☂️ us
“Bimbingannya lagi kapan?”
“Besok Rabu.”
“Bab berapa?”
“Empat.” Ia menoleh ke arah Ansel yang duduk di sofa belakang itu melewati bahunya. “Yang bab tiga udah fix lewat online.”
Ansel mengangguk paham. “Sekarang bab empat sampai mana?”
“Masih bagian pertanyaan buat sebar angket,” jelasnya. “Untung masih ada file kasaran pertanyaan angket dulu. Jadi gak muter otak buat bikin pertanyaan baru.”
“Mau disebar kapan?”
“Setelah diacc angketnya, terus baru disebar. Untungnya lagi, Mas Danu perwakilan dari tempat penelitianku mau bantu nyebarin secepatnya biar skripsiku selesai.”
Andra mengangguk sekali lagi. Lega mendengar bahwa pelan-pelan skripsi sang adik berjalan lancar walau kemarin sempat mengalami musibah.
“Wisudanya kapan, Dek?” tanyanya.
Soraya berhenti mengetik. Mengingat kapan tepatnya dia akan wisuda. Dia kurang tahu tanggal tepatnya, cuma ingat pada bulan ke berapa acara kelulusan itu diselenggarakan. B Ella terus mengingatkan anak-anak bimbingannya di group chat tanpa bosan.
“Dua bulan lagi,” lanjutnya, “makanya kemarin minta keringanan biar skripsinya selesai tepat waktu.”
“Berarti sidangnya mulai bulan depan?”
Soraya mengiyakan. “Iya. Itu kalau aku selesai tepat waktu. Kalau Bunga maju pertengahan bulan ini. Ambil kloter pertama pas buka-bukaan slot sidang. Dia udah selesai sih, tinggal bab lima doang diacc.”
“Bagus dong,” ujar Andra. Dia jadi sedikit mengenang masa kuliahnya dulu. Apalagi masa-masa skripsi ada susah dan senangnya juga.
Berkat temannya itu, si Bunga, Soraya jadi semangat buat cepat-cepat menyelesaikan skripsinya. Biar dua bulan ke depan mereka wisuda bareng—salah satu wishlist mereka tahun ini. Rencananya setelah lulus mereka mau melancong keluar kota, liburan gitu setelah beberapa hari resmi jadi pengangguran.
Yeah, itu pun kalau dapat izin. Kalau enggak mengantongin izin dari orang tua mereka pun sudah punya rencana kedua. Mereka akan menghabiskan beberapa minggu setelah jadi sarjana buat jalan-jalan doang. Entah staycation walau dalam satu kota, nonton, ke kafe, atau ke mana gitu—pokoknya liburan ala-ala lulusan sarjana baru.
“Dek.”
“Ya?”
“Punya rencana nikah setelah wisuda gak?”
Soraya bergeming. Pertanyaan tiba-tiba Ansel itu membuatnya agak heran dan asing. Menikah setelah wisuda sama sekali tidak ada dalam wishlist-nya tahun ini. Tidak pula dalam waktu dekat. Bahkan dia belum pernah sekalipun kepikiran sampai sejauh itu.
Makanya ini dia hanya mengidikkan bahu acuh tak acuh. Seolah pertanyaan barusan tidak butuh jawaban serius darinya.
“Gak ada, ya?”
“Gak ada jodohnya. Mau nikah sama siapa coba?”
“Misal kalau ada. Gimana?”
Soraya tetap mengidikkan bahunya. “Mas Aan pertanyaannya terlalu jauh. Lagian, aku masih kayak bocah gini belum kepikiran sejauh itu. Yang harusnya ditanyain soal menikah itu Mas Aan. Kapan Mas Aan nikah? Awas lho, keburu jadi tua bangkotan.”
“Hiiish! Malah ngatain kakaknya gitu!”
Soraya cuma nyengir kemudian balik lagi menghadap laptopnya yang menyala, melanjutkan ketikan sebelumnya. Pundaknya terasa sedikit berat ketika tangan Ansel berada di atas sana.
