☂️ us (2)
Mimpi apa ya, aku semalam? Mimpi ketiban duren juga enggak, deh.
Soraya bawaannya pengen senyam-senyum mulu. Pas selesai makan dia terus melamun sambil lihatin Andra yang masih makan di bangku depannya. Kalau Andra melirik ke arahnya, dia buang muka lagaknya enggak lihat apa-apa. Mukanya langsung berpaling ke arah lain. Pura-pura lihat jalan raya lewat jendela kaca besar di sebelah kirinya.
Hihihi, rejeki nomplok.
Dia terus bergumam kesemsem bak ABG yang baru merasakan yang namanya cinta monyet. Bahkan tanpa malu-malu tangannya menyentuh kening bekas kecupan Andra pas di mobil tadi. Wajahnya yang sudah merah padam, semakin merah bak tomat. Lebih-lebih sekarang dia merasa panas, sementara ruangan dalam itu pakai AC.
Saking tidak terbiasanya dikasih kejutan begini, dia sampai mendekatkan gelas minuman dinginnya ke wajah. Berharap gelas kaca yang dingin berkat es ini dapat mendinginkan wajahnya.
Tenang, Aya. Tenang ....
Sambil terus menyuruh dirinya agar tenang. Terutama jantungnya degdegan kayak orang kesurupan.
Mungkin Mas Andra pas itu refleks. Iya, kan? Siapa tau gitu.
Tindakan Andra itu di luar dugaanya. Wajar kalau Soraya jadi kayak udang rebus, kepanasan begitu. Malu, senang, dan heran semua perasaannya campur aduk. Pikirannya sering mengacau dengan segala lamunan. Reaksinya pun tidak bisa dibilang biasa-biasa saja semenjak dapat kecupan di kening. Soraya merasa dirinya ini aneh. Lebih aneh dibanding reaksinya dulu waktu bersama Tian.
Coba pikirkan sekali lagi. Dulu bersama Tian dia tidak seperti ini. Mungkin benar dia sama-sama mengalami syok dan jantungnya berdetak kencang secara tak normal, tapi Soraya tidak merasa demikian aneh setelah apa yang dilakukan Tian padanya pada malam itu—sama-sama di dalam mobil pula. Sedang bersama Andra semua ini terdengar jauh lebih gila dan luar biasa.
Andra tidak perlu melakukan apa yang pernah dilakukan Tian kepadanya. Tindakannya lebih sederhana dibanding Tian dulu. Namun, perilaku kecilnya itu justru lebih bermakna hingga membuat Soraya hilang kewarasannya.
Benar. Sepertinya Soraya lebih menyukai perhatian kecil namun sering berulang, bukan sesuatu yang besar dan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Soraya menginginkan itu, lalu Andra memberikannya.
Andra yang telah selesai makan, lantas memandang serautnya dengan seksama. Dia tersenyum geli lihatin Soraya yang gampang sekali salah tingkah bersama upaya sia-sianya menghindari atensinya.
“Mau sampai kapan keningnya dipegang terus?” selorohnya sengaja ingin menggoda gadis ini.
Soraya menurunkan tangannya dengan panik. Wajahnya terus mengeluarkan semburat merah. Dia lucu sekali terlihat malu-malu begini di depannya. Sosok Soraya yang biasanya tidak tahu malu itu hilang sesaat, berubah menjadi sosoknya sekarang ini, pemalu. Tadinya Andra berniat mengacak kepala Soraya karena terlalu gemas sama kelakuannya ini. Hanya saja, dia merasa tindakannya itu akan semakin membuat Soraya salah tingkah. Jadi, Andra menahan dorongan untuk melakukannya.
Namun, dia tidak ingin berhenti menggodanya. Soraya lucu—lebih dari sekadar lucu. Dia menggemaskan. Seperti tokoh cerita di dalam film kartun. Ekspresinya mengingatkan Andra pada Bibble peliharaannya Elina—film barbie fairytopia. Andra belum pernah menonton filmnya, tapi sering lihat video Bibble di sosmed.
