👣 malam itu (2)

Andra masih berdiri memeluk Soraya yang duduk di kursi depan warung makan. Kali ini tubuhnya agak mendingan enggak gemetaran kayak sebelumnya. Merasa aman setelah seseorang yang dikenal muncul dan terus menenangkannya. Walau tidak ada yang bicara, selain para bapak dan pemuda yang membicarakan tentang begal yang sering terjadi di kawasan sini.

Sebagian orang berkata Soraya sangat beruntung bisa selamat tanpa mengalami luka serius, karena kebanyakan korban begal daerah sini selalu berakhir tragis. Seminggu lalu bahkan ada yang sampai meninggal di lokasi kejadian. Andra ingin membantah perkataan mereka, lalu urung karena tindakannya hanya akan membuat Soraya ketakutan lagi. Mungkin mereka benar Soraya beruntung dia baik-baik saja, mengalami luka ringan, dan kehilangan barang-barang pribadinya, tapi trauma yang dialami gadis ini tidak bisa dibilang baik. Dia jelas syok berat dengan insiden yang dialaminya.

Andra menyadari ketidaknyamanan Soraya mendengar para kerumunan membicarakan insiden itu, dari gerak-geriknya di pelukannya. Ia mengusap kepalanya. Membungkuk dan berbisik ke telinganya supaya dia berdiri dan mau ikut pindah ke tempat lain bersamanya untuk menyingkir dari kerumunan. Untung Pak Tono, selaku RT setempat, memahami situasi, sehingga menyuruh yang lain agar memberi mereka privasi.

Soraya yang belum berani menunjukkan ekspresinya pada Andra terus sembunyi di dekapannya. Andra pun tak bisa protes. Hanya  membiarkannya terus sembunyi selama dia mau.

Mestinya Andra harus segera kembali ke tempat kerja. Sandra yang menggantikan dirinya pasti repot karena dia belum kembali, lalu Wicak pasti berpikiran yang enggak-enggak. Mungkin temannya itu mengira dia sedang bermesraan sama Kayla karena Wicak paling sering godain Andra sama keponakan boss mereka. Apalagi dialah yang terus mendesak Andra supaya pacaran sama Kayla, biar Wicak bisa mepet teman cewek itu.

Urusan kerja bisa dia atur belakangan dan percaya bahwa Sandra akan memaklumi keterlambatannya. Lagi pula, Andra enggak mungkin meninggalkan Soraya sendirian dalam keadaan begini. Biarpun mereka enggak dekat-dekat amat, seenggaknya keberadaan Andra di sini bisa mengurangi sedikit kecemasannya.

Melihatnya yang begini terus buat perasaan Andra enggak karuan. Seolah gadis ini saudara perempuannya yang harus ia lindungi. Andra mendesah usai membayangkan keadaannya andai dia punya saudara.

“Kalau aku kebetulan gak di sini, kamu pasti gak mau pulang. Iya, kan?” Andra bertanya sambil mengamati dan merasakan kepala Soraya yang bergerak naik turun di dadanya. Membuatnya sedikit bingung antara harus tersenyum geli atau tidak atas sikapnya ini, yang hanya diam dan mendengarkan dirinya, berbeda sama perilakunya yang sering Andra lihat di kafe.

Yang cerewet, blak-blakan, dan terus memaksa dirinya supaya mau pergi kencan dengannya.

“Kita pulang, yuk?”

Alih-alih mengiyakan, Soraya justru menggeleng. Alis Andra meninggi, heran pada reaksinya yang berbeda dari tebakannya.

“Lho, kenapa? Emang kamu gak mau pulang?”

Soraya tetap menggeleng. Buat Andra semakin tertarik sama alasannya itu, tapi dia enggak akan memaksanya untuk menjelaskan. Andra hanya bergumam sebentar, menunggu sambil menepuk punggungnya supaya tetap tenang.

“Aku gak berani pulang, Mas Andra,” akunya setelah jeda beberapa menit. “Takut sama ibu.”