“Rencana masa depan tuh, gak ada yang tahu.” Kata-katanya ini entah mengapa terdengar seperti sebuah nasehat. Soraya mengerutkan dahi semakin heran sama kakaknya ini yang mendadak menyinggung soal pernikahan. “Kamu boleh aja buat rencana dari sekarang, tapi siapa yang tahu soal masa depan. Dah, mending kamu siap-siap aja.”
“Mas Aan ada masalah apa, sih? Omongannya bikin merinding.” Soraya mengoyangkan kedua bahunya pura-pura merinding.
Ansel terhenyak kemudian tertawa. Saat ini mungkin adiknya belum tahu apa-apa dan Ansel pun sama sekali tak berniat untuk menjelaskan. Janji harus ditepati, kan? Jadi dia tidak mau melanggarnya. Ansel mencubit pipi Soraya gereget dan mengabaikan rengekannya. Setelahnya, ia mengambil satu pisang goreng bikinan ibu di piring di atas meja.
Dari dulu sampai sekarang ini, pisang goreng tetap jadi cemilan favoritenya. Ibu paling tahu. Makanya kalau di rumah ada Ansel, pasti di meja ada sepiring pisang goreng.
“Mas Aan.”
“Hm?”
“Selesai aku sidang. Liburan, yuk?”
“Liburan ke mana?”
Soraya nyengir lebar. “Biasa. Mas Aan kan tahu aku sukanya ke mana.” Ke mana lagi tujuannya kalau bukan ke kebun binatang. Sifat dan minat Soraya emang 11:12 hampir sama kayak ayah mereka.
Ibaratnya tuh, jika Ansel adalah anak ibu, Soraya maka anak ayah.
“Jangan Mas Aan mulu. Ajak sekali-kali Mas Andra-mu liburan ke sana.”
“Kok bawa-bawa Mas Andra? Aku ngajaknya Mas Aan. Terus apa tuh, ‘Mas Andra-mu’ ngaco banget Mas Aan.”
Ansel berkata, “Ajak aja, orangnya pasti mau.”
Soraya menggeleng tidak sependapat. “Mas Aan perlu diingat baik-baik, ya! Mas Andra bukan pacar Aya. Kalau ngajak dia liburan ke sana tuh, gak etis banget. Gak sopan!” Lantas dia mendesah. Kalau mikirin perasaannya ke Andra tuh, bawaannya pengen sedih mulu. “Lebih baik ngerepotin Mas Aan daripada Mas Andra, deh.”
“Ya udah. Biar Mas yang bilang ke orangnya.”
“MAS AAN!”
“Ada apa ini, teriak-teriak?” Bapak yang dari tadi duduk santai di teras belakang rumah kontan melengok ke dalam rumah, melewati pintu geser belakang itu. Menatap tajam kedua anak-anaknya di ruang tengah, ruang keluarga, yang ribut seperti biasa.
“Anak ayah nih, si Mas Aan! Masa mau nyuruh Mas Andra buat nemenin Aya liburan ke kebun binatang setelah sidang. Kan, gak sopan banget, Yah!” adunya kepada ayah mereka.
Ayah melotot ke arah Ansel yang cuma mesem duduk di sofa belakang Soraya itu. Posisinya Soraya lagi duduk di lantai dengan punggung bersandar pada sofa tempat kakaknya itu lagi duduk.
“An, udah gak usah ganggu adikmu. Biarin dia pilih pilihannya sendiri.”
“TUH, DENGERIN!” seru Soraya, senang sekali kalau dapat dukungan langsung dari ayah mereka. “Dasar orang tua.”
“Aya,” tegur ayah mereka kemudian. “Gak boleh juga ngatain kakakmu.”
“Nah, dengerin, tuh!” timpel Ansel enggak mau kalah dari adiknya juga.
