⌛ what's wrong (4)
Part ini agak dewasa 🔞 harap hati-hati.
Ini tidak semudah yang ia bayangkan. Mereka terus berakhir pada fase yang sama. Sehingga kemauan untuk melanjutkan ke tahap berikutnya berujung sia-sia belaka. Mereka menyerah, tepatnya Soraya yang menyerah duluan. Andra hanya menghela napas, lalu berlari ke kamar mandi untuk merilekskan bagian miliknya yang tegang.
Kepergian sang adam meninggalkan sang hawa merenung diam di kamar. Perasaannya kembali campur aduk. Rasa malu terhadap pasangan dan rasa takut bahwa mungkin dia mengalami kelainan perilaku yang menyimpang kian menggerogoti kepercayaan dirinya, yang perlahan-lahan hanyut dalam kubangan penyesalan. Soraya begitu bersalah telah meminta Andra melakukan hubungan sia-sia. Yang justru hanya menyiksa dirinya tanpa ampun. Entah mau sampai kapan mereka begini.
Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak tahu. Sungguh! Hal yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah menangisi ketidakberdayaannya dan mempertanyakan statusnya ini sebagai seorang istri. Kenapa begitu sulit untuk berhubungan badan bersama suaminya sendiri? Soraya mengigit bibir bawahnya. Mengabaikan derai air mata yang membasahi wajahnya.
Mungkin Helene benar bahwa dia sengaja mempertahankan mahkotanya karena berpikir hubungannya bersama Andra tidak akan pernah berhasil. Mungkin dia telah merancang semua ini di kepala sejak meragukan keputusannya untuk menikah muda. Tapi kenapa? Bukankah dia sangat menginginkan Andra. Bukankah dia mencintainya?
Andra yang telah kembali dalam keadaan segar, terkejut mendapati Soraya menangis di kasur. Spontan dia mendekat dan naik ke sisinya demi membelai pipinya yang basah.
“Kenapa nangis?”
Soraya menggeleng. Giginya terus mengigit bibir, membuat Andra khawatir. Takut apabila kebiasaannya itu menyakiti dirinya sendiri.
“Kamu gak salah apa-apa. Kamu cuma belum siap aja,” ujar Andra mencoba menghiburnya.
“Aku yakin udah siap kok.”
“Mungkin timing-nya kurang pas.” Andra membelai kepalanya sambil merapikan pakaian Soraya yang sedikit berantakan. “Jangan nangis lagi. Kalau kamu nangis bukannya jadi jelek malah tambah cantik.”
Soraya tersenyum tipis. Dia menyentuh lengan Andra yang bergeming. “Kita coba lagi, ya?”
“Aya.”
“Please ...!” ucapnya memelas.
Andra mendesah, lalu mengangguk. Kalau dia menolak ajakannya, justru menyebabkan sang istri berpikiran negatif. Andra mulai memahami kebiasaannya tersebut. Tapi dia hanya rebahan di sisinya dengan tangan kiri menahan beban tubuhnya. “Gimana kalau kita ngobrol-ngobrol dulu?”
“Soal apa?”
“Apa aja,” katanya sambil terus membelai kepalanya. Kadang-kadang dia akan mengecup kening, hidung, dan bibirnya. Lalu membelai wajah dan terus tersenyum memandanginya.
Soraya mendongak setelah berhenti menangis. Mengamati seraut yang tidak pernah bosan memandanginya dengan tatapan penuh memuja ini. Perasaan yang tadinya campur aduk perlahan mulai baikan. Bersyukur bahwa pria ini Andra. Soraya tak bisa bayangkan seperti apa jika pria ini bukan Andra.
Apa pria itu mampu menunggu dan sesabar Andra? Atau justru langsung meninggalkan dirinya?
Soraya membuang pikiran jeleknya. “Mas Andra putus sama Laras kenapa?”
Rasa kaget itu sekelabat muncul di mata sang pria. Andra terhenyak tak mengira Soraya akan menyinggung persoalan Laras lagi. “Kamu masih aja pengen tahu soal itu.
“Gak boleh?”
