⏳ what's wrong (2)

Apartemennya enggak besar-besar amat, lumayanlah buat ditinggali sepasang. Rencana awal kalau Andra belum nikah dia bakal tinggal di asrama khusus mahasiswa dari negaranya asal atau paling tidak asrama kampus. Rencana itu tetap sama misal Soraya tidak ikut tinggal bersamanya ke Paris. Berhubung ikut rencana pun berubah, dia memutuskan menyewa sebuah apartemen bekas tempat tinggal Adam dulu, yang jaraknya lebih dekat sama pusat kota dan kampus lumayan tidak begitu jauh.

Dari pintu masuk ke dalam apartemen maka langsung menuju ke ruang tamu sekaligus tengah. Lorong dekat pintu utama cukup kecil sehingga di situ hanya ada rak sepatu dan gantungan. Di ruang tamu hanya ada satu sofa panjang dan satu meja tamu oval dari kayu. Tidak ada sekat antara ruang tamu dan dapur yang langsung menyatu. Menoleh ke kanan kalian akan menemukan sebuah dapur minimalis lengkap dengan kicten set, peralatan masak, kompor, dan meja bar malfungsi yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat makan dengan kursi stool. Lalu persis sebelah kiri wastafel tempat cuci piring ada kulkas dua pintu. Perpaduan warna abu-abu dan stainless steel menambahkan kesan dewasa dan kalem pada ruangan tersebut. Menoleh ke kiri ada dua pintu berbeda: pintu hitam itu kamar pribadi mereka; pintu putih merupakan kamar mandi.

Entah berapa banyak yang Andra keluarkan demi menyewa apartemen ini. Walaupun tidak mewah dan besar, tapi tempatnya cukup bagus, enak dipandang, dan nyaman. Soraya belum pernah bertanya berapa uang yang dikeluarkan Andra menyewa apartemen ini. Belum lagi nanti biaya hidup mereka sehari-hari dan tanggungan lainnya. Dia juga tidak tahu berapa banyak tabungan yang dimiliki sang suami. Suaminya sendiri tidak pernah membicarakan sekalipun soal tabungannya padanya dan dia pun tidak pernah punya niatan untuk bertanya.

Dulu mungkin tidak begitu tertarik buat tahu, tapi sekarang dia pengen tahu seberapa banyak nominalnya. Bukan untuk menilai seberapa mampu Andra menghidupinya sehari-hari, dia hanya ingin menyesuaikan supaya bisa hidup lebih menghemat. Selama ini dia tidak pernah boros dan kini setelah menyandang status baru sebagai seorang istri, dia harus pandai mengelola keuangan. Bodohnya dia tidak pernah bertanya-tanya masalah ini sama ibunya yang sudah berpengalaman. Soraya menyesal karena belum mempersiapkan diri sebagai istri dengan baik.

Mengagungkan konsep “let if flow” lama-lama tidak baik juga. Orang-orang seperti dirinya harus bertindak lebih matang jika ingin menyesuaikan diri ke kehidupan barunya. Mustahil kan, dia jadi istri asal-asalan. Dia harus lebih giat mencari tahu apa saja yang dilakukan para istri di luar sana. Kata-kata “istri” sebetulnya masih terdengar baru dan sedikit aneh. Tapi dia harus terbiasa sama julukan barunya itu.

Soal tabungan, Soraya juga punya tabungan sendiri dan Andra pun tidak tahu jumlah tabungan yang dimilikinya malahan belum pernah bertanya. Namun, dia tidak pernah berpikir bahwa tabungannya lebih besar dari Andra. Soraya hanya lulusan sarjana baru yang belum punya pengalaman kerja. Tabungan itu hanya uang bulanan rutin yang diberikan orang tuanya, uang jajan yang disisihkan sedikit demi sedikit sebagai tabungan. Terus ditambah uang bulanan dari Ansel semenjak kakaknya itu bekerja. Soraya tidak pernah minta, tapi Ansel selalu memberinya rutin setiap bulan. Yang terakhir uang tabungannya berasal dari hasil penjualan bukunya. Jumlah uang itu lumayan untuk memperbanyak isi tabungan Soraya yang jarang dia ambil.

Sementara Andra seseorang yang punya banyak pengalaman di dunia kerja, sudah jelas dia sudah rajin menabung sejak lama. Tapi Soraya belum pernah tahu orang seperti apa suaminya ini jika berhubungan sama uang. Apakah dia tipe boros atau hemat. Sejauh ini dia belum pernah lihat Andra buang-buang duit secara cuma-cuma dan Andra pun belum pernah membelikannya barang-barang mewah. Soraya tidak mengharapkan dapat barang mewah dari Andra, hanya saja dia terpikirkan soal tersebut.

