👫 officially

“Sedih, ya, gak jadi liburan bareng.”

“Ngapain sedih? Harusnya senang, dong. Kan besok udah resmi jadi istrinya Mas Andra.”

“Iya, tahu. Tapi rencana kita after graduation gagal.” Soraya cemberut. Sedikit kecewa lantaran rencana liburan bareng Bunga setelah lulus terpaksa batal, tepatnya dibatalkan. Yang harusnya mereka have fun merayakan status barunya sebagai freshgraduate atau sebutan kasarnya sebagai pengangguran baru, kini cuma bisa tinggal di rumah tanpa boleh pergi ke mana-mana dan melupakan salah satu dari rencananya.

Ada beberapa kesamaan dari wishlist mereka tahun ini. Pertama, mereka pengen liburan ke luar kota, minimal ke Bali atau entah kota mana pun yang penting luar kota. Kedua, cari lowongan pekerjaan di satu perusahaan sama. Rencananya sebulan setelah menganggur mereka akan membuat resume diri dan surat lamar buat dikirin ke perusahaan incarannya itu. Bukan hanya satu perusahaan kok, tapi ada banyak sekian daftar nama perusahaan dan tidak masalah mereka kerja satu perusahaan atau beda—namanya nasib orang siapa yang tahu? Ketiga, setelah menikmati dunia kerja selama kira-kira dua atau tiga tahun, mereka juga punya rencana buat lanjutin S2 bareng meski orang tua Soraya sebelumnya lebih suka jika putrinya lanjut kuliah setelah jadi sarjana.

Kira-kira begitulah rencana mereka sebagai pasangan teman yang saling mengerti satu sama lain. Hubungan pertemanan mereka begitu kuat, hampir seperti ikatan seorang saudara kandung. Tapi semua skema rencana hidup mereka terpaksa dibatalkan. Mereka dilarang pergi, lebih tepatnya hanya Soraya. Bunga bebas melakukan semua itu, tapi tanpa temannya ini roman-romannya terasa ganjil.

Hanya Soraya yang dilarang pergi selama sepekan ini, bahkan keluar rumah sebentar cuma buat ke mini market terdekat buat beli ice cream pun dilarang keras. Dia pasti kena omelan ibu sama ayah yang gayanya sudah seperti pelatih kedislipinan saja di sekolah akademi polisi. Mengingat acara pernikahannya bersama Andra akan digelar pada esok hari, maka larangan ini itu mulai diberlakukan. Sehingga keluarganya terutama sang ibu, memberinya aturan ketat supaya tetap di dalam rumah sampai nanti dia resmi menikah.

Soraya agak bete dipaksa diam di rumah selama itu. Belum lagi empat hari ini dia tidak diizinkan bertemu Andra. Jika kemarin-kemarin Andra masih boleh main ke rumah, H-4 sebelum pernikahan dia terus dilarang datang. Kalau ibu bilang sih, pamali ketemu pasangan sebelum
acara. Dan Andra pun hampir sama seperti dirinya sekarang, dilarang ke luar rumah sampai jangka tertentu. Bedanya Andra tidak mudah bete karena dia suka bergaul sama kerabatnya yang berbondong-bondong ke rumah, sementara itu jumlah teman Andra banyak yang tak mau kalah dari kerabatnya buat datang ke rumah.

Hiburan Soraya di rumah kalau main sama sepupunya, anak-anak dari saudara ayah dan ibunya, yang jauh-jauh dari luar kota kemari dan menginap di rumah. Selama beberapa hari ini rumahnya terus ramai, tiada hari tanpa suara. Obrolan terus masuk dari segala ruang. Mulai dari teriakan anak-anak kecil, para ibu sibuk mengurus tetek bengek berhubungan sama acara, dan para bapak-bapak merumpi dengan jokes khas mereka.

Terus masih ada si Mbak Nora, pacar Ansel, pun kerap bertamu ke rumah setiap sore. Walaupun hanya sebentar keberadaan Nora di rumah lumayan mengisi sepinya yang sering mengeluh sendiri jika para sepupu mulai fokus sama dunia mereka sendiri—namanya juga anak-anak apa sih, yang Soraya harapkan? Lalu H-2 sebelum acara syukurnya Bunga datang dan bersedia menginap. Jadi dia tidak merasa kesepian lagi.


Bunga hanya tersenyum tipis. Memahami rasa kecewa temannya itu, sebab dia pun merasakan hal sama disamping perasaan turut bahagia atas pernikahan Soraya. Dia melanjutkan menyisir rambut panjang Soraya yang duduk di depan ini sambil mendengarkan gadis ini berguman tentang mereka yang dapat membuat plan B sebagai pengganti plan A yang gagal.

“Jangan lupa. Selama dua tahun kamu tinggal di Eropa. Itu pun kalau kamu masih mau pulang ke sini lagi. Kalau udah kecantol sama negara sana, gak tahu deh.”

“Pulang itu pasti,” kata Soraya, berbalik setelah tangan Bunga berhenti menyisir rambutnya. “Yang gak pasti tanggalnya aja. Nanti aku bisa bilang Mas Andra.”