“Kenapa kamu gemesin, sih?”
Mata cokelatnya membulat lucu. Menatap kaget padanya sebelum dia membuang wajah malu. Andra kontan tertawa.
Tunggu dulu, kalau mereka terus-terusan begini maka kesempatan Andra untuk membicarakan hal penting akan larut semakin panjang. Tapi melewatkan kesempatan untuk menonton sikap malu-malu Soraya cukup disayangkan. Baginya ini moment langka—ya kan, kapan lagi lihat Soraya versi pemalu? Sehingga dia membuat keputusan menunda sementara kesempatannya, lalu membiarkan Soraya tetap dengan momentumnya ini. Dia tahu jika Soraya bisa mengontrol dirinya sendiri.
Tebakan Andra tepat sekali. Soraya lagi bekerja keras untuk mengontrol dirinya. Kalau dia tetap seperti ini, maka orang-orang akan mengiranya sinting. Ya ampun, bisa-bisanya dia begini! Soraya lalu mendelik ke arah Andra—pelaku utama yang telah membuatnya demikian. Rasanya enggak adil kalau hanya Soraya yang seperti ini, sementara pria di hadapannya itu baik-baik saja.
Soraya mendengus sedikit jengkel. Bukan salah Andra juga, sih. Sebagian salahnya sendiri karena terlalu berlebihan menanggapi tindakan Andra. Tapi siapa yang bakalan waras kalau dapat perlakuan begitu? Kalian semua pasti akan seperti dirinya begitu bertemu seseorang seperti Andra. Atau mungkin lebih parah dari dirinya ini.
Soraya menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Dia terus melakukan itu sampai kondisinya membaik. Oke, sekarang tenang dan berhenti bersikap norak! Soraya menjatuhkan kepalanya ke atas meja diikuti desahan frustasi.
“Aya?” Andra khawatir melihatnya yang tiba-tiba begini. Mengira dia jatuh sakit atau mungkin kecapekan.
Soraya kembali mendesah. “Mas Andra aku nyerah.”
“Nyerah gimana?”
Dia mengangkat pandangannya ke arah Andra tetap dengan posisi kepala jatuh di atas meja. “Gak apa-apa.” Akhirnya dia menarik kembali kepalanya dari sana. Lalu membalas tatapan Andra, tak lama kemudian menyunggingkan senyum.
“Udah?” tanya Andra selalu dibuat takjub sama kepribadiannya ini.
Dia hanya mengangguk.
“Udah siap pergi?”
Dia mengangguk lagi. Tepat kemudian dahinya mengernyit. “Mau pergi ke mana?”
“Buat ngobrol santai.”
“Emang kalau ngobrolnya di sini gak bisa?”
Andra melihat sekelilingnya dengan perasaan kurang suka. Resto dan kafe ini terlalu ramai, kurang memberi privasi bagi pelanggan. Jarak setiap bangku pun lumayan dekat, hingga dia bisa mendengar obrolan penghuni bangku lain, tepat di samping dan belakangnya itu.
Untuk obrolan kali ini Andra butuh privasi, yang mana hanya ada dia dan Soraya di situ. Dia sudah memikirkan satu tempat yang cocok. Inilah alasan mengapa Andra membawa Soraya makan di tempat ini. Lokasi yang pas buat mereka mengobrol berduaan tepat di depan resto dan kafe.
Di depan sana ada sebuah taman kecil. Kalau jam segini tempatnya selalu sepi. Paling ada beberapa orang duduk di kursi tongkrong yang disediakan pemerintah setempat untuk warga, selain itu tidak ada lagi. Dulu sekali Andra sering kemari bersama teman-teman dari kampusnya.
“Di luar aja,” ujarnya terus berdiri mendekati bangku Soraya, untuk mengandeng tangannya.
