⏳ what's wrong (3)

Sudah nyaris satu minggu tinggal di Paris, tapi belum banyak yang mereka lakukan di sini selain keliling kota untuk mengenali tempat dan menghapal jalan, terutama bagi Soraya yang masih awam sama kehidupan kota Paris. Adam sama Esmee cukup banyak menolong mereka dengan mengenalkan beberapa tempat seperti pusat perbelanjaan salah satunya supermarket asia, daerah yang wajib mereka kunjungi yang jarang diketahui para turkis, juga restaurant Indonesia di Paris jika mereka rindu pada kampung halaman. Tak lupa bagi Adam menasehati supaya mereka lebih berhati-hati jika berpergian, Paris lumayan banyak copet dan para scammer yang berkeliaran di tempat-tempat wisata. Bahkan hampir setiap mereka pergi ke suatu tempat ada banyak gelandangan di jalanan. Dan apa hal yang harus mereka lakukan jika ingin berpergian jauh menggunakan transportasi umum.

Hubungan Soraya sama Andra masih baik-baik saja sejauh ini. Mereka selalu bersama, sejauh ini belum pernah berpergian sendirian. Andra selalu ada di sisi Soraya; Soraya pun sebaliknya. Mereka seperti pasangan istri baru pada umumnya yang tidak bosan bersikap manis dan penuh cinta satu sama lain. Adam sering menggeleng takjub dengan kemistri yang mereka pamerkan itu, dan seringkali berkata dengan nada jenaka kalau dia iri lihat mereka masih bisa bermesraan tanpa ada gangguan, sementara dia kini sudah punya Beaunjadi mesra-mesranya sering kebagi sama sang bayi—Adam bukan menyalahkan anaknya, dia justru bersyukur dikaruniai satu bayi menggemaskan.

Kata-katanya itu selalu diakhiri dengan, “Kapan rencana kalian punya momongan?” membuat Soraya bergeming dengan punggung menegang.

Pada dasarnya rencana berangkat ke Paris dipercepat dari semestinya, sementara jadwal masuk kuliah Andra terjadi pada bulan depan. Alasan dipercepat karena mereka mau sekalian bulan madu, tapi rencana itu telah berantakan lantaran Soraya masih belum berani untuk memenuhi kebutuhan Andra di ranjang. Sehingga pikirannya sering berkecamuk pada satu masalah itu. Meski Andra sering mengatakan baik-baik saja dan akan menunggu sampai Soraya siap, namun dia tahu di balik kesiapannya itu ada sebuah penderitaan.

Diam-diam Soraya sering murung memikirkan kegagalannya menjadi seorang istri. Ketakutan-ketakutan itu terus menganjal di hatinya. Jam tidurnya sering tak teratur, dia sering bangun di samping Andra yang terlelap tidur. Atau diam-diam kabur ke kamar mandi hanya untuk menangis.

Soraya merindukan dirinya yang dulu. Merindukan kebebasannya di masa lalu yang suka bertingkah tanpa adanya tekanan, serba blak-blakan, dan kehidupan zona nyamannya. Dia merindukan rumah. Merindukan nasehat dan omelan orang tua dan kakaknya. Rindu satu-satunya teman terbaiknya, Bunga. Rindu menulis, rindu pergi ke kampus, rindu ke kafe ... ah, dia rindu semuanya. Semua kehidupan dulunya itu.

Dia tidak bisa membicarakan hal ini kepada Andra. Kelemahannya hanya akan menghambat impian Andra. Tindakannya mungkin salah memendam segalanya sendiri mulai saat itu, tapi apa yang dilakukan Soraya demi kebaikan pasangannya juga. Kalau Andra terus memikirkan keadaannya yang serba belum siap ini, bagaimana dia bisa berkembang di kota ini? Maksudnya Andra harus mulai mengejar ketertinggalannya yang sudah diimpikannya sejak dulu, dan posisi Soraya sekarang hanya akan jadi hambatan kalau terus bergantung padanya.

Soraya merasa sulit. Segalanya masih baru baginya. Status, lingkungan, dan budaya. Dia tidak punya siapa-siapa di sini selain Andra.

“Kamu yakin gak mau ikut?”

Dia terus menggeleng. Yakin sama keputusannya buat tidak terus-menerus mengikuti Andra berpergian. Kali ini dia ingin tinggal di apartemen. Merenungkan kegelisahannya tanpa harus mengkhawatirkan Andra memergoki tangisannya itu.

Namun, Andra sepertinya enggan meninggalkan dirinya sendirian di rumah. Dia ingin duduk, lalu Soraya melarang dan bangkit untuk mendorong badannya menuju pintu.

“Mas Andra pergi aja. Aku capek, mau tidur aja.”

“Beneran?” tanyanya ragu. “Gak mau ikut mas aja?”

Dia tetap menggeleng. “Udah sana pergi. Keburu ditunggu teman-temannya.” Rencananya siang ini Andra mau ke asrama khusus mahasiswa Indonesia, menemui teman-teman yang dia kenal lewat komunitas tersebut. “Hati-hati di jalan!”