Andra terhenyak. “Nanti biar aku je—”

“Tetap gak berani,” potongnya terus menggeleng di pelukannya. “Mas Andra gak bakalan menang lawan ibu. Cuma Mas Aan anak kesayangan ibu yang bisa.”

Andra mencelos mendengarnya. Tidak bisa membayangkan seperti apa hubungan Soraya sama ibunya, dia tidak tertarik untuk membuat prediksi selama belum melihat hubungan mereka secara langsung.

“Ya udah, kita telpon kakak kamu.”

Dia sempat mengiyakan sebelum kemudian berubah pikiran, “Enggak dulu. Kalau kasih kabar Mas Aan sekarang, dia nanti panik. Mas Aan orangnya nekatan. Kalau dia tahu adiknya kena musibah gini, dia pasti buru-buru pulang malam ini.”

Justru Andra berpikir bahwa tindakan saudara Soraya itu sudah tepat. Sebagai saudara wajar bagi mereka untuk saling mengkhawatirkan. Apalagi kalau hubungan persaudaraan mereka dekat. Dia sendiri pasti akan bertindak hal demikian bila mendengar kabar musibah dari saudaranya. Mungkin karena sekarang sudah dini hari, Soraya berpikir supaya tidak membuat saudaranya jantungan dan nekat pulang ke rumah demi dirinya, dan Andra memahami pemikirannya itu.

“Terus kalau kamu gak mau pulang, kamu mau ke mana?”

“Nginep di rumahnya Mas Andra. Boleh?”

Jika mereka dalam keadaan normal Andra pasti langsung mengomelinya habis-habisan. Perkataan Soraya barusan bisa disalahartikan seseorang. Seseorang yang bahkan hubungan mereka enggak pernah sedekat itu. Entah bagaimana Soraya begitu gampang percaya orang lain. Seolah tidak takut terhadap dirinya yang mungkin, bisa berbuat macam-macam jika Andra cowok brengsek yang memanfaatkan situasinya.

Andra heran meski memprotes ucapanny. Kali ini dia biarin, lain kali lagi dia pasti memarahinya.

Andra lalu melepaskan pelukannya. Sehingga kini dia dapat melihat seraut Soraya yang sembab dan merah. Matanya agak bengkak. Hatinya tersentak seketika melihat serautnya. Biasanya wajah itu selalu terlihat ceria di depannya, kini berkat satu insiden telah mencuri seluruh riangnya. Andra mengusap bahunya. Memberinya kekuatan agar tetap tegar atas musibah yang dialaminya.

“Tapi aku harus balik kerja sekarang.”

Soraya spontan mendongak. Mata coklatnya menerawang ke arah mata Andra yang tetap memperhatikannya sejak menemukannya dalam kondisi nelangsa. Kepala Soraya sedikit miring dan samar-samar dahinya mengernyit. “Mas Andra kerja?”

Soraya jelas belum tahu pekerjaan malamnya sebagai bertender di sebuah bar malam. Paling dia bertanya-tanya. Andra mengidikkan bahu samar. Tak begitu peduli sama tanggapan gadis ini begitu tahu pekerjaan keduanya. Dia mengangguk, lalu tanpa mengerti alasannya Andra mengacak kepala Soraya.

“Kalau mau nginep di rumahku. Kamu ikut aku kerja dulu.”

Soraya mengangguk saja. Mengikuti apa pun itu selama dia tetap aman kalau sama Andra.

“Paling lama pulang jam tiga.”

Soraya ingin mengatakan sesuatu, lalu urung dan berganti dengan anggukan lagi. Andra sendiri terdiam, tengah memikirkan sesuatu. Sama seperti Soraya, ada sesuatu yang ingin dia katakan, terus enggak jadi saat bertemu tatapan Soraya. Andra kembali mengacak kepalanya kemudian mengandeng tangan Soraya agar mengikutinya. Mendekati Pak Tono dan pasukannya itu untuk sekadar berterima kasih dan pamitan.

Andra bahkan baru ingat tentang ojek onlinenya yang telah menunggu lama, yang akhirnya dia batalkan. Enggak enak telah memotong rejeki orang dan memaksanya menunggu lama, Andra memberinya tips sebagai permintaan maaf dengan sedikit paksaan karena bapaknya terus menolak pemberiannya.

