Masalah
Dessy yakin bahwa tidurnya sudah cukup . Tapi langit di atasnya masih hitam tanpa ada tanda terbit matahari. Ia segera bangun dan mengguncangkan tubuh Oliver dengan panik. "Oliver! Bangun!" bentaknya sambil terus mengguncangkan tubuh pelayannya itu.
"Ya ampun, tuan putri..." ujar Oliver sambil menggeliat.
"Bangun kau! Lihat sekelilingmu, apakah tidak ada hal yang aneh?" seru Dessy.
Oliver menggosok matanya dan mendapati keadaan yang masih gelap. "Eh, benar juga.." Oliver kemudian mencoba duduk. Ia tidak menanggapi kepanikan Dessy malah diam menatap api unggun dengan mata yang masih sayu.
"Oliver, apa yang harus kita lakukan?!" Dessy jadi tidak sabar. "Apakah kita berhalusinasi? Kalau iya kenapa halusinasimu dan aku sama? Apakah kita keracunan air sungai? Memakan tumbuhan beracun?"
Oliver menguap lagi. "Ya ampun, tuan putri. Tidak ada yang salah, kok. Kita berada di kawasan Sungai Malam. Di sini malam takkan pernah berakhir". Oliver mengeluarkan kaca berukuran kartu. Kaca itu ditempeli stiker yang mengubahnya menjadi ponsel pintar. "Ah benar dugaanku. Sekarang pukul sepuluh pagi, tuan putri. Sebenarnya tanpa melihat penunjuk waktu pun kau bisa tahu dari api unggun yang semakin mengecil, tuan putri. Artinya memang sudah lewat beberapa jam kita berada di sini."
Dessy yang malu karena kepanikannya langsung merebut kaca pintar milik Oliver dan membuangnya ke sungai.
"Hei!"
"Ja..jangan pakai benda itu!! Bagaimana nanti kalau posisi kita ketahuan?!" bentak Dessy lagi.
"Tapi tuan putri, memangnya kita bersembunyi dari apa?" Oliver nampak kebingungan.
Dessy menghentakkan kakinya dan akhirnya kembali ke tempatnya. Oliver terlihat berpikir keras lalu menyadarinya, "ah, tuan putri. Kau sungguhan ingin mengetes kasih sayang ratu padamu? Kukira kau hanya melantur saja."
Dessy memalingkan wajahnya sebal.
"Tapi kau tidak harus melempar gawai milikku, tuan putri! Aku baru memilikinya sebulan laluu...!" Oliver menggerutu. Ia lanjut mengomel sambil melakukan peregangan. Omelan itu tidak berhenti saat mematikan api unggun hingga ia meminta Dessy melepaskan rompi miliknya. Dengan ogah-ogahan Dessy melepaskan rompi itu. "Seperti kataku, tuan putri, kita harus keluar dari hutan ini. Maksudku, kawasan ini juga. Kita harus menuju tempat yang ada mataharinya. Kalau bisa sih ke pemukiman warga supaya bisa makan dan ganti baju."
Dessy menggeleng.
"Kau mau makan apa kalau begitu? Buah dari hutan ini? Ikan dari sungai di hadapanmu? Tadi saja kau panik setengah hidup mengira kita keracunan!" Oliver gemas. "Kalau kau tidak mau, aku akan pergi sendiri. Aku tidak mau melayani putri manja sepertimu!" Oliver pergi sambil menghentakkan kakinya.
"Terserah!" teriak Dessy masih di tempat yang sama. Ia belum beranjak sedikit pun.
"Aku pergi!" Oliver berteriak dari jarak beberapa meter. Dessy tetap bergeming.
Suara kaki Oliver sudah tak terdengar lagi. Angin malam kawasan Sungai Malam mulai bertiup. Api unggun sudah hampir mati. Keadaan berubah suram. Dessy sebenarnya tidak takut karena terbiasa dengan kesendirian dan kesuraman ketika berada di istana. Tapi istana bukan tempat tanpa kehangatan dan tanpa kenyamanan. Dessy belum pernah bertahan hidup di alam terbuka seorang diri. Kali ini, merajuk bukanlah pilihan.
"Oliver!" Dessy menoleh dan jatuh terkaget. Oliver telah berada di belakangnya. Pemuda itu menjulurkan lidahnya.
"Blee!"ledek Oliver.