Andra menggeleng. “Bukan gak boleh. Cuma mas heran aja.” Dalam hati dia menyumpahi Adam yang telah menyeret nama Laras dan hubungan mereka dalam cerita nostalgianya. “Tapi janji jangan cemburu.”
Soraya memutar bola mata. Kini dia telah menunjukkan ekspresi lain dan tersenyum mengejek. Andra menundukkan kepala demi memanggut bibir penuhnya yang mengejek dirinya. Bibir mereka beradu saling menyamakan tempo. Bergerak-gerak pelan dan rasanya seperti permen yupi, kenyal dan menagih ingin lebih dari sekadar sekali.
“Karena apa?” tanya Soraya usai wajah mereka berjauhan.
“Sebenarnya mas kurang tau alasannya,” dia tidak bohong, “Laras ngilang gitu aja. Mas coba hubungi gak pernah bisa. Samperin ke rumah orang tuanya bilang dia gak ada. Padahal mas lihat motornya ada di rumah. Laras tipe orang suka pergi bawa kendaraannya sendiri. Dia gak mau dijemput atau nebeng. Dulu mas suka melas-melas biar dibolehin jemput sama boncengin.”
“Berarti Mas Andra kalau sama Laras suka ngemis-ngemis gitu?”
“Itu dulu. Kalau kamu minta mas buat ngemis sama kamu, mas mau-mau aja.”
Soraya mencebikkan bibir dan menyikut dada Andra sebal. “Gak usah alay!” Ia mendengus heran. Orang-orang pasti enggak akan percaya ini kalau Andra sebenarnya juga punya sisi jadi tukang gombal. Mulutnya itu lho, sering banget berbau manis.
Andra hanya terkekeh geli seraya menatap mata cokelatnya yang terus berkilat-kilat penasaran. Menginginkan semua cerita di balik putusnya hubungan Andra sama mantan pacar pertama. “Karena mas gak tahu anaknya ke mana, ya udah, mas anggap aja mungkin dia butuh waktu buat sendiri. Mungkin dia lagi liburan ke luar kota atau ke rumah nenek kakeknya. Atau mungkin, dia lagi fokus kuliah soalnya dia punya target lulus tiga tahun.”
“Ya ampun! Mas Andra positif banget sih, jadi orang.” Soraya geleng-geleng luar biasa heran. Ternyata dari dulu suaminya ini sudah punya energi positif berlebihan. Ditinggal pacar tanpa kabar, tapi tetap positif thinking dengan kemungkinan tak masuk bergunanya itu. Kalau Soraya jadi dia pasti sudah mencak-mencak kayak orang gila, terus meneror semua kerabat atau teman-teman pacarnya. “Emang Mas Andra gak ke kampusnya? Atau nyoba nanya ke teman-temannya gitu?”
“Datang kok. Sama temannya udah, tapi mereka juga sama aja gak tahu. Atau bisa juga, mereka disuruh tutup mulut sama Laras.”
“Terus?”
Ada jeda sementara. Mendadak Andra ingin membelai bibir Soraya dengan jari-jarinya. Membelai dagunya yang panjang, turun ke leher, turun lagi ke badan, dan berhenti tepat di atas dadanya. Sentuhan tersebut membuat tubuh Soraya mulai mengeliat ke depan. Jari-jari Andra mulai menyentuh titik sensitif keduanya. Bermain-main di atas sana dengan memilin lembut si kecil.
“Laras hilang. Mas akhirnya nyerah.”
“Ke-kenapa?” Suaranya agak parau efek dari sentuhan sang adam yang terus menghanyutkan sebagian dari fantasinya.
“Mas gak tahu. Dia ngilang gitu aja tanpa kabar.”
“Sampai sekarang?”
Andra menggeleng. “Dia muncul lagi setelah dua minggu ngilang. Munculnya lewat apa? Lewat undangan.”
“Eh? Undangan? Maksud Mas Andra orangnya nikah?”
Andra mengangguk, lalu terkekeh. “Iya. Dia ngilang dua minggu, tahunya nikah sama orang lain. Dan mas baru tau dari teman sekolah yang dapat undangan, sementara mas waktu itu gak dapat. Mungkin malu atau orangnya ngerasa bersalah udah ninggalin mas.”