Mereka tetap bergandengan tangan meskipun sekarang sudah di dalam taksi online dalam perjalanan ke tempat kerja Andra, di Violet Club. Tindakan Andra ini hanya ingin melindungi Soraya yang belum bisa dibilang syoknya hilang. Jaga-jaga siapa tahu dia mengalami tremor lagi kalau ingat tragedinya. Untungnya Soraya tetap anteng di sebelah Andra.

“Kamu gak ada teman yang nemenin ke rumah dosen?” tanyanya demi memenuhi sedikit rasa penasarannya.

Soraya menggeleng. Genggaman tangannya di atas pangkuan Andra seolah jadi tontonan yang menarik perhatiannya.

“Gak minta dianterin orang tua juga?”

Dia menggeleng lagi. Lalu tiba-tiba kepalanya jatuh ke bahu Andra seiring desahannya yang tertangkap indra pendengarnya.

“Aku kira bimbingannya cuma sebentar, ternyata lebih dari dua jam. Masalah yang dibahas soal penelitian bab empat. Hitunganku ada yang salah.” Helaan napasnya kali ini panjang dan terkesan berat, bahkan posisi duduknya terasa tak nyaman begitu mengingat kembali insiden pencurian itu. “Terus sekarang hasil revisinya raib. Semua berkas, buku catatan, laptop, hape, dan flashdisk.”

Ibu jarinya mengusap punggung tangan Soraya yang mulai gemetaran lagi.

“Gak papa kalau mereka mau ambil barang-barangku, asal flashdisk sama berkasnya jangan diambil.”

“Kamu sempat protes?”

Soraya mengiyakan. Waktu kejadian dia sempat protes dengan menarik mapnya. Berujung dia ikut terseret dan terpaksa melepaskan mapnya ketika begal mengeluarkan benda tajam dari dalam jaketnya. Soraya ketakutan setengah mati, berpikir dia akan celaka kalau tetap memaksa untuk mempertahankan map skripsi.

Andra tidak lagi bertanya-tanya setelah merasa tangan Soraya gemetaran lagi. Dia tetap menyuruhnya tenang.

Setibanya di lokasi tempatnya kerja dan mereka turun dari mobil, Soraya agak terkejut dengan sekitarnya yang ramai. Banyak kendaraan roda empat parkir dan orang-orang keluar-masuk dalam keadaan setengah sadar bersama kelompoknya masing-masing.

Soraya belum pernah sekalipun datang ke tempat seperti ini. Dia hanya sering melihatnya di film dan Youtube. Soraya sering mencari tahu suasana klub malam di internet. Untuk riset kebutuhan ceritamya. Lalu ketika dia berada di tengah kawasan malam, dia tiba-tiba merasa tak nyaman. Terlebih ketika matanya melihat beberapa gadis mabok dalam gendongan temannya, Soraya mencengkram lengan Andra dan bersembunyi di punggungnya.

“Gak apa-apa,” kata Andra mengusap tangannya yang mencengkram takut lengannya. “Mereka gak bakalan ganggu kita.”

Soraya mengangguk sedikit ragu. “Mas Andra kerja di sini?”

“Iya, bertendernya.”

Terus dia diam mengikuti Andra yang menggiring melewati pintu belakang, bagian dari klub malam ini. Beberapa orang melihat Andra langsung menyapanya dengan akrab. Soraya semakin menempeli Andra waspada. Masalahnya orang-orang yang ditemuinya sebagian badan gede dan bertato buat cowok, sementara ceweknya seksi-seksi dan sebagian dari mereka tatonan.

Soraya menelan ludah. Merasa canggung sendiri berada di tempat seperti ini. Belum lagi ketika seseorang menghentikan mereka dan berbincang sedikit lama sama Andra. Soraya terus menundukkan tak berani menatap wajah orang itu. Orang yang terus mengamatinya dari atas sampai bawah, sambil sekali-kali menjahili Andra.