“Masalah itu gak usah dipikirin. Yang penting kita tetap komunikasi biar gak lost contact.” Bunga merenung sesaat. “Sebenarnya agak sedih juga sih, kamu harus pergi ke Eropa beberapa hari setelah nikah.”

Soraya terdiam. Di satu sisi dia masih enggan meninggalkan kehidupannya di tempat ini, kampung halaman dan zona amannya, di sisi lain dia pun menolak menjalin hubungan long distance relationship alias LDR sama Andra. Dari banyaknya kisah pasangan LDR, yang dia baca lewat portal seperti Qoura, kebanyakan dari mereka berakhir tidak bahagia. Hanya sedikit yang beruntung dapat mempertahankan hubungan itu, sebagian besar mereka gagal.

Dan Soraya menolak pernikahannya gagal gara-gara LDR ini. Lagian, siapa juga yang mau menyandang status janda di umur muda? Soraya bergidik ngeri dan segera menendang pikiran jeleknya itu.

Barangkali kalau masih pacaran Soraya bisa menyanggupi hubungan seperti tersebut. Namun, LDR setelah nikah? Dia jelas tidak bisa. Dia telah membicarakan keputusan ini, baik kepada Andra maupun keluarganya, jika dia ikut tinggal bersama Andra ke Eropa setelah menikah. Tidak ada yang menjustifikasi pilihannya itu. Keluarganya hanya memberikan wejangan kecil-kecilan berupa nasehat dan saran, terutama ibu tampak seperti mencemaskan keadaan putri bungsunya itu, yang di matanya Soraya masihlah seorang anak-anak.

Harusnya masih ada waktu dua bulanan bagi mereka tetap tinggal di rumah setelah nikah, tapi karena Soraya memilih untuk ikut jadi jadwal keberangkatan ke Eropa dipercepat. Hitung-hitung sekalian di sana nanti mereka bulan madu sembari beradaptasi dengan kehidupan orang sana. Apalagi orang-orang seperti Soraya butuh setidaknya waktu lama untuk dapat menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan budaya.

Bunga menatapnya. Soraya pun balas menatap mata berbentuk bulat sambit itu.

“Aku pasti kesepian.” Bunga hampir ingin menangis di hadapan Soraya jika tidak segera mendongak, pura-pura sedang mencari sesuatu di langit-langit kamarnya. “Biasanya ke mana-mana berdua. Besok sendirian. Kamu sih, udah enggak, Ay. Kan ada Mas Andra yang bisa nemenin ke mana-mana.”

“Haha. Makanya kamu buruan cari pasangan.” Soraya menunjuk dirinya yang nyaris menangis itu disertai suara tawa menyebalkannya, buat Bunga mendengus sebal.

“Cari sih, gampang. Nemuinya itu lho, yang susah.”

“Noah Kael ada, tuh.”

Bunga semakin mendengus kala dia menyeret nama Noah dalam obrolan mereka ini. Ada rencana apa sih, di antara mereka berdua? Bunga memutar bola mata jengah, setiap kali teringat seringai Noah yang sama menyebalkan seperti suara tawa Soraya ini. Pencariannya itu tidak ada hubungannya sama Noah. Sekali ditolak selamanya tetap ditolak—prinsip Bunga begitu. Cukup sederhana, dari dulu maupun sekarang. Entah Soraya masih ingat atau pura-pura lupa tentang prinsipnya.

Stop. Gak usah bawa-bawa Noah lagi,” ucapnya bermuka masam. “Mending kamu tidur, deh. Besok pagi harus bangun buat make over. Lihat tuh, udah jam sebelas.”

Soraya terkejut melihat ke arah jam dinding di kamar. Ternyata obrolan ringan mereka lama dan panjang sampai-sampai tidak ada sadar sekarang sudah jam sebelas malam, nyaris tengah malam. Soraya harus segera pergi tidur karena jam empat pagi nanti, dia harus sudah bangun dan bersiap-siap untuk di-make over.

Besok pagi enggak boleh kesiangan! Begitulah peringatan ibu yang sering mewanti-wanti dirinya. Bahkan sampai minta tolong Bunga supaya menyiram wajahnya pakai air kalau sampai tidak bangun jam empat pagi nanti. Dan akhirnya, malam itu mereka putuskan buat tidur.

Soraya hampir juga tidak bisa tidur karena merasa gugup tanpa sebab, mungkin dia terlalu excited sama acara besok atau ini sekadar gugup bawaan dari adrenalinnya. Yeah, mana pun itu pokoknya dia mulai gugup setengah mati! Bunga segera menegur sambil menenangkan dirinya. Dia terus mengatakan hal-hal baik hingga Soraya berubah tenang dan mulai bisa bernapas lega. Soraya baru bisa tidur ketika jam tepat berada di angka 12 malam.