Soraya mendesah lagi. Akhir-akhir ini kenapa dia bawaannya pengen mendesah terus, sih! Pikirannya yang terkesan tidak matang ini seringkali membuatnya tak nyaman. Semenjak menikah Soraya terus merasa kurang dalam segala hal. Merasa bahwa dirinya belum siap untuk menjadi istri seseorang, apalagi seseorang yang seperti Andra, yang di matanya ini entah mengapa terlihat sempurna.

Andra memang bukan pria paling tampan yang pernah ditemui. Jika dibandingkan sama Ansel atau Keenan, dia jelas berada diurutan ketiga atau mungkin urutan keempat jika Soraya memasukan Tian dalam daftar “pria tampan di kehidupannya”. Dia pria normal yang tidak akan membuat wanita langsung heboh untuk menyembah kakinya. Terkadang Andra bisa terlihat tampan, kadang terlihat biasa-biasa saja.

Baginya pria itu seperti bunglon, suka berubah-ubah tergantung pakaiannya. Dia tidak terlalu cocok pakai pakaian terlalu formal, kesannya dia terlihat canggung, tapi terlihat baik saat berpakaian kasual ataupun semi-formal. Bagian Andra yang tidak pernah berubah hanyalah senyumannya. Dia punya senyum kharismatik yang dapat membuat para gadis tertarik untuk mengenal dirinya lebih jauh. Begitulah yang Soraya nilai dari Andra sejak pertama bertemu.

Sementara di matanya kini, Andra adalah nomer satu bukan ketiga ataupun keempat. Dia bukan sekadar orang yang rupawan dengan senyuman kharimastiknya belaka. Dia penuh perhatian, auranya selalu positif, tegas, dan sangat dewasa. Soraya sedikit mengenang awal-awal perjumpaan mereka, dari si barista dan pelanggan kafe, hingga berakhir menjadi pasangan suami istri. Takdirnya begitu menarik. Kala mendorong pintu kafe untuk pertama kali pergi ke sana, matanya langsung bertemu dengan sang barista yang mendongak tepat ke arah pintu. Laki-laki itu lalu tersenyum sopan kepadanya dan dia pun segera membalas senyumannya itu, dan siapa kira bahwa laki-laki itu ternyata jodohnya.

Jari telunjuknya menyusuri wajah Andra mulai dari dahi sampai ke dagunya. Namun, atensinya hanya berhenti pada bibirnya yang kecil dan penuh. Bibir inilah yang belakangan sering membuatnya mabok kepayang. Pengalaman Soraya berciuman hanya pernah terjadi sekali. Itupun dengan suami orang.

Dulu dia sangat bodoh karena bisa-bisanya hanyut dalam ciuman tersebut. Harusnya dia menolak dan keluar segera mungkin dari mobil pada malam itu, tapi yang dilakukan malahan tetap diam dan menerima bibir Tian di bibirnya. Soraya segera menepis bayangan masa lalunya. Jika dibandingkan sama Andra, ciuman Tian bukanlah apa-apa. Urusan berciuman Andra jauh lebih unggul—ralat, suaminya unggul dalam segalanya.

Tiba-tiba Soraya mengecup bibir itu. Iseng-iseng belaka yang berujung membangunkan sang suami.

Andra mengerjap sambil memindai sosok di depannya yang terlonjak kaget. Pipinya samar-samar terlihat memerah. Cepat-cepat dia berpaling dari atensinya.

“Udah bangun?” tanya Andra usai mengenali wajah di depannya ini.

“I-iya,” jawabnya gugup.

Andra menyipitkan mata seraya mengubah posisi jadi duduk. “Kenapa?”

Soraya hanya menggeleng. Justru dengan dia terus berpaling, semakin Andra mencurigainya apalagi pipinya sekarang semakin bersemu merah.

Andra kurang tahu apa yang menyebabkannya begini. Jadi dia hanya mengamatinya terus. Sementara Soraya terus memalingkan wajah. Terlihat jelas dia lagi salah tingkah. Sikapnya ini membuatnya tersenyum geli hingga mengacak gemas kepalanya.

“Udah enakan badannya?”

“U-udah kok.”

“Sakit kepalanya?”

“Sa-sama.” Soraya mengigit bibirnya gugup. Manahan dorongan untuk tidak melirik ke arah Andra. Lucu sekali dia malu jika Andra tahu kalau dia mencium bibirnya waktu tidur, sementara seharian ini justru dia sendirilah yang meminta Andra untuk menciumnya.