Begitulah hubungan adik-kakak pas di rumah. Kalau ribut pasti ujung-ujungnya ayah mereka yang jadi penengah. Untung bukan ibu mereka. Kalau ibu ikut campur pasti berakhir mereka berdua diomelin habis-habisan. Katanya suara mereka berisik. Malahan langsung menyuruh adik-kakak itu buat lanjut ribut di luar rumah biar sekalian dilihatin sama tetangga, supaya mereka berdua malu dan kapok. Terus akhirnya mereka jadi diem dan saling lirik-lirikan di bawah pengaruh nasehat ibu.
Dua hari kemudian setelah dia dapat acc dari Bu Ella, Soraya pergi ke tempat penelitian skripsi bersama Bunga buat mengambil surat izin balasan dari tempat penelitiannya. Surat ini segera dia simpan sebagai bukti yang nanti masuk ke dalam berkas skripsinya, bahwa penelitian skripsi itu sudah dapat izin dari instansi setempat. Terus dia menjadwalkan sebar angket sama Mas Danu—perwakilan dari pihak instansi—setelah itu, mereka berdua pulang.
Enggak benar-benar pulang, sih. Soraya lalu mengajak Bunga buat mampir ke kafe. Ngakunya pengen makan siang sambil ngobrol-ngobrol santai, tapi Bunga paham kalau itu cuma alasan doang. Aslinya dia pengen ketemu Mas Andra. Sudah dua hari ini mereka belum ketemuan.
Dia sendiri fokus menyelesaikan skripsi, jadi dua hari kemarin absen ke kafe tempat Andra kerja. Terus dia juga enggak punya nomer Andra. Alias belum minta nomernya lagi setelah punya ponsel baru. Meski di rumah Ansel terus menggodanya pakai bawa-bawa nomer Andra, Soraya tetap tidak terhasut. Dia tetap pada pendiriannya buat fokus skripsi. Bahkan demi merampungkan skripsi tepat waktu, Soraya sampai minta libur edit naskah cerita keduanya sama Mbak Wendi. Untung pula Mbak Wendi memahami situasinya ini sehingga memberinya jatah libur satu bulan.
Ngomong-ngompong, Soraya lebih suka ketemu orangnya langsung dibanding ngobrol lewat chat. Makanya dia tidak terhasut sama godaan Ansel yang bawa-bawa nomer Andra.
Begitu sampai di kafe, mereka langsung masuk dan berjalan mendekati bangku biasa yang tahunya sudah dihuni sama seseorang. Soraya tetap mendesak Bunga untuk mendekat ke arah bangku walau tempat itu tidak lagi kosong.
Tepat di belakang orang itu, seolah menyadari sesuatu, Bunga kontan berbalik melototi Soraya yang nyengir tak merasa bersalah.
“Maksudnya apa coba?” tegurnya.
Soraya tetap nyengir terus berbisik pelan ke telinganya supaya laki-laki yang lagi duduk itu tidak mendengar. “Selasa kemarin dia ngechat, katanya mau ketemuan.”
“Terus ngapain ngajak aku juga?”
“Hehe. Orangnya yang minta.”
Soraya menarik Bunga sedikit memaksanya supaya mau menemui Noah lagi. Iya, orang itu Noah Kael. Laki-laki yang cintanya bertepuk sebelah tangan terhadap Bunga. Alasan Bunga menolaknya karena Noah orangnya terlalu menonjol dan pemuda ini, suka sekali buat keputusan tanpa bilang apa-apa padanya.
Contohnya seperti ini.
Bunga tidak suka menjadi orang yang menonjol; Noah suka menonjolkan dirinya kepada semua orang. Dia senang dapat perhatian; Bona kurang suka jadi pusat perhatian.
“Hei, Bunga!” Sapaan Noah setelah lama mereka berdua tidak bertemu. Tentunya setelah dia ditolak. Noah memberinya senyum hangat seperti awal dari pertemuan pertama mereka dulu. “Rambutnya udah panjang aja.”
