⏳ what's wrong

Soraya merasa jantungnya nyaris meloncat keluar dari tubuhnya tatkala mengira laki-laki yang bertelanjang dada berdiri di depan lemari pakaian itu seorang pencuri atau skenario buruknya dia sosok makhluk ghaib—alias setan. Saat bangun tidur dia langsung memekik kaget. Menyebabkan sosok di depan lemari pakaian berbalik bingung, mengira sang hawa terbangun dari mimpi buruknya.

Soraya mengelus dada begitu mengenali wajah itu. Lupa sesaat jika kini dia menjadi seorang istri dan laki-laki yang lagi pakai baju itu Andra, suaminya sendiri. Soraya menggerutu menyesal telah menuduh Andra sebagai pencuri yang nekat menerobos masuk ke dalam kamarnya. Reaksinya itu spontan, efek belum terbiasa sama perubahan kehidupannya mulai hari ini.

Apalagi Andra yang dia lihat pas buka mata lagi bertelanjang dada dan posisi memunggunginya. Siapa coba yang enggak kaget?

Andra melangkah mendekat ke tempat tidur setelah mengenakan kausnya cepat-cepat. “Kok kaget?”

Soraya mendesah merasa tak enak hati padanya setelah mengira dirinya sebagai pencuri. “Belum terbiasa lihat Mas Andra di kamarku.” Tapi juga tidak mau berbohong alasannya terkejut waktu bangun tidur.

Andra tersenyum seraya mengusap kepalanya. “Lama kelamaan juga terbiasa.”

Dia hanya mengangguk. Ini hanyalah sebagian dari contoh kecilnya, perubahan lain akan lebih membuatnya syok. Soraya mengamati Andra dari atas ke bawah yang terlihat rapi dan santai dengan pakaian kasual. Aroma cologne yang wangi campuran antara minyak citrus dan esensial, dan tidak terlalu tajam itu selalu jadi bagian favoritenya.

“Mau ke mana?”

Andra mengidikkan bahu. “Kurang tahu juga. Ansel sama Keenan kemarin nyuruh bangun pagi buat ikut mereka.”

“Emang sekarang jam berapa?”

“Jam lima.”

“Hah? Pagi banget.” Soraya heran. Tumben juga dua laki-laki itu mau bangun sepagi ini. Dulu mereka paling suka bangun siang, tapi Ansel semenjak kerja bangun paginya sudah teratur kalau Keenan sekarang dia kurang tahu. “Mas Andra bangun jam berapa?”

“Jam setengah lima, mungkin.”

Sementara dia terbangun gara-gara suara yang ditimbulkan Andra waktu mencari pakaian di lemari. Soraya mengamatinya sedikit heran, sedikitnya lagi masih canggung dengan situasi ini. Entah sampai kapan dia harus merasakan kecanggungan bersama suaminya ini. Dia seakan belum terbiasa dengan semua perubahan yang terjadi hanya dalam satu malam.

Kemarin dia tidur sendiri, malam ini seseorang menemaninya. Dia orang serakah kalau sudah berurusan sama kasur—baginya wilayah itu merupakan kekuasaan mutlaknya yang tidak boleh diakuisi pihak lain atau penumpang—tapi malam ini, dia menyerahkan sebagian dari lapaknya ke pihak kedua. Kamar juga bagian dari wilayah pribadi. Soraya paling sensitif sama orang yang asal masuk ke kamar dan mengacak-acak barang pribadinya, lantas malam ini dia menahan dorongan untuk tidak sensitif terhadap Andra.

Andra sekarang suaminya. Bagaimana mungkin dia sensitif padanya yang berkeliaran di dalam kamarnya ini? Soraya harus terbiasa bersama perubahan kecil sama besar dari kehidupannya nanti.

Seolah dapat membaca isi pikirannya, Andra mengusap kepalanya lalu mengecup kening itu. Memahami jika Soraya butuh waktu lebih lama dibanding Andra untuk menyesuaikan diri sama status barunya. Seperti yang Andra bilang dulu kepadanya kalau jiwa Soraya masih muda dan bebas. Sehingga dia tidak akan mengatur Soraya untuk berubah. Paling-paling dia akan mengingatkan dan memberinya nasehat jika itu diperlukan.