“Mas marah gak?”
“Marah itu pasti. Bahkan sakit hatinya sampai berbulan-bulan. Lagian siapa yang gak kecewa tiba-tiba ditinggalin pacar nikah sama orang lain.”
Sekilas dia dapat melihat bagaimana perasaan Andra dulu yang dibuat sakit hati dengan cara Laras meninggalkannya. Soraya menyentuh wajah itu. “Aya gak bakalan ninggalin Mas Andra kok.”
Andra mengangguk terus mengecup bibirnya. “Setelah mas cari tahu ternyata dia emang udah lama dijodohin sama orang tuanya. Yang bikin mas marah ke orangnya, kenapa dia gak bilang apa-apa kalau udah dijodohin. Kenapa main ngilang gitu yang justru bikin dia kekanak-kanakan. Tapi mau semarah kayak apa pun, mas tetap maafin orangnya. Mau gimanapun kan, mas pernah sayang dia. Dan mas tahu, kalau Laras gak bakal ngambil keputusan tanpa sebab. Dia mungkin terpaksa ninggalin mas kayak gitu supaya mas gak terlalu sakit hati.” Bahunya terangkat sekali. “Yah, siapa yang tahu isi kepala orang?”
Kali ini dia mengubah posisinya jadi menindih badan Soraya seiring ciuman di bibirnya. Soraya sudah sering menerima sentuhan dan ciuman nyaris setiap hari. Tapi dia tetap dibuat mabuk kepalang sampai khayangan. Bibir Andra turun ke bawah menjangkau kulit lehernya dan mulai meninggalkan tanda merah dan basah.
Andra menarik kepalanya dari sana. Mata mereka saling beradu dan sebuah kecupan mendarat ke bibirnya lagi. “Sekarang giliranmu.”
“Hah?” Tiba-tiba dia panik. “Aku cerita apa? Mas Andra kan tahu aku belum pernah pacaran.” Ansel yang menceritakan pada Andra kalau adiknya itu belum pernah pacaran di hari sama sebelum dia mengajukan proposal komitmen ke keluarganya.
“Tapi kamu pernah jatuh cinta,” katanya sambil membelai wajahnya dengan kedua tangan. “Kok diam? Takut aku cemburu?”
Dia menggeleng. Cemburu hal wajar baginya. Soraya maklum jika suatu saat nanti Andra cemburu terhadap pria lain karena mengira orang itu tengah mendekatinya atau hendak merebutnya darinya. Dia sendiri mungkin akan memiliki perasaan tersebut, jika menemui wanita genit yang mencoba merebut Andra-nya. Cemburu itu wajar selama tahu aturan.
Tapi persoalan kali ini bukan tentang dia khawatir Andra cemburu. Melainkan khawatir Andra akan menganggap dirinya perempuan jahat yang pernah jatuh cinta pada suami orang. Sampai kini dia belum pernah menceritakan kisah kasihnya yang salah itu padanya. Soraya menyimpan kenangan tersebut hanya untuk dirinya sendiri. Sengaja merahasikan sebab tak ingin menimbulkan kesalahpahaman hubungan mereka.
“Pernah, sih. Cuma ... gitulah. Orangnya gak banget.” Ia meringis malu sengaja berbohong ke Andra tentang sosok laki-laki itu. Soraya tidak mampu membayangkan reaksi Andra andai dia menyadari siapa orang tersebut. “Maksudnya aku pernah jatuh cinta sama orang ini. Hanya jatuh cinta, selebihnya kami gak ada hubungan apa-apa. Malahan gak pernah. Udah gitu doang, terus habis itu ketemu Mas Andra.”
“Gitu doang?”
Ia mengangguk.
“Kamu gak pernah confess ke orangnya?” Kalau berdasarkan sifat Soraya, mustahil perempuan ini tidak pernah mengakui perasaannya pada laki-laki itu.
“Udah kok.”
“Balasannya?”
“Ya ....” Soraya bingung atau hanya resah keingat sama Tian yang dulu mengakui bahwa perasaan mereka sama. Mereka sama-sama saling jatuh cinta, tapi perasaannya ada di waktu yang salah. “Anggap aja cintaku dulu bertepuk sebelah tangan.”