Soraya tidak lagi kaget menerima perlakuannya ini. Seolah telah menyiapkan diri untuk mulai membiasakan diri dengan semua perhatian kecil Andra kepadanya. Andra selesai membayar semua tagihan makan pas order diawal, jadi mereka bisa langsung keluar dari tempat makan tersebut. Soraya tidak bertanya ke mana Andra membawanya kali ini. Cuma agak heran karena dia pikir mereka akan pergi bawa mobil, ternyata cukup menyebrangi jalan di depan mereka sudah sampai tujuan.
Andra terus mengajaknya duduk di kursi beton dekat pohon palem putri—tumbuhan yang biasanya jadi background buat taman kota ataupun halaman rumah. Lokasi duduk mereka menjorok ke dalam bak sepasang yang tengah bersembunyi dari mata-mata, sehingga orang lain tidak akan tahu apa saja yang akan mereka lakukan di sana. Berkat pohon palem putri yang tumbuh banyak dan tinggi di segala sisi, keberadaan mereka lalu hilang dari jangkauan perhatian orang di taman.
Soraya jadi penasaran mengapa Andra sampai membawanya kemari, kalau mereka saja bisa bicara di dalam mobil jika yang dibutuhkan sekarang ini adalah privasi. Namun, dia tetap diam, urung menanyakan hal tersebut. Tahu bahwa Andra akan menjelaskan sendiri alasannya bersama Soraya kemari.
“Aya.”
“Iya, Mas Andra. Ada apa?” sahutnya langsung dan menoleh cepat membalas tatapan Andra yang mendadak jadi serius.
Entah mengapa kali ini, Soraya sedang tidak ingin mengeluarkan lelucon konyol di depan Andra. Dia merasa bahwa sekarang tepat bagi mereka untuk membicarakan sesuatu yang penting.
“Kamu masih mau pacaran?”
“Hmm ... ya ...?” Soraya mendadak gagu ditanyakan begini. Suasananya bikin dia lengah. “Mungkin kali iya.” Berakhir dengan dia mengeluarkan jawaban konyol.
“Kalau menikah gimana?”
“Eh?” Sekarang malah tambah jadi grogi.
Deg ... deg ... deg .... Ia sedikit berhalusinasi mendengar suara detakan jantungnya sendiri. Agak konyol, tapi Soraya merasa dirinya cukup gila. Tangannya bergerak-gerak bingung di atas pangkuannya. Andra menyadari itu segera memegang dan mengendalikan tangannya. Lalu dia merasa kesulitan untuk berpaling, melihat ke arah lain, tapi tatapan Andra ini mengunci pandangannya agar terus fokus kepadanya.
Matanya kemudian mengerjap. “Kok Mas Andra tiba-tiba nanya soal gitu?”
“Ada yang salah?”
“E-enggak, sih. Cuma ....”
“Cuma?”
“Gak apa-apa,” jawabnya semakin menjadi grogi. Di kepalanya dia terus bertanya-tanya, ada apa? Ada apa? Kenapa Mas Andra tiba-tiba nyinggung soal menikah? Apa dia mau menikah sama orang lain?
Soraya hampir kecewa sama isi kepalanya yang kebanyakan negatif thinking. Untung Andra yang mulai bisa memahami kebiasaan Soraya satu ini, langsung menyampaikan maksud dari perkataannya.
“Kamu ingat, hari Senin kemarin waktu aku di rumahmu?”
Dia mengangguk cepat. Jelas dia masih terbayang-bayang rasa penasarannya ini sama apa yang dibicarakan Andra bersama keluarganya pada Senin lalu. Soraya telah mencoba merayu kakak, ayah, dan ibunya—ibunya hanya sekali, itupun terpaksa—supaya mereka bersedia memberitahunya apa yang mereka bicarakan saat itu, tapi ketiga anggota keluarganya kompak tutup mulut.
Ansel yang biasanya iseng hanya mengangkat bahu, lalu melengos pergi sambil menyuruhnya supaya bertanya sendiri sama Andra. Demikian ayah, jawabannya persis kayak Ansel kecuali satu hal: ayah tidak menyuruh Soraya untuk bertanya ke Andra. Justru ayah memberinya dua pilihan, Soraya disuruh bilang iya kalau itu pilihannya, bilang tidak kalau itu bukan pilihannya. Tanpa memberitahukan alasan ayah mengatakan itu kepadanya.