“Terus kenapa gugup?”

“E—engggak ada yang gugup!” sahutnya cepat, sampai berani membalas tatapan itu. Andra melihatnya langsung tersentak dan tertawa. “Siapa tuh, yang gugup? Itu cuma perasaan Mas Andra doang.”

“Masa, sih?” Andra menahan senyum lebarnya.

Soraya memutar bola mata kemudian bangkit berdiri. “Dahlah, aku mau mandi. Mas Andra tidur lagi sana!” ujarnya, semata-mata hanya ingin kabur ke dalam kamar mandi.

Lagian aneh banget, kenapa dia harus salah tingkah mulu di dekat Andra. Mereka bukan pasangan ABG, mereka sudah suami istri. Sudah sah! Terus kenapa selalu bertingkah sama begini? Soraya berdecak penasaran sama kelakuannya sendiri. Lagi pula mereka bukan hanya sekali pernah berciuman setelah menikah.

Di dalam kamar mandi dia terus merutuki tingkah lakunya yang masih seperti ABG yang kesemsem sama pasangannya. Ujung-ujungnya menyalahkan Andra yang tidak bosan membuat dirinya terpesona. Andra seperti magnet yang akan terus menarik Soraya supaya mendekat padanya. Suaminya amat berbahaya bagi kesehatan jantungnya.

Melupakan hal tersebut, Soraya baru sadar kalau dari handuk sampai peralatan mandinya sudah ditata rapi sesuai tempat di dalam kamar mandi oleh Andra. Pria itu sungguh telah membereskan semua sendirian di saat dia tertidur nyenyak di kamar. Soraya kembali lagi dengan rasa bersalahnya yang telah melimpahkan pekerjaan rumah ini kepada sang suami. Padahal, mestinya dia turut membantu alih-alih tidur di kamar.

Begitu selesai mandi, dia segera masuk ke dalam kamar saat tidak menemukan Andra di sofa. Mengira bahwa sang suami tidur lagi setelah pindah tempat, ternyata pria itu terjaga dan sedang bermain dengan ponselnya.

“Kok Mas Andra gak tidur?”

Andra menarik atensi dari ponsel ke arahnya. “Nungguin kamu,” katanya lalu menyuruhnya supaya tidur di sebelahnya.

Soraya menurut setelah menutup pintu kamar. Berbaring di sebelah dan segera balas memeluk tubuhnya. Diam-diam dia mencium aroma bau badan Andra yang sangat khas itu. Perpaduan minyak citrus dan essensi. Tetap wangi meskipun mandinya sudah dari berjam-jam lalu.

“Besok kita ke rumahnya Adam.”

“Adam?”

“Belum mas kasih tau?” Dia mengangguk, lalu melirik ke arah layar ponsel Andra yang menunjukkan percakapan sang suami bersama Adam. “Dia teman mas waktu sekolah dulu sama Sabo. Dia udah lama tinggal di Paris.”

“Berapa lama?”

“Sepuluh tahun.”

Soraya bengong. “Selama itu? Keren!”

Andra hanya tertawa seiring anggukan kepalanya. “Istrinya orang Paris, makanya betah tinggal di sini.”

“Udah nikah? Kirain belum.”

“Udah punya anak juga malahan.” Terus Andra menunjukkan foto keluarga temannya yang bernama Adam. Dari foto Adam, istrinya bernama Esmee, terus putranya yang baru berusia dua tahun itu. “Lucu, kan? Namanya Beau. Panggilannya Bee.”

Bayi dua tahun itu bernama Beau. Dia lucu sekali dengan pipi montok, hidung mungil, dan matanya bulat berwarna abu-abu seperti mata ibunya. Soraya mendadak gemas kepengan mencubit pipi montoknya Beau. Perhatiannya teralihkan Andra yang tampak begitu senang melihat foto Beau. Seolah anak itu adalah anaknya.

Wajah Soraya mendadak masam. Dia lupa mereka belum pernah membicarakan perihal momongan setelah menikah ini. Tapi setelah melihat ekspresinya itu, dia langsung menyimpulkan bahwa Andra suka anak-anak dan pengen memiliki setidaknya satu anak darinya. Sementara dia lebih pengen buat tidak punya anak dalam waktu dekat ini, Soraya masih belum siap jadi seorang ibu.

Tidak usah jauh-jauh menjadi seorang ibu. Jadi istri saja dia masih banyak kekurangan. Selama sepekan ini menjadi istrinya, dia bahkan belum maksimal melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri. Terutama Soraya belum memenuhi kebutuhan Andra di ranjang. Mereka belum melakukan bagian itu setelah menikah selama sepekan ini. Dia belum mengaku siap sehingga Andra tidak pernah memaksanya untuk berhubungan badan.