Andra pasrah. “Kalau butuh apa-apa telepon mas.” Ia pergi setelah memberinya kecupan manis di kening.

Soraya buru-buru mengunci pintu setelah kepergian Andra. Langkahnya agak tergesa-gesa masuk kamar, mengambil laptop, dan keluar lagi ke ruang tamu. Dia duduk di sofa sambil menyalakan benda canggih itu di atas meja oval dari kayu. Kemudian melakukan panggilan pertamanya video call sama Bunga. Soraya nyaris putus asa saat panggilannya tidak diterima, dia terus mengigit bibir bawah sampai ketika wajah polos tanpa make up Bunga muncul di layar.

“Bonjour!”

Bunga terkekeh geli mengucapkan sapaan tersebut. Niatnya cuma pengen menggoda temannya yang sudah tinggal di Paris itu. Namun, melihat ekspresinya yang tampak nelangsa Bunga langsung menyadari sesuatu dan mengubah posisi tidurannya jadi duduk.

Ada apa?”

Soraya tiba-tiba menangis di depannya. Bunga panik. Mengira hal buruk telah terjadi sama sang teman di sana. Mengira bahwa Andra melakukan tindakan tercela kepada sahabat baiknya itu. Bunga mengumpat cepat.

Mas Andra berengsek juga?”

Soraya tersentak. Lalu cepat-cepat menggeleng sambil mencoba menenangkan diri agar dapat menjelaskan alasannya menangis. Agar temannya itu tidak menyalahkan Andra atas situasinya ini. Soraya sendiri bingung kenapa langsung menangis melihat wajah Bunga. Satu hal yang pasti dia merindukan halaman kampungnya beserta orang-orang yang tinggal di sana.

Aya. Kenapa? Mas Andra ngapain kamu? Kamu gak diapa-apain kan? Dia main tangan? Mas Aan udah tahu belum? Mau aku kasih tahu ke orangnya?”

Soraya mengeleng. “Tolong jangan bilang Mas Aan kalau aku nangis.” Bisa kacau kalau Ansel sampai tahu dia nangis. Bisa-bisa besoknya kakaknya itu akan sampai di depan pintu apartemennya, terus membawanya pulang. Soraya menggeleng sedih. Dia tidak mau berpisah dari Andra meskipun merasa tertekan sebab belum mampu untuk beradaptasi.

Kalau gitu kasih tahu. Bukan karena Mas Andra, kan?”

“Enggak kok. Mas Andra baik.”

Terus?”

Dia bergeming. Menekan bibirnya ragu-ragu untuk mengatakan kegelisahannya akhir-akhir ini. Bunga mengamati seraut itu langsung menghela napas dan mengatakan kalau dia tidak mau cerita sekarang tidak apa-apa, selama dia mau menyakinkan dirinya kesalahpahaman ini kalau Andra sebenarnya orang baik karena di kepala Bunga sekarang Andra bukan orang seperti itu.

Soraya tipe orang yang jarang menangis kecuali tekanan pada dirinya demikian besar.

“Bung.”

Iya.”

“Pertama kali hubungan intim itu sakit?”

Apa? Kenapa nanya gituan?” Bunga melihat keseriusan di wajahnya. “Bukannya emang sakit?” Dia lalu menjelaskan, “Itu kan pernah dibahas di biologi. Sakitnya kayak apa aku juga kurang tahu karena belum pernah.”

Soraya hanya diam dengan kepala menunduk. Betapa dia merindukan sosok di layarnya ini. Sosok yang dulu menemani kebebasannya sebagai Soraya Saraswati, yang suka malu-maluin diri di depan temannya.

Harusnya kamu udah taulah daripada aku. Kan kamu ... kamu sama Mas Andra belum gituan?” serunya nyaris berteriak membangunkan orang rumah. Untung buru-buru Bunga memelankan suaranya sehingga ibu dan ayahnya di luar kamar tidak akan berlari mendekat kamarnya.

Bunga membelalak tak percaya pada omong kosong tebakannya barusan. Mustahil pasangan yang sudah menikah hampir sebulan ini belum pernah melakukan hubungan badan.

Kok bisa, sih?!”

Andai Soraya tahu jawabannya pasti dia enggak akan semenderita ini.

Mas Andra normal, kan? Dia enggak gay, kan? Maksudnya kok bisa kalian gak gituan setelah nikah hampir sebulan. Gila!” Kemudian Bunga paham mengapa Soraya tiba-tiba menangis. “Jadi Mas Andra beneran—”

“Bung, Mas Andra gak salah apa-apa di sini. Dia normal. Aku yang salah!” tandasnya, capek jika Andra terus disalah-salahkan.

Bunga mengerjap. “Ay, kamu gak lesbi, kan?”

