Hilang
Disclaimer:
Trigger warning
***
Ruang makan istana tidak terlalu besar. Terdiri dari sebuah meja panjang, dan enam buah kursi, langit-langitnya berbentuk kubah, lantainya marmer, dan banyak jendela besar yang menampakkan kilatan-kilatan di luar. Terhidang pai daging dan dua mangkuk sup krim di atas meja. Hidangan yang cocok untuk menghangatkan perut saat badai seperti malam ini. Dessy menatap Rebecca yang tengah memotong pai untuknya. Di sebrangnya ada sesosok wanita yang mulai asing baginya. Karisma wanita itu tidak ada bedanya jika sedang di depan pejabat atau keluarganya.
Giliran piring sang ratu yang diisi oleh Rebecca. Setelah selesai, Rebecca duduk dan mengisi piringnya sendiri. "Mari makan" ujar Ratu Rosalinda. Dessy menyantap makanannya tanpa gairah. Rebecca sambil mengunyah bersiap untuk melaporkan kegiatan di istana hari ini.
"Hari ini anakmu membolos"
Kalau melempar piring adalah hal sopan di etika meja makan, maka Dessy akan melalukan hal itu pada Rebecca.
"Oh ya?"
Rebecca mengangguk, "jadi kusuruh dia ke perpustakaan bersama pelayan baru itu."
"Mana anak baru itu? Dia tidak ikut makan?" Ratu Rosalinda menyuap pai ke dalam mulutnya.
"Entah dia kemana. Toh nanti juga kembali."
Makan malam berlanjut dengan hening.
"Bunda.."
Walau Dessy memanggilnya dengan sebutan 'bunda', 'ibu' atau sebutan apapun, rasanya seperti membohongi diri sendiri. Sang ratu memiliki rambut perak bergelombang, matanya keemasan dan memiliki sorot mata teduh. Bak boneka hidup, wajahnya tak nampak kerutan, kecantikannya seperti remaja. Sedangkan Dessy, rambutnya lurus berwarna hitam. Orang banyak berkomentar bahwa wajahnya tidak ramah. Ia sendiri mengakui hal itu setiap bercermin. Bagi Dessy, hampir tidak ada kenangan masa kecil yang membahagiakan bersama wanita itu. Setiap tangisan rindu untuknya seakan tidak pernah sampai. Setiap ulah tidak membuat sang ratu menoleh kepadanya. Seolah kata-kata para wanita penggunjing dibenarkan oleh sikap sang ratu sendiri.
"Ya?"
Dessy menelan ludah. Tadi siang ia sudah membuktikan ucapan Oliver. Buru-buru Dessy lari ke kamarnya. Ruangan itu ia anggap sanggup untuk menahan radiasi kekuatan Superior yang ia keluarkan. Dikeluarkannya arloji kuno dari sakunya. "Kalaulah aku ini anak raja-raja, maka keluarlah! Kekuatan untukku, putri rajamu!" teriaknya. Arloji itu bersinar dan mengeluarkan pedang berwarna perak. Kaus dan rok yang dipakai Dessy berubah menjadi gaun putih yang indah. Batu liontin dari Oliver menyatu menjadi hiasan di gaun itu. Ia mencoba menebas dengan pedangnya. Angin akibat tebasan itu menjadi lebih kuat dan membuat seisi kamar berpindah tempat.
"Ada apa sayang?" tanya Ratu Rosalinda membuyarkan lamunan Dessy.
"Apakah aku memiliki seorang kakak?" tanya Dessy terus terang.
Tiba-tiba petir menggelegar.
Ratu Rosalinda terhenyak, "siapa yang memberitahumu?"
Dessy mengeluarkan liontin yang tadi siang di berikan oleh Oliver. "Bunda, bagaimana bisa orang lain memiliki benda ini sedangkan aku tidak?"
Sang ratu dan Rebecca terdiam.
"Pelayan baru itu yang memberikanku. Dia bilang ini dari kakakku yang berada di Rumah Pelatihan," tangan Dessy bergetar. Ratu Rosalinda tak mengubah ekspresinya. Tatapan matanya jadi lebih dingin dan menusuk. "Bunda..."
Dessy tak kuasa menahan air matanya. Ia lari keluar dari ruang makan menuju kamarnya. Sang bunda memang belum menjawab, tapi ia sudah tak peduli lagi. Ia tak peduli jika nanti takhta kerajaan tidak memilihnya. Ia juga tak peduli jika Oliver berbohong. Toh tidak ada yang akan berubah. Ia tetap akan diabaikan. Tanpa teman, tanpa siapa pun.
