siap-siap ya?" katanya.

Aku berdeham sembari menggeleng.

"Audri nggak ikut."

Aku memerhatikan raut wajah orang-orang satu per satu.

"Maaf, tapi mungkin lain kali," lanjutku berusaha menyungingkan senyum.

"Tapi, Dri," ucap Mama. Aku menggeleng—isyarat agar beliau tidak melanjutkan perkataanya.

"Maaf Audri udah ada janji," kataku tentu saja berbohong.

Raut kekecewaan tak bisa disembunyikan Mama. Seharusnya yang pantas kecewa adalah aku.

"Didi sama Arjuna mau nungguin kita," ucap Mbak Zee kembali ke hadapan kami.

Beberapa pasang manik yang tadi fokus menatapku kini berganti menatap Mbak Zee. Sontak membuat wanita beranak satu itu bingung.

"Aku ada salah ngomong ya?" kata Mbak Zee kaku.

"Kalian pergi sekarang aja. Alfa nggak jadi ikut," ucap Mas Alfa.

Kalimat yang terlontar dari mulut Mas Alfa lebih mengejutkan lagi. Tatapan kami serentak beralih menuju Mas kandungku itu.

"Alfa mau nemenin Dri di rumah," katanya merangkulku.

"Papa!" tentu saja perlakuan manis Mas Alfa membuat gadis kecil yang ada di gendongan Mama tak terima.

Mbak Zee mendekatkan diri ke samping mas suami. "Kasihan Didi sudah nunggu kita. Lagipula Zoe nggak bisa jauh-jauh dari kamu," bisiknya ke telinga Mas Alfa. Bodohnya meski berbisik aku bisa masih mendengarnya.

"Aku akan telefon Didi. Dia pasti ngertiin aku juga Audri," kata Mas Alfa.

Kenapa Mas Alfa membawa-bawa namaku? Tidak benar! Aku harus buka suara.

"Aku nggak ikut bukan tanpa alasan. Malam ini aku pulang ke rumah Papa. Bunda lagi kurang enak badan. Dri mau jagain beliau," bohongku terdengar payah.

"Terus alasan kamu nggak ikut apa Mas?" tanya Mbak Zee.

Mas Alfa kalah telak. Ia melihatku dengan tatapan sulit diartikan.

"Mas Alfa pergi aja. Dri beneran mau ke rumah Bunda," kataku menyakinkan Mas Alfa.

Sejenak kakak kandungku diam. Ia menatap maniku dalam. Mas Alfa mencoba mencari kebenaran dari perkataanku. Apa yang dicarinya tak ketemu. Aku tidak membiarkannya menemukan kebohongan itu.

"Dri janji bakalan kirim foto kalau udah sampai di rumah Bunda," kataku meyakinkannya.

Mas Alfa mengangguk pelan. Ia kembali membawaku dalam dekapan sebelum akhirnya menuruti kemauanku.

...

Aku tidak berbohong saat mengatakan mau pulang ke rumah Papa.

Mau tidak mau setelah pergi menebus obat tidur aku terpaksa menginjakan kaki ke rumah itu lagi. Beruntungnya Bunda sedang tidak berada di rumah. PRT bilang kalau Bunda terbang ke Jakarta tadi pagi. Entah apa alasan ia pergi dari kota ini bukan urusanku. Aku bersyukur dengan kepergian wanita itu.

Setelah mendapat informasi dari Bu Jumak—nama asisten rumah tangga— aku bergegas menuju sebuah ruang khusus yang Papa bangun untukku. Ruangan bercat putih seukuran dengan kamar tidurku. Cukup luas dan padat. Hampir di setiap sudut ruang itu dipenuhi karya seni buatanku.

Iya. Ruangan yang sedang kupijak saat ini adalah tempat di mana semua hasil karya lukis, beberapa alat musik, sertifikat penghargaan serta tropi kemenangan milikku disatukan.

Sudah pernah kubilang jika Bunda menjejaliku dengan berbagai les akademik maupun non akademik belum?

Kalau belum di ruangan inilah kalian akan mendapatkan bukti dari ucapanku.

Sejak kecil Bunda mendaftarkanku ke beberapa tempat les. Karena itu hampir setiap hari aku tidak bisa merasakan apa itu yang namanya bermain. Bunda tidak membiarkanku bersantai layaknya anak kecil lainnya dan beliau menjejaliku dengan banyak tuntutan.

Bunda benar-benar tak mengizinkan aku bermain sebelum aku berhasil melewati ujian dadakan yang diberikan. Aku tidak boleh ke luar ruangan ini sebelum berhasil menghibur Bunda dengan cara memainkan satu alat musik yang dipilihnya atau menciptakan sesuatu dengan peralatan lukisku.