Soraya melotot kesal. Tapi bukan salah Bunga kalau berpikiran begitu. Bahkan Andra pun pernah memikirkan hal sama. Lagian aneh juga sudah menikah, tapi belum pernah berhubungan badan.

“Gak tahu—maksudku aku gak mengarah ke situ! Aku cuma ... gak tahu kenapa takut banget kalau mau hubungan badan sama Mas Andra. Aku juga bingung, Bung. Kenapa aku begini, kenapa aku takut, kenapa aku ....” Dia mendesah panjang. Garis-garis di wajahnya menyuratkan sekali betapa nelangsanya dia, memikirkan keanehan yang terjadi pada dirinya sendiri. “Aku aneh, ya?”

Tapi kalian baik-baik saja, kan?”

“Kami baik-baik saja.”

Terus?” Bunga mengubah posisi duduknya jadi menyandar. “Jujur, masalah ini aku kurang tau apa solusinya. Aku belum ada pengalaman ke sana, tapi kalau berdasarkan apa yang aku search kilat di internet. Kalau kamu cuma takut ngerasain sakit pas pertama kali sex, kamu bisa minta Mas Andra buat lakuin foreplay. Biar badan lemas gitulah—kata internet, lho. Aku gak tahu, kan belum pernah.”

Soraya mendesah. “Hampir tiap malam kami begitu. Tapi tetap aja, Bung, kalau udah waktunya buat begituan aku selalu merasa tegang. Bener-bener gak siap buat hubungan intim. Kesan takut itu gede banget, sampai rasanya pengen teriak marah ke Mas Andra.”

Bunga ingin mengatakan sesuatu namun urung. Dia tidak punya pengalaman ke sana jadi tidak dapat membantunya memberi solusi. Jika Soraya dan Andra sering melakukan foreplay setiap malam berarti hubungan mereka baik-baik saja, berarti masalah itu bukan sekadar takut merasakan sakit. Ada sesuatu yang ganjil, Bunga mengamati seraut sang teman tampak begitu menyedihkan. Soraya sama sekali tidak ada indikasi menyimpang, toh mustahil dia mengarah ke sana.

Maaf, Ay. Aku belum bisa ngasih solusi buat masalahmu.” Bunga menyesal. Kali ini dia tidak bisa membantunya. “Tapi aku saranin kamu buat ngobrolin ini sama Mas Andra.”

“Udah kok.” Sedikitnya dia tidak berbohong. Soraya memang telah membicarakan masalah ini sejak awal bersama Andra, tapi sedikitnya lagi dia bohong karena tidak memberitahu Andra betapa takutnya dia sekarang. “Dan Mas Andra bilang ... ya gitu. Dia bakalan nunggu aku sampai siap.”

Kenapa kamu gak nanya ke orang yang punya pengalaman ke sana. Maksudku kayak ibumu, gitu?”

Soraya menggeleng. Mustahil bercerita ke ibu. Nanti yang ada pikiran ibu lari ke mana-mana. Skenario buruknya ibu akan mengira dia atau Andra menyimpang, terus ujung-ujungnya menyuruh Ansel kemari demi menyeretnya pulang ke rumah. Sekali lagi, Soraya tidak mau melibatkan keluarganya dalam masalahnya ini.

“Udahlah, Bung. Lupain aja! Kita bahas yang lain. Aku kangen banget!”

Topik mereka kemudian berubah ke masa-masa sekarang setelah melepas rindu. Bunga saat ini masih menganggur di rumah. Setelah lulus dia hanya bisa ikut membantu ibunya jualan sambil melamar kerja ke sana kemari. Bondan pernah menawarkan dia buat kerja di kantornya, tapi Bunga menolak karena tidak mau dianggap dompleng kakaknya di sana. Terus dia pengen kerja yang beda dari kakaknya.

Obrolan mereka tak lama karena Soraya tidak mungkin menahan Bunga terus bicara padanya di perbedaan waktu dua negara yang amat ketara itu. Meskipun di sana masih pukul tujuh malam, tetap saja Bunga pasti punya kesibukan lain. Panggilan mereka berakhir lebih cepat dari janji setelah ibu Bunga memanggilnya.

Soraya mendesah. Meskipun sudah mengobrol sama Bunga dia masih belum merasa tenang. Perasaan ganjil itu justru semakin menggerogoti dirinya dengan licik. Soraya benci sekali sama dirinya ini. Seolah-olah ingin membuat dia menyesali keputusannya menikah muda.

Dih, pikiran apaan tuh?! Ia mendengus marah. Konyol sekali kalau dia sampai terpikirkan hal jelek seperti itu. Menyesali keputusan menikah muda bukanlah pilihan bagus.

Soraya kemudian memutar otak mencari daftar kenalan yang bisa dia hubungi. Dia sangat ingin sekali menghubungi Ansel, menceritakan semua masalahnya kepada sang kakak, ingin bilang dia kangen dan pengen pulang ke rumah. Namun, dorongan perasaan itu terus dia pendam. Soraya tidak boleh melibatkan keluarganya terutama Ansel yang nekatan itu.