Bunga hanya menyeringai tipis. Terus melirik Soraya yang mesem-mesem di tempat seryaa memandangi mereka dengan tatapan jenaka. Tidak jelas maksudnya apa. Tapi saat dia tiba-tiba bangkit setelah Bunga ikut duduk di kursi sebelahnya, Bunga akhirnya paham tujuan lain dari Soraya mengajaknya kemari.
“Apa lagi sih, Noah?”
Pertanyaannya semenjak Soraya melengos pergi ke konter bar kafe.
Noah tetap menggulum senyum. “Gak ada apa-apa. Cuma pengen ketemu aja.”
Bunga memutar bola, tidak percaya sama omongannya barusan. Disamping orang ini suka mendapatkan spotlight dan mengambil keputusan duluan, dia juga playboy. Bunga tahu karena selalu melakukan riset tentang laki-laki yang sedang mendekati dirinya. Dia tidak butuh kakaknya, Bondan, untuk bertindak demikian demi dirinya, toh kakaknya itu orang cuek. Tidak seperti Soraya yang tetap dipedulikan dengan siapa dia berteman dan siapa saja laki-laki yang sedang mencoba mendekatinya oleh Ansel.
Dalam urusan asmara, Bunga lebih peka dan unggul dibanding Soraya yang minim sekali pengalaman itu.
Sementara itu, Soraya sedikit bingung karena sejak masuk kafe dia tidak menemukan Andra di konter bar. Dia pun langsung bertanya pada Rita.
“Udah tiga hari Mas Andra gak masuk kerja.”
Soraya spontan terdiam. Tiba-tiba merasa deja vu. Semangatnya yang tadi menggebu ingin bertemu, hilang seketika.
“Kali ini serius kok,” ujar Rita menangkap kekecewaannya itu. “Gak ada drama buatan si Andra.”
“Maksudnya?”
“Andra pergi keluar kota sama Sabo.”
“Sabo siapa? Ceweknya?” tanyanya dengan mata mengkilat tak sabar. Perasannya jadi tak tenang. Setelah Kayla terus Sabo gitu? Soraya hampir mau nangis jika dugaannya tentang siapa itu Sabo benar.
Yang dia pikirkan saat itu ialah Sabo itu cewek, dan orang itu ternyata ceweknya Andra. Mereka pergi keluar kota buat liburan bareng.
Rita geli sendiri lihatin wajah kaget Soraya kemudian berubah panik. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan gadis muda ini tentang bossnya, Sabo.
“Bukan. Dia cowok, teman Andra, sekaligus boss kami.”
Matanya yang sempat memendar panik, perlahan-lahan kembali tenang. Suara helaan napasnya bahkan sampai terdengar Rita yang langsung tertawa. Dia tidak sanggup lagi menahan diri untuk tidak mentertawai keluguan Soraya.
“Perginya dari kapan, Mbak?”
“Senin malam kemarin.”
Berarti setelah pulang dari rumahku? pikirnya kembali kaget.
“Terus pulangnya kapan?”
Rita mengangkat bahu tak tahu-menahu. Dia hanya tahu Sabo tergesa-gesa pergi dari kafe Senin malam kemarin bersama Andra yang tiba tak lama setelah bossnya itu menelponnya. Mereka lalu pamit dan minta supaya Rita sama yang lain menjaga kafe. Tidak bilang juga kapan mereka akan pulang. Ini sudah hari kedua dua pria itu pergi, hari ketiga Andra absen kerja, dan tiga malam mereka pergi.
“Emang ada urusan apa sih, Mbak?”
“Lah, kamu gak kontakan sama Andra?”
Dengan gelisah dia menggeleng. Rita berdecak keras. Tak menyangka kalau Andra tidak akan membagikan kontak pribadinya ke Soraya.
“Mau aku kasih nomernya?”
“Makasih, Mbak. Tapi gak perlu,” ujarnya. Meskipun dia sangat ingin menanyakan kabar Andra lewat chat, Soraya tetap tidak tergiur buat mendapatkan nomernya dari orang lain. Tidak lewat kakaknya ataupun Rita. Soraya lebih senang dengan konsep minta langsung pada orangnya sendiri karena dengan begitu, dia bisa menemui Andra.