Kemudian esok harinya, tepat pada hari pernikahannya Soraya tidak bisa menahan kantuk selama di-makeup-in sama perias pengantin bersama timnya itu. Soraya terus ketiduran sampai-sampai MUA-nya berdecak dan menyuruhnya buat minum kopi. Dia yang tidak suka kopi terpaksa mengiyakan dan minum habis kopi hitam super pahit itu daripada kena omelan ibu yang lebih pusing mengurusnya ketimbang Mbak Ola—MUA-nya yang sebenarnya cowok—yang sering terkekeh meski heran sama kelakuan klien pengantinnya.

Gimana enggak coba? Soraya terus minta Mbak Ola buat ngajakin dia ngobrol entah tentang apa pun biar dia enggak mengantuk. Sampai obrolannya itu melantur ke mana-mana, lalu Soraya sering menimpali dengan ciri khasnya si anak tengil, tidak tahu malu, dan pedean itu. Jadinya malah tim MUA yang terhibur sama guyonan Soraya.

Seenggaknya acara hari itu yang dimulai dari pagi jam 10 sampai siang jam 1 berjalan lancar tanpa ada hambatan dari apa pun. Syukurnya, tidak ada yang bilang tidak sah, semua sepakat bilang sah. Akhirnya mereka resmi jadi pasangan suami istri pagi. Tapi bukan berarti mereka bisa langsung istirahat, mengingat acara masih terus berlanjut ke puncak resepsi sampai selesai.

Jumlah tamu yang tak ada habis-habisnya itu memaksa mereka supaya tetap tersenyum. Membalas cipika cipiki dari kerabat, foto bareng, dan terutama ucapan selamat diselingi doa terus mengalir bergiliran. Sang pengantin hanya diberi jeda beberapa menit buat duduk maupun minum, sebelum nanti lanjut lagi ke kloter berikutnya yang telah berbaris rapi, menunggu giliran untuk bertemu langsung pasangan main event.

Soraya banyak bertemu teman-teman kampus dan sekolahnya dulu yang masih kontakan sampai sekarang. Demikian Andra yang punya jumlah teman dua kali lebih banyak dibanding pasangannya. Soraya sampai terkejut dan tak mengira bahwa teman-teman Andra yang datang sebanyak itu. Meski belum kenal semuanya, tapi Soraya tetap menimpali candaan dari beberapa teman Andra itu.

“Asyik dah. Malam ini si Andra bisa jebolin gawang. Haha.”

“Mulutnya. Dasar!” Andra meninju kecil perut temannya yang bergurau barusan.

Temannya lain yang setengah plontos itu menepuk-nepuk pundaknya. “Ngaku aja sih, Ndra. Kalau udah gak sabar.” Lalu dia melirik ke arah Soraya yang hanya berdiri menyimak di tengah-tengah para kawanan laki-laki ini. “Tenang aja, Mbak. Service-nya si Andra pasti top markotop.”

“Top cer malahan!”

“Meskipun belum berpengalaman, tapi kita-kita jamin, dia—”

“Udahlah kalian diem.” Andra menarik teman-temannya ke arah sisinya. “Noh, lihat banyak yang antri di belakang. Cepetan baris!”

“Buset dah, galak amat,” celetuk si kepala setengah plontos, kemeja putih itu. “Si Andra kalau galak tampol aja kepalanya. Atau gak usir dari kamar. Paling ntar diem.”

“Jik, gak usah rese. Cepetan baris. Mau foto gak?”

Ajik tertawa, tawa jahil tepatnya. “Siap, Bos!”

Obrolan itu segera berakhir dengan foto bareng sebelum lanjut ke sisi berikutnya. Andra sempat berbisik pada Soraya tentang teman-teman kuliahnya tadi. Dia bilang, “Maaf, ya. Anak-anaknya emang rese, terutama si Ajik.”

“Haha. Gak juga, Mas. Mereka justru menghibur.”

Andra terdiam. Terpana dengan cara Soraya tersenyum. Walaupun sudah sering melihatnya tersenyum, tapi senyumannya kali ini, tepatnya pada hari ini, membuat otak Andra membeku seperkian detik. Sebuah getaran timbul secara samar sebagai pengingat supaya dia tidak melakukan hal aneh-aneh terhadap istrinya ini di depan banyak orang. Terutama dia pengen sekali mencium pipinya berkali-kali. Beruntung teguran dari tamu berikutnya membuat lamunan Andra sirna.

“Eh? Mbak Rara!” Soraya berseru riang menjumpai sosok perempuan yang tampak begitu dewasa dan anggun dengan dress birunya.

“Hallo, Aya. Lama gak bertemu.” Rara segera merengkuh tubuh ramping itu kepelukannya. Melepaskan sejenak kerinduan mereka seiring ucapan selamat yang bersua di dekat telinganya. “Giliran ketemu pas acara married gini. Ngomong-ngomong, selamat buat kalian berdua! Semoga terus kompak, langgeng, dan cepet-cepet dapat momongan deh.”