Audri kecil tidak pernah berhasil mengabulkan tuntutan Bunda. Akibatnya aku tidak tahu rasanya menghabiskan waktu bersama teman seumuran di taman. Sungguh masa kecil yang suram.

Aku mendekat ke arah piano yang ditutup kain putih. Semenjak kuliah aku hampir tak pernah datang ke ruangan bersejarah ini. Audri kecil yang manis mulai berontak. Perlahan-lahan ia tak mematuhi perintah Bundanya.

Aku menarik kain hingga piano berwarna putih tulang terlihat. Aku tersenyum. Piano kesayanganku ini selalu bersih. Tidak berdebu sama sekali. Memang meskipun jarang ke sini, tapi Bu Jumak tetap membersihkan ruangan ini dua hari sekali.

Sebelum memainkan piano aku lebih dulu memencet tombol on. Setelah menyala aku memilih duduk di kursi panjang. Jemariku sedikit bergetar ketika menyentuh tuts piano. Mataku memejam. Aku bersiap memainkan piano juga bernyanyi.

"Oh its hurt the most'cause idon't know the cause
Maybe i shouldn't have cried when you left and told me to wait.
Oh it kills the most to say that I still care.
Now im left tryna rewind the times you held and kiss me back."

Perlahan aku larut dalam lirik lagu Jorja Smith berjudul Don't Wacth Me Cry.

"I wonder if you thinkin'Is she alright all alone.
I wonder if you tried to call, but coulnd't find your phone.
Have i ever crossed your thoughts because your name's all over mine
A moment in time don't watch me cry. A moment in time don't watch me cry."

Aku terlalu menghayati. Aku terlalu menjiwai setiap lirik yang kunyanyikan hingga meneteskan air mata.

"Im not crying 'cause you left me on my own.
Im not crying 'cause you left me with no warning.
Im just crying cause I can't escape what could've been.
Are you aware when you seet me free? All I can do is let my heart bleed."

Aku berhenti. Rasa sesak yang ada dalam diriku tak dapat terpendam lagi. Aku menangis sejadi-jadinya.

"Audri bodoh!" teriakku menggema di seluruh ruangan.

Kenangan indah bersama Arjuna kembali terputar bagaikan kaset rusak. Indah, tapi membuatku semakin sesak.

Kelerengku melihat ke sekitar. Aku beranjak untuk membongkar sesuatu. Aku membuka almari rahasia. Tidak satupun orang pernah melihat atau membongkar isi almari urutan ketiga dari bawah ini.

Begitu terbuka senyumku mengembang. Di dalam almari itu ada satu lukisan berukuran besar, tiga lukisan dalam kanvas berukuran sedang dan satu kanvas berukuran kecil. Aku mengeluarkan semua, tapi lebih tertarik pada lukisan paling besar.

Kanvas itu menampilkan tubuh seorang lelaki telanjang bulat dengan wajah tertutup celana dalam perempuan. Salah satu karya favorit yang pernah ku buat.

Melihat lukisan itu senyum di wajahku terukir. Kalian pasti tahu siapa pria dalam lukisan itu.

Iya. Kalian akan ku beri nilai seratus jika menebak lukisan itu adalah Arjuna.

Aku membuka plastik bening yang semula membungkus apik kanvas berlukiskan tubuh Arjuna. Setelah plastik itu terlepas aku meraba permukan kanvas. Kali ini bukan hanya senyum yang menghiasi wajahku, tapi air mata ikut meramaikan.

Aku masih ingat bagaimana Arjuna menolak tubuhnya ku lukis. Bahkan ia rela menggantinya dengan apa saja, tapi aku tetap kekeuh mau mengambarnya.

Terjadilah kesepakatan aku akan tetap mengambar tubuhnya, tapi tidak dengan wajahnya. Kami berpikir bagaimana cara agar wajahnya tidak diketahui. Cukup lama hingga akhirnya tercetus ide.

Aku melepas celana dalam yang kunenakan untuk menutupi wajah Arjuna. Tidak sepenuhnya tertutup karena aku memakaikannya hingga hidung. Aku sengaja membiarkan bibirnya terekspos karena aku menyuruhnya tersenyum nakal.

"Aku tidak tahu bagaimana bentuk tubuhmu yang sekarang, Ar," awalku bermonolog.

"Mungkin sekarang lebih berotot atau kamu lebih gendut semenjak menikah? Sepertinya kamu masuk dalam option ke dua. Haha!" kekehan garing keluar dari mulutku.

