Bimbang
Beberapa bulan yang lalu...
Bagi gue ada dua orang tercantik di dunia. Yang pertama adalah Ami–nyokap gue–dan yang kedua adalah Audi. Mereka yang bisa bikin gue takut ngelakuin dosa. Dua wanita itu bisa kendaliin gue.
Sejak tinggal di Malang gue lepas dari pengamatan Ami. Gue terbawa arus pergaulan. Selalu absen ke kelan tiap malam. Minum-minuman alkohol. Sempat nyoba jadi pemake juga. Tetapi sejak kenal dan dekat dengan Audi semua kebiasaan buruk gue bisa dikontrol.
Seiring bertambahnya waktu gue bisa meninggalkan kebiasaan negatif itu. Awalnya gue berhenti ngerokok. Terus lanjut kurangin minum. Jujur demi bisa sampai ke arah situ gue harus melewati proses panjang.
Singkat cerita setelah melewati proses itu akhirnya gue memberanikan diri untuk mengungkapkan isi
hati pada Audi.
Selama ini Audi sudah temenin gue. Dia nggak malu waktu nemenin gue rehab. Ketemu dokter buat terapi. Dan lain sebagainya.
Insaallah sekarang gue sudah berubah jadi cowok baik. Karena itu tepat di malam minggu terakhir di bulan Februari gue ngajak Audi dinner.
Di meja kami dihiasi oleh bunga, lilin menyala, ah pokoknya super romantis lah!
Malam itu gue deg-degan banget. Ya siapa sih
orang yang nggak berdebar ketika mau menyatakan
perasaan?
Gue nggak ada firasat sama sekali. Entah ditolak atau diterima gue nggak mikir sampai sana. Yang terpenting adalah gue lancar ngungkapin isi hati.
Saat ini gue dan Audi duduk berhadapan. Gue masih memperhatikan dia yang sibuk dengan ponselnya. Entah kenapa sedari tadi gue jemput, on the way resto, hingga sampai di resto pun Audi masih fokus menatap layar ponselnya. Gue nggak tahu sejak kapan dia suka cuekin seseorang hanya karena ponsel. Padahal gue tahu Audi bukan tipe wanita yang suka korbanin seseorang hanya karena benda pipih.
"Di," panggil gue.
Satu kali panggilan nggak ada respon. Gue bersabar dan bersiap untuk melontarkan panggilan kedua. Nggak berselang lama gue kembali memanggil Audi. Tetep nggak ada respon. Gue memilih buat menoel tangan kirinya. Berhasil! Audimengangkat wajahnya untuk menghadap gue.
"Maaf," cicitnya.
Gue mengangguk serta menyungingkan senyum seadanya. "Ponselnya simpan dulu, ya?" kata gue hati-hati. "Supaya bisa nikmatin waktu dan suasananya," lanjut gue tersenyum.
Bagaikan bocah yang patuh pada perintah orang tua, Audi menurutinya. Dia memasukan ponsel ke dalam tas hitam miliknya. Setelahnya gue dan Audi bisa menikmati waktu berdua.
Kami saling bertatap pandang. Nah kalau gini suasana romantisnya mulai kerasa. Canggung mulai menguasai diri gue. Percayalah bahwa sebelum ini gue nggak pernah ragu memulai obrolan duluan.
"Kamu kapan makan kalau sibuk lihatin aku?" kata Audi tepat sasaran.
Tadinya gue mau jawab, "gue maunya makan lo." tapi nggak jadi karena pasti bakalan garing. Alhasil gue hanya bisa mengangguk sembari berkata;
"Iya ini mau makan. Kamu juga makan, Di."
Selanjutnya kami menikmati menu yang disajikan dalam diam. Nggak ada gitu adegan ngobrol kayak waktu makan siang di caffe dekat kantor. Rasanya beda. Gue gugup banget. Mau memulai obrolan pun susahnya minta ampun.
"Kita kalau makan di sini berasa seperti pasangan gitu ya," kata Audi di tengah aktivitas makan.
Audi berhasil memecah kecanggungan di antara kita. Dan lo dengar apa katanya? Seperti pasangan? Itu kode bukan?
Gue menegakan tubuh. Gue juga berdeham. Mungkin ini saatnya mengungkapkan isi hati.
"Tujuan aku ngajak kamu ke sini supaya kita jadi sepasang," kata gue intro.
Audi diam dengan ekspresi bingung.
"Maksudnya?"
Gue menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Ini saatnya, Dru!
"Aku nggak pandai ngerangkai kata mutiara. Aku nggak bisa basa-basi. Jadi, aku mau bilang kalau selama dekat dekat kamu aku nyaman."