Yeah, nasehat ayah sama sekali tidak membantu—pikirnya waktu itu. Sementara ibu tidak berkomentar apa-apa. Soraya tidak kecewa sama respon ibu karena dengan begitu beliau tidak membuatnya mati penasaran.
Lalu sekarang, Andra kembali menyinggung soal itu. Soraya semakin ingin tahu isi obrolan mereka di rumahnya.
Andra segera memberitahunya tanpa pikir lama lagi. “Sebenarnya hari itu, mas minta izin ke keluargamu. Mas izin sama ayah, ibu terus kakakmu, Ansel, supaya mereka mengizinkan mas mengajakmu berkomitmen.”
Bentar ... bentar ... tunggu bentar. Soraya perlu bernapas dan mengolah informasi baru ini—yang sangat baru dia alami—dengan baik-baik dan teliti. Dia butuh memahami situasi ini dengan menghubungkan keanehan keluarganya yang ternyata menutupi informasi penting ini darinya. Tidak tahu apakah dia harus sebal sama keluarganya sendiri atau justru memang harus beginilah yang terjadi, Soraya haru tahu berita itu langsung dari Andra bukan dari keluarganya.
Harus dari laki-laki itu sendiri. Orang yang datang ke rumahnya pada Senin lalu dan minta izin langsung kepada keluarganya untuk mengajaknya berkomitmen.
Karena belum ada sahutan darinya, Andra lalu meneruskan, “Dulu aku pernah bilang, kan? Mas cari pasangan buat menikah, bukan pacaran seperti yang kamu pengen.”
“Mas Andra ngajak aku nikah?” tanyanya tanpa berkedip.
Andra mengangguk cepat. Namun, juga mengoreksi cepat saat memahami isi kepala Soraya. “Bukan sekarang. Bukan juga lusa. Paling secepatnya? Tergantung.” Pundaknya bergerak naik sekali lalu turun. “Buat sekarang, aku mau ngajak kamu komitmen bareng.”
Soraya menelengkan kepalanya. Matanya terus mengerjap penasaran memandangi seraut serius Andra. “Kenapa tiba-tiba?”
“Hm?”
“Emang Mas Andra suka aku?” Soraya berusaha mencari kebenaran di balik niatan Andra kepadanya. Niatannya ini sangat baik dan dia pun terlihat serius tidak bercanda selama mengatakan itu. Hanya saja, Soraya masih ingin memastikan perasaan Andra kepadanya—perasaan sebenarnya. Ajakannya ini sangat tiba-tiba baginya.
Biarpun Soraya minim pengalaman bersama lawan jenis, seenggaknya dia tidak mau ceroboh dalam mengambil keputusan. Kali ini dia setuju bahwa nasehat ayah kemarin sangat berguna. Jika Andra memang pilihannya dia harus bilang iya, jika sebaliknya dia harus bilang tidak. Mau seberapa suka dan berharapnya Andra menjadi pasangannya, Soraya tidak pernah tahu bagaimana perasaan Andra yang sebenarnya padanya.
Apakah Andra benar-benar menginginkan dirinya seperti bagaimana dia kepadanya. Atau justru ajakan ini semata-mata atas dorongan lain yang mendesaknya supaya memilih Soraya secara acak. Iya, acak. Karena kebetulan pada saat dia membutuhkan itu, Soraya ada di depan matanya.
Soraya hanya ingin memastikan keberadaannya di mata Andra ini di tempat yang tepat atau salah. Bukan semata-mata kebetulan ada dan dipilih secara acak. Apa yang terjadi padanya bersama Tian waktu itu, menyadarkan Soraya bahwa saat itu keberadaannya di mata Tian di tempat yang salah. Tian memilihnya secara acak dan kebetulan dia ada di depan mata laki-laki itu demi mengisi bagian hilang dari dirinya.