Soraya tertawa. Doa kesekian yang menyinggung soal momongan, sementara dia hanya bisa mengamini. Sebetulnya terpikirkan mungkin beberapa minggu setelah menikah, dia akan mengajak Andra untuk membahas soal momongan. Jujur saja, untuk sekarang ini, di usianya yang baru genap 22 tahun beberapa bulan lalu, dia masih belum pengen punya anak. Yah, semoga Andra bisa memahami pilihannya itu.

Rara memandang Andra yang langsung tersenyum kepadanya. “Istrinya dijagain baik-baik, lho. Terus dijaga dalam kondisi apa pun. Aya itu anaknya baik. Kalian berdua juga, jangan sama-sama egois menjalin hubungan.”

Andra mengangguk dan berterima kasih atas wejangan yang diberikan oleh Rara, sama seperti wejangan dari kerabat dan teman-temannya yang lain.

“Mbak Rara datang sendiri?” tanya Soraya bingung saat sadar kalau perempuan ini sendirian.

“Enggak kok, sama Noah. Tapi anaknya gak tahu hilang ke mana.”

Soraya melebarkan pupil matanya. Menebak cepat alasan hilangnya Noah di tengah acara ini. Orang itu pasti menemukan keberadaan Bunga. Alih-alih menemani saudaranya, dia justru mendatangi cinta bertepuk sebelah tangannya. Jadi mana tuh, yang katanya sudah move on?

“Lho? Gak sama Mas Tian?”

Rara lalu tertawa canggung. Jelas dia tahu bagaimana perasaan suaminya dulu terhadap pengantin wanita ini. Hanya Soraya yang tidak tahu bahwa dia mengetahui semuanya. “Titip salam aja. Mas Ian ada acara komunitasnya. Yeah, kebetulan di hari sama jadi gak bisa datang.”

Soraya bergumam oh pendek. Kemudian tidak ada lagi obrolan dan berlanjut ke sesi foto bareng. Kali ini tamu-tamu berikutnya berasal dari teman kerja orang tua mereka, tetangga rumah, dan tak lupa juga beberapa teman Ansel datang karena sebagian dari orang-orang itu cukup akrab sama Soraya masa-masa kuliah dulu pas hobi main ke rumah.

“Kamu udah gede aja sekarang. Sampai pangling lihatnya.”

Mata Soraya yang sebenarnya berat gara-gara tidak terbiasa pakao riasan mata tebal, segera terbuka lebar saat mendengar sapaan itu berasal dari laki-laki jangkung yang kalau senyum senyum muncul lesung di kedua pipinya.

“Keenan!”

“Hallo, Bird! Long time no see, ya?”

Soraya berjingkrak tak sadar di tempat. Kakinya berjinjit cepat mengapai pundak lebar dan tinggi Keenan kepelukannya. Dia kangen banget sama orang satu ini! Keenan itu sahabat Ansel sejak SMA sampai sekarang. Dulu dia sering banget main sama nginep di rumah dan kebetulan juga rumah mereka hanya beda tikungan di kompleks. Cuma semenjak Keenan balik ke kampung halamannya di Amsterdam, mereka sudah jarang ketemu, apalagi sama Ansel. Wajar kalau Soraya kaget menemui Keenan hadir di pernikahannya sementara rumah laki-laki sangat jauh.

Cara mereka memanggil pun agak unik. Soraya belum pernah menyebut nama Keenan diikuti embel-embel “mas” sedang Keenan selalu memanggilnya “bird” karena nama Aya dalam Belanda artinya burung.

“Udah dong, meluknya. Gak kasihan sama suaminya yang melotot dari tadi?” Keenan terkekeh sambil melirik ke arah Andra yang sempat melotot cemburu.

“Oh iya!” Soraya segera memisahkan diri mereka. Terus mengandeng tangan Andra dan mengenalkan siapa Keenan itu padanya. Begitu mengenalinya Andra langsung tersenyum canggung sambil menerima jabatan tangan pria ganteng setengah bule ini.

“Nanti kita lanjut ngobrol lagi aja pas di rumah,” kata Keenan pada Andra yang mengangguk singkat dan Soraya yang mengangguk semangat penuh excited. Enggak sabar pengen mendengar
cerita Keenan kok bisa tiba kemari, meski sudah tahu dari siapa dia tahu pernikahannya ini—jelas dari Ansel yang masih berkomunikasi dengannya sampai sekarang.

Kalau Ansel dulu usil banget sama Soraya, Keenan justru sebaliknya dia penuh perhatian dan baik. Bahkan lebih baik dari Ansel yang dulu—kalau dibanding sekarang sih, dua-duanya bisa dibilang sama rata. Makanya dulu Soraya sering bilang kalau kakaknya itu Keenan bukan Ansel. Terus Ansel suka berceletuk, “Yang kamu panggil mas kan cuma Mas Aan bukan si Keenan. Ya berarti cuma Mas Aan saudaramu.” Yang bikin Soraya langsung merengek dan mengadu ke ayahnya.

Agak lucu sih, soalnya mereka dulu terlalu kekanak-kanakan.