Andra agak ragu. “Dia nolak kamu?”
“Iya, kali.”
Apa benar dulu dia ditolak sama Tian? Soraya sulit memahami, apakah perasaannya terhadap Tian itu bertepuk sebelah tangan atau bukan. Mereka saling jatuh cinta, tapi mereka tidak pernah menjalin hubungan seperti pasangan yang sedang dimabok cinta. Entah mengapa dia menyakini bahwa perasaannya bukan bertepuk sebelah tangan. Hanya saja, Tian bukan jodohnya. Lagipula Soraya menolak keras hubungan perselingkuhan.
Andra belum puas sama balasannya. Kesannya justru dibuat-buat untuk menutupi kebohongannya. Membuat dia semakin ingin tahu siapa sosok laki-laki itu. Dorongan untuk menggali identitas sosok yang pernah membuat Soraya jatuh cinta timbul hanya sesaat. Sebab kemudian Andra menepiskan keinginan tersebut.
Gunanya buat apa mencari tahu, toh laki-laki itu hanyalah masa lalu Soraya. Masa kini dia adalah laki-lakinya.
“Mas masih penasaran,” gumamnya. “Kenapa kamu dulu suka sama mas? Kenapa bukan sama orang lain?”
“Mas nyuruh aku buat suka orang lain. Seriusan, nih?” Soraya terbelalak. Mendadak dia ingin menjahilinya. “Serius gak papa? Kalau iya, aku mau nyari cowok ganteng di Paris. Hehe. Siapa tau nemu modelan kayak Louis Garrel gitu. Kan lumayan buat perbaiki keturunan—Mas Andra!”
Kata-kata tersebut diakhiri dengan pekikannya begity Andra mengelitiki perutnya. Soraya terus dibuat tertawa histeris dengan jari-jarinya yang bermain di atas pusarnya. Sementara bagian itu merupakan titik lemahnya, yang membuatnya merasa geli hingga terbahak-bahak histeris menyebutkan namanya. Tindakannya berhenti ketika Andra meraih pinggang dan merapatkan tubuh mereka kemudian melumat bibirnya. Soraya melingkarkan kedua tangan ke leher sang adam. Membalas ciuman sembari mencengkram surainya yang gelap dan tebal.
Ia kembali dibuat mabok kepalang dengan ciuman dan sentuhannya. Gelombang panas merangsang dari kepala sampai ujung jari-jari kakinya. Punggungnya terus merapat menyesuaikan tubuh Andra. Tangan itu menyelinap ke balik kausnya. Soraya mendesah seiring sentuhan pada kulit tubuhnya.
Ini bukan hal tergila yang pernah mereka lakukan. Hal semacam ini sudah seperti hidangan utama mereka sepanjang malam. Seolah jika melewatkan bagian tersebut, kesenjangan akan timbul dalam hubungan mereka. Awalnya Andra akan bermain hati-hati, menyesuaikan dengan kondisinya. Demikian Soraya yang selalu penuh kehati-hatian dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyesuaikan dengan sentuhan dan kecupan di seluruh tubuhnya.
Andra menguasai atas dirinya; Soraya harus terbuka dan menikmati permainan gila ini. Tidak salah jika orang-orang banyak yang mendambakan sentuhan atau ingin menyentuh. Karena apa pun yang terjadi di atas ranjang itu sangat berbahaya dan menagih bagi sepasang. Sama bahayanya seperti ganja yang menagih penggunanya. Atau sama menagihnya seperti ice cream di dalam mulut.
Soraya berpikir mungkin kali ini dia akan berhasil saat Andra melucuti semua pakaiannya. Sebelumnya mereka tidak pernah meninggalkan sekain benang pun dari tubuh. Lebih seringnya hanya bertelanjang dada. Dia menarik napas dalam-dalam mencoba merilekskan diri agar siap dengan moment berikutnya.
Tiba waktunya ketika jari-jari tersebut ingin menyentuh bagian paling sensitifnya, Andra berhenti. Atensinya mengamati dirinya dengan ragu. Rasa khawatir itu sekelabat muncul di matanya.
“Aya.”