Sederhananya dia cuma pengen ketemu Andra. Ngobrol sama orangnya langsung. Bukan ngobrol sama ketikan.
Rita langsung kaget. Jarang-jarang ada orang menolak dikasih kontak nomer mas crush-nya. Lah ini, Soraya malah menolak langsung tanpa banyak pikir.
“Oke, deh. Ntar aku sampain ke Andra kalau kamu nyariin dia,” katanya. Dalam hati Rita mengutuk Andra yang masih saja apatis sama Soraya. Dia bahkan merencanakan untuk mengomeli rekan kerjanya itu di telepon nanti.
“Makasih, Mbak Rita.”
Rita mengangguk dan tersenyum. Alasan dia begitu peduli sama Soraya karena dia terus mengingatkan Rita pada adik laki-lakinya. Sejak melihat Soraya dia terus keingat sama rumah dan pengen pulang ke sana semata-mata buat ketemu adiknya saja. Sudah dua tahun ini dia belum pernah lagi pulang semenjak orang tuanya mengusirnya. Lalu Rita merantau ke luar kota.
Orang tuanya menyebut Rita anak bermasalah hanya gara-gara dia tidak mau menikahi laki-laki pilihan orang tuanya. Agak klise, tapi Rita benci dipaksa-paksa menikah sama laki-laki bangkotan. Ekonomi keluarganya memang serba pas-pasan, bisa dibilang mereka berasal dari keluarga miskin. Biarpun mereka bilang demi ekonomi keluarga, Rita tetap menolak. Itu sama saja dia dijual keluarganya. Sebab itu, dia minggat rumah setelah diusir dan tidak pernah kembali pulang lagi.
Rita hanya merindukan adik laki-lakinya yang masih SMP. Sifat anak itu persis seperti Soraya yang selalu mengatakan langsung kemauannya tanpa malu-malu.
“Aku baru ingat,” celetuknya tiba-tiba. Menahan langkah Soraya yang hendak kembali ke tempat teman-temannya. “Teman mereka ada yang meninggal.”
“Meninggal?”
Rita membenarkan. “Theo meninggal.”
“HAH?” Soraya menyeret langkahnya kembali mendekat konter bar. “Theo? Maksudnya Theodore? Maksud Mbak Rita, Theo yang dulu—”
“Iya. Orang itu.”
Dunia Soraya rasanya berhenti berputar. Benar, dia tidak begitu akrab secara langsung sama laki-laki bernama Theo yang pernah bekerja di kafe ini. Mereka hanya pernah bertemu beberapa kali, tapi Theo adalah teman penanya. Sumber dari cerita barunya, yang sementara ini dia hold semenjak tidak ada lagi kiriman cerita dari Theo, dan dia pun sementara hiatus di akun menulisnya karena fokus skripsi. Soraya tidak menyangka bahwa kiriman kisah dari Theo beberapa bulan lalu adalah yang terakhir.
Seseorang yang menjadi inspirasi dari tokoh ceritanya telah meninggal. Dada Soraya sesak sekali terbayang pertemuannya bersama Theo dulu. Si laki-laki yang dia sebut si wajah baru, yang selalu memberinya senyuman profesional.
Jika Soraya, si orang baru, di kehidupan Theo merasa kehilangan dirinya seperti ini. Bagaimana dengan Andra, teman laki-laki itu, dan pacar Theo yang ditinggalkan?
Soraya tahu-tahu menangis. Teringat kata-kata yang Theo tinggalkan di surat terakhirnya.
Aria hamil! Haha. Aria hamil anakku. Wow! Aku hampir gak percaya kalau sebentar lagi aku akan jadi seorang ayah. Haha. Belakangan ini Aria merasa tertekan karena aku terlalu bahagia setelah mendengar kabar baik itu. Katanya aku ini orang aneh, yang terus memberinya daftar nama bayiku. Haha. Aku gak peduli anakku laki-laki atau perempuan. Dia bayiku dan Aria. Haha. Luar biasa!