“Mas Andra suka anak-anak?” tanyanya penuh hati-hati.

“Suka sih, iya. Tapi mas payah kalau ngurus anak.” Dia tertawa terkenang lagi ketika dimintai tolong untuk mengendong anak dari sepupunya. Bayi sepupunya itu entah mengapa selalu menangis di gendongannya dan Andra pun tidak jago buat menenangkan tangisannya. Malah dia menjadi takut. Takut upayanya akan semakin membuat bayi itu menangis.

Andra berpaling ke arahnya yang diam-diam merenung seperti sedang memikirkan kunci jawaban soal ujian nasional. Dia lalu tertarik dengan persoalan yang sedang dipikirin istrinya itu. “Kamu mau punya anak?” tanyanya sekadar ingin memancingnya.

Soraya mendadak gelagapan. “Eh? I-itu ....”

“Gak suka anak?”

“B-bukan gitu. Aku ... gak suka—maksudnya bukan gak suka anak. Tapi ....”

Andra menaruh ponselnya di nakas kemudian memutar tubuh agar menghadap sang istri yang tiba-tiba tegang dan setengah panik. Mengira dia akan melakukan sesuatu padanya perihal bayi. Sebaliknya dia hanya mengeratkan pelukan dan menjatuhkan kecupan di pangkal hidungnya.

“Sex hanya bumbu pernikahan dan anak adalah kado special dari pernikahan,” ujarnya sambil memindai serautnya. “Mas gak akan maksa kamu buat berhubungan badan sekarang ataupun besok. Mas juga gak akan maksa kamu buat cepat-cepat punya momongan.”

Soraya bergeming.

“Mas cuma mau kamu membiasakan diri sama status barumu ini. Kalau ada apa-apa ceritakan sama mas, jangan dipendem sendiri.” Entah sejak kapan Soraya jadi lebih sering memendam perasaannya ini. Tidak seperti dirinya dulu yang selalu membicarakan langsung di depan Andra jika dia merasa kurang senang atau nyaman. “Kalau kamu belum siap, terus gunanya apa sex dan punya anak?”

“Mas gak apa-apa?”

“Hmm ....” Andra pura-pura berpikir. Soraya sempat cemas melihat kerutan pada dahinya. “Sebenarnya agak aneh juga, sih. Udah nikah tapi belum malam pertama.”

“Maaf ...,” gumamnya menyesal selalu merasa belum siap untuk memenuhi kebutuhan Andra di ranjang. Andra rutin mencium, menjamah tubuhnya dengan tangannya dan membuatnya teransang, tapi setiap kali ada kesempatan mereka sampai di titik untuk melakukan itu, Soraya selalu merasa tegang dan panik. Seakan takut Andra akan memaksakan miliknya untuk masuk ke dalam dirinya.

Bukan hanya masalah dia takut sakit, tapi ada satu hal yang menganjal di hatinya. Soraya belum tahu apa itu, dia masih mencari tahu apa yang salah pada dirinya saat ini.

Andra mengecup lama keningnya. Melontarkan sebuah senyum hangat padanya yang terus murung. “Kamu cuma belum siap aja. Jangan terus merasa bersalah. Mungkin belum sekarang buat gituan, kita bisa melakukan itu lain kali. Dengan kamu tetap di sini aja mas udah seneng.”

Soraya hanya mengangguk dan mengeratkan pelukannya. Walaupun Andra menyuruhnya supaya tidak merasa bersalah, dia tetap merasakan itu. Soraya akan terus bersalah karena membuat Andra secara tak langsung menderita dengan ketidaksiapan dirinya ini. Ketika mereka berada di titik untuk melakukan itu Soraya merasakan bagian milik Andra yang menonjol, tapi karena responnya berbeda dengan miliknya, Andra hanya menjauhkan diri dengan wajah menderita yang ditutup-tutupi itu. Kadang-kadang dia akan kabur ke kamar mandi dan kembali ke kamar beberapa menit dalam keadaan selesai mandi.

Gara-gara dia serba belum siap, Andra harus menderita banyak.

“Mas Andra gak mikir kalau aku—”

“Lesbi maksudmu?” Dia tak menjawab, hanya diam dan menyembunyikan kepala di dadanya. “Mungkin sempat, tapi mas rasa itu enggak. Toh, kamu selalu terangsang sama sentuhan mas.”

“Gara-gara aku jadi hambar.”