Dessy mengunci pintu kamar. Tanpa pikir panjang dia berlari menerjang jendela. Pakaian yang ia kenakan basah karena badai. Sebuah tangan meraih tangan kanannya. Tubuhnya berputar- putar mengikuti angin badai bersama dengan pemilik tangan. Dessy mendongak. Rupanya Oliver yang menggenggam tangannya sambil memegang payung hitam yang lebar.
"SELAMAT MALAM TUAN PUTRI!!!!" teriaknya diantara guruh.
"LEPASKAN AKU!!!" Dessy menggoyangkan tangannya.
"TIDAK ADA GUNANYA TUAN PUTRI. KAU AKAN TETAP TERBANG!" Oliver berusaha mengangkat tubuh Dessy agar bisa didekap. Jika hanya berpegangan tangan mereka akan terpisah karena angin badai.
Dessy lemas dan pasrah. Badai membawa mereka terombang ambing selama lima menit hingga akhirnya mereka akhirnya terlempar ke sebuah sungai. Oliver tak melepaskan Dessy sampai mereka muncul ke permukaan. Dessy membuka matanya. Sekelilingnya gelap. Oliver segera berenang ke tepi sambil menariknya. Dengan susah payah keduanya naik ke daratan. Tidak ada percakapan setelah itu. Dalam diam mereka menggigil.
Oliver tiba-tiba meraba-raba saku setelannya dan menemukan pemantik yang dibungkus oleh kantung plastik. Pemantik itu ia nyalakan lalu memeriksa sekitar. Rupanya sungai ini mengalir membelah hutan. Oliver segera mengumpulkan dahan, dedaunan dan rerumputan sebanyak mungkin agar bisa membuat api unggun.
Api berhasil berkobar diatas gundukan benda biotik yang Oliver buat. "Aku minta izin jika tidak sopan, tuan putri" Oliver kemudian menanggalkan setelan pelayannya dan hanya menyisakan celana pendek berwarna hitam. Setelannya itu ia gantung di dahan pohon terdekat
"HEI!" jerit Dessy.
"Aku sudah izin tuan putri" Oliver tertawa, "beri aku waktu untuk mengeringkan pakaianku, tuan putri. Jika pakaian basah bisa membuatku sakit, takutnya aku tidak bisa melindungimu. Aku tidak akan memaksamu untuk melepas pakaian juga. Tapi sebaiknya kau tetap berada di dekat api". Oliver kemudian mendekat dan membantu Dessy mengeringkan rambutnya. Setelah itu ia menjauh.
"Badai sudah berhenti..?" Dessy mendongak ke langit.
"Badai itu mungkin tidak lewat sini, tuan putri. Tapi badai itu melemparkan kita ke sungai. Kalau badai itu lewat ke sungai dan hutan ini, mungkin kita akan terus berada di udara," Oliver tersenyum. "Apa yang membuatmu ingin terbang, tuan putri?"
Dessy memalingkan wajahnya. Ia merogoh saku roknya dan menemukan liontin pemberian Oliver. Sungguh keajaiban, pekik Dessy sambil memutar bola matanya.
"Sungguh, kau pasti tahu bahwa di negara kita ini, badainya berkali-kali lipat dari negara lain. Tidak ada orang waras yang mau melompat keluar jendela untuk menikmatinya" lanjut Oliver. Tuan putri tak menjawab, malah melempar liontin pemberiannya tepat ke dadanya.
"Benda ini! Benda sialan itu membuatku tidak waras!!" Dessy berdiri dan menghardik. "Hidupku memang bukan yang terbaik saat kau belum membawa batu itu padaku! Tapi setelah kau memberikannya, seakan semua direngut dariku!!!"
Oliver terbelalak kaget. Dessy yang tidak tega kemudian teruduk lemas. Ia merasa bersalah telah marah pada Oliver. Oliver hanya menyampaikan titipan dari kakaknya itu. Masalah ini terjadi karena dirinya yang membesar-besarkan.
"Maafkan aku.." bisiknya. Dessy terisak, "aku merasa dibohongi oleh ibuku. Kenapa aku tidak diberi tahu bahwa aku punya kakak? Kenapa kami harus tinggal terpisah? Kenapa aku tidak diberikan batu itu sejak dulu? Kalau aku punya batu itu dari dulu sudah ku tunjukkan kepada semua orang bahwa aku memang keturunan raja-raja McGuaverra!"