Soraya hanya mendongak membalas tatapannya yang teduh dan penuh arti.
“Kalau kamu ragu—”
Dia menggeleng secepat ucapannya. “Aku gak ragu, Mas Andra.”
“Yakin?”
Dia mengangguk. Upayanya ingin memanggut bibir miliknya terhalang oleh gerakan Andra yang menjaga jarak sesaat.
“Tolong, bilang sama mas kalau kamu kesakitan.”
Soraya mengangguk seiring tatapan memohonnya supaya Andra berhenti bicara dan terus melakukan apa yang seharusnya dia lakukan padanya. Kali ini dia sangat percaya diri bahwa dia mampu melawan rasa takutnya. Dan membuktikan bahwa ucapan Helene salah. Keputusannya tetap menjaga mahkotanya bukan karena dia khawatir hubungan mereka akan gagal, melainkan dia belum siap menjadi seorang istri. Dia tidak memikirkan untuk meninggalkan Andra, sekarang maupun nanti.
Semua usaha telah mereka lakukan selama sebulan pernikahan. Jika dia tetap berada di titik terendahnya ini, mungkin pernikahannya tak lama lagi akan berakhir seperti kisah para korban nikah muda di internet. Soraya jelas tak menginginkan hal itu terjadi pada miliknya. Lantas untuk mengantisipasi hal tersebut, dia harus melawan rasa takutnya. Pertama-tama dia harus menjadi sosok yang kuat demi mendapatkan penuh harga dirinya sebagai perempuan yang memiliki kebanggaan pada rasa percaya dirinya.
Tubuhnya sedikit tegang. Dia hampir membeku disentuh di bagian sana. Andra menyadarinya lalu berhenti. Kembali mencurahkan kecemasan padanya. “Mau berhenti aja?”
Dia menggeleng. Meski bingung apakah pilihannya ini benar atau salah. Untung Andra segera menolong dirinya agar tidak hanyut dalam pertanyaan konyol tersebut. Andra terus memanjakan tubuhnya lewat ciuman, pelukan, dan sentuhan.
“Kalau sakit bilang mas.” Dia mengangguk sambil mengigir bibir dan mencengkram punggung telanjang Andra. Matanya terpejam menahan kuat dorongan marah ingin menyuruh Andra supaya berhenti melanjutkan kegiatan ini. Tubuh polosnya di bawah tatapan sang adam hanya diam, sesaat ragu untuk menerima miliknya atau tidak.
Andra begitu peduli padanya. Dia terus mengecup keningnya yang berkeringat dingin dan membisiki aba-aba supaya dia tidak terkejut nanti. Suaranya tercekat di tenggorokan tepat saat waktu itu tiba. Dia melebarkan pupil mata terkesiap.
“Sakit?” tanya Andra, berhenti hanya untuk mencemaskannya.
Soraya mengangguk hampir putus asa. Rasanya dia ingin menyerah seketika dengan menyuruh Andra agar segera mengeluarkan miliknya. Tapi dia tidak melakukannya, malah hanya meremas kencang punggung Andra.
Andra mencium lama keningnya kembali, lalu memberinya aba-aba lagi sampai miliknya itu masuk semakin dalam ke dalam miliknya, sering lolongan panjang Soraya di bawah beban tubuhnya. Andra melumat bibir tersebut. Perlahan-lahan pinggangnya bergerak naik turun mengikuti tempo penyatuan sepasang untuk pertama kali setelah satu bulan pernikahan mereka. Setelah yakin bahwa dia tidak membuatnya tersakiti.
🦁 l i o n h e a r t e d 🦁
“Emang Mas Aan gak mau ngelamar Mbak Nora apa?” Soraya tengah duduk di sofa dengan laptop di meja dan wajah Ansel yang dirindukan memenuhi layarnya.
“Gak usah kamu ingetin. Mas pasti mau, tapi gak sekarang.”
Soraya memicing mata. “Kenapa? Bukannya kemarin Mas Aan bilang udah minta restu ibunya Mbak Nora, ya?” Nora, pacar kakaknya, hanya memiliki seorang ibu sementara ayahnya sudah lama meninggal sejak Nora sekolah dulu. Ibunya single parent yang menolak menikah lagi setelah suaminya pergi. Dan Ansel, kakaknya, sudah bertemu sama ibu Nora bahkan telah meminta restu untuk hubungan mereka.