Lalu nama Keenan pun tercetus di kepalanya. Soraya segera mencari kontak teman dekat sang kakak. Membuka room chat mereka yang masih sepi. Terakhir mereka chatingan ketika Keenan menanyakan kabar dan minta maaf belum bisa ke sana karena urusannya masih banyak. Soraya memaklumi dan membalas kalau dia bisa datang setelah punya waktu senggang.

Keenan sudah seperti kakaknya sendiri. Tidak ada salahnya dia menanyakan hal ini padanya.

Soraya
Key?
Have you ever had sex with someone?

Pertanyaannya konyol sekali. Ia mengirim pesan tanpa basa-basi lagi. Belakangan dia lalu menyesali atas kekonyolannya sendiri. Soraya mengigit cemas bibirnya. Merasa bahwa dia perlu mengoreki pesan yang telanjur dikirim itu. Tepat saat ingin mengetik pesan tambahan, panggilan video datang dari Keenan.

Soraya tergagap hingga refleks menerima panggilan itu. Wajah tampan Keenan seketika muncul memenuhi layar laptopnya.

“Hi, Bird.”

Melihat senyuman hangat Keenan, membuatnya semakin merindukan Ansel di rumah. Untuk sesaat dia murung akibat kelebihan rindu terhadap keluarganya.

“What happen?”

Soraya menggeleng. Alis Keenan terangkat satu mencurigai wajah murung adik dari teman dekatnya itu. Kemudian dia teringat pertanyaan konyol yang diterimanya via chat.

Keenan sempat kaget namun tidak bermaksud akan mengolok-olok kekonyolan pesannya itu. Sebaliknya ia menjawab, “Soal pertanyaanmu ... well, I did. Why?”

Jadi dugaannya benar. Lagian ini Keenan, jelas pasti dia sudah melakukannya meskipun belum menikah.

“Pertama kali sex sakit gak?” Soraya langsung bertanya pada intinya. Dia tidak ingin banyak basa-basi. Dia butuh jawaban secepatnya untuk menemukan kesalahan apa yang ada dalam dirinya ini.

“I don’t know,” Keenan mengangkat singkat bahunya, “kamu mengerti kan, budaya kami di sini. Dan kebanyakan para gadis yang kukencani bukan perawan.”

Soraya tersentak, lalu mengangguk paham.

Kenapa nanya gitu? Bukannya kamu sudah tahu jawabannya?” Keenan memperhatikan dengan teliti setiap detail dari ekspresi di wajahnya. Mencari-cari keganjilan yang sedang disembunyikannya itu. Keenan kontan menemukan apa masalahnya. “So, kalian belum pernah. Andra gay?”

“Apa? Bukan!”

“Kamu?”

Soraya menggeleng cepat. Enggak Bunga, enggak Keenan mereka semua mengira kalau dia ataupun Andra menyimpang. Atau mungkin semua orang yang mendengar ini akan mengira hal sama. Soraya mendesah panjang kemudian menceritakan hal sama yang telah diceritakan ke Bunga ke Keenan lagi, tapi dengan syarat kalau Keenan tidak boleh bercerita ke Ansel. Keenan menyetujui dan Soraya percaya dia bisa menjaga rahasianya seperti Bunga.

Wow!” seru Keenan di luar dugaannya, dengan mata yang berkilat-kilat tak percaya. “Aku belum pernah nemu kasus ini. Tapi ... wow! I mean, Andra hebat juga. Haha. Kok dia bisa sesabar itu.” Keenan sekarang lebih narsis, tidak seperti Keenan dulu. Pria ini terus berdecak, seolah kasus yang dialami pasangan Soraya dan Andra  hal baru baginya. Dan mungkin kalau itu terjadi padanya, dia akan melampiaskan nafsunya ke perempuan lain jika istrinya tidak bisa. Skenario buruknya, Keenan bisa meninggalkan pasangannya.

Keenan berdehem. “Kamu mau ke psikolog?” Ini masalah adik dari temannya, yang sudah dia anggap seperti adik sendiri. Keenan tidak bisa terus mencandainya, perbuatan itu sama akan mengolok-olok ketidakmampuan Soraya yang dibeberkan padanya.

“Gak, ah! Nanti dikira gila lagi.”

Pikiranmu jangan terlalu kolot. You have a problem dan kamu belum tahu jawaban dari masalahmu. Mungkin dengan pergi menemui psikolog, kamu bisa tahu apa yang salah darimu.”

Jawaban Keenan hampir persis dengan Andra malam pertama mereka tiba di Paris.

Oke. Besok kita pergi ke psikolog.”

“Apa?”

Ke psikolog. Aku akan ke sana dan menemanimu.”

“Gak usah. I’m fine, Key! Gak perlu ke psikolog segala.”