“Kalau masih ngantuk. Tidur aja.”

“Gak bisa. Nanti ibu nyariin lagi.” Hari-hari sebelumnya Soraya rutin bangun pagi kira-kira antara jam enam atau paling siang jam setengah tujuh. Lewat dari itu ibu akan berteriak di depan pintu kamarnya. Tapi sekarang masih jam lima pagi, setidaknya masih ada satu jam buat tidur lagi.

“Urusan itu biar mas yang bilang. Pasti ibu maklum kalau kamu capek hari ini.” Andra menyingkirkan rambut itu dari wajahnya. “Lagian gak ada salahnya sekali-kali bangun kesiangan.”

“Iya sih, cuma ibu—”

“Tuh, lihat matamu masih kelihatan ngantuk banget.”

Soraya tidak bisa mengelak karena matanya memang masih terasa berat. Semalam dia tidak bisa tidur cepat dibanding kemarin malam meskipun Andra terus memeluk tubuhnya. Entalah, dia hanya merasa semakin menjadi canggung atas semua perubahan serba tiba-tiba ini, yang berujung Andra ikut terbangun dan menemaninya mengobrol hingga jam tiga pagi. Obrolan malam itu hanya seputar rencana pendek apa saja yang akan mereka lakukan di Eropa—tepatnya di Paris—nanti. Dia masih clueless kehidupan mereka, tepatnya dirinya sendiri yang selama 22 tahun ini belum pernah hidup berpisah dari keluarganya. Jelas dia belum ada pengalaman hidup mandiri.

Soraya terus mengakui keraguannya dapat beradaptasi sama kehidupan orang-orang di sana terutama kendala bahasa. Kendati dia menguasai bahasa internasional, bukan berarti dia bisa langsung beradaptasi. Namun, Andra terus mengatakan supaya dia tidak perlu cemas, masalah bahasa dia bisa mengatasi itu karena jauh sebelum mereka dekat, Andra rutin mengikuti less bahasa asing khususnya bahasa dari negara-negara bagian Eropa. Ambisi Andra untuk tinggal sementara di Eropa selama masa pendidikannya begitu besar, sehingga dia memaksimalkan kemampuan bahasanya.

Yeah, keputusannya ikut ke Eropa bersama Andra sudah bulat. Mustahil tiba-tiba dia membatalkan rencana tersebut, dan lebih mustahil juga bagi Soraya LDR-an sama Andra. Sampai sekarang konsep LDR di mata Soraya itu jelek.

Andra tiba-tiba mengecup bibirnya. Membuat kegalauannya pagi itu terdiam membeku atas sentuhan di bibirnya. “Gak usah mikirin aneh-aneh.” Kata-kata ini seolah jadi pengingat andalan Andra bagi Soraya bersama pikiran randomnya yang serba ganjil.

Terkadang Andra heran kenapa Soraya gampang sekali pesimis dan berpikiran negatif padahal sosoknya selalu terlihat banyak tingkah dan blak-blakan di depan orang.

Tatkala sang hawa hendak bicara, Andra menghentikan dorongan itu dengan mengecup bibirnya berkali-kali sampai dia gelagapan dan mendorong pundaknya agar berhenti menciumnya.

“Mas—”

Bibir masih terus mengecup miliknya.

“Mas Andra udah dong.” Ia pikir upayanya berhasil, tapi Andra justru semakin gencar menghujaninya ciuman dari bibir, pipi, ke seluruh wajahnya. Soraya tergelak geli atas sikapnya ini. “Mas Andra, ih, aku masih bau—”

Andra tidak memedulikannya dan tetap menyerang Soraya bersama kecupannya. Aksi itu baru mau berhenti setelah mendengar gelak tawa miliknya. Upayanya demi menghibur sang istri pagi itu telah berhasil.

“Mas udah bilang semalam kan, biasakan soal ini. Dan mulai sekarang ini jadi aktivitas wajib.”

“Gak adil!” protesnya, mendelik jengkel. “Mas Andra udah mandi, aku masih—” Andra memotong kata-katanya dengan ciuman di bibir lagi. Soraya mengerang frustasi, dirinya terus saja diganggu ciumannya.