“Bukannya Mas Andra pernah bilang, kalau kriteria pasangan bagi Mas Andra itu harus seusia dan wanita dewasa.” Tidak mungkin juga kan, Andra lupa sama kriterianya sendiri. “Sementara bagi Mas Andra aku ini bukan wanita dewasa. Kalau pun iya, kenapa dulu sering nolak ajakanku kencan? Itu bukan sekali lho, Mas Andra. Tapi berkali-kali.”
Giliran Andra yang berubah jadi tegang. Dia sama sekali tidak berniat untuk membela diri atau menyangkal atas semua kebenaran yang diucapkan Soraya. Semua itu benar apa adanya, tidak ada yang salah.
“Aku bisa bilang nggak mau tepat setelah Mas Andra bilang gitu.” Ia bersungguh-sungguh pada niatnya itu. “Tapi dengan bilang begitu tanpa dengar alasan Mas Andra dulu, sama aja bodoh.”
Andra tertegun.
“Aku gak tahu wanita dewasa versi Mas Andra itu yang kayak apa. Yang harus seusia sama Mas Andra atau yang harus punya karier, atau sikapnya harus anggun atau ... entahlah, aku gak tahu. Aku cuma nebak-nebak doang,” ujarnya, menyampaikan isi kepalanya. “Wanita dewasa versi Mas Aan itu wanita yang bisa buat keputusan untuk dirinya sendiri. Wanita dewasa versi ayah, wanita yang kayak ibu, yang bisa menempatkan posisinya di depan orang tanpa pilih-pilih. Ibu emang kelihatan judes, tapi dia selalu tahu posisinya dan tahu cara bersikap di depan orang baru. Sementara aku ... ya, ini aku.”
Andra bergeming. Merinding selama mendengar pengakuan Soraya. Dia merinding bukan karena belum tahu jawaban untuk membalas kata-katanya itu, melainkan dia terus dibuat takjub sama kepribadian Soraya. Andra hanya dapat menyimpulkan bahwa dia belum sepenuhnya dapat memahami karakter orang lain, salah satunya gadis ini.
Nyatanya, dia gagal untuk mengerti bagaimana sifat dan perilaku Soraya sesungguhnya, di luar semua itu yang sering dia tunjukkan di depan orang-orang. Dan inilah Soraya yang sebenarnya. Sosoknya bersama kepribadiannya yang luar biasa ini, membuat Andra tidak cukup jika hanya bertepuk tangan untuk menyanjung dirinya.
Andra tersenyum lega. Dia merasa sangat beruntung dapat mengetahui sisi lain dari Soraya ini, mungkin laki-laki lain tidak seberuntung dirinya atau mungkin mereka meremehkannya. Sayangnya, mereka telah menyia-yiakan kesempatan itu. Soraya bukan sekadar permata biasa, dia lebih dari itu.
“Benar. Kamu gak salah,” jawabnya kemudian setelah menyimaknya. “Kamu emang bukan kriteriaku. Belum mendekati malahan, terutama masalah usia. Tapi, perlu aku koreksi.”
Soraya mengangguk samar bersama matanya yang terus memancarkan keingintahuan demikian besar terhadapnya.
Andra meremas kedua tangan itu. “Aku gak pernah bilang kalau gak suka kamu. Kamu salah kalau berpikir begitu.” Mata Andra ikut tersenyum semenjak sudut bibir itu membentuk sebuah lengkungan indah. “Kriteria cuma patokan. Perasaan bukan patokan. Kelakuanku dulu emang agak kekanak-kanakan.”
“Iya, kan?” Soraya tertawa kecil. Sedikit mengejek diri Andra yang mengakui bahwa dulu dia terlalu kekanak-kanakan kepadanya. Sedikitnya lagi dia tidak pernah menyebut Andra demikian, karena tidak ada yang salah dengan Andra menolaknya dulu. Toh, sebagian besar kesalahan itu berasal dari dia sendiri yang terlalu mendesak Andra supaya menerima ajakannya.