Dessy menyembunyikan wajahnya yang memerah sambi menahan hasrat ingin memukul. Oliver menarik tangan Dessy dan mereka pun mulai berjalan bersama. "Aku tadi mengecek di depan sana, beberapa kilometer, ada matahari dan ada pasar disana."
"Beberapa kilometer? Kenapa tidak terlihat dari sini?"
"Entahlah."
"Kau mengecek dengan GPS atau melihatnya sendiri? Langkah kakimu tidak terdengar"
"Aku berlari ke sana, tuan putri. Bukankah gawaiku sudah kau buang?" Oliver menyindir. Pemuda itu kemudian berhenti dan berjongkok. "Jaraknya masih jauh tuan putri. Aku akan menggendongmu".
"A...aku bisa berlari, kok!" Dessy menolak.
"Tuan putri, aku sungguh-sungguh.." Oliver kembali kesal. Tanpa ba-bi-bu, ia menggendong Dessy dan memintanya untuk menutup matanya. Tiga menit kemudian, mereka telah berada di bawah cahaya mentari. "Buka matamu, tuan putri," Oliver menurunkan Dessy perlahan-lahan.
Lingkungan mereka sudah berubah. Kalau tadi mereka berada di kawasan Sungai Malam yang merupakan kawasan hutan taiga dan sungai yang sangat luas, sekarang mereka berada di gurun pasir yang mataharinya tidak terlalu terik. Benar kata Oliver, ada pasar di gurun itu. Mereka perlu berjalan beberapa meter lagi untuk sampai ke sana. Pasar itu terdiri dari banyak tenda. Orang-orang disana menggunakan pakaian tradisional. Perempuannya mengenakan gaun dan lelakinya mengenakan kemeja berompi dan celana selutut.
"Lihatlah pasar ini, tuan putri. Ramai sekali" kata Oliver. "Kau tidak panik saat di keramaian kan?"
"Tidak. Tapi keramaian membuatku pusing."
"Baiklah, kalau begitu kita tidak akan jalan-jalan. Kita akan langsung mencari pakaian dan makanan," Oliver mengapit lengan Dessy dan berjalan sambil mencari-cari toko pakaian. Dessy ikut mencari. Beberapa menit berjalan, mereka akhirnya mendapati toko pakaian. Sayangnya toko pakaian itu tidak menjual pakaian biasa melainkan pakaian bekas bangsawan kuno kerajaan. Pemilik tokonya sendiri bilang bahwa ia bisa membuktikan keasliannya.
"Apakah tidak ada toko pakaian yang... biasa saja?" tanya Dessy sambil melihat sebuah gaun, "Ah, ini milik ratu ke delapan keluarga McGuaverra."
"Tepat sekali nona. Kau punya wawasan mode yang bagus," puji Pemilik Toko. "Sayangnya aku hanya menjual pakaian lawas yang bernilai sejarah seperti ini. Pakaian modern tidak menarik minatku. Kalau kau mau pakaian yang normal, pergilah ke sebelah timur. Di sana ada pasar lebih 'biasa saja'."
Oliver yang sedang melihat-lihat pakaian menoleh perlahan. "Apakah ini pasar gelap yang terkenal itu?"
Pemilik Toko mengangguk. "Tentu saja, nak. Mana boleh pakaian bangsawan diperjual belikan bebas seperti ini. Benda-benda ini harusnya berada di museum. Kau lihat toko di sebrang sana? Mereka menjual senjata bekas perang delapan belas tahun yang lalu. Atau toko di sebelahku ini, mereka menjual batu mulia dari tambang ilegal. Dan masih banyak lagi toko-toko barang terlarang di sini," Pemilik Toko menuangkan air untuk Oliver dan Dessy.
Oliver menggenggam tangan Dessy perlahan.
"Orang-orang yang datang kemari adalah mereka yang memang penjahat atau kolektor ilegal. Banyak juga petualang palsu yang datang kemari untuk membeli artefak seakan mereka yang menemukannya. Tapi menurutku kalian bukanlah jenis orang yang aku sebutkan."
Dessy menatap Oliver bingung. Pemuda itu nampak sangat panik.
Sambil menyerahkan nampan, Pemilik Toko bertanya, "kalian ini siapa?"
"Kami hanya tersesat, hehe" Oliver tersenyum dan menaruh tangannya di belakang kepala. "Kami ini kabur dari rumah, tuan. Kami berjalan jauh dan menemukan pasar ini. Karena baju kami sudah kotor saat perjalanan, akhirnya mencari toko pakaian ini hehehe..."