Bersamaan dengan terlontarnya kalimat itu jantung gue berasa mauloncat keluar.
"Aku juga nyaman sama kamu." Audi menyuarakan pendapatnya.
Otomatis senyum gue mengembang dong ya. Positif thinking banget kalau Audi bakalan balas perasaan gue dengan hal yang sama.
"Sebenarnya aku mau ngungkapin ini dari lama. Tapi aku mau lebih ngeyakinin diri lagi. Dan sekarang setelah sekian lama aku dekat sama kamu, aku semakin yakin."
Audi menunggu kelanjutan kalimat gue. Sebelum melanjutkan gue menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Bersamaan dengan itu tangan gue terulur untuk menyentuh telapak tangan Audi. Halus dan lembut. Puji gue dalam hati.
"Di, aku mau seriusin kamu." gue memejamkan mata lalu membukanya di detik selanjutnya. "Kamu pernah bilang ke aku kalau kamu nggak suka main-main. Kamu juga punya cita-cita nikah muda. Iya kan?" lanjut gue bertanya.
Audi mengangguk sembari menjawab, "Iya."
"Aku mau kamu, Di. Mau kamu jadi Ibu dari anak-anakku," ungkap gue hampir kehilangan pasokan udara.
Penuturan gue otomatis membuat Audi menyergitkan dahi. Dia mungkin bingung dan terkejut.
"Kamu mau sama aku?" tanya gue ketar-ketir sendiri.
"Mas Dru," panggil Audi.
Perasaan gue mendadak enggak enak. Audi balik mengenggam tangan gue. Hangat.
"Sebelumnya Didi minta maaf karena sudah membuat Mas Dru punya perasaan ke Didi," lanjutnya hati-hati.
"Sebenarnya nggak papa. Wajar jika seseorang punya perasaan pada lawan jenisnya. Tapi yang jadi masalah adalah Didi nggak bisa nerima Mas Dru."
Seketika itu adegan kebersamaan gue dan Audi yang selama ini terjalin langsung tersapu badai. Rasanya kayak diterjang tsunami gitu. Terdengar berlebihan, tapi seriusan. Mungkin lo nggak tahu bagaimana rasanya jadi cowok yang ditolak cintanya. Rasanyaya sakit. Sama seperti anak cewek kalau sakit hati. Bedanya hanya kami—para cowok— nggak terlalu memperlihatkan ekspresi 'tersakiti'.
"Ini salah Didi, Mas. Seharusnya Didi jaga jarak supaya Mas Dru nggak terlalu dekat hingga terlalu nyaman. Seharusnya Didi bilang kalau akhir-akhir ini Didi dekat dengan seseorang."
What?
"Bahkan seseorang itu akan melamar Didi dalam waktu dekat," katanya hati-hati.
Jika tadi Audi yang memasang tampang terkejut sekarang gantian gue yang masang tampang begitu. Kalimat yang Audi lontarin nggak masuk di akal gue. Bagaimana bisa dia dimiliki oranglain? Bagaimana bisa dalam waktu dekat seseorang itu akan melamarnya? Kenapa gue baru tahu sekarang?
Ya Tuhan...
"Maaf, Mas. Maafin Audi..." katanya dengan manik berkaca-kaca.
Gue mengeleng. Apa yang terjadi sekarang bukanlah salah Audi. Lalu untuk apa kalimat maaf terlontar dari mulutnya?
"Enggak, Di. Kamu nggak salah apa-apa. Nggak usah minta maaf mungkin aku telat ngungkapinnya," kata gue berusaha tegar dalam kondisi 'kesakitan'.
Lagipula memang benar. Gue terlambat karena terlalu lama menyakinkan diri. Gue kalah gercep dari si pemilik hati Audi. Setan banget sih!
"Kita akan tetap jadi teman kok, Mas. Meskipun nanti Didi udah jadi istri oranglain, tapi itu tidak akan merubah keadaan. Didi akan jadi teman ngobrol Mas Dru. Kita masih akan tetap seperti itu," katanya.
Didi beranjak dari tempat duduknya. Gue kira dia mau pulang, tapi nyatanya Audi menghampiri gue.
Dia ngelus punggung gue pelan. Persis kayak
seseorang yang sedang nguatin oranglain karena kehilangan. Ya emang sih gue lagi kehilangan—kehilangan harapan milikin Audi.
"Aku memang sayang dan nyaman sama Mas Dru, tapi sebagai teman. Aku udah anggap Mas Dru sama seperti Mas Alfa," jelasnya.
