Bimbang(2)
"Woi, Lang. What happen with you?" tanya gue begitu Bapak pergi.
Suasana ruang tamu mendadak mencekam. Nggak ada Langka yang hangat, nggak ada Langka yang kocak. Cowok itu berubah menjadi sosok seriusnan misterius.
"Jangan ngeliatin gue kayak gitu napa! Jatuh cinta tahu rasa," ucap gue nggak bisa menahan lebih lama. Demi dah gue bukan tipe orang yang suka dilihatin intens.
Langka tersenyum miring atas candaan gue. "Bahkan di saat seperti ini kamu masih bisa
bercanda," katanya sarkas.
"Lo kenapa deh, Lang?" tanya gue balas menatapnya.
"Baru tadi pagi aku percayain Mbak Lintang ke Mas Dru. Bapak juga sudah percaya sepenuhnya ke Mas.
Tetapi apa balasan kepercayaan kami?" bukannya
membalas pertanyaan gue dengan jawaban Langka
malah balik nanya.
Gue mengerutkan kening usai mendengar perkataanya.
"Belum ada satu hari Mas Dru sudah berhasil
membuat Mbak Lintang nangis," kata Langka.
Gue berusaha mencerna kalimat yang Langka
lontarkan. Lintang nangis? Kapan?
"Gue nggak ngapa-ngapain Lintang, Lang. Demi
tusuk konde didi nini towok deh."
"Bukan kamu, tapi pacar kamu," katanya melayangkantatapan lebih tajam. "Ralat bukan pacar, tapi calon istri."
Tunggu dulu. Kejadian di depan rumah Audri beberapa jam lalu sudah sampai ke telinga Langka?
Ck! KenapaLintang harus ceritake adiknyasih?
Terus tadi Langka bilang kalau Lintang nangis?
Karena hal itu?
"Kalau Mas Dru sudah punya calon kenapa terima tawaran aku?! Harusnya kamu tolak daripada
ngasih harapan palsu!" katanya blak-blakan.
"Gue nggak lagi menjalin hubungan sama
siapapun." gue mencoba membela diri.
Langka tersenyum miring. "Oh ya?" tanyanya dan langsung gue bales dengan anggukan. "Dia telefon Mbak Lintang beberapa menit lalu!" lanjutnya
memberi info.
"Dia ngatain Mbak aku tuli dan juga ganjen!" kata Langka tersenyum sinis. "Bahkan Bapak dan Ibu nggak pernah ngatain Mbak Lintang seperti itu,"
lanjutnya membuat gue nggak enak.
Audri keterlaluan! Kali ini dia kelewat batas. Gue nggak akan biarin dia bertingkah sesuka hati.
Tunggugue, Dri!
"Gue minta maaf, tapi lo harus percaya bahwa apa yang terjadi beneran di luar kendali gue." gue
mencoba meluruskan.
"Mas Dru minta maaf sama artinya dengan mengakui kebenarannya." sorot kekecewaan nggak bisa disembunyikan dari mata Langka. "Mas Dru maunya apasih?!" lanjutnya kesal.
"Dia yang lo maksud adalah Audri," kata gue mengakui.
Langka menoleh begitu tahu nama saudari kembar Audi disebut. Sebelumnya dia pernah gue kenalkan dengan Audri secara langsung. Mereka sempat berbincang cukup lama. Dan pendapat
Langka diakhir pertemuan pertama adalah dia suka Audri.
Maksud dari kata suka di sini adalah Langka suka sifat easy going cewekitu. Audri mudah bergaul, asyik diajak ngobrol pula. Jadi jangan heran kalau
sebagian besar temen gue suka sama dia.
Ekspresi keterkejutan Langka nggak bisa disembunyikan. Dia menggeleng, nggak percaya. Gue berasa baru saja memberitahu berita spektakuler. Seakan-akan gue mengaku bahwa gue telah ngehamilin kucing betina.
"Gila kamu, Mas!" adalah komentar yang Langka berikan setelah puas menampilkan raut
keterkejutan.
"Gila apaan?" tanya gue polos.
"Kamu ditinggal kawin sama Audi dan sekarang deketin kembarannya. Mau apa? Balas dendam?"
jawabnya diakhiri dengan sebuah pertanyaan.