Lantas ia bertanya, “Mas Andra suka aku?”
“Iya.”
“Beneran suka?”
“Iya.”
Soraya menyeringai. “Benar, bener suka?”
“Iya, Aya.”
“Beneran suka Aya, nih?”
“Ya ampun. Iya!” Andra geregetan sama sifat usilnya yang tahu-tahu muncul.
Seringainya semakin lebar. “Jadi bener. Andra suka Aya?”
Andra melotot sebal ke arah Soraya yang dengan santai menyebut namanya tanpa embel-embel “Mas”. Nggak tahu kenapa panggilan itu terdengar baru dan aneh. Andra terbiasa mendengar Soraya memanggilnya “Mas Andra”.
“Kok diem?” Ia sengaja memancingnya. “Berarti eng—”
“Iya. Andra suka Aya.”
“Whoaah!” responnya spontan, lagaknya kaget dengan mulut mengangangga seiring bola matanya membulat dengan geli. Dia sengaja ingin menjahilinya. “Haha. Selamat, selamat!” Kata-kata itu seakan-akan ditunjukkan pada dirinya.
Andra segera mengacak kepalanya gemas. Sementara dia terus tertawa. Entah itu tawa bahagia atau lega. Seenggaknya mulai dari itu dia tidak perlu malu atau salah tingkah lagi.
“Terus soal komitmen itu. Kenapa aku?”
“Karena kamu Aya,” ia melanjutkan lagi, “kali ini mas serius.”
Soraya cemberut kecewa. “Yahh, padahal mau bilang gak original. Ya udah deh, gak jadi.”
Andra terkekeh sambil terus mengacak kepalanya. “Tapi aku masih mau kasih kamu kesempatan.”
Matanya memicing. “Kesempatan apa?”
“Kesempatan buat kamu pikir-pikir lagi.” Andra sudah menjelaskan ini kepada keluarga Soraya. Sekarang dia harus menjelaskan lagi pada orang itu sendiri. “Anggap aja ini sebagai trial.”
“Maksudnya?”
“Aku bisa aja ngajak kamu nikah lusa atau kapan pun setelah mengantongi izin dari keluargamu dan persetujuanmu. Tapi aku gak mau serakah,” jelasnya memaksa Soraya supaya kembali menatapnya serius. “Kamu bagian dari rencana masa depanku, dan aku butuh kamu sebagai perencana dari masa depan itu. Aku bilang ini sebagai trial. Kita jalani masa-masa ini layaknya orang pacaran. Kita manfaatkan waktu itu untuk saling kenal karakter masing-masing. Seperti yang kamu bilang dulu, biar sama-sama adil, kamu harus tahu tentang siapa aku dan aku perlu tahu siapa itu kamu.”
Soraya pernah mengatakan itu di hari yang sama sebelum Andra mengutarakan maksud baiknya ini terhadapnya pada keluarganya langsung.
“Masalahnya adalah kamu masih muda. Jiwamu mudamu masih butuh kebebasan. Kamu sendiri belum lulus kuliah, belum rasain dunia kerja itu kayak apa. Belum yakin sama apa maumu setelah lulus nanti dan mas yakin, rencana menikah setelah lulus belum ada dalam agenda masa depanmu. Nah, di sinilah mas butuh kamu sebagai perencananya juga. Supaya komitmen yang kita sepakati ini punya tujuan sama dan searah.” Soraya terus mengangguk selama menyimaknya. “Selama masa trial ini, kamu boleh bilang iya begitu yakin sama pilihanmu. Kamu juga boleh bilang enggak kalau merasa ini pilihan salah. Apa pun pilihanmu, mas hargai.”
Itulah alasan mengapa ayah menasehatinya begitu. Karena Andra menyampaikan hal yang sama ke Soraya seperti ke keluarganya kemarin.