Keenan berdecak tak senang. “You must! Kalau kamu terus begini lama-lama Andra bisa ninggalin kamu. Coba kamu pikirkan baik-baik. Mau sampai kapan kamu terus nolak ajakannya? Bird, Andra itu cowok. Dia punya nafsu. Masih untung sekarang ini dia bertahan, coba nanti, apa kamu gak takut dia ninggalin kamu? Apa kamu gak takut dia melampiaskan nafsunya ke cewek lain? See? Kamu belum mikirin soal itu.”

Yang justru malah menambah beban pikirannya. Soraya baru sadar kalau dia selalu mencoba tutup mata kemungkinan buruk yang akan terjadi kalau tetap begini. Ucapan Keenan itu benar. Andra cowok normal yang punya nafsu. Dia bisa meninggalkannya dan mencari perempuan lain jika Soraya terus-menerus begini.

Lagi pula, laki-laki mana yang mampu bertahan lama seperti Andra?

Ya udah. Besok aku ke sana nemenin kamu,” katanya. “Aku bakal minta bantuan Belle buat cariin psikolog buat kamu.”

Keenan serius datang besoknya ke Paris. Soraya terpaksa tidak memberitahu Andra ajakan Keenan menemui psikolog; pun berbohong padanya kalau dia tetap mau di rumah dan menolak ikut pergi bersamanya lagi. Andra masih terlihat enggan meninggalkannya sendiri. Terus menanyakan apa dia baik-baik saja atau tidak. Sementara dia terus menyakinkan dirinya untuk tidak selalu mengkhawatirkannya.

Andra baru mau pergi setelah Soraya merayu dengan kata-kata manis. Tepat beberapa jam setelah kepergian Andra, barulah Keenan tiba di apartemennya. Keenan sempat menanyakan ke mana perginya suaminya itu, yang langsung dijawab kalau Andra pergi ke kampusnya. Niatnya hari itu memang Andra mau mengajak Soraya berkeliling di kampusnya bersama teman dari komunitas mahasiswa Indonesia di Paris.

“Udah makan?”

“Udah kok.”

Keenan mengangguk puas sambil mengusap kepalanya. “Gak usah cemas gitu. Psikolognya gak galak kok.”

“Siapa tahu, kan?”

Kemudian mereka pergi menemui psikolog kenalan Belle. Pertama-tama mereka harus mengisi kuesiner sebelum mendapatkan jadwal bertemu bersama sang psikolog. Lebih tepatnya hanya Soraya yang mengisi data tersebut. Keenan duduk menemaninya dan sesekali bertanya sang resepsionis di balik konter meja itu. Mereka berbincang cukup akrab, sementara Soraya fokus mengisi.

Entah bagaimana pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner hampir memiliki jawaban yang ingin dia lingkarin semua. Jawaban itu seolah membaca semua isi kepalanya. Mereka bukan hanya menebak perasaannya, tapi langsung mengetahuinya. Soraya harus menahan dorongan kuat untuk tidak membuang lembaran itu ke tong sampah karena merasa telah ditelanjangi. Dia muak sebab semua yang tertulis di kertas itu benar.

Berpikir bahwa dia mungkin gila membuatnya cemas. Soraya mengigit bibirnya kuat, tak peduli dengan luka yang akan dia ciptakan sendiri. Kekhawatirannya semakin berlebihan. Keenan menyadari itu segera mendekat dan mengusap bahunya perlahan-lahan.

“Gak ada yang salah. Kamu bukan orang gila.”

Keenan benar, tapi perasaannya berkata lain bahwa dia salah. Mungkin dia sudah gila karena mengalami perubahan dalam hidup yang begitu dratis. Mungkin penyesalannya itu benar kalau harusnya dia tidak menikah terlalu buru-buru. Mungkin harusnya dia menolak ajakan komitmen Andra.

Keenan segera memeluknya. Sadar bahwa jiwa Soraya masih terlalu bebas. Dia mengalami pemberontakan demikian besar pada dirinya. Butuh persiapan yang matang jika ingin menikah di usia muda dan persiapan yang dimiliki Soraya belumlah matang. Gadis ini masih abu-abu. Dia belum ada setengah jalan beranjak dari kebebasan yang dimilikinya dulu. Ini bukan perihal tentang apakah dia mencintai pasangannya atau tidak. Ini tentang mentalnya yang belum siap menjadi seorang istri.

Cukup sudah bagi Keenan menenangkannya. Dia baru siap melanjutkan mengisi kuesioner setelah dapat mengontrol pikirannya. Selesai mengisi kuesioner mereka harus menunggu sedikit lama sebelum namanya dipanggil masuk ke ruangan sang psikolog. Keenan ikut sebentar hanya ingin mengatakan beberapa kata saja sama psikolog itu. Dia kemudian keluar untuk memberi mereka privasi.