“Siapa bilang?” Andra mengelus punggungnya agar Soraya lebih rileks lagi. “Justru karena kamu itu Aya kehidupan mas jadi gak hambar. Udah mas bilang kan, sex hanya bumbu pernikahan. Bumbu biar lebih enak rasanya tuh, harus diracik.”

Andra memandanginya yang tetap menyembunyikan kepala di dadanya. Ia tersenyum. Mungkin sebagian dari diri Soraya yang dia kenal selalu blak-blakan dan percaya diri itu melemah karena belum menyesuaikan diri sama statusnya. Andra mencoba untuk memaklumi dan memahami situasi sulit istrinya ini. Walaupun dia menderita, dia juga tidak boleh egois dengan memaksanya melakukan itu sekarang. Memaksakan kewajibannya pada pasangan yang belum siap, sama saja dirinya seperti penjahat kelamin di luar sana. Hanya dia yang akan mendapatkan kepuasaan, sementara Soraya akan menderita. Skenario buruknya penderitaan itu akan terus berlarut-larut.

“Aya.”

“Ya?”

“Kamu mau ke psikolog?”

Kepalanya mendongak. Matanya yang berwarna cokelat itu menatapnya tampak terkejut dan tidak mengerti alasan Andra menyuruhnya menemui psikolog.

“Mas Andra gak mikir kalau aku gila, kan?”

Andra menggeleng. “Kenapa mikirnya gitu? Gak semua orang yang ke psikolog itu gila. Mas cuma mikir, mungkin dengan kamu ke sana—”

“Gak, gak. Buang-buang duit.”

“Masalah—”

“Mas Andra aku gak apa-apa. Aku janji deh, secepatnya bakalan berubah.”

“Berubah jadi apa?” tanya Andra. “Kamu gak perlu berubah, cukup jadi Aya saja. Kalau emang gak mau gak apa-apa. Mas cuma ngasih saran. Tapi kalau kamu berubah pikiran, tolong kasih tahu mas.”

Soraya hanya bingung mengapa Andra menyuruhnya ke psikolog kalau dia merasa baik-baik saja. Tapi dia tidak bertanya dan hanyak mengangguk. Obrolan itu diakhiri dengan ciuman Andra sebelum mereka tidur karena merasa lelah setelah perjalanan udara satu hari penuh itu.

🦁 l i o n h e a r t e d 🦁

Bonjour!”

Adam merupakan pria humoris yang senang melontarkan lelucon konyol, bahkan sama orang yang baru dia kenal. Pribadi Adam lebih menyenangkan membuat Soraya langsung akrab dan nyambung sama leluconnya itu. Dibanding Sabo, teman Andra lainnya, yang selalu terlihat serius dan sibuk sama ponsel genggamnya, Adam punya sejuta bahan obrolan sehingga lawan bicaranya tidak perlu berpikir keras untuk menghidupkan suasana di ruang makan, di rumah ini.

Esmee, istri Adam, sangat baik meski sifat pemalunya itu kadang membuat Soraya bingung harus membicarakan apa padanya. Itu sebabnya Soraya lebih sering berbincang sama Adam. Tapi Esmee pandai memasak, terbukti dari aneka ragam makanan yang dia buat di meja makan siang itu yang cocok sekali sama lidah mereka. Keahlian Esmee sebagai ibu rumah tangga, membuat Soraya merasa berkecil hati karena sampai ini belum pernah memasakan makanan untuk Andra. Dia hanya tahu bahan-bahan dapur, urusan masak dia masih payah.

Beau bayi mereka sangat lucu. Lebih lucu dibanding foto-fotonya yang Soraya lihat semalam. Andra yang mengaku payah mengurus bayi, faktanya justru sebaliknya. Memang sih, dia sedikit terlihat canggung saat mengendong Beau. Terkesan begitu takut akan membuat bayi itu menangis, tapi Beau tetap diam dengan mata bulat abu-abunya menatap Andra.

Di meja makan itu mereka tidak perlu berbicara dengan Bahasa Inggris karena Esmee ternyata lumayan fasih bicara. Sehingga istri Adam tidak perlu bertanya pada suaminya apa yang sedang mereka bicarakan.

Sorry, nih. Pas kalian nikah aku malah gak dateng. Padahal Andra dulu datang.”

“Santai aja, Dam.”

“Si Sabo juga gak datang, ya?”

Andra membenarkan. Kali ini dia terlihat lebih bebas setelah Beau diambil alih sama Esmee. “Dia keluar kota. Terus datang besok siangnya.”