“Kalau kamu bilang iya pada masa-masa trial komitmen ini, mas akan melamarmu. Terus sebaliknya ... mungkin kita belum berjodoh.”
Soraya mendelik agak kesal mendengar pernyataan terakhirnya. Andra justru hanya tersenyum tipis menanggapi reaksinya barusan.
“Pikirin baik-baik dulu. Manfaatkan waktu yang ada buat kamu lebih mengenalku. Jangan merasa terbebani, oke? Tapi ada yang perlu kamu tahu lagi.”
“Apa?”
Andra menghela napas. Membuat Soraya menjadi gugup karena mengira kata-kata berikutnya tidak akan enak buat didengar.
“Kalau kamu bilang iya, terus bersedia mas lamar dan menikah dalam waktu dekat ini. Mungkin sepekan atau dua pekan setelah kamu lulus. Kamu juga punya dua pilihan. Setelah menikah, ikut mas atau tetap tinggal di sini.”
“Maksudnya ikut ke rumah Mas Andra?”
“Bukan.”
“Terus apa?”
“Kamu ingat keinginanku melanjutkan study?”
Soraya mengangguk.
“Empat atau lima bulan ke depan aku mau ke Eropa lanjutin study.” Andra mengamati seraut Soraya. Ingin mencari tahu reaksi gadis ini begitu tahu rencana lainnya disamping rencana menikah. Tapi Soraya tidak melihatkan ekspresi apa-apa selain diam patuh, menyimaknya. “Awal tahun kemarin aku ikut program beasiswa S2. Ada dua program yang aku ambil dan salah satu dari program itu, lolos. Aku udah ambil program itu beberapa waktu lalu, sekarang tinggal melengkapi dokumen dan berangkat ke sana. Kalau kita menikah, aku kasih kamu pilihan. Ikut ke Eropa, kita tinggal di sana, atau LDR sementara kamu tetap tinggal di rumah orang tuamu.”
Soraya bergeming. Trerus memikirkan itu dengan matang-matang. Andra memahami bagaimana perasaannya sekarang yang menerima informasi baru itu dalam satu waktu. Sehingga sulit baginya untuk mengambil keputusan dari sekarang.
“LDR, ya?” Andra mengiyakan. Pasti sulit menjalin hubungan jarak jauh beda negara apalagi setelah mereka baru menikah. Tapi melepaskan keinginan di depan matanya juga bukan pilihan Andra. Dia membutuhkan itu, sama seperti dia membutuhkan Soraya saat ini.
“Kamu masih punya waktu buat berpikir. Ingat kan, mas ngajak kamu buat trial komitmen dulu? Jadi, untuk sekarang jangan paksakan buat bilang iya atau enggak,” katanya sambil menyentuh wajah Soraya yang perlahan mulai tenang. “Apa pun pilihanmu nanti, mas hargai.”
“Iya,” jawabnya, mengangguk mengerti.
Begitulah teman-teman. Hoho, untuk lionhearted tuh, aku mau fokus ke bonding Andaya terus mereka ke keluarga dan teman-temannya juga. Jadi gak akan ada penganggu, paling secuil, tapi fokusnya tetap ke Andaya.
Hubungan yang santai, baik, dan tanpa orang ketiga pun bisa renggang kok. Dan masalahnya itu ada pada ikatan emosional mereka. Nah, aku mau menyampaikan ini di dalam hubungan Andaya. Gimana sih, supaya mereka saling percaya satu sama lain, terus perbedaan usianya itu.
Huhu semoga berhasil ✊
Dan ngomong-ngomong, mungkin besok aku gak update. Huhu jariku buat ngetik sakit dari kemarin 😭 mungkin pegel soalnya aku nulis cerita lewat hape, kalo laptop gak bakal bisa alias gak bisa fokus (ntar tergoda nonton netflix haha) tp dari dulu emg nulisnya di hape. Atau gak, aku usahain update tp pendek :)
Sekali lagi, tak lupa bagiku untuk terima kasih buat kalian semua yg udah sayang sama Andaya ❤🙆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top