Helene adalah perempuan bertubuh tinggi, menawan, dan begitu anggun dengan mata biru cantiknya. Senyumannya sopan begitu profesional, namun juga menakutkan. Menakutkan bagi Soraya yang merasa ditelanjangi oleh mata biru tersebut. Perempuan inilah yang nanti akan mengetahui semua kelemahan pada dirinya. Soraya tidak akan membantah bahwa ada yang salah padanya setelah menikah. Kesalahan itu bukan karena hubungannya bersama Andra, melainkan hubungan Soraya bersama dirinya sendiri.

“Anggap saja aku ini temanmu.” Suara Helene begitu dalam dan terdengar seksi. Namun, baginya suara itu seperti sebuah alarm pemberitahun supaya dia lebih berhati-hati berhadapan dengannya. Sebab semua kelemahannya akan terbongkar perempuan ini.

Soraya mengangguk gugup. Sebetulnya dia terus mengalihkan pandangan dari Helene yang terus tersenyum itu. Helene duduk di sebrang dengan tangan memegang sebuah pen dan buku catatan, dan salah satu kakinya bertumpu di kaki lainnya.

“Oke,” kata Helene. “Bagaimana perasaanmu hari ini?”

Punggungnya menegang hebat hanya dengan mendengar pertanyaannya. Bagaimana perasaannya? Dia tidak tahu.

Don’t worry, Aya. I'm here to help you.” Senyuman Helene seolah ingin menyerap energi negatif miliknya ini. “So, bagaimana perasaanmu?”

Soraya menggeleng, lalu buru-buru mengangkat bahu. “I don’t know.” Ia mendesah berat. “Aku tidak begitu paham dengan perasaanku akhir-akhir ini.”

“Sejak kapan?”

Soraya menimang jawaban berikutnya. “Sebulan ini. Sejak saya menikah.”

Helene mencatatkan sesuatu dengan pennya. Dia sedikit bisa mengintip apa yang ditulis perempuan ini di buku catatannya itu.

“Sejak menikah,” gumamnya. “Bagaimana pernikahanmu?”

Soraya memainkan jari-jari tangan di pangkuannya. Ini pengalaman pertamanya mengalami situasi begini. Duduk di kursi bersama seorang psikolog dan menceritakan apa yang sedang dirasakannya belakangan ini. Kesannya begitu aneh. Dia terkesan seperti orang tidak waras yang datang kemari untuk disembuhkan.

Tiba-tiba rasa prihatin itu timbul. Entah mengapa dia lebih prihatin terhadap nasib Andra alih-alih dirinya. Soraya merasa begitu kasihan karena Andra harus mempunyai pasangan aneh seperti dirinya.

“Pernikahan kami baik-baik saja. Kami menikah sebulan lalu. Dia melamarku bahkan sebelum kami sempat pacaran. Mungkin karena usianya sudah matang dan aku, yeah, aku sebenarnya baru-baru ini menyelesaikan kuliahku.”

“Apa pasanganmu orang yang baik?”

Cepat-cepat dia mengangguk. “Dia sangat baik. Dia merawatku lebih baik daripada aku merawat diriku sendiri.”

Helene mengangguk, lalu kembali memencet pennya dan menuliskan sesuatu di buku catatannya. Kali ini Soraya tidak sanggup mengintip apa yang Helene tuliskan di situ.

“Apa terjadi sesuatu pada pernikahan kalian?”

Pandangannya mendongak menemui atensi Helene yang terus menelanjangi dirinya di kursi. Soraya meremas tangannya seraya menelan salivanya. Dia merasa keringat dingin mulai turun dari pelipisnya.

“Tidak. Kami baik-baik saja. Aku bahagia bersamanya, aku mencintainya. Hanya saja aku merasa tidak berguna atau mungkin belum pantas jadi istrinya.”

“Kenapa?”

Soraya diam sesaat. “Kami belum pernah berhubungan badan sejak kami menikah.” Lalu cepat-cepat menambahi, “Andra normal—maksudku pasanganku. Kami bukan bagian dari LGBT. Ini salahku karena sejak menikah aku selalu takut berhubungan badan dengannya.”

“Apa kau takut pengalaman pertamamu itu menyakitimu?”

Dia mengangguk membenarkan; Helene membuat catatan lagi. “Pertama kali berhubungan badan memang menyakitan. Itu wajar bagi perempuan muda sepertimu, terlebih ini pengalaman pertamamu. Kalian bisa mengatasinya dengan melakukan foreplay sebelum berhubungan badan atau pun bisa mengobrol santai supaya keadaanmu lebih rileks dan intim. Tubuhmu akan merespon baik saat pertama melakukannya dan rasa sakit hanya terjadi sebentar saja.”

“Sebenarnya kami sering melakukannya hampir setiap malam. Kami berciuman, bersentuhan, yeah, kami terus melakukan hal sama. Tapi setiap mendekati itu, aku selalu tegang dan menjadi takut.”

“Apa kau mendapatkan rangsangan dari aktivitas itu?”

Dia mengangguk. Tidak berusaha untuk menutupi perasaannya pada malam-malam yang dia lewatkan bersama Andra.