Oliver diam sejenak membiarkan tuan putrinya meluapkan emosinya. Sesekali ia melihat sekeliling, memastikan agar tidak ada binatang buas yang mendekat. Beberapa menit berlalu. Pemuda itu kemudian memakai celana panjang dan kemejanya yang mulai kering. Rompi pelayannya ia berikan pada Dessy agar tuannya itu tidak kedinginan.
"Aku minta maaf jika sebelumnya tidak peka, tuan putri..." kata Oliver. "Aku tidak paham masalah yang kau hadapi. Entah kenapa kalian harus tinggal terpisah."
"Mungkin ada kejadian yang menjadikan sebuah perpisahan sebagai pilihan terbaik," Oliver tersenyum, "ratu mungkin ingin memberitahukan kepada tuan putri secepatnya, tapi beliau sendiri belum siap. "
"Kenapa kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah keturunan raja, tuan putri? Apakah ada yang meragukanmu?"
Dessy mengangguk.
"Atau sebenarnya kau yang meragukan dirimu sendiri?"
Dessy mengangguk lagi, "orang-orang bergosip seperti mereka tahu semuanya, sikap ibuku yang begitu dingin juga akhirnya membuatku meragukan diriku..."
Oliver terdiam, "mungkin ratu tidak memberikan batu itu sejak awal karena tahu akan hal ini. Ratu tidak ingin tuan putri membuang waktu dengan mendengarkan orang-orang yang tidak penting. Dengan atau tanpa sebuah emblem, kau tetap putrinya dan kau tetap putri negeri ini."
Dessy diam sejenak dan mengangguk.
"Oliver, kalau kau dan kakakku itu dari tempat yang sama, kenapa bukan kakakku yang datang ke istana? Kenapa harus kau duluan?" tanya Dessy.
"Ia bilang ingin memberikanmu kejutan," jawab Oliver. "Dia meminta agar aku datang duluan dan membuatmu penasaran tentangnya. Nanti dihari ulang tahun kalian, ia akan muncul."
"Sungguh? Apakah ulang tahunnya sama denganku?"
"Ya! Aku lupa memberitahumu, ia adalah kembaranmu. Walau dia lelaki, wajahnya mirip denganmu. Kau adalah dia versi wanita!" Oliver tersenyum. "Tapi, rasanya rencana itu tidak akan terlaksana."
"Kenapa?" Dessy mengangkat alis, "apakah karena kejutannya ketahuan?"
Senyum Oliver memudar. Wajah pemuda itu berubah serius, "tuan putri, beberapa menit yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa kakakmu itu diculik oleh bandit-bandit pemberontak. Selama ini kami selalu terhubung dengan kontak yang hanya anak-anak Rumah Pelatihan pahami."
"Diculik?"
"Ya, entah memang saat itu dia sedang lengah atau bagaimana. Kami yang besar di Rumah Pelatihan tidak semudah itu dilemahkan. Atau memang bandit-bandit itu sudah mengetahui kelemahan kami. Walau aku sendiri tidak tahu apa" Oliver mengangkat bahu.
Dessy memutar bola matanya. "Apakah bunda akan mengirim pasukan khusus untuk melacak jejaknya?"
"Tentu saja. Mungkin orang-orang di Rumah Pelatihan sudah menghubungi Tuan William atau langsung kepada ratu."
Dessy tersenyum kecut, "kalau begitu.. mereka tidak akan mencariku dulu, kan?"
Oliver memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Tergantung, idealnya aku akan menghubungi Tuan William dan memberitahukan posisi kita. Besok kita akan dijemput--"
"Biarkan Tuan William dan bunda sibuk dengan kakakku itu. Mari kita lihat apakah mereka masih peduli padaku atau tidak," Dessy memotong. "Oliver, bukankah seharusnya kau juga mencari temanmu itu?"
"Hehe, sebenarnya aku juga seperti tuan putri, nekat keluar ketika badai. Aku ingin menyelamatkan temanku itu" Oliver tersenyum polos, "tapi begitu mendengar kaca pecah dari kamarmu, seakan tubuhku bergerak sendiri untuk menyelamatkanmu."
Dessy tersenyum malu, "bu-bukankah itu memang tugasmu? Nanti kau bisa dipecat jika aku tidak aman!"
"Kau berhutang nyawa padaku, lho.." Oliver menjulurkan lidah. "Ya sudah kalau kau tidak mau. Yang penting besok kita harus keluar dari hutan ini. Berlama-lama disini tidak baik."
Percakapan itu selesai. Langit malam yang indah mengantarkan mereka ke alam mimpi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top