“Haha. Tuh, orang gak ada berubahnya sama sekali, ya. Sok sibuk! Dasar maniak bisnis!” Adam berpaling ke arah Soraya yang menyimak obrolan yang sedang membicarakan Sabo, teman mereka itu. “Si Andra juga maniak bisnis. Kamu belum tau kan?”

Soraya menggeleng, kontan melirik Andra yang hanya mengidikkan bahu dan berkata, “Adam cuma hiperbola.”

“Halah,” sahut laki-laki di depan mereka. “Aku kasih tau, ya. Dulu pas sekolah, Andra sama si Sabo ini paling maniak soal bisnis. Mereka bukannya fokus sekolah malah fokus dagangan.”

“Oh, ya?” Soraya tertarik ingin tahu seperti Andra waktu sekolah dulu. Orang tua Andra sejauh ini cuma cerita kalau Andra sejak dulu agak keras kepala, nilai sekolahnya pernah anjlok, jarang bolos sekolah tapi guru BP sering manggil orang tuanya ke sekolah karena Andra keseringan bawa barang-barang aneh dan kadang kepergok suka mencontek soal PR teman sebangkunya.

Kini Soraya tahu siapa temannya yang sering dicontekin Andra. Orang itu Adam. Andra menambahkan kalau Adam orangnya pinter, yang paling pinter di antara Sabo dan Adam. Lalu barang-barang aneh yang ditemui guru BP itu barang jualannya sama Sabo. Sebenarnya bukan aneh, melainkan gurunya saja yang tidak tahu fungsi dari barang tersebut. Andra sering menyimpannya di loker sekolah atau enggak di laci meja kelas, tapi ketua kelasnya dulu sangat cerewet. Dia suka mengadukan anak-anak dari kelasnya yang banyak bertingkah dan incaran orang itu selalu Andra dan Sabo.

“Dari dulu dia suka berbisnis sama Sabo. Dari jualan printilan mesin motor, part time di warnet, bisnis jastip, jualan makanan pernah, kebetulan bokapnya Sabo punya usaha pusat oleh-oleh gitu ... pokoknya banyak banget yang mereka lakuin. Sampai-sampai nih, aku diseret buat ikut bisnis joki tugas sama mereka.”

Soraya menatap Andra tak percaya jika isi kepala pria ini masa sekolahnya hanya bisnis.

“Si Andra juga batu banget. Misal dia pengen jadi A, ya dia bakalan berusaha buat jadi A mau gimanapun caranya. Contohnya nih, dia pengen jadi bertender di klub malam gitu. Nah, pas lulus sekolah dia bukannya fokus buat daftar kuliah, dia malah ikut pelatihan jadi bertender. Tapi karena Pak Galih itu gak mau anaknya gak kuliah, jadinya di sela-sela daftar kuliah dia juga fokus pelatihan jadi bertender. Bukan cuma itu doang, kayak dia pengen jadi housekeeper—sebenarnya ini gak ada yang tahu—tapi si Andra pernah kerja jadi housekeeper selama dua bulan di hotel bintang tiga, gara-gara pengen tahu rasanya kerja di hotel itu kayak apa. Dia juga sering ikut inventasi di star up gitu sama si Sabo, gak tahu dah tetap lanjut atau cuma kena tipu-tipu doang. Terus hobinya ini keluar kota mulu sebulan sekali.

“Pokoknya suamimu ini, Aya. Orang paling kepo yang pernah kukenal soal pekerjaan orang lain. Kalau dia mau jadi A, dia harus jadi A. Dengan ngasih effort belajar berusaha buat jadi si A itu. Makanya kalau kamu geledah isi kamarnya, pasti kamu nemu banyak sertifikat pelatihan. Untung, keponya gak aneh-aneh. Paling kerjaan yang gampang buat dipelajari bagi orang-orang kayak dia ini. Agak bandel kalau dibilangin. Sabo sama Andra tuh, 11:12 lah. Sama-sama maniak kerja. Aku aja bingung, kok bisa temanan sama mereka.”

Informasi ini baru dan Soraya hanya bisa terpukau oleh keaktifan Andra bersama Sabo di masa sekolahnya dulu. Dibanding sama dirinya, dia sama sekali tidak ada apa-apanya. Soraya selalu berada di zona nyaman dengan mengandalkan konsep let it flow sambil menikmati masa sekolah bersama teman-temannya, sementara Andra sibuk merencanakan beragam bisnis sama Sabo di usia muda.

“Oh, aku baru ingat!”

“Apa lagi? Masih belum puas cerita, hah?” Andra berdecak sementara Adam hanya menyeringai dan menarik atensi Soraya supaya fokus padanya.

“Ngomong-ngomong, ketua kelas.”