Pemilik Toko itu menggeleng-gelengkan kepala. Ia kembali menaruh nampan di mejanya. "Nampaknya, kalian berjalan terlalu jauh. Tapi biarlah. Toh tempat ini tempat kotor. Niat buruk menuntun kalian ke tempat yang sama buruknya. Sayangnya aku ini orang tua yang ingin dihormati, jadi kalian anak-anak, angkat kaki kalian dari tokoku..."
"Baik tuan, baik" Oliver menarik tangan Dessy keluar dari tenda dan berjalan pergi ke ujung pasar yang lain.
"Hei, kau mengejekku ya?" kata Dessy.
"Berbohong itu tidak baik, tuan putri," kata Oliver. Ia pun menarik Dessy ke pinggir. "Tuan putri, dengar. Sebelum kau melempar gawaiku, Tuan William memberiku kode bahwa kakakmu disergap saat melintas di pasar gelap ini. Aku tidak mau kau juga disergap. Salahku membawamu kemari. Kita harus keluar-"
Dessy memutar bola matanya dan berjalan kembali ke jalan utama pasar. Ia ikut berdesak-desakan dengan orang-orang. Oliver ingin sekali berteriak. Tapi jika hal itu dilakukan, Dessy akan ketahuan dan kemungkinan besar akan disergap juga.
Oliver tidak perlu berpikir keras. Ia ikut mengalir diantara lautan manusia. Mencari gadis berambut hitam selutut dan memakai kaus putih dan... ah pokoknya dia beda sendiri diantara orang-orang ini! Yah, walau pun penampilan Dessy agaknya mencolok, tapi kalau sudah bersembunyi, ia bisa hilang sampai waktu yang ia kehendaki. Pasir berterbangan. Udara makin panas. Matahari sudah naik lebih tinggi dan kini lebih terik. Kepala Oliver pusing berkeliling di pasar gelap yang mungkin tak berujung itu.
Sebelum kaki-kakinya menyerah untuk menumpunya, Oliver melihat seorang wanita memakai liontin yang ia kenal. Ia mengangkat wajahnya. Wanita itu memakai tudung dan bergaun ungu. Ia berjalan berlawanan arah. Oliver merasa benar-benar kesal. Sebelum wanita itu pergi, Oliver melompat, membuka tudungnya, dan menarik liontin itu secara paksa dari belakang.
"EEEKKHH!!!" wanita itu menjerit.
"Dari mana kau dapat benda ini?" tanya Oliver dingin. Ia tak peduli melihat wanita di hadapannya kesakitan.
"Ampun.. ampuunn.." wanita itu menunjuk ke jalan. "Aku mencurinya dari kedaii! Aku salah, maafkan akuu!"
Oliver melemparkan beberapa keping koin emas tepat di atas kepala wanita itu. "Ambil itu". Tanpa melihat ke belakang lagi, ia berjalan ke arah yang ditunjuk oleh si wanita. Oliver beruntung wanita itu tidak berbohong. Beberapa langkah dari tempat tadi memang ada tenda kedai dan Dessy di sana. Gadis itu duduk di pojok meja panjang bersama dengan beberapa orang rombongan entah dari mana. Hidangan yang ia pesan baru saja datang. Oliver mengusir orang yang duduk di hadapan tuannya.
Dessy memiringkan kepalanya sambil mengaduk sup pesanannya. Ia tersenyum sinis melihat Oliver. "Hai" katanya.
"Jangan ber-'hai' padaku!" suara Oliver meninggi. "Dengar, aku minta maaf jika kau tersinggung pada sikapku sebelumnya. Tapi bersikap seenaknya seperti ini juga tidak ada benarnya dan malah membahayakan mu!" sentak Oliver.
Dessy memutar bola matanya sembari mencelupkan roti keras.
"Kau kecurian.." Oliver memperlihatkan liontin Dessy.
"Hei, aku membayar makanan ini dengan liontin itu!" Dessy celingukan pencari pemilik kedai yang sebelumnya ia temui. "Ah sudahlah, nanti akan ku beri lagi padanya" kata Dessy. Ketika ia hendak memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya, Oliver menendang mangkuk sup dan sendok hingga terpelanting ke belakang. Sisa-sisa sup ada yang mengenai tangan Dessy. Entah kenapa sisa-sisa itu menyebabkan bekas merah seperti luka bakar.