“Iya. Iya. Terserah Mas Andra, deh. Aku nyerah—Masss ...!” pekiknya histeris tatkala Andra mencengkram pinggang dan mendorong tubuhnya untuk memperdalam ciuman itu.

Soraya kali ini tak bisa mengelak sebab bibir itu bukan sekadar mengecup. Kalau Andra mulai merapatkan tubuh mereka, ciumannya akan berujung lebih intim. Gerakannya lambat namun temponya selalu tepat. Andra benar kecupan berakhir ciuman intim merupakan rutinitas wajib mereka sebelum tidur maupun setelah bangun tidur. Andra tidak pernah melewatkan sekalipun untuk tidak memberinya ciuman dan Soraya yang selalu ragu akhirnya mulai terbiasa dengan ciuman, terkadang diiringi sentuhan pada tubuhnya.

Setelah seminggu di rumah bolak-balik gantian tinggal rumah Soraya atau Andra, akhirnya tiba waktunya bagi mereka untuk berangkat ke Paris. Hanya sedikit orang yang mengantarkan kepergian mereka ke bandara, hanya Ansel dan teman Andra bernama Sabo sementara orang tua mereka tidak bisa ikut, mengingat jam keberangkatan mereka tengah malam.

Mereka sengaja mengambil keberangkatan pukul 12 malam biar sampai di negara yang punya julukan The City of Love itu sore hari. Kira-kira jam tiga sore. Sewaktu di rumah orang tua Soraya terus menasehati Andra supaya menjaga istrinya baik-baik di Paris. Kalau ada apa-apa dia disuruh langsung untuk mengabari mereka. Sementara Soraya juga mendapatkan wejangan dari keluarganya supaya berhati-hati, jangan terlalu ceroboh, dan agar terus mengobrolkan segala sesuatu kesulitannya tinggal sama suami. Nasehat orangtua hampir sama persis dengan orang tua Andra. Hanya saja, ibu Andra terus mengingatkan mereka supaya tidak merusak barang jika bertengkar—bila kejadian karena siapa yang tahu masa depan.

Baik Andra maupun Soraya, mereka sama-sama mengangguk kemudian memeluk keduanya bergantian selama pamit. Soraya sempat menangis selama memeluk orang tuanya bahkan di bandara pun dia tetap menangis di pelukan Ansel.

“Masa udah gede nangis, sih?”

Soraya bergeming tetap memeluk sang kakak. Bahkan mengabaikan Andra yang mencoba untuk menenangkannya.

Ansel sendiri masih belum tega membiarkan Soraya tinggal jauh dari pengawasannya, tapi berusaha untuk tegas. Toh, sekarang ini adiknya sudah menjadi istri seseorang. Kehidupannya sekarang telah menjadi tanggung jawab Andra. Selama sepekan sebelum mereka pergi, Andra terus mewanti-wanti Andra supaya mengurus dan menjaganya adik. Dia bahkan berani bersumpah akan terbang ke sana langsung jika Andra sampai berani menyakiti Soraya.

“Iya, iya. Mas pasti kangen kamu juga. Udah, jangan nangis terus. Gak malu apa dilihat banyak orang?”

Soraya tetap bergeming. Begitu enggan untuk berpisah dari Ansel. Rasanya dia ingin kembali pada saat dia belum menjadi istri Andra. Entah kenapa pikiran itu terbesit di kepalanya. Hanya saja, dia berpikir ingin menghabiskan waktu tinggal bersama keluarganya lebih lama lagi.

“Di sana juga ada Keenan, kan?” Keenan berjanji akan sering berkunjung ke Paris untuk menemui Soraya. “Kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuan dia, tapi jangan ngerepotin orangnya juga.”

Soraya menggeleng. “Ngerepotin Mas Aan lebih enak.”

Ansel tertawa. Merengkuh tubuh mungil sang adik lalu mengecup kepalanya yang bersandar di dadanya itu. “Nanti mas usahain buat jengukin kamu di Paris. Nah, sekarang gak usah nangis lagi.”