“Tapi kau merasa takut saat mendekati waktunya.”

“Benar.”

Kali ini Helene yang mengangguk. Dia mengeluarkan lembaran fotokopian kuesioner yang Soraya isi waktu di luar tadi. “Berdasarkan data yang kau isi di sini, kau mengalami kecemasan berlebihan. Kau merasa sangat negatif pada dirimu sendiri belakangan ini. Benar, kah?”

Soraya mengiyakan. Bahkan saat mengisi data itu dia begitu cemas sampai-sampai rasanya dia muak dan ingin merobek kertas-kertas tersebut. Lembar kertas itu membuatnya begitu transparan dan itu merusak harga dirinya sebagai seseorang yang dulu sangat membanggakan rasa percaya dirinya.

Lalu Helene menjelaskan beberapa hal penting berdasarkan data dan penjelasannya, bahwa Soraya sebenarnya mampu dan berani merasakan sakit saat pertama kali berhubungan badan bersama Andra. Hanya saja, dia mengalami gejolak lain yang membuatnya kesulitan untuk terbuka terhadap pasangannya. Helene kemudian bertanya-tanya berapa usia pasangannya, sebelum membuat catatan lagi di buku catatannya.

“Energi negatifmu terus menyerap kebahagiaan pernikahanmu, dengan kau berpikir bahwa hubunganmu ini tidak akan berhasil. Pikiran tersebut yang menyebabkanmu sulit terbuka untuk berhubungan sama pasanganmu, ” kata Helene. “Kau merasa bahwa usiamu terlalu dini. Kau menginginkannya, tapi kau takut saat hubungan itu tidak berhasil dan kau ditinggalkan, kau merasa kehilangan kebanggaan pada dirimu sendiri. Lalu dengan mempertahankan keperawananmu jika hubungan itu tidak berhasil, setidaknya kau memiliki satu kebanggaan yang mampu bertahan sejauh itu.”

Dia terkejut tidak percaya bahwa Helene mampu mengatakan hal-hal yang terus dia tinggalkan sejak menikah bersama Andra. Sejak dia merasa takut untuk berhubungan badan. Soraya merinding bahwa apa yang Helene katakan barusan benar. Tidak ada kebohongan yang disampaikan perempuan ini. Tatapannya yang menelanjanginya membuatnya tak berdaya. Siapa Helene? Mengapa dia begitu mengerti apa yang terjadi pada dirinya ini? Apa semua psikolog selalu begini?

“Soraya.”

Soraya mendongak cepat menatap mata biru tersebut.

“Saya sarankan supaya kalian menemui konselor pasangan.” Lalu Helene mengeluarkan sebuah kartu nama dan menuliskan sesuatu di buku catatannya dengan gaya resmi. “Ini adalah kontak temanku. Dia konseling pernikahan. Aku akan merekomendasikanmu padanya. Usahakan kau datang bersama pasanganmu.”

Soraya menerimanya dengan wajah bingung. “Apa kami perlu melakukan ini?”

“Ya,” jawab Helene cepat. Kali ini dia tersenyum, senyuman tulus. “Ini akan sangat membantumu untuk lebih memahami situasimu sekarang. Supaya pasanganmu tahu apa yang sedang terjadi padamu. Kalian akan baik-baik saja. Tidak perlu cemas.”

Dia tidak berkata apa-apa selain mengangguk. Mungkin Helene benar bahwa mereka memang membutuhkan konseling pernikahan. Memang harusnya sebelum menikah dia mengikuti konseling pra-nikah. Ini kesalahannya yang terlalu excited menikah bersama Andra. Kesadaran dan kepeduliannya masih kurang. Harusnya dia memikirkan ini sejak merasa bimbang di hari-hari sebelum mengiyakan ajakan Andra menikah.

Setelah itu, pertemuannya bersama Helene selesai. Helene berkata jika dia masih membutuhkannya, dia bisa datang kapanpun padanya. Soraya hanya mengiyakan, tapi tidak berjanji akan datang kemari lagi. Pertemuannya bersama Helene tidaklah gratis. Semua pakai biaya dan yang membiayainya saat ini adalah Keenan. Dia tidak mau membuang banyak uang demi melakukan ini meskipun sebenarnya dia membutuhkan sekali orang seperti Helene.

Begitu keluar ternyata Keenan berdiri di luar pintu menunggunya. Melihatnya yang hanya tersenyum miris, Keenan langsung mendekap dan mengatakan bahwa apa pun yang terjadi di dalam sana dia tidak perlu memikirkannya. Keenan bilang dia perempuan luar biasa yang bisa mengatasi masalahnya dengan baik. Hanya saja, kali ini dia membutuhkan tenaga lebih untuk mengatasi masalahnya.

Soraya hanya mengangguk. Ketika masih memeluk Keenan, ponselnya berdering. Andra menghubunginya tepat saat mereka akan pulang. Dia menerima panggilan itu sedikit kaget karena suara Andra terdengar begitu cemas yang tidak menemukannya di rumah.