“Dam.”

Adam mengacuhkan teguran Andra. Melihat respon suaminya yang terlihat salah tingkah setelah temannya itu menyinggung ketua kelas mereka waktu sekolah dulu, Soraya jadi tertarik mendengarkan cerita Adam lagi. Pasti pernah ada hubungan antara Andra dan ketua kelasnya dulu kalau berdasarkan reaksi kedua pria ini.

“Laras, nama ketuas kelas kami dulu. Dia ini—” Soraya mengerjap bingung saat tiba-tiba tidak bisa mendengarkan suara Adam. Ternyata Andra menutupi telinganya dengan kedua tangannya. Soraya mendengus lalu menarik tangan Andra supaya menyingkir.

“Kali ini gak usah didengerin,” katanya.

“Kalau Mas Andra bilang gini, aku malah jadi penasaran!” ucapnya kemudian menyuruh Andra supaya duduk di kursi lain yang agak jauh darinya atau dia yang pindah tempat duduk.

Andra frustasi, tapi memilih tidak pindah duduk dan melarang pindah Soraya buat pindah juga. Dengan syarat Soraya tidak boleh cemburu setelah mendengar cerita Adam. Mendengar permintaan sang teman kontan Adam tertawa terbahak-bahak.

Seorang laki-laki akan berubah setelah menikah. Iya itu benar. Adam pun merasa bahwa dirinya telah berubah semenjak menikahi Esmee, istri cantiknya, yang sibuk mengurus bayi mereka sambil menyimak. Jika dua temannya maniak bisnis, Adam justru maniak belajar.

“Ayo, lanjut ceritanya.” Soraya mengabaikan desahan Andra yang terlihat begitu nelangsa.

Adam sebenarnya tidak tega, tapi juga ingin menceritakan kisah ini pada Soraya. Akhirnya dia pun memulai ceritanya. “Kalau urusan cewek Andra sebenarnya bukan playboy atau brengsek. Dia baik kok, cuma agak pilih-pilih. Jujur aja, aku sempat kaget mau akhirnya nikah sama cewek di luar kriterianya. Soalnya dari dulu suamimu itu suka mengeborkan kriteria pasangannya kayak apa.”

Kalau Adam saja kaget Andra melenceng dari kriteria wanitanya, apalagi Soraya yang sempat tidak percaya sama ajakan Andra menikah.

“Laras ini pacar pertama Andra. Iya, dia ketua kelas paling cerewet dan suka ngaduin anak-anak ke guru. Tepatnya cewek yang terpaksa dipacarin Andra.”

“Maksudnya?”

Andra menimpali, “Dulu aku sama Sabo benci banget sama si Laras soalnya dia tukang ngadu. Terus kita bikin tantangan, siapa yang bisa pacarin Laras biar tuh cewek gak ngaduin kami lagi ke guru.” Buru-buru ia menambahi, “Kalau sama kamu gak ada tantangan. Ini murni dari aku sendiri.”

“Ngeri, Ndra. Ngeri!” kelakar Adam tak berhenti tertawa meski temannya itu terus memelototinya.

“Terus?” Soraya bertanya ke Adam alih-alih Andra yang memilih menjatuhkan kepalanya di pundak istrinya. Dia malu sepertinya mendengar kisah lamanya diceritakan kembali.

“Singkatnya si Laras suka Andra alih-alih Sabo. Jadi akhirnya Andra pacarin Laras terus buat tuh cewek supaya gak ngaduin mereka ke guru. Rencananya berhasil. Mereka juga pacaran walaupun awalnya Andra terpaksa. Haha ya, karena Andra tuh emang gak bisa jadi cowok brengsek. Malah mereka jadiannya lama sampai kuliah semester berapa, Ndra? Sebelum sama si Andini.”

Andra tidak menyahut. Orangnya terlanjur sibuk memainkan tangan Soraya di bawah meja makan.

“Lupa dah, berapa. Pokoknya si Laras ini pacar pertama Andra yang setelah putus bikin tuh orang patah hati. Gara-gara putus sama Laras, Andra langsung punya kriteria cewek yang mirip sama mantan pertamanya itu soalnya dia belum move on, masih terbayang-bayang sama si Laras. Laras walaupun cerewet anaknya emang dewasa banget.”

“Bagian akhir jangan percaya,” kata Andra seketika menyesal mengajak Soraya mampir ke rumah Adam.

Soraya masih tetap mengabaikan Andra yang merajuk bak anak kecil. “Terus?”