Butuh waktu lama buat Soraya mau pisah dari Ansel. Jika bukan karena Ansel memaksanya mungkin Soraya akan terus melekat pada dirinya sampai rumah. Pemandangan itu sedikitnya membuat Andra merasa berkecil hati.
Dia merasa agak egois karena harus memisahkan Soraya dari keluarganya. Sebelum menikah dia bahkan sudah memberi Soraya dua pilihan sulit. Ikut bersamanya berarti dia harus berpisah sama keluarga dan zona nyamannya di kota ini. LDR berarti mereka harus berpisah sebagai pasutri baru.

Dulu ibunya sering bertanya apakah keputusan Andra buat tinggal ke Eropa bisa ditunda selama beberapa tahun dulu setelah menikah. Dan jawaban Andra tetap sama, kalau dia tidak bisa mengabaikan impiannya di depan mata itu. Sehingga ibu hanya tersenyum, memaklumi keseriusan tekad putranya itu demi impiannya, dan bapak cuma bisa berkomentar, “Ya sudah toh, Bu. Itu juga impian Andra sejak sekolah.”

Kini Andra merasa dia cukup egois dengan memaksakan Soraya untuk memilih. Lebih-lebih selama di pesawat Soraya hanya diam memandangi jendela kaca dengan mata sembab yang terus menangis. Andra diam-diam hanya bisa menghela napas sambil terus mengenggam tangannya. Andra mungkin telah terbiasa hidup mandiri jauh dari keluarganya, sedang bagi Soraya ini merupakan pengalaman pertama. Wajar jika dia begitu bersedih berpisah dari keluarganya.

Sembilan jam perjalanan udara di pesawat bukan waktu yang pendek. Ketika melakukan transit Andra tidak dapat berpaling dari Soraya yang terlihat begitu kelelahan. Tidak ada senyum atau semangat di wajahnya. Dia terlihat pucat dan agak menyedihkan. Selama empat jam menunggu proses transit, Soraya terus mendekap pada dirinya. Meski dia tawarkan untuk tinggal sebentar di hotel selama empat jam itu, barangkali ingin istirahat, Soraya langsung menolak dan hanya berkata ingin memeluk Andra saja di situ.

“Aya.”

“Hm.” Gumamannya terdengar lemah. Andra mengusap punggungnya lalu mencium kepalanya itu.

“Kalau kamu kangen rumah bilang mas, ya? Biar mas antar kamu pulang.”

Soraya menggeleng letih. “Makasih. Tapi Mas Andra gak perlu ngelakuin itu segala.”

“Kebahagiaamu juga prioritas mas.”

Soraya mendongak. Meski sudah berhenti menangis sejak ketiduran di pesawat, matanya tetap terlihat sembab di mata Andra. “Mas Andra.”

“Iya?”

“Makasih.” Seri di wajahnya perlahan timbul. Lalu tiba-tiba dia mengecup bibir Andra walau hanya sekilas. Bahkan tidak sampai lima detik. “Mas Andra lupa sama rutinitasnya.”

Andra terhenyak sesaat kemudian tertawa dan mengangguk. “Iya, ya. Mas lupa.” Lalu dia mencium keningnya lebih lama dari ciuman singkat Soraya di bibir. “I love you.”

Soraya tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan kecupan di bibirnya lagi. Kali ini Andra merasa lebih tenang dibanding keberangkatan tadi.

Setelah menunggu empat mereka akhirnya naik ke pesawat kedua melanjutkan perjalanan lagi ke Paris. Waktu yang mereka tempuh kurang lebih enam jam sebelum akhirnya tiba di CDG Paris Charles de Gaulle. Andra tidak sempat untuk melihat-lihat keindahan dan kepadatan bandara ketika Soraya mengeluh sakit kepala dan tidak enak badan. Rupanya gadis ini mengalami jetlag.

Untung setibanya di bandara mereka langsung bertemu Belle, teman Keenan yang tinggal di Paris yang diminta tolong buat menjemput mereka. Belle datang bersama tunangannya Albert dan langsung mengenali mereka berkat foto yang dikirim Keenan.