“Iya.”
“Terus tunggu apa lagi?”
“Nunggu Nora.”
“Emang Mbak Nora kenapa?”
Ansel mendesah. “Nunggu kakaknya nikah.”
“Apa hubungannya? Kan Mas Aan ngelamar dulu bukan langsung ngajak nikah.”
“Iya tahu.”
“Terus kenapa gitu?”
Ansel memutar bola mata. Kalau Soraya sudah kepalang penasaran pasti pertanyaannya muter ke mana-mana. Nyebelin sih, tapi dia juga kangen dicerewetin begini sama adiknya. Sebulan ini kalau pulang ke rumah rasanya sepi banget. Enggak ada yang bisa diusilin, sama enggak ada yang menyambut kepulangannya dengan gerutuan cerita. Tidak ada yang seperti Soraya di rumah.
“Gantian mas yang nanya. Andra ke mana? Kok kamu ditinggalin di rumah sendiri?”
“Mas Andra ke laundry terus ke supermarket belanja.”
“Kok kamu gak ikut?”
Soraya mengidikkan bahu dengan muka cuek. “Sakit. Gak bisa ikut.”
Jawaban terkesan tak acuhnya itu justru membuat Ansel panik. Wajahnya berubah drastis persis seperti Ansel biasa yang selalu menunjukkan ekspresi khawatir jika mendengar hal-hal buruk menimpa sang adik. “Sakit apa? Kok gak bilang mas, sih?! Terus si Andra juga gak bilang apa-apa. Sejak kapan sakitnya? Udah ke dokter? Suruh Andra pulang. Jangan lama-lama di luar.”
Soraya terbahak-bahak di sofa. Ah, betapa dia merindukan saudaranya ini. Ansel dari dulu selalu berhasil membuatnya nyaman dan bahagia sebagai adiknya. Meskipun kadang orangnya suka usil dan nyebelin, tapi dia kakak yang baik. “Mas Andra baru pulang kok.”
Jeritan panggilan Ansel seketika menggema di ruangan tersebut. Andra sampai meloncat kaget. Mengira sesuatu seperti bom dilempar tepat di belakang punggungnya.
“Udah, ah. Mas Aan cerewet. Pokoknya Aya gak apa-apa. Aya sehat cuma emang agak sakit. Yang pasti Mas Andra di sini ngerawat Aya baik.”
“Makanya—”
“Bye, Mas Aan. Nanti Aya telepon lagi. Kalau ibu sama ayah udah di rumah. Hehe.”
Ansel mendelik tak bisa berkata-kata lagi semenjak Soraya mematikan panggilan video call tersebut sepihak. Soraya lalu melemparkan pandangan ke arah Andra yang berada di dapur sedang mengatur belanjaannya.
“Mas Andra mana ice creamnya?”
“Sebentar,” katanya tengah sibuk mengeluarkan sebagian dari isi tas belanja, mencari makanan padat yang diinginkan Soraya. Dia beli lumayan banyak. Sebagian disimpan di lemari es kalau-kalau Soraya butuh lagi.
Lalu berjalan mendekati sang hawa yang masih setia duduk di sofa dari dia pamit ke laundry dan supermarket sampai pulang ke apartemen. Sepertinya istrinya itu belum bisa jalan dengan lancar lagi. Setelah kemarin menghabiskan banyak waktu di kamar dan mengakibatkan esoknya Soraya menjerit mengira dia kehilangan fungsi kakinya. Ekpresi bangun tidurnya yang panik dan kesakitan pagi tadi, membuat Andra hanya bengong menatapnya lalu tertawa.
Habis gimana lagi, Soraya pagi lucu sekali. Dia mengira kehilangan fungsi kakinya karena mengalami kram dan sulit berjalan. Butuh waktu sedikit lama bagi Andra untuk menjelaskan. Karena semalam adalah pengelaman pertama mereka, dia jadi lupa efek dari aktivitas tersebut. Terlebih mereka melakukannya bukan hanya sekali ronde.