Sekarang setelah tahu Keenan kembali Soraya jadi tak sabar pulang, ingin segera menemui laki-laki yang dia anggap sebagai kakak keduanya setelah Ansel. Mendengar semua cerita dan kabarnya selama beberapa tahun ini. Terlebih Keenan sudah banyak berubah. Dulu dia tinggi, kurus, putih, dan cara bicaranya selalu terdengar santun. Sekarang dia lebih berisi tidak sekurus dulu, tetap tinggi atau mungkin bertambah sedikit, kulitnya agak gelap dibanding dulu, terus rahangnya yang tegas telah tumbuh jambang yang kelihatan sering dirawat itu menambah kesan maskulin dan macho. Yang tampak tetap sama dari Keenan adalah cara bicaranya tetap santun. Hanya saja, suaranya semakin terdengar berat.

Melihat perubahan Soraya semenjak munculnya Keenan ini, Anda hanya menggulum senyum tipis. Sedikit cemburu, selebihnya dia turut senang dengan kegembiraan yang dimilikinya itu. Sebagai pasangannya, dia harus terbuka dengan siapa pun Soraya berteman. Entah sama laki-laki atau perempuan selama mereka berjanji untuk saling mengomunikasikan dunia pertemanan mereka dan sama-sama tahu batasan yang tidak boleh dilanggar.

Sorenya selesai acara mereka pun belum bisa istirahat. Lebih-lebih Soraya segera mengajak Andra buat bertemu Keenan lagi yang ternyata akan menginap di rumah selama dua malam sebelum terbang ke Amsterdam lagi. Keenan jauh-jauh terbang kemari demi Soraya atas undangan Ansel. Ternyata selama mereka tidak pernah bertemu, Keenan sering menanyakan kabar adik dan orang tua Ansel itu kepada sahabatnya langsung alih-alih mencoba menghubungi orang yang bersangkutan.

Keenan sengaja tidak menghubungi Soraya karena mengira gadis itu akan merengek dan menangis seperti dulu setelah dia pamit pergi ke Amsterdam. Tapi dugaannya sedikit benar karena setelah mendengar alasannya Soraya terus merengek seperti bocah kecil dan meminta Keenan supaya menghubunginya langsung jangan lewat Ansel. Ansel mendengus di depannya lalu mengadukan sifat kekanak-kanakkan Soraya kepada Andra yang cuma tersenyum di samping adiknya itu.

“Jadi beberapa minggu setelah ini kalian mau ke Paris?”

Andra mengiyakan, lalu menjelaskan alasan mereka tinggal sementara di sana.

“Kabar-kabar aja kalau udah di Paris. Jaraknya lumayan kok, dari Amsterdam ke Paris. Seenggaknya gak sampai sejauh ini. Nanti biar aku yang ke sana di hari libur,” kata Keenan.

Berbeda dari Soraya yang girang bisa ketemu Keenan lagi meski berada di Paris, bagian dari Eropa Barat, Ansel justru lega karena dengan begini seenggaknya ada yang menjaga adiknya di luar sana disamping suaminya, Andra. Dan mungkin orang tua mereka setuju mengenali sosok seperti apa Keenan itu, yang sudah seperti bagian dari keluarga ini. Meski lama tidak bertemu, tapi Keenan tetap peduli dan perhatian sama saudaranya itu bak adiknya sendiri. Bahkan rela buang-buang uang banyak melakukan perjalanan singkat demi menghadiri pernikahan Soraya. Ansel sih paham, kalau masalah uang bukan hal seberapa bagi Keenan.

Obrolan mereka terus berlanjut memasuki masa-masa nostalgia. Kali ini Andra bukan hanya menyimak belaka, dia sudah ikut bergabung dalam obrolan meski bukan bagian dari nostalgia itu. Dia hanya sering menanyakan bagaimana Soraya dulu waktu masih anak sekolahan, yang dengan cepat Ansel mengeluarkan kisah-kisah memalukan adiknya dulu. Wajah Soraya merah padam mendengar kisahnya itu, dia terus panik dan berusaha menutup pendengaran Andra yang sia-sia belaka karena Andra justru meremas tangannya. Syukur masih ada Keenan yang menimpali segara bagian baik dari Soraya masa sekolahnya dulu. Menyebabkan Ansel dan Keenan saling serang kisah muda Soraya lewat kacamata masa lalu mereka.

Ibaratnya tuh, Ansel berada di sisi buruknya sementara Keenan berada di sisi baiknya. Soraya jadi dibuat pusing mendengar perang cerita dua pria dewasa itu. Akhirnya menyerah dan memilih mandi untuk istirahat. Tanpa sadar waktu berlalu dari sore sampai malam. Sedang Andra masih bergabung bersama mereka di teras belakang rumah. Mudah baginya untuk mengakrabkan diri di antara Keenan dan Ansel, bahkan setelah puluhan menit ditinggal mandi Soraya bisa mendengar suara tawa ketiga pria itu.