Jadi, selama ini Audi cuma anggap gue sebagai kakaknya aja? YaTuhan... Kenapa jadi gue yang baper?
"Jangan benci aku ya, Mas Dru. Apapun yang terjadi jangan pernah benci dan tinggalin Didi sendiri." berjeda. "Ini terdengar egois, tapi aku beneran nggak bisa dan nggak sanggup untuk kehilangan Mas Dru," lanjutnya meraih kelapa gue.
Di detik selanjutnya gue merasakan Audi mencium pucuk kepala cukup lama.
Hell ini adalah malam penolakan yang indah.
*Flashback off*
Adegan itu terputar lagi ketika manik gue mendapati sosok Audi di kantor. Sesuai dengan
perjanjian gue dan Audi beberapa waktu lalu; gue nggak akan meninggalkannya. Bahkan sekalipun dia sudah 'nyakitin' gue sampai separah itu keinginan untuk memutus hubungan dengan dia nggak ada.
Audi duduk kursi kerjanya. Dia bagaikan idola yang dikerubungi banyak fans. Para karyawan/ti semangat menggoda pengantin baru itu.
Keadaan seperti ini sudah seperti tradisi. Barang siapa yang sudah menikah; dipastikan akan dicengin habis-habisan.
Gue kasihan lihat Audi. Pengen bantuin, tapi nanti dikira pahlawan kesiangan. Biarin dulu lah. Nanti kalau candaan anak-anak kelewat batas barulah gue turun tangan.
"Gimana malam pertamanya, Di?" pertanyaan itu muncul dari mulut Indra.
"Duh Mbak Didi sudah pecah perawan yak! Nggak nyangka aku," timpal Veronika si karyawan berkacamata.
"Lah udah percaya? Pantesan aja tadi jalannya agak beda," sahut Janet.
Gue melihat wajah Didi merona. Sedari tadi dia hanya diam sesekali cengar-cengir nggak jelas. Gemes.
"Beri sambutan, Di. Kasih pesan dan kesan setelah menikah," kata Mas Wawan menambahi.
Nah! Titah dari Mas Wawan adalah tradisi yang gue maksud. Semua karyawan/ti yang sudah menikah wajib hukumnya bercerita di depan para karyawan. Adayangpatuh dengantradisiitu. Tetapi kebanyakan memilih membayar denda daripada menyebar 'rahasia' malam pertama.
"Maju, cerita, maju, cerita. Semangat Audiii!!!" koor para karyawan/timenyemangati.
Sebenarnya gue nggak tega ngelihat Audi diginiin. Tetapi gue penasaran. Apakah Arjuna berhasil memuaskan Audi atau tidak. Kalau dilihat- lihat lagi sih kayaknya si kampret Arjuna berhasil menjalankan perannya. Hal itu dibuktikan dari ekspresi Didi.
"Ada apa ini ramai sekali?" suara berat itu mengintrupsi telinga kami.
Mata kami serentak menatap Pak Wira yang baru saja memasuki ruang kerja. Fyi, Pak Wira masuk ke dalam jajaran atasan yang bisa dijadikan teman. Dia nggak pernah semena-mena sama karyawan. Kata korsa melekat pada dirinya. Menyenangkan punya atasan sepertinya. Fyi nomor dua adalah Pak Wira biang dari tradisi konyol ini.
"Gabung, Pak. Ini Didi mau cerita malam pertamanya!" jawab Indra berbinar.
Jika biasanya Pak Wira selalu antusias saat akan mendengar cerita dari para karyawan. Tapi entah kali ini dia masang tampang lempeng. Datar dan terkesan dingin.
"Kalian mau saya kena semprot Arjuna?" Katanya bertanya.
Kami semua menggeleng, tapi sebagiannya lagi mengangguk—termasuk gue.
"Enak saja kalian semua! Arjuna itu rekan bisnis saya. Nanti kalau dia tahu Audi membuka cerita tentang rumah tangganya habislah riwayat saya!" katanya menepuk jidat.
"Ya tapikan sudah jadi tradisi, Bos," komen Irfan.
"Optionnya ada dua kan? Ada bercerita atau bayar denda?" tanya Pak Wira mendapat anggukan dari kami semua. "Saya lebih memilih bayarin Audi denda daripada koneksi saya dengan Arjuna hancur," lanjut Pak Wira mengeluarkan dompetnya.
Shit.
Dasar pahlawan kesiangan!
"Ini saya bayarin denda Audi. Dua kali lipat!" katanya memasukan uang ke dalam kotak kaca.