Kalau bayiku lahir, kamu harus datang.
Rencananya empat bulan ke depan aku mau melamar kekasihku setelah mengumpulkan banyak uang. Ini lebih membuatku tertekan daripada aku akan menjadi seorang ayah. Kamu tau kan? Seperti apa ayah pacarku itu. Jadi, tolong, doakan rencanaku ini berhasil. Aku ingin hidup bahagia bersama Aria dan anakku.
Tolong, doakan kami.
Semua rencana masa depan Theo bersama kekasihnya, Aria, dan calon anak mereka ...
Soraya tak sanggup membayangkan seperti apa nasib kedua orang yang sangat Theo cintai itu. Apa mereka baik-baik saja?
Dia lalu teringat pada kata-kata saudaranya pada malam itu.
Kamu boleh aja buat rencana dari sekarang, tapi siapa yang tahu soal masa depan.
🦁 l i o n h e a r t e d 🦁
Tepat delapan hari mereka belum lagi bertemu. Sore itu waktu Soraya berada di kampus bersama Bunga, ponselnya tiba-tiba berdering panggilan masuk dari kontak nomer tanpa nama. Soraya mengabaikannya dua kali karena mengira itu panggilan iseng dan baru mau menerimanya setelah dapat chat dari nomer yang sama.
Itu nomernya Andra.
Soraya menerimanya segera dengan perasaan campur aduk. Baru kali ini dia telponan sama Andra. Wajar kalau dia sempat panik dan bertanya-tanya kepada Bunga apa yang harus dia lakukan waktu itu.
Tingkah laku Soraya barusan persis sekali sama cewek yang baru pertama kali pedekate sama cowok. Bunga segera menenangkannya, lalu menyuruhnya tetap bersikap santai dan apa adanya. Yang penting dia jangan berlebihan.
Soraya mengangguk mengerti. Setelah mengatur napas dan mendapatkan penuh ketenangannya, barulah dia menerima panggilan Andra. Tidak ada banyak hal yang mereka bicarakan. Tidak ada pula basa-basi menanyakan kabar selama sepekan ini. Andra langsung menanyakan posisinya, Soraya bilang dia ada di kampus, lalu Andra memberitahunya kalau dia akan menyusulnya ke sana. Soraya panik seketika namun Bunga membisikinya supaya tenang.
Akhirnya mereka sepakat buat ketemuan di bagian Barat kampus, dekat lapangan voli, yang lebih dekat sama gerbang belakang kampus. Sementara Bunga lalu pamit pulang setelah mengantarkan Soraya ke lokasi pertemuannya bersama Andra. Jarak lokasi itu dari fakultas mereka lumayan jauh. Butuh berkendara buat sampai kemari, mengingat kampusnya ini sangat besar dan luas.
Soraya tak menunggu lama karena lima menit kemudian Andra tiba dengan mobilnya. Melihat dari pakaian kusut dan wajah lelahnya itu, Soraya langsung menebak kalau laki-laki ini baru saja pulang dari perjalanan jauh.
Melihatnya demikian, tidak tahu kenapa Soraya langsung berlari memeluknya. Mungkin dia teringat Theo dan alasan Andra pergi selama satu minggu ini. Atau mungkin dia hanya rindu kepadanya.
Andra tersenyum lega begitu dapat pelukan hangat dari Soraya. Ia langsung membalas merengkuh tubuh rampingnya ini ke dekapannya.
“Kangen, ya?” guraunya yang langsung dapat anggukan tanpa suara. Betapa beruntungnya dia karena gadis ini tidak pernah mencoba untuk menyembunyikan perasaannya. Andra tidak perlu bersusah payah mencari tahu, toh Soraya akan menyampaikan sendirinya.