Soraya berdecak iri. Dorongan untuk gabung kembali segera urung semenjak ibu menyuruhnya istirahat, sudah malam katanya padahal baru jam delapan malam. Sampai ayah pun ikut-ikutan menegur Andra supaya bersih-bersih badan terus istirahat. Namun, sepertinya gagal karena Keenan sama Ansel seolah sengaja menjebak Andra tetap bersama lama sedikit lemah lama.

Obrolan mereka dari tentang masa lalu Soraya berubah serius. Obrolan para pria dewasa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Suara mereka yang mendadak pelan membuat orang rumah mengira mereka sudah tidak ada di tempat itu, tapi Nora yang baru kembali setelah membantu ibu Ansel segera berdecak ketika tak sengaja mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Ansel! Jangan bilang kamu udah pernah gitu?” tegur Nora kemudian memelotot Ansel yang gelagapan di kursi terus bergegas membela diri.

I smell something wrong here.” Keenan tertawa keras meledek sahabatnya yang berusaha menjelaskan maksud ucapannya sebelum ini kepada Nora, yang terus berdecak dan memutar bola mata.

Andra bahkan tak bisa menahan senyumannya. Ternyata selain protektif sama adiknya, Ansel juga terdeteksi bucin sama pacarnya. Yah, semoga mereka sampai berjodoh.

Sementara itu, Soraya yang terjebak di kamarnya sendiri tiba-tiba panik. Jantungnya terus berdetak tak karuan beberapa sesaat ketika dia sadar kalau malam ini dia tidak akan tidur sendirian. Di ranjangnya nanti dia harus berbagi sama seseorang, yang tak lain adalah suaminya, Andra.

Dia harus ngapain, nih? Soraya terus berjalan mondar-mandir di dekat pintu. Merasa lega karena Andra masih berada di luar bersama Ansel dan Keenan. Dia terus mengigit bibir bawahnya grogi. Lalu cepat-cepat meraih ponsel dan menelpon Bunga untuk sekadar minta solusi.

Bunga kaya akan solusi dan Soraya yakin temannya itu bisa membantu dirinya sekarang ini.

“Kamu ngapain berdiri di situ?”

DEG!

Refleks Soraya menurunkan ponsel dan menyembunyikan di belakang punggungnya. Entah hubungannya apa sama kemunculan Andra ke dalam. Andra mengamatinya curiga. Samar-samar dia mendengar suara orang lain yang dicurigai dari ponsel di sembunyikan itu.

“Telpon siapa?”

“Hah? Oh ... b-bukan siapa-siapa kok.”

“Kok gugup?”

“G-gugup? Haha. Mas Andra ngacau. Ya enggaklah!” Soraya merutuki balasannya yang terus terkesan ngawur dan gagap. Buru-buru dia meringis, berharap Andra melupakan tingkah anehnya barusan. “Mending Mas Andra mandi dulu.”

“Iya. Ini juga mau mandi.”

Soraya yakin kalau ekspresi di wajahnya sekarang pasti terlihat aneh gara-gara langkah Andra yang mendekat ke arahnya. Sampai-sampai tanpa sadar dia melangkah mundur. Mengira Andra akan melakukan sesuatu padanya.

Andra menyipitkan mata bingung mengawasi sikapnya yang aneh itu. “Kamu mikirin apaan? Mas cuma mau ambil handuk di meja.”

“Oh?” Soraya mengerjap bodoh terus mengumpat tanpa sadar, membuat Andra mendelik ke arahnya. “Handuk ya,” gumamnya terus berbalik dan mengambilkan handuk di meja. “Ini nih.”

Tadi sepupu Andra bernama Yuda kemari mengantarkan pakaian gantinya di dalam tas. Yang diletakkan di atas kursi yang biasanya Soraya pakai buat belajar itu.

“U-udah sana. Mas Andra mandi!” tegur Soraya seraya mendorong tubuhnya agar keluar dari kamar. Tanpa membiarkannya untuk bertanya ada apa dan kenapa dia tiba-tiba berubah aneh gitu dengar mengusirnya dari kamar mandi.

“Anaknya lagi malu itu,” celetuk ayah kebetulan lewat.

Barulah kemudian Andra memahami alasan di balik keanehannya. Ia tersenyum geli. Tidak bisa berhenti membayangkan ekspresi lucu Soraya begitu nanti masuk kembali ke dalam kamar. Cepat-cepat Andra membersihkan badan sebelum menemukan Soraya sudah berbaring di ranjang dengan posisi membelakanginya bersama guling dalam pelukannya.

Tepat setelah Andra mengunci kamar, Soraya bergumam, “Mas Andra lampunya minta tolong dimatiin.”

“Iya.”

Namun, tiba-tiba dia berubah pikiran. “Kayaknya dihidupin aja, deh.”

Alis Andra terangkat tinggi. Jarinya menekan saklar lagi kemudian lampur kamar menyala. Soraya sempat menoleh ke arahnya terus berbalik cepat jadi membelakanginya lagi.

“Matiin aja, Mas Andra.”

“Matiin atau hidupin?”

“Hidupin.”

“Aya.”