"Kamu akan tetap terlihat seksi meskipunperutmu perlahan membuncit," ucapku meletakan si kanvasbesar.

Pandanganku beralih. Aku mengambil satu persatu kanvas lain. Manikku terhenti ketika melihat satu lukisan yang di dalamnya menampilkan satu keluarga berisi sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki berpose di depan sebuah rumah sederhana.

Dulu saat melukiskan gambar itu aku membayangkan masa depanku dengan Arjuna. Masa depan yang sampai kapanpun tak akan terwujud.

Aku menghapus air mata hingga tak tersisa. Senyumku terukir ketika terlintas ide di pikiran. Bagaimana jika aku mengirimkan dua karyaku ini ke Audi dan Arjuna?

Senyumku mengembang sempurna. Benar. Akan kukirimkan satu persatu lukisan itu pada sepasang pengatin itu. Anggap saja lukisan ini hadiah pernikahan mereka.

Tetapi sebelum dikirim aku harus menandai lukisan itu dengan sesuatu.

Aku ke luar ruangan untuk mencari keberadaan Bu Jumak. Aku berteriak memanggil namanya.

"Bu Jumak."

Tepat di panggilan ke enam barulah wanita itu muncul.

"Iya, Non?"

"Aku butuh silet atau cutter dong," kataku.

"Buat apa, Non?" tanyanya terdengar tak masuk akal di telingaku.

"Emang perlu Audri kasih tahu?" balikku bertanya.

Wanita itu menggeleng. Lalu izin mengundurkan diri dari hadapanku. Belum sepenuhnya menghilang aku menghentikan.

"Sama spidol, kertas hvs, dan juga lima kertas kado!" kataku menambahi.

"Nanti kalau udah dapet semua anter ke ruangan ya!"

Bu Jumak mengacungkan jari ke udara. Aku kembali ke ruangan dengan perasaan berbeda. Rasanya campur aduk, tapi lebih dominan sedih.

Tiba-tiba bayangan Mama sedang berbahagia bersama saudara kandungku ikut mengusik pikiran. Aku tersenyum miris. Bagaimana bisa beliau berbahagia padahal di sini ada putrinya yang bersedih.

"Non Dri, ini." suara itu mengintrupsi kedua telingaku.

Aku menghapus air mata yang entah kapan menetes.

"Terimakasih, Bu," jawabku menerima barang-barang yang kubutuhkan.

"Non Dri mau ditungguin?" tawarnya.

Dulu aku sering meminta Bu Jumak menunggui saat melukis. Beliau juga sering kujadikan audien saat aku bermain musik. Kemudian Bu Jumak menyanjungku dengan pujian.

Beliau memang pandai melontarkan hiburan. Di saat kemampuanku tidak bernilai di mata Bunda, Bu Jumak ada untuk menyanjungku. Sungguh baik wanita itu.

Aku menggeleng. "Nggak usah."

Sepeninggal Bu Jumak aku langsung beraksi.

Aku melakukan self injury—atau lebih tepatnya self cutting alias menyilet diri sendiri. Sebagian orang yang mempunyai 'gangguan' mental akan melakukan itu untuk mencari kepuasan diri. Mereka—termasuk aku— melakukan itu bukan tanpa alasan. Kami melakukan itu untuk melampiaskan sesuatu yang tak bisa diungkapkan.

Sebelumnya aku belum pernah melakukan self cutting. Dulu sempat kepikiran sih, tapi selalu digagalkan Arjuna.

Beberapa tahun lalu dia yang selalu mengingatkanku untuk tidak menyakiti diri sendiri. Lalu sekarang tidak akan ada yang perduli. Inilah kesempatanku untuk melampiaskan apa yang tak bisa kuungkapkan.

Aku mulai menyayat pergelangan tangan. Sangat pelan karena jujur aku tidak suka dengan rasa sakit atau perih. Tidak ada darah yang keluar di awal

Mungkin aku terlalu pelan.

Kemudian aku memperdalam sayatan. Akhirnya darah yang kunantikan keluar. Tidak mau membiarkan darahnya mengering aku memanfaatkannya untuk menuliskan nama Arjuna di belakang kanvas.

Alhasil dua lukisan selesai ku tandai. Sekarang aku menuliskan pesan di kertas lalu membungkus lukisan karyaku dengan rapi. Setelah selesai aku pun menulisk alamat tujuan.

Senyumku kembali terukir ketika berhasil menyelesaikan semua tugas.

"Semoga kalian suka dengan hadiahku wahai pengantin baru!"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top