“Mas Andra belum mandi, kan?” tanyanya tiba-tiba membuatnya terkekeh.
“Belum sempat. Selesai nganter Sabo ke rumahnya, langsung ke sini.” Andra mengusap punggungnya. “Bau, ya?”
“Gak juga kok.” Soraya mendongak menatap mata Andra yang lelah hingga timbul lingkaran hitam di bawah kantung matanya itu. “Baunya Mas Andra itu punya ciri khas. Jadi aku suka aja, hehe. Ngomong-ngomong, Mas Andra kok dapat nomerku?”
“Ansel yang ngasih.”
“Eh? Mas Andra minta Mas Aan?”
Andra mengiyakan. Lalu jari-jarinya menyingkirkan beberapa helai rambut Soraya yang jatuh ke depan sehingga menghalangi pemandangannya.
“Sejak kapan Mas Andra akrab gitu sama Mas Aan?” Ia curiga, tapi bergumam tak peduli. Mungkin kakaknya masih menganggu Andra, makanya dia jadi kek akrab begini. “Eh! Ya ampun. Gak sopan banget, masa aku main peluk Mas Andra, sih!”
Tawa Andra spontan meledak berkat sikap Soraya yang mendadak panik dan wajahnya mulai memerah bak udang rebus. Soraya hendak melepaskan pelukannya, tapi Andra menahannya.
“Udah gak apa-apa.”
“Dilihatin banyak orang,” ujarnya malu menyadari posisi mereka masih di area kampus. Soraya kontan menyembunyikan wajahnya di dada Andra. “Mas Andra sih, ngilang seminggu kan jadinya pas ketemu refleks meluk.”
“Iya, maaf. Lain kali gak bakal ngilang.”
Soraya sudah memaafkannya bahkan sebelum dia bilang. Alasannya dia pergi satu pekan ke keluar kota Soraya sudah tahu. Jadi, enggak alasan baginya untuk marah-marah padanya.
Hah! Siapa kamu, Aya! Ngapain marah-marah ke Mas Andra?! pikirnya terus mengomeli dirinya sendiri yang tidak tahu malu ini.
“Terus di sini mau ngapain? Enggak mungkin kan, Mas Andra berdiri terus meluk aku?”
“Iya, iya. Jadi lupa mau ngapain.” Andra menoel hidung bangir Soraya. “Gara-gara kamu, sih.”
“Gak jelas banget. Mas Andra aneh.”
Andra mengacak kepalanya gemas. Lalu melepaskan pelukan mereka setelah puas mengantarkan kerinduannya.
“Kita pergi dari sini, yuk. Ada yang mau mas obrolin.”
“Soal apa?”
“Bukan apa-apa kok,” katanya sambil mendorong punggung Soraya mendekati mobil. “Kamu lapar gak? Kita makan dulu gimana?”
“Oke.”
Mereka kemudian masuk ke dalam mobil. Andra menyalakan kendaraannya setelah puas mengacak kepala Soraya yang duduk di sebrangnya. Sementara gadis itu terus mendengus walau senang karena selalu menerima perlakuan demikian dari Andra. Kebiasaan Andra mengacak rambutnya lama-kelamaan membuatnya jadi terbiasa dan menyukai tindakannya itu.
Dengan Andra terus memberinya perhatian demikian, Soraya merasa bahwa mereka semakin dekat.
“Mas Andra, boleh nanya sesuatu?”
Andra sekadar menggumam membalasnya.
“Theo meninggal karena apa?”
“Kamu tau?”
Soraya lalu menceritakan dari mana dia tahu kabar meninggalnya Theo, yang menjadi alasan Andra hilang selama sepekan ini.
Andra mendesah, lalu menoleh ke arah Soraya yang diam menunggu balasannya. Wajah Andra sedikit murung, rasa lelah dan kehilangan seorang teman berkelebat cepat di matanya. Andra meraih tangan Soraya dan meremasnya di atas pangkuannya.