“Hm ... matiin—eh! Hidupin aja.”

Andra mendesah lalu menggeleng. Akhirnya dia memilih untuk mematikan lampu kamar dengan mengabaikan permintaan terakhir Soraya. Lantas berjalan mendekati ranjang tempat Soraya tidur selama ini. Sebelumnya dia menyalakan lampu tidur di nakas dekat tempat tidur sambil menggeleng heran alasan Soraya meributkan lampu mati atau hidup, kalau dia sendiri terbiasa pakai lampu tidur.

Tidak ada yang berubah dari posisi Soraya, yang terus membelakanginya. Andra menyugar surai pendeknya yang setengah basah efek guyuran air shower. Melirik punggung Soraya yang sama sekali tidak bergerak meski dia telah ikut tidur di sampingnya. Andra tahu Soraya lagi pura-pura tidur. Membuatnya tak dapat berhenti menahan senyuman.

Refleks Andra mengubah posisi jadi menyamping menghadap punggung Soraya dan menggunakan tangan kanannya sebagai penopang badannya.

“Aya.”

“Hm.”

Sahutannya terdengar samar, mungkin Soraya spontan membalas.

“Udah tidur?”

“Iya.”

Andra tersenyum geli. Lebih-lebih ketika mendengar gumaman Soraya merutuki dirinya sendiri atas kebohongannya barusan. “Bohong banget.” Andra menyeret tubuhnya semakin mendekati punggung Soraya yang terlihat tegang.

“Sini balik badan.”

Soraya menggeleng. Malahan semakin memeluk erat gulingnya itu. Seakan takut mereka akan dipisahkan secara paksa oleh Andra. Andra memang akan melakukan itu, tapi nanti. Sekarang dia ingin menggodanya terus.

“Lho, kenapa?” Andra pura-pura tidak tahu diselingi tarikan senyum di bibirnya.

“Malu.”

Suara tawa Andra meledak seketika mendengar balasannya. Astaga, siapa menyangka jika gadis yang sekarang ini resmi menjadi istri sahnya, bisa semalu ini di malam pertamanya sebagai pasangan suami istri. Andra memegang bahu itu kemudian memaksanya berbalik hingga tubuhnya terlentang menghadap ke arah langit-langit kamar. Lucunya Soraya langsung menarik guling demi menutupi wajah malunya yang sudah memerah seperti tomat matang.

Andra menggerutu terlewat gemas dengan sikap malu-malu Soraya. “Ngapain harus malu?”

Dia hanya menggeleng.

“Sini coba bilang sama mas.”

“Malu, Mas Andra,” kata Soraya dengan posisi sama bersama guling yang menyembunyikan seluruh wajahnya.

“Gak usah malu.”

“Tetap gak bisa.”

Kebanggaan Soraya terhadap dirinya sendiri adalah rasa percaya dirinya. Orang sering memandangnya tidak tahu malu, terlalu kepedean, dan bermuka tebal. Semua berkat rasa percaya diri Soraya yang begitu besar. Namun, kebangaan Soraya mendadak pergi entah ke mana. Meninggalkannya bersama sisa-sisa harga dirinya di malam pertamanya sebagai istri Andra.

Ekspresinya sedikit murung. Soraya tidak suka menjadi pemalu, menurutnya itu kelemahaan seseorang yang tidak layak dibanggakan. Harga dirinya sebagai seseorang yang membanggakan kepercayaan diri berlebihan seolah disentil oleh rasa malu. Yang telah mengejeknya pada malam ini bahwa orang seperti dia pun bisa memiliki kelemahan tersebut.

Soraya mendesah panjang. Lama-lama sembunyi seperti ini hanya membuatnya lelah. Jika dia tetap begini urusan mereka tidak akan selesai. Dia harus segera melakukan gencatan senjata terhadap rasa malu demi mengembalikan kebanggaannya terhadap kepercayaan dirinya.

Guling yang menutup wajahnya itu pelan-pelan diturunkan hingga manik coklatnya mengintip di baliknya. Andra menarik seri di wajahnya. Menyapa atensi sang pasangan dengan senyum hangat yang sangat menawan.

Soraya bergeming. Jatuh ke dalam pesona Andra. “Malu karena ini malam pertama,” akunya setelah mengumpulkan keberaniannya.

“Terus?” tanya Andra tetap dengan senyuman menawananya itu.

Soraya ragu mampu bertahan lama di dekat Andra yang terus memandanginya dengan tatapan memuja ini. Seakan-akan dia adalah jelmaan sang dewi kecantikan yang harus Andra sembah kakinya. Soraya semakin gelisah di bawah tatapannya itu. Membuatnya terus mengeratkan pelulan pada gulingnya.

“Ya ... ka-karena ini malam pertama. Jadi ....” Matanya segera berpaling ke arah lain. “A-anu ... maksudnya itu. Maksudnya ... Mas Andra kan ... itulah. Pokoknya begitu.”

“Begitu?”