Mereka tidak sempat basa-basi setelah melihat keadaan Soraya yang tak berdaya dan langsung berangkat pergi menuju apartemen yang Andra sewa dari lama berkat bantuan temannya, Adam. Adam teman sekolah Andra bersama Sabo yang sudah lama tinggal di Paris. Tadinya Adam yang akan menjemput mereka, tapi Keenan mengusulkan tawaran penjemputan di hadapan keluarga Soraya, jadi Andra mengalah dengan berkata belum ada jemputan di sana dan membiarkan teman Keenan yang menjemput di bandara.

“Masih kuat, kan?” tanyanya sambil mengenggam tangannya.

Soraya hanya menganggu dan menyandarkan kepalanya yang berat di pundak Andra.

Setibanya di apartemen itu, Soraya harus mendesah karena dia harus melewati banyak anak tangga untuk sampai di kamar dengan keadaannya yang lemah. Dorongan buat mual begitu tinggi, dia memaksa untuk menelan sisa-sisa makanannya kemarin ke dalam perutnya lagi. Tak ingin melihat Andra atau Belle dan pasangannya, Albert melihat keadaannya yang memprihatikan itu.

“Mas gendong, ya.”

“Gak. Gak. Aku masih kuat jalan.” Soraya bohong. Tubuhnya terus oleng setiap melangkah untuk menaiki tangga. Andra berdecak terus menyingkirkan koper di sebrang demi menangkap tubuh Soraya dan menggendongnya.

Belle yang penuh pengertian segera menyuruh Andra membawa istrinya ke kamar biar urusan barang-barang mereka bawa. Andra berterima kasih dan berjanji akan segera turun membantu.

“Padahal aku masih bisa jalan sendiri.”

“Jalan kayak orang mabok. Gitu maksudnya?”

Soraya muram. “Jadi nyusahin kan.”

“Iya, kamu nyusahin. Nyusahin karena gak mau minta bantuan mas.”

Soraya hanya menyembunyikan wajahnya di dada Andra sembari mencengkram kaus sang adam. Entah seperti apa tempat tinggalnya sekarang, dia tidak begitu memerhatikannya karena terus bersembunyi. Dia baru mengangkat wajahnya saat Andra menidurkannya di ranjang empuk yang sudah tertata rapi. Seseorang telah merapikan tempat tinggal mereka, mungkin teman Mas Andra—setahunya Andra lumayan punya kenalan di Paris.

“Kamu istirahat dulu biar.”

Soraya mengangguk. “Mas Andra,” panggilnya saat suaminya hendak beranjak. “Kiss?”

Andra terhenyak lalu tersenyum. Dia membungkuk untuk mencium tepat di bibir lalu ke keningnya.

Love you, Mas Andra.”

Love you more.” Andra memberinya ciuman terakhir sebelum meninggalkanya di kamar untuk istirahat dan kembali turun ke bawah mengambil sisa-sisa barangnya yang belum diangkut oleh teman-teman Keenan.

Sore itu Belle dan Albert banyak membantunya. Mulai dari menjemput di bandara, mengangkut barang-barangnya ke lantai tiga, bahkan memberinya bingkisan sebagai sambutan atas kedatangan mereka di Paris sekaligus hadiah dari pernikahan mereka. Belle bukan sekadar teman Keenan, dia ternyata sepupu jauhnya. Mereka sempat mengobrol di ruang tamu sekaligus tengah itu tentang beberapa hal, terutama Belle yang terus memberitahunya tentang Paris. Bagaimana kehidupan orang-orang sini, apa yang harus mereka hindari ketika berada di jalanan Paris, mengajarkan beberapa kosa kata yang sebelumnya belum pernah Andra dengar di tempat less bahasanya, sampai mereka menawarkan diri sebagai tour guide kalau-kalau mereka butuh jasa itu dan menyuruhnya supaya mampir ke rumahnya.

Belle dan Albert lalu pamit pulang ketika jam menunjukkan pukul 5 sore. Sebelum pulang, Belle memberinya dua sim card yang sudah didaftarkan beserta paketnya oleh Keenan—Keenan juga yang minta bantuan Belle untuk mengurus itu. Tapi sebenarnya Andra sudah minta bantuan Adam buat ini termasuk juga WiFi router buat apartemennya. Andra hanya bisa menerima dan berterima kasih. Ketika nomer itu diaktifkan di daftar kontak sudah ada dua nomer; milik Keenan dan Soraya demikian milik Soraya; ada Keenan dan kontaknya. Andra memutuskan akan menghubungi Keenan selesai membereskan tempat tinggalnya.