Kotak itu digunakan untuk menampung uang para pelanggar. Pelanggaran selama satu bulan. Lalu setelahnya akan kami gunakan untuk makan,
nongkrong, atau karaokean di akhir bulan.
"Ya elah Pak Wira mah nggak asik," kata Indra kesal.
"Sudah-sudah. Balik kerja kalian semua," titah PakWira tak terbantahkan.
Dan saat itu pula gue melihat Audi menghembuskan napas lega. Kalau dia lega gue pun sama. Ya meskipun gue penasaran setengah mampus sama kegagahan Arjuna.
...
Anak-anak udah keluar ruangan sejak beberapa menit lalu. Gue masih bertahan karena tungguin kerjaan gue ke save. Sembari menunggu tersimpan gue nggak sengaja lihat Audi. Ada Langka juga disini, tapi dia lagi bikin kopi di pantry.
Karena hanya ada gue dan Audi doang akhirnya gue memberanikan diri buat nyapa dia duluan.
"Nggak pulang, Di?" tanya gue.
Audi yang tadinya fokus dengan laptop kini beralih natap gue. "Iya, Mas Dru?"
"Nggak pulang?" ulang gue.
"Belum. Masih nyelesain tugas. Sama nunggu jemputan sih," lanjutnya disertai cengiran khas Audi.
Aduh kok nyesek ya saat dengar Audi jawab 'tunggu jemputan'. Dia sudah ada yang jemput, ya Biasanya pulang bareng gue.
"Mas Dru sendiri kenapa belum pulang?" kata
Audi balik nanya.
Gue menerjap. Kenapa gue belum pulang?
"Ini masih nunggu laporan ke save," jawab gue seadanya.
Audi mengangguk lalu pamit menyelesaikan kerjaannya. Gue juga sama. Lalu kabar baiknya
adalah file gue sudah tersimpan.
Sekarang gue harus apa? Apa iya gue pulang—ninggalin Audi sendirian?
"Mas Dru?" panggilan Langka berhasil membuat gue berhenti memikirkan jalan keluar. Sejenak.
"Iya?"
"Boleh minta tolong?" tanya Langka dengan tangan membawasatu cangkir kopi.
"Apa?"
"Aku hari ini pulang telat. Tapi Bapak barusan kabarin minta aku jemput Mbak Lintang."
Gue mencium bau-bau.
"Nah masalahnya kerjaan aku kurang dikit lagi. Tanggung banget kalau ditinggal." Langka menatap gue. "Boleh minta tolong jemputin nggak?" lanjutnya.
Gue berpikir. Setidaknya kalau gue pergi Audi sudah ada temannya biar nggak sendirian.
"Gimana, Mas? Kelamaan mikir bisa bikin Mbak Lintang makin lama nunggu," katanya. "Kalau Mas nggak mau aku bisap esenin dia ojol," lanjutnya.
"Nggak usah. Biar gue aja yang jemput," kata gue beranjak setelah berhasil mematikan komputer. Gue mendekat ke Langka. "Gantinya lo pastiin Didi baik-baik aja sampai suaminya jemput," lanjut gue pelan.
"Siap. Bisa diatur!" jawab Langka semangat.
"Yaudah kalaugitu gue balik duluan, Lang. Gue nggak mau bikin kakak tercinta lo nunggu," pamit gue menepuk bahu Langka.
"Siap, Mas! Take care. Jangan sampai Mbak Lintang luka atau kegores, ya!" pesan Langka gue jawab dengan anggukan.
Langka duduk di kubikel sementara gue berpamitan dengan Audi.
"Balik duluan ya, Di."
"Iya, Mas Dru. Hati-hati," balasnya seadanya.
Setelahnya gue pergi dari hadapannya. Bukan, bukannya gue tidak mau berinteraksi dengan Audi. Tetapi gue harus sadar batasan kalaumau cepat move on.
Singkat cerita gue jalan ke parkiran. Sesampainya gue langsung buka pintu mobil. Belum sempat mendaratkan pantat di jok karena ponsel gue berbunyi. Satu panggilan masuk. Karena terburu-buru gue nggak sempat melihat nama si penelfon.
Gue menerima telefon sembari masuk dalam mobil, duduk, dan memasang seatbelt. "Hallo?" awal gue.
"Druuu jemput gue di kantor. Soalnya gue
nggak bawa mobil. Oke gue tunggu. Love you."
*tuttuttut...*
Shit!
Penelfon itu Audri.
Doubleshit!
Ketika gue dihadapkan dua pilihan antara jemput Lintang atau Audri dulu.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top