"Tangkap mereka!" pemilik kedai yang bersembunyi berseru. Sesaat kemudian rombongan yang duduk bersama Dessy menyergap. Dengan cepat mereka melemparkan segala sesuatu yang mereka miliki. Entah itu senjata atau racun. Gerakan Oliver juga tidak kalah cepat sehingga ia dan Dessy bisa lolos dari serangan. Dua remaja itu berlari dan melompat di atas meja-meja, tanpa sengaja memecahkan banyak gelas dan piring, menjatuhkan bangku panjang, dan di luar kedai, Oliver mencabut penyangga tenda. Atap tenda yang berat menyebabkan rombongan terjebak.
Oliver menggendong Dessy dan lari dengan kecepatan yang tidak bisa Dessy bayangkan manusia bisa berlari secepat itu. Oliver mencari jalan tercepat untuk keluar dari pasar. Bahkan setelah dari pasar Oliver tidak memperlampat larinya. Ia terus berlari hingga masuk ke dalam hutan. Langkahnya terhenti saat menemukan sungai yang membelah hutan itu.
"Hah...hah.." Oliver menurunkan Dessy. "Sudah lama aku tidak berlari sejauh itu". Dessy yang masih syok hanya menatap Oliver. Pemuda yang ia lihat itu duduk di tanah berumput dan meminum air sungai. Oliver kemudian menarik Dessy duduk dengan paksa dan merendam tangan Dessy yang memerah. "Tuan putri... sepertinya identitasmu sudah diketahui oleh orang jahat," ujar Oliver.
"A..apakah mereka bandit yang menyerang kakakku?" tanya Dessy. Tangan gadis itu gemetaran.
"Entahlah..." Oliver menatap Dessy. Raut wajahnya sangat kesal. "Harusnya kau tetap bersamaku! Kalau kau lapar kita cari makan sama-sama! Jangan jual benda yang menjadi identitasmu! Aku sudah membawa emas untuk jaga-jaga. Selama ini kau pikir aku hanya mengganggumu?! Aku ini pelayanmu, tuan putri! Prioritasku adalah menjaga amanah dari ibundamu, yaitu menjagamu! Kalau kau tidak mau bekerja sama sebentar saja inilah akibatnya!" Oliver membentak sambil tetap membenamkan tangan Dessy ke air.
Dessy hanya bisa menunduk mendengar omelan Oliver. Ia merasa sedih, malu, dan marah pada dirinya sendiri. "Maaf.. maafkan aku.." air mata gadis itu meleleh. Suara tangisannya kian mengeras. Oliver membiarkannya beberapa lama. "Maafkan aku Oliver..." ucap Dessy. Oliver mengusap kepala gadis itu dengan lembut. Mereka duduk di tepi sungai itu hingga menemukan suatu ke janggalan. Arus sungai di hadapan mereka pelan. Sepelan arus sungai malam. Tetapi mereka mendengar suara aliran air yang sangat keras. "Apakah sungai ini bermuara dari air terjun?" tanya Dessy.
"Ku rasa iya. Sepertinya kita berada di Sungai Permata."
"Kenapa kau begitu yakin?" tanya Dessy.
"Yah, kalau arus sungainya setenang ini dan suara air terjun masih terdengar, tidak salah lagi sungai ini adalah Sungai Permata. Air Terjun Permata itu terdiri dari beberapa air terjun dengan masing-masing air terjun memiliki arus yang deras," jawab Oliver.
"Kau hafal sekali... " Dessy berkata lirih. "Pernah ke sana?"
"Memangnya kenapa?"
"Air Terjun Permata itu... Tempat di mana batu liontin yang kau berikan digali..." ujar Dessy. "Tepat di belakang air terjun yang paling besar ada sebuah gua. Tidak mudah datang ke Air Terjun Permata karena jalan ke sana ditutupi kabut paling tebal yang bisa kau tahu..."
Belum sempat tatapan Dessy dan Oliver bertemu, rombongan pasar gelap menyergap keduanya dari atas pohon. "DESSY!!!" Oliver tak dapat lagi menjangkau tangan Dessy. Anggota rombongan itu melumpuhkan kekuatan Rhodes kedua tawanan mereka dengan cepat. Hal yang terakhir dilihat oleh Dessy adalah wajah pemilik kedai yang tersenyum jahat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top