Bunuh Diri

Aku duduk di atas trotoar pinggir jalan. Waktu menunjukan pukul tujuh malam ketika seseorang menyodorkan satu bungkus kacang rebus ke hadapanku. Aku menggeleng atas tawarannya. Tak berniat memaksaku cowok itu langsung mendaratkan pantatnya di sebelahku.

Aku menghembuskan napas kasar. Kincir raksasa yang menjadi tujuanku datang ke sini belum menyala. Padahal sudah pukul tujuh lebih. Ah, mungkin aku harus bersabar sedikit lagi.

Dugaanku terbukti benar. Tepat jam setengah delapan malam bianglala yang kunantikan menyala juga. Mataku yang tadinya layu langsung berbinar. Warna biru, pink, hijau, merah, ungu, dan kuning menghiasi kincir besar itu. Warna-warni; tidak seperti hidupku ini.

"Mau naik?" pertanyaan itu membuyarkan fokusku.

Dia selalu menawariku. Namun aku tak pernah menjawabnya iya. Aku memang suka melihat bianglala, tapi tidak berani menaikinya.

"Enggak, thanks," jawabku sama seperti yang sudah-sudah.

Cowok yang tadinya duduk di sebelahku beranjak. Sebelum berdiri dia lebih dulu menaruh bungkus kacang.

"Lo nggak akan maju kalau nggak bergerak. Mari lawan ketakutan," katanya mengulurkan tangan.

Sebelum menerima ulurannya aku kembali menatap si kincir ria. Naik ya? Tanyaku bergidik ngeri.

"Nggak mau!" jawabku menggelengkan kepala.

Cowok bernama Endru Djendro Kaloeko menghembuskan napas kasar. Kemudian ia kembali duduk. Sebelum kembali bersuara Dru melepas topi yang tadi dikenakannya lalu memakaikannya di kepalaku.

"Biar nggak dingin," katanya.

Aku suka perlakuan manisnya.

"Dasar cemen!" lanjut Dru mengejekku.

Aku hanya tersenyum atas ledekannya. "Yes, I'm," jawabku bangga.

Dru menoleh, akupun sama. Dia tersenyum samar.

"Dih ngaku!" katanya lagi.

"Jujur itu baik, Presiden!" balasku tak mau kalah.

"Suatu hari nanti gue bakalan ajak atau kalau perlu seret lo untuk naik. Apapun dan gimanapun caranya lo harus liat pemandangan di atas bianglala!" ucapnya penuh dengan semangat membara.

Aku tidak tertarik saat Dru membahas tentang keindahan lain dari bianglala. Aku tak percaya dengan ucapannya yang mengatakan bahwa pemandangan terlihat lebih indah dari atas sana. Bagiku tak ada keindahan di ketinggian. Bukannya menikmati keindahan aku malah akan menjerit ketakutan.

Hell harus kuakui bahwa aku masuk dalam daftar manusia yang takut ketinggian. Daripada membahas kelemahanku mari kita membahas hal lain.

"Daripada lo bahas hal yang nggak penting mending itung deh berapa banyak anak kecil yang ada di sini," kataku mengalihkan pembicaraan. Dan topik yang kuusung saat ini lebih tidak penting dari topik sebelumnya.

"Oke biar gue tebak."

Aku pikir Dru tidak mau menjawabnya, tapi dugaanku salah. Dia menuruti perkataanku. Dru mulai menghitung anak kecil yang lewat di depan kami.

"Setelah gue melakukan proses panjang; gue bisa menyimpulkan jawaban. Gue jamin jumlah anak-anak yang ada di sini lebih dari sepuluh!" jawabnya bangga diri.

*pletak*

"Aw! Sakit!" adu Dru sembari mengelus kepala bekas jitakanku.

Bukannya kasihan atau berniat minta maaf aku malah memutar kedua bola mata.

"Cowok harus tahan banting. Lemah banget baru sekali dijitak udah ngadu kesakitan!"

"Masalahnya lo kalau jitak enggak kira-kira!"

Setelah itu suasana sepi. Ralat, tidak sepi sih karena di sini banyak orang. Yang kumaksud sepi adalah aku dan Dru tak saling bicara. Tidak ada obrolan setelah aku menjitak kepalanya. Tapi keheningan ini tak berlangsung lama karena beberapa detik setelahnya Dru kembali bersuara.

"Lo beneran nggak mau datang ke resepsi pernikahan Audi?" tanyanya.

Audi? Nama itu...

"Datang atau enggaknya gue di resepsi pernikahannya kehadiran gue nggak ada ngaruhnya sama itu acara," jawabku tersenyum kecut.

"Didi bilang ke gue kalau dia pengen lo datang," kata Dru.

Aku menoleh. "Datang?" tanyaku dijawab dengan anggukan kepala.

"Buat apa? Bahan lelucon atau bahan perbandingan?" lanjutku menatap Dru kesal.

Tak ada jawaban. Memang tidak ada gunanya aku menghadiri resepsi pernikahan Audi. Aku tidak akan mendapatkan kebahagiaan di sana. Bukannya turut bersukacita yang ada aku malah merana.

"Lo sendiri kenapa nggak dateng?" kataku balik nanya.

Dru yang tadinya asik mengupas kacang kini berhenti melakukan aktivitasnya. Kekehannya terdengar meski samar. Aku tahu apa yang membuatnya terkekeh sinis seperti itu.

Kisah ini klasik. Aku kenal Dru karena Audi. Bisa dibilang cowok yang ada di sebelahku ini masuk dalam daftar penggemar Audi. Dia suka dengan cewek itu. Sayangnya Audi hanya menganggapnya teman. Kasihan.

"Gue mau dateng sih sebenernya, tapi karena lo ngajakin ke sini ya nggak jadi," kilahnya pintar sekali.

Aku berdecak.

Dru menatap mataku. Kalau dilihat-lihat cowok itu menarik juga. Dia memiliki kulit tidak terlalu putih atau cokelat, matanya tajam, hidung mancung, dan point penting adalah bibir yang menggoda. Aku pernah berpikir suatu hari nanti akan mencicipinya.

But, what? Tidak, tidak! Aku hanya sedang ngelantur saja.

"Gue pengen datang supaya Audi tahu kalau gue udah move on," ucapnya masih tersenyum. "Dateng yuk, Dri!" lanjutnya mengajakku.

"Ke mana?"

"Resepsi pernikahan Audi."

"In your dream!" jawabku beranjak berdiri, Dru mengikuti. "Daripada gue dateng ke resepsi pernikahan dia lebih baik nerima tawaran kencan Hitto," lanjutku pergi meninggalkannya.

Dru meraih tanganku. Dia berhasil membuatku berhenti melangkah. Mengubur niat untuk pergi.

"Bahkan bokap lo aja sempetin datang meski cuma sebentar-"

"Diem! Udah gue mau balik," ucapku berusaha melepaskan genggaman tangannya.

"Sebenarnya apa alasan lo nggak mau datang?"

Dru berdiri tepat di hadapanku. Dia menatap lekat manikku dan aku benci itu.

"Bukannya lo lebih dalam segala hal dibandingkan Didi? Terus kenapa lo minder-"

"Oke gue mau datang!" putusku berjalan mendahuluinya.

Oh, Audri...

Semoga lo nggak nyesel dengan keputusan bodoh ini!

Tbc.

Dri-Dru is backkk!!!

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top