Andra kali menahan senyum gelinya. Soraya mendesah frutasi dengan semua tekanan rasa malu yang mengubahnya serba salah tingkah ini. “Karena kita udah nikah jadi begitu itu.”

“Apa?”

Soraya mendesah. “Itu pokoknya.” Terus mendesah lagi. “Mas Andra mau itu, kan?”

Puas setelahnya lantaran Soraya telah kembali ke dirinya sendiri. Andra mengerti alasan mengapa dia menjadi begini.

“Maulah. Siapa yang gak mau. Kamu?”

Soraya tersentak dengan lucu; Andra terkekeh menyadari itu. “Apa? Enggak! Ma-maksudnya juga mau. Ta-tapi ...,” dia lalu memandangnya bimbang, “i-itu sakit gak?”

“Gak tahu. Mas belum pernah nyoba. Kamu?”

Kepalanya menggeleng lemah. “Kalau berdasarkan bacaan di internet, pertama kali ngelakuin itu pasti sakit.”

“Iya, mas tahu. Di pelajaran biologi juga ada.”

Ia hanya meringis. “Terus Mas Andra mau itu?”

“Mas tetap mau,” katanya. “Gak usah tegang gitu ekspresinya. Mas bilang mau bukan berarti harus malam ini. Bisa nanti setelah kamu siap. Lagian kamu pasti capek setelah acara seharian ini, mas saja capek kok.”

Ucapannya seolah menyiramkan kelegaan pada dirinya dan perlahan mulai mengusir  kegugupannya

“Mas gak mau paksa kamu buat berhubungan badan. Selama kamu belum siap, mas gak akan minta itu. Mas sih, tinggal enaknya aja sementara kamu kan yang ngerasin sakit.”

“Jadi gak masalah gak harus malam ini?”

“Gak harus, Aya.”

Akhirnya dia bisa bernapas lega.

“Tapi ....”

“Eh? Ada tapinya?” Tarikan napas yang barusan dikeluarkan seolah kembali masuk ke dalam tubuhnya. Soraya bergeming dengan wajah bingung.

“Iya, dong.” Andra menyeringai lebar. Lalu tiba-tiba dia menarik guling pelindungnya, menyingkirkan penghalang itu dari Soraya. “Sebagai gantinya mas mau yang lain.”

“G-ganti apa?” Soraya gugup apalagi semenjak Andra mengubah posisi tidurnya dari yang di samping jadi berada di atas tubuhnya. Soraya gelagapan panik, tidak siap kena serangan jantung jika Andra terus begini padanya. Lebih-lebih saat kepalanya itu mendekat ke arah wajahnya.

“Mulai dari sekarang, kamu harus terbiasa sama satu ini.”

“Ap—”

Upayanya bertanya terpotong ketika bibir Andra menempel di bibir merah ranumnya. Soraya seketika melebarkan pupil matanya. Merasakan bibir Andra yang terbuka demi memagut bibir bawahnya. Ada rasa manis kala bibirnya saling bertautan. Mengingatkan Soraya pada rasa permen lolipop kesukaan sepupunya Juliet. Ada rasa vanila campur mint.

“Kamu harus terbiasa sama ini,” kata Andra terus mengecup bibirnya lagi diselingi seringai jahilnya.

Ibu jarinya menyapu bibirnya penuh sensual. Soraya merinding dibuat mabok hanya dengan sentuhannya. Andra mengecup lagi bibirnya kali ini lebih lama dan lebih banyak terjadi aktivitas usai ia membuka mulutnya. Kali ini ciuman itu bukan sekadar memagut bibir belaka.

Kala tangan Andra menyusup ke dalam pakaian tidurnya, Soraya terperanjat kaget atas sentuhan di kulit perutnya. Tak ada yang bicara, hanya suara kecupan dan basah menjadi latar belakang dari ciuman pasangan pengantin baru itu. Soraya yang mulai kehilangan akal waras, hanyut dalam ciuman seiring sentuhannya itu, lantas merangkul leher Andra dan mencengkram kepalanya.

Andra menggulum senyum di sela-sela ciuman mereka. Walau senang terhadap respon istrinya, dia tetap menahan dorongan untuk berbuat lebih. Malam ini hanya ingin menciumnya. Merasakan lembutnya bibir sang hawa untuk pertama kali di malam pertama. Bibir yang suka mengeluarkan kata-kata candaan dan manis.

Ia menarik wajah merasa bahwa Soraya sudah sanggup lagi dan butuh pasokan oksigen. Wajah istrinya merona merah, rasa malu dan canggung berkelebatan di matanya. Andra beralih mencium keningnya sebelum menjatuhkan tubuh ke samping seraya menarik tubuh Soraya ke pelukannya.

“Kamu pasti capek. Kita istirahat aja malam ini, ya?”

Soraya hanya mengangguk sambil menyentuh tangan Andra yang memeluknya dari belakang. Menikmati sentuhan pada tangannya, Andra tergelitik bangkit demi mencium pipinya.

Panjang bangeeeeeet 😭 tadinya mau kupotong jadi dua bagian tapi gak jadi hahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top