Jujur sedari awal gue menahan gemes. Karena sudahtakbisa menahannya, gue pun menjitak kepala Langka. Cukup keras hingga membuatnya mengaduh sserta mengelus kepala.
"Gue nggak sebajingan itu!" kata gue nggak
terima.
"Ya terus untuk apa?" Langka balik natap gue nyolot.
"Mas Dru sadar nggak secara nggak langsung Mas Dru sudah memberi harapan pada dua orang?" lanjutnya bertanya.
Gue mengusap wajah kasar. Yang dikatakan Langka benar. Secara nggak langsung gue memberi harapan pada dua wanita sekaligus. Tetapi kalau sama Audri beda cerita!
"Apapun alasan kamu harusnya Mas Dru nggak usah nerima tawaran aku sedari awal!" ucap Langka
kembali memfokuskan tatapannya ke depan.
Gue menyandarkan kepala ke sofa. Mata gue menerawang ke langit-langit ruangan. "Audri nawarin kerja sama, Lang. Awalnya gue nggak
nerima kemudian dia bawa-bawa nama Audi di dalamnya."
Langka terlihat tertarik dengan cerita gue langsung menoleh. Dia ngelihatin gue dengan
khidmatnya.
"Dia nggak sebaik yang lo kira, Lang. Audri
licik," kata gue menegapkan tubuh.
"Seriusan? Kenapa dia bawa-bawa Audi?
"Mereka kembar kan ya?" tanya Langka beruntun.
"Didi nikah sama mantan pacar Audri," ungkap gue membuat Langka membuka mulut lebar. "Duarius?" tanggapannya.
Gue mengangguk. "Audri yang belum—nggak bisa move on— berencana untuk hancurin rumah tangga kembarannya."
Langka menggeleng. Memang ini terdengar 'konyol', tapi begitulah adanya. Dari awal gue juga nggak habis pikir sama Audri. Semakin nggak bisa mikir tatkala cewek itu ngajak gue gabung hancurin rumah tangga kembarannya.
Gue si baik hati ini tak bisa diam saja. Gue nggak mau ngehancurin rumah tangga orang yang
pernah gue cintai—hinggasaat ini, maybe. Oleh
karena itu perjanjian enam bulan menjalin
hubungan dengan Audri gue cetuskan.
"Terus kenapa kamu bisa masuk ke dalam
rencana Audri?"
Gue mengusap wajah kasar. "Jujur sampai sekarang rasa cinta gue pada Audi masih ada. Dan lo tahu kan kalau seseorang—anggap saja gue sudah cinta pada Audi dengan begitu besarnya, gue rela melakukan apa saja demi bisa mendapatkan balasan cinta itu. Istilah ngetrennya adalah bucin. Terdengar lebay, tapi gue beneran masuk dalam jajaran manusia bucin."
"Dan akibat kebucinan itu gue jadi manusia bodoh. Udah tahu Audi milih oranglain sebagai
imamnya. Bodohnya gue masih peduli.
"Maksudnya peduli di sini adalah gue nggak mau Audi kenapa-napa. Karena gue nggak mau Audri nyakitin Didi gue mencari cara. Hingga tercetuslah perjanjian menjalin hubungan selama enam bulan,"
jelas gue panjang lebar.
Langka masih diam. Dia seakan mencerna semua cerita gue.Tak lama kemudian Langka buka suara.
"Terus Mas Dru udah ada rasa sama Audri? Maksudnya Mas Dru yakin apa enggak kalau Audri bisa move on? Begitu juga sebaliknya?"
Gue menggeleng. "Gue nggak tahu. Audri susah ditebak orangnya."
"Gini deh. Mas Dru tertarik nggak sama Audri?" tanya Langka berjeda. "Maksudnya gini; kan kalau sama Mbak Lintang, Mas Dru bilang ada 'ketertarikan' menjalin hubungan serius. Lah kalau sama Audri gimana? Sama?" lanjutnya lagi-lagi natap gue.
Gue menggeleng dengan cepat. "Gue cuma mau
bantu dia move on. Nggak lebih. Jujur meskipun wajah Audri sama persis dengan Audi, tapigue nggak
minat jalin hubungan sama dia."
"Terus kalau misal Audri berhasil move on ke Mas Dru selanjutnya gimana?"
Nah utu dia permasalahannya!
"Gue gak tahu. Tapi gue sama sekali nggak minat buat seriusin dia, Lang," kata gue frustasi.