Soraya baru terbangun setelah berjam-jam tidur di kamar. Meskipun kepalanya masih sedikit pusing, tapi badannya lumayan sudah enakan. Ketika terbangun dia merasa aneh melihat isi kamar. Kamarnya bagus meskipun ukurannya lebih kecil dibanding kamarnya. Dindingnya berwarna putih, ada lampu gantung cantik di langit-langit. Di sudut kamar ada: meja, kursi; satu lemari pakaian dan penyimpanan. Kamar ini punya dua jendela kaca satu di sebrang lemari penyimpanan, satu lagi ukuran lebih kecil berada di atas nakas sebelah kiri tempat tidur. Lalu tepat di bagian depan tempat tidur ada dipan setinggi lengan tangannya sepaket sama TV minimalis.

Aneh saja dengan semua pemandangan baru ini. Soraya jadi merindukan kamar miliknya. Dia hanya mendesah lalu menolehkan kepala mencari keberadaan sang suami. Tidak menemukannya, dia segera bangkit keluar dari kamar. Baru selangkah keluar dia langsung menemukan Andra tertidur di sofa ruang tamu sekaligus tengah itu.

Soraya menatapnya dengan tatapan sulit dimengerti. Rasa malu dan tak nyaman itu terbesit di hatinya ketika menyadari beberapa hal. Andra telah membereskan semua barang bawaan mereka. Soraya melihat koper-koper itu di kamar dalam keadaan berdiri, di pojokan. Dia masuk ke dalam kamar lagi untuk memastikan bahwa dugaannya itu benar. Andra memindahkan semua pakaian mereka di lemari dengan rapi. Mengurutkan sesuai bentuk dan kegunaannya sehari-hari. Dia keluar lagi untuk mencari barang lain yang ternyata sama-sama tertata rapi pada tempatnya.

Andra membereskan semua itu sendirian sementara dia malah enak-enakan tidur. Soraya mendekati suaminya yang tidur di sofa kecil itu. Berjongkok di depan sofa seraya memandangi wajah damai itu. Soraya terus mengeluarkan desahannya. Merasa bahwa statusnya sebagai istri Andra tidak begitu berguna. Yang dia lakukan hanya terus merepotkan suaminya saja.

Perasaannya yang campur aduk hanya terus menguatkan kerinduan Soraya pada keluarga dan kehidupan bebasnya dulu. Dulu tanggung jawabnya sebagai seorang perempuan tidak sebesar ini, lalu kini dia tanggung jawabnya semakin besar. Jujur, Soraya masih belum dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan status dirinya sebagai seorang istri. Sampai saat ini dia masih menganggap bahwa dirinya banyak kekuarangan, lalu Andra selalu ada di sisinya hanya untuk menutupi kekurangannya itu.

“Maaf ya, Mas. Aku ngerepotin mulu,” ucapnya setengah berbisik sambil menyentuh wajahnya.

Gak ada manusia yang sempurna. Orang lucu dan blak-blakan kayak Aya pun kadang bisa insecure dan punya ketakutan pada hal tertentu. Orang sebaik dan pengertian kayak Andra pun gak selamanya bisa sabar. Suatu saat dia pasti bisa marah.

Hoho mau ngasi tahu kalau sub-tittle “What’s Wrong” bakalan lebih lama dibanding lainnya. Antara sampai 4 atau 5 gitu.

Terus karena ini berada di benua lain, jadi aku mau ngasih tau. Buat percakapan seperti:

Aku-kau: tandanya para tokoh lagi ngomong pakai bahasa asing. Dibanding aku tulis full english dan gak semua bakalan paham, jadi solusinya aku pakai itu. Paling bahasa umum tetap english, selebihnya aku buat indo dengan pembedanya aku-kau.

Aku-kamu: berarti lagi ngobrol pakai bahasa indonesia.

Hehe mulai dari part ini dan kedepannya nanti bakalan serius (yah, diselipi manis-manisnya jugalah). Tenang gak ada orang ketiga, paling cara mereka yang kadang-kadang salah menilai kedekatan seseorang. Huehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top