“Mas juga gak tahu,” jawabnya. “Banyak yang bilang dia bunuh diri, banyak yang bilang dia dibunuh. Sementara pihak polisi sana bilang, dia overdosis.”
Soraya menyimak sambil mengusap punggung tangan Andra. Memberitahunya bahwa tidak apa-apa kalau dia tidak menceritakannya, kalau itu merasa menganggunya.
“Alasan aku belum pulang setelah kematian Theo, aku sama Sabo dan teman-teman Theo di sana mau mencari kebenaran.” Sekarang Soraya mengerti mengapa Andra punya kantong mata besar dan hitam di matanya itu. “Kami merasa janggal. Alasan polisi juga gak logis karena setahu kami Theo bukan pemakai. Iya, dia emang mantan narapidana karena menjual barang-barang haram, tapi dia bukan pemakai. Dia itu bersih meski anaknya kelihatan bebas dan nakal.”
Soraya lalu bertanya, “Pacarnya Theo gimana?”
Andra meremas tangan Soraya. “Gak ada yang tahu. Atau mungkin dia gak tahu. Dari yang kami dengar, Aria sudah gak ada lagi di kota itu. Tepat sebelum Theo ditemukan meninggal.”
Mulut Soraya mengangga lebar. Dia tidak mengira bahwa akan mendengar hal ini langsung dari Andra. Mustahil Aria tidak tahu apa-apa. Atau mungkin dia gak tahu. Bukan. Aria bukannya tidak tahu, tapi dia belum tahu apa yang terjadi pada Theo.
Kenyataan itu membuat Soraya gelisah dan tak nyaman duduk di kursi meski Andra tetap meremas tangannya. Soraya masih ingat bagaimana dulu dia pernah melontarkan guyonan terhadap kisah Theo bersama kekasihnya, yang menurutnya kisah mereka seperti pasangan Romeo dan Juliet. Theo menimpali guyonannya dengan serius, bahkan membenarkannya. Soraya tak mengira bahwa itu sebuah pertanda.
“Jangan mikirin yang aneh-aneh,” tegur Andra kali ini dapat membaca ekspresi wajahnya.
Soraya mendesah merasa bersalah. “Aku merasa prihatin sama Theo, Mas.”
“Iya, Aya. Mas paham.” Soraya sempat merasa ganjil karena beberapa kali Andra kerap menyebut dirinya “mas” alih-alih “aku”, tak seperti biasa. Namun, dia segera mengabaikan tentang itu dengan beranggapan bahwa Andra salah bicara.
Saat mobil berhenti di lampu merah, Andra setengah berbalik menghadap Soraya yang jadi murung terpikirkan rencana masa depan Theo di surat terakhirnya. Andra meraup wajahnya sehingga kini mata mereka saling bertemu.
Kedua ibu jarinya mengusap pipinya yang halus dengan lembut. Andra menarik wajahnya mendekat untuk sekadar meninggalkan kecupan pendek di keningnya.
Soraya spontan terbelalak. Wajahnya merah pedam, kaget dan panik berkelebat cepat di matanya. Samar-samar ia mendengar suara petasan menyala di kepalanya seiring bunyi detakan jantungnya yang berpacu tak normal.
Andra menyeringai jahil. “Nah! Kalau gini kan, gak murung lagi.”
Apa-apaan itu barusan! Terus apa itu tadi, Andra menyeringai padanya? Soraya yang kepalang malu hanya bengong dan mengerjapkan mata setengah linglung, setengahnya lagi suka.
Seperti biasa, Andra akan mengacak kepalanya jika gemas melihatnya. Dia bahkan mengabaikan ekspresi bengong Soraya. Menurutnya dia lucu. Andra merasa terhibur jadi membiarkannya tetap begitu sampai mobil kembali jalan setelah lampu hijau menyala.
Jadi begitu kisah theo-aria 😭✊
Tapi aku gak salah bilang kan, kalau Mas Andra ngilang 🏃♀️ hahahaha anyway chapter ini hampir 4k 💅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top