"Bukannya apa-apa, tapi lo pikir aja. Gue bisa digolongkan ke dalam daftar cowok kurang baik. Lalu apakah iya gue harus dapet pasangan yang mempunyai kekurangan yang sama?"
Kami sama-sama diam.
"Gue masih pantas untuk dapatin cewek baik kan, Lang? Gue tahu ini terdengar egois, tapi ayolah cowok brengsek mana sih yang mau punya pasangan
sama bejatnya?" tambah gue.
"Boleh aku berpendapat dan ngasih saran?" Langka meminta izin.
Tentu saja gue ngangukin kepala. Meskipun
usia Langka dibawah gue, tapi diabisabersikap lebih
dewasa. Dia sering ngasih petuah bijak kalau nggak
lagikambuh.
Langka berdeham sembari menegakan tubuh. "Sebelumnya aku mau ngasih tahu kalau Mas Dru
salah."
"Gue tahu," komen gue sadar diri.
"Jangan potong ucapanku. Selama aku bicara jangan sekalipun Mas Dru memotongnya!" katanya
memperingatkan.
Lagi-lagi gue hanya bisa ngangguk.
"Kesalahan pertama yang Mas Dru perbuat adalah seharusnya kamu nggak perlu nerima atau
membuat kesepakatan bodoh dengan Audri—"
"Gue ngebiarin Audri hancurin rumah tangga Audi gitu? Nggak bisa gitu lah, Lang!" kata gue nggak terima.
Langka hanya bisa menggeleng sembari mengelus dada. Gue kelepasan! Mulut gue butuh
diplester kayaknya.
"Benar-benar bucin. Ckck," komennya. "Selain
bucin Mas Dru juga beneran bodoh."
Gue diam. Bukan menerima ejekan Langka yang bilang gue bucin bin bodoh, tapi lebih ke mikir gue beneran bodoh beneran sepertinya.
"Sekarang Mas Dru mikir aja deh. Sejahat dan selicik-liciknya Audri, percaya sama aku kalau dia nggak akan tega nyakitin anggota keluarganya," ucap Langka mengawali.
Nah dari kalimat itu sadar. Gue merasa 'ditampar'.
"Audi dan Audri kembar lho. Mereka satu rahim sejak sebelum lahir."
"Lalu masalahnya adalah apakah salah satu dari mereka tega menyakiti saudari kembarnya?"
tanya Langka.
Tak lama kemudian Langka menggeleng. "Jawabannya adalah enggak. Nggak mungkin."
Selama ini gue nggak mikir sampai situ. Yang
gue pikirin adalah bagaimana cara menghetikan Audri. Hanya itu.
Gue cukup tertampar dengan kalimat yang keluar dari mulut Langka. Benar apa katanya; nggak mungkin seorang saudara menyakiti saudaranya yang lain. Tapi, ini Audri. Ancaman dia terlalu menyakinkan untuk dianggap gertakan.
"Kalaupun Audri tega nyakitin Audi itu nggak ada hubungannya sama Mas Dru. Ingat Mas Dru
bukan siapa-siapanya Audi, point utama."
"Yang kedua adalah Audi sudah menikah. Dia punya suami. Itu artinya apapun yang terjadi pada Audi, dia sudah punya pelindung. Mas Dru nggak berhak atas dia. Apapun alasannya," lanjutnya lagi-lagi benar.
Gue kembali tertampar. Perkataanya kali ini semakin membuat gue sadar. Langka benar. Audi sudah punya pelindung.
"Terus sekarang gue harus gimana, Lang?" tanya gue menatap Langka.
"Ya kamu pilih salah satu."
"Maksudnya?"
"Ya Mas Dru pilih tetap melindungi Audi, tapi nggak akan menghasilkan apa-apa. Atau Mas Dru putusin perjanjian nggak penting itu lalu menjalin hubungan dengan Mbak Lintang," kata Langka memaparkan.
Langka merangkul gue. "Mas Dru harus tegas. Ini bukan mainan dan berurusan dengan masa depan."
"Jadi silahkan pilih tetap bertahan melindungi masa lalu atau menata masa depan dengan orang baru," bisik Langka menepuk pundak gue.
Mata gue terpejam–mencoba mencari sebuah jawaban. Bukannya mendapat jawaban gue malah
semakin kebingungan.
Hamba harus apa Tuhan?
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top