“Jangan ketawa! Ini juga gara-gara Mas Andra!” gerutunya terus membuat Andra tak bisa berhenti tersenyum dan mengacak gemas kepalanya.
“Udah enakan kakinya?”
Soraya cemberut. “Masih ngangkang.”
Andra tersedak tawanya. Soraya dan pilihan kata-katanya itu memang tidak ada tandingannya. “Nanti juga baikan.”
“Mas Andra juga sih, mintanya kok double.”
“Gak kebalik, tuh?” Ia duduk dengan ice cream yang sudah dibuka bungkusnya itu lalu diberikan pada Soraya, yang langsung menerima dengan senang hati.
“Kebalik gimana?”
Andra menyeringai. “Kan yang minta double kamu sendiri.”
“Bukannya Mas Andra?” tanyanya dengan setengah mata menyipit. Lalu dia mengidikkan bahu masa bodoh. “Aku kedua. Mas Andra ketiga.”
“Oh ... jadi mau hitung-hitungan berapa banyak, nih?”
Punggung Soraya menegang seketika. Matanya melotot ke arah Andra yang terus menunjukkan wajah jahil. “Gak. Gak.” Ia pun menambahi, “Ya emang enak, tapi gitulah. Sakit tahu Mas Andra!”
“Siapa bilang gak sakit?”
Disamping itu, perasaan Soraya mulai lega. Setelah berhasil melawan rasa takutnya berhubungan badan sama Andra, dia tidak pernah berhenti menghela napas lega dan tersenyum bersyukur. Dengan begini dia step by step dia semakin melangkahkan kaki menuju perubahan status dirinya sebagai seorang istri. Bahkan saking tidak percayanya dia sampai menceritakan pengalamannya itu ke Keenan dan Bunga. Entah mengapa dia ingin bercerita ke mereka kalau dia berhasil.
Keenan sempat menyinggung kalau Soraya masih ragu hal lain dia bisa bertemu Helene lagi. Yang langsung dia setuju. Dia berpikir akan lebih bagus kalau menemui Helene dan berkata padanya kalau ucapannya kemarin benar dan sebagian lagi salah. Kalau dia menjaga utuh mahkotanya bukan karena beranggapa hubungannya bersama Andra akan gagal. Kemudian Keenan menjadwalkan waktu untuk menemuinya di waktu senggang.
Sisi lainnya, Soraya menyesal tidak merasakan hal semabok itu di awal pernikahannya.
“Mas Andra.”
“Hm?”
Soraya menggulum bibirnya terlihat malu-malu. “Besok lagi ganti posisi, ya.”
“Apa?”
“Itu ... yang itu,” katanya tersipu malu. “Tadi aku searching dan ternyata ada banyak macam gaya.”
Andra speechles. Bukan karena serba ketidaktahuan Soraya tentang begituan, melainkan kepolosannya yang langsung minta langsung mengubah posisi atau justru dia sedang menyarankan sebuah motede hasil temuannya. Andra tak dapat menahan tawanya. Dugaannya selama ini salah bahwa Soraya yang dulu blak-blakan telah berubah. Tapi ternyata perempuan ini masihlah tetap sama seperti dulu.
“Iya. Nanti begitu kamu udah bisa jalan.”
“Iya, nih! Bete banget jalannya ngangkang mulu.”
Andra kembali dibuat tertawa olehnya. “Karena pengalaman pertama. Nanti lama kelamaan juga terbiasa. Udah, ah. Jangan bikin mas ketawa mulu. Lihat tuh, kamu makan ice creamnya kayak bocah aja.”
“Oh?” Dia meringis lalu buru-buru mengambil tisu di meja. Namun, Andra lebih dulu menarik dagu dan melumat bibirnya. Rasa vanila itu terasa enak di lidahnya. Andra menyeringai puas usai membuatnya kaget.
Ia pun mengambil tissue di tangan Soraya dan membersihkan sisa ice cream di pipinya.
Hohoho part “what’s wrong” udah selesai 🙆 mari masuk konflik lainnya. Hohoho tak semudah itu ferguso buat Aya merasa baik-baik saja 🤷♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top