“Lucu aja sih, dulu Andra kelihatan cinta banget sama Laras padahal pas sekolah dulu terpaksa pacaran. Yang paling heboh pas kami nih, di kontrakan dulu, mergokin mereka ciuman. Haha. Ndra, Ndra, ingat gak tuh muka panikmu pas kepergok?”

Andra mengertakkan gigi. Jengkel terus dipojokan begini. Mungkin ini balasan dari Adam yang dulu pernah dipojokkan di depan Esmee sama Andra dan Sabo. Menceritakan kisah masa lalunya yang tidak diketahui oleh siapa-siapa kecuali mereka. Kira-kira beginilah perasaan Adam dulu di posisinya.

Just a kiss, kok. Taulah anak muda dulu kek gimana pacarannya. Tenang tenang, mereka berdua aman. Gak separah Sabo.”

Soraya hanya mengangguk. Barulah kemudian dia melirik Andra yang tetap menyandarkan kepala di pundak sambil meremas tangannya.

“Laras pasti jadi pacar baik banget. Kalau gak gitu, gak mungkin Mas Andra sampai bikin kriteria cewek mirip mantan.” Soraya mengidikkan bahu. “Mereka putus karena apa?”

Adam ikut mengangkat bahu tak tahu-menahu. “Coba tanya si Andra. Aku gak pernah tahu alasan mereka putus. Dulu kupikir mereka bakalan langgeng sampai nikah, ternyata putus di tengah jalan.”

“Mas Andra.”

“Hmm,” sahutnya setengah hati.

“Kenapa putus?” tanya Soraya.

Andra mendesah dengan berat; Adam terkekeh geli namun langsung diam setelah ditegur Esmee yang merasa kasihan sama teman suaminya itu.

“Karena bukan jodohku.”

Soraya memutar bola mata. “Yang serius jawabnya.”

“Itu udah jawaban paling serius,” sahutnya akhirnya mengangkat kepalanya. Mata mereka pun saling beradu. “Laras bukan jodohku. Dia jodohnya cowok lain, aku jodohmu. Udah, gak usah dibahas lagi. Lagi pula itu masa lalu.”

Soraya kecewa. Namun, tidak mengatakannya setelah Esmee berkata kalau mereka akan bersiap-siap buat ganti pakaian. Rencananya setelah ini mereka mau berkeliling Paris, tapi sebenarnya Esmee cuma ingin memberikan mereka privasi dengan menyeret suaminya pergi dari ruang makan. Esmee meskipun pendiam, dia cukup peka sama situasi.

“Aya.”

Soraya hanya menatapnya.

“Mas udah bilang kan, jangan cemburu. Laras cuma masa lalu.”

Soraya menggeleng. “Aku gak cemburu. Aku cuma pengen tau kenapa mas bisa putus dari Laras kalau masih cinta orangnya.”

“Mas udah gak cinta Laras.”

“Iya, tahu.” Soraya menangkup wajah Andra dengan kedua tangannya. “Bukan cuma Mas Andra yang pernah jatuh cinta sama orang lain. Aku pernah cuma Mas Andra belum tau siapa orangnya. Dan kalau Mas Andra mau tahu, perasaanku sama orang itu perasaan yang gak mau aku miliki lagi. Dia bagian terburuk dari kisah cintaku.”

Kini Andra ingat bahwa mereka belum pernah menceritakan kisah cinta masing-masing bersama pasangan masa lalunya. Siapa mantan-mantannya dan seperti apa mereka dulu jatuh cinta.

Soraya mengecup bibir Andra, lalu tersenyum lebar. “Just a reminder, I love you.”

Lambat laun Andra pun turut menggulum senyum. Kelegaan kembali tersirat di wajahnya. “And you’re the best thing I never planned.”

Mungkin Andra pernah jatuh cinta begitu dalam sama Laras dan saking dalamnya hingga membuatnya daftar kriteria pasangan idaman yang mendekati sang mantan dulu. Tapi sekarang daftar itu tidak berguna lagi. Kriteria pasangan idamannya sekarang hanyalah daftar tak berguna yang layak dibuang ke tong sampah. Andra telah dibuat jatuh cinta pada Soraya. Satu-satunya perempuan yang tidak mendekati sedikitpun dari kriterianya dulu.

Laras memang luar biasa, tapi Soraya jauh lebih luar biasa. Andra beruntung menemukannya di waktu yang tepat. Lebih-lebih perasaannya bukan berawal dari paksaan, melainkan berasal tekadnya sendiri untuk mulai menerima gadis ini hingga ia pun berhasil dibuat jatuh cinta padanya.

Keenan face claim-nya bagiku tuh ini

Kalau Adam versiku face claimnya ini

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top