“Mas Andra gak usah khawatir aku sama Keenan kok. Iya, seriusan. Hmm ... kami di kafe.” Soraya nyengir setelah berbohong; Keenan menaikan satu alisnya bingung. “Ini juga mau pulang. Iya. Mas Andra gak usah nyusul. Aku udah di jalan mau pulang.”

Sekali lagi, entah mengapa dia berbohong sama Andra. Keenan tidak bertanya apa-apa. Itu mungkin keinginan Soraya jadi dia tidak ingin ikut campur. Dia hanya menasehati supaya Soraya tidak perlu berbohong lagi sama suaminya.

“Cuma sekali ini aja. Janji, besok enggak,” katanya kemudian mereka pulang.

Andra menunggunya di luar gedung apartemen. Kecemasannya sirna kemudian setelah melihat Soraya pulang. Dia bergegas mendekat untuk memeluknya erat berpikir bahwa dirinya akan hancur jika kehilangan perempuan ini. Andra hampir sinting saat tidak menemukan presensi di apartemen. Mengira sesuatu yang buruk telah terjadi pada Soraya.

Keenan menyaksikan itu lantas menggulum senyum. Lega sekali mengetahui bahwa Soraya memiliki seseorang yang begitu mencintainya seperti Andra. Dia lalu membuat catatan sendiri untuk memberitahu Ansel kalau Soraya dan Andra saling menjaga satu sama lain, dengan menyampingkan masalah perempuan tersebut. Belakangan Ansel terus menanyakan kabar adiknya itu padanya, mengira Keenan telah bertemu mereka di Paris.

“Key, gak mau mampir dulu?” tanya Soraya begitu ingat keberadaannya.

Keenan menggeleng. “Aku langsung pulang saja. Besok masih ada pekerjaan. Lain kali lagi aku mampir.” Matanya bertemu Andra, dia langsung melontarkan senyum bersahabat. “Tetap hubungi aku kalau ada apa-apa.”

Soraya mengangguk. “Terima kasih, Key.”

Meski kendaraan Keenan sudah hilang di ujung jalan sana, mereka masih berdiri di luar gedung apartemen dan saling memeluk pinggang masing-masing. Soraya berbalik menghadap Andra, lalu berjinjit demi mengecup bibirnya yang setengah terbuka itu.

“Mas.”

Andra menunduk menatap tatapannya penuh arti.

“Kalau aku mau sekarang gimana?”

“Soal apa?”

Soraya melihat sekeliling. Untung di sekitarnya sepi, hanya ada mereka di luar. Kawasan apartemennya memang cenderung sepi di jam-jam segini.

“Itu ... hs.”

Mata Andra menyipit heran. “Kenapa tiba-tiba?” Lalu dia mulai menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan Soraya saat ini. Apa yang dilakuannya di luar sana bersama Keenan. Kenapa dia tidak memberitahunya kalau mereka akan bertemu. Namun, Andra mencoba untuk tetap positif meski penasaran.

Soraya terus mengidikkan bahu. Seolah tidak tahu-menahu alasannya dan dia hanya menginginkannya. Sebenarnya dia hanya ingin membuktikan bahwa omongan Helene benar. Bahwa dia sebenarnya mampu menahan sakit dan menginginkan hal yang sama. Dan membuktikan omongan Helene lain bahwa itu tidak benar. Dia mempertahankan diri tetap perawan karena tidak beranggapan hubungannya bersama Andra tidak akan berhasil.

“Mas Andra gak mau?” tanya sedikit kecewa.

Tapi sebetulnya ucapan Keenan kemarin lebih mengkhawatirkan dirinya. Dia takut Andra akan meninggalkannya dengan mencari perempuan lain yang lebih siap menjadi istrinya dibanding dirinya yang serba setengah ini. Soraya menolak hubungannya berakhir seperti mereka, para korban menikah muda.

“Mas Andra mau, tapi kenapa tiba-tiba? Emang kamu udah siap?”

“Belum,” kali ini dia tidak mau berbohong lagi, “kalau aku belum siap terus mau sampai kapan begini. Mas Andra juga gak mungkin terus nunggu, kan? Ya, mungkin sekarang Mas Andra masih mau nungguin, tapi setelah dua atau tiga bulan lagi Mas Andra pasti muak. Mungkin nanti Mas Andra bakalan cari—”

Andra menundukkan kepala mencium bibirnya cepat. Membungkam mulut itu yang terus mengatakan hal-hal jelek. Andra tahu pernyataan terakhir akan terdengar seperti apa.

“Oke, mas mau. Tapi tolong kasih tahu mas kalau kamu ngerasa canggung atau sakit. Mas nanti akan langsung berhenti. Dan tolong, jangan ditahan sakitnya. Janji?”

Soraya mengangguk dan tersenyum. Andra menciumnya lagi kemudian mereka sepakat untuk segera masuk ke apartemen.

Hohoho 🤷‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top