“Keren, keren! Habis dari Kayla, langsung nemu aja cewek yang lain,” katanya.

Andra terpaksa tertawa. Sedikit malas menanggapi lelucon temannya itu. “Bilangin Sandra bentar lagi aku ke depan.”

“Oke!”

Akhirnya mereka berpisah. Andra segera merangkul bahunya supaya Soraya berhenti cemas dengan sekelilingnya. Saat mereka tiba di tempat yang sedikit sepi dari keramaian, Soraya baru berani mendongak dan melihat sekeliling. Ternyata mereka berada di loker bagi karyawan.

Andra telah melepaskan rangkulannya. Sibuk melepaskan jaket, lalu merapikan pakaian kerjanya sebelum memakai parfume lagi. Mustahil bagi seorang bertender bau badannya enggak enak.

“Kamu tunggu di sini,” katanya sambil menyuruh Soraya untuk duduk di kursi di depan lokernya. “Aku usahain pulang sebelum jam tiga, nanti aku izin sama Alex. Sementara kamu tetap di sini. Tunggu di tempat ini jangan ke mana-mana. Kalau ada yang deketin atau ajak ngobrol, diemin aja.”

Andra sedikit ragu sama perkataannya sendiri. Soraya mungkin diem, tapi Andra enggak bisa jamin dia enggak ketakutan. “Pokoknya tunggu di sini. Biar kuminta tolong teman kerjaku yang cewek buat nemenin kamu.”

Andra berbalik ke lokernya lagi. Mengambil sebuah jaket dan menyerahkannya pada Soraya. “Biar kamu gak kedinginan.” Lalu mengeluarkan ponsel di saku dan meletakkan di genggamannya. “Kamu tetap harus kasih kabar keluargamu biar mereka gak khawatir. Kalau ada apa-apa di sini, kamu telpon kontak nomer yang namanya Wicak. Oke?”

Soraya mengangguk paham. Sedikit takjub karena baru kali ini Andra berbicara begitu banyak padanya. Biasanya harus Soraya dulu yang memancingnya, kali ini Andra yang terus bicara.

“Ya udah, aku tinggal kerja dulu.” Andra tersenyum. Setelah berbalik hendak melangkah pergi, tiba-tiba dia berpaling ke Soraya lagi. Menatapnya ragu meninggalkannya. Andra mendesah kemudian tanpa alasan mengacak kepala Soraya dan berpaling dari hadapannya.

Menyadari bahwa jantungnya berdetak karena alasan lain, Soraya spontan tersenyum.

🦁 l i o n h e a r t e d 🦁

Untung Alex orangnya pengertian. Bukan boss yang memaksa pegawainya supaya bertindak atas aturannya. Alex memberinya kelonggaran jam kerja, sehingga sebelum jam tiga pagi dia digantikan sama orang terus diizinkan pulang lebih awal dari biasanya.

Sandra yang dimintai tolong menemani Soraya muncul di depannya, saat Andra baru akan pergi ke loker.

“Orangnya ketiduran,” kata Sandra lalu melengos pergi dari hadapannya.

Andra berteriak berterima kasih sebelum berjalan setengah lari untuk mengecek keadaan Soraya yang ditinggal di tempat loker. Soraya tidur dengan kepala jatuh ke depan. Dia pasti kelelahan setelah mengalami musibah dan terpaksa ikut dengannya ke tempat kerja.

Andra lumayan takjub. Lalu mendelik ketika melihat sebuah catatan kertas yang sengaja ditempelin ke punggung Soraya.

Jangan diganggu. Ceweknya Andra lagi tidur.

“Sandra!” Kalau yang usil begini udah pasti perbuatannya Sandra, siapa lagi coba. Andra mengertakkan gigi dan menyimpan kertas itu di dalam lokernya.

Andra cepat-cepat ganti pakaian sebelum membangunkan Soraya, yang langsung bangun dan berdiri setelah mendengar suaranya.

“Capek, kan?”

Soraya nyengir dengan mata setengah mengantuk.

“Keluarganya udah dikasih kabar?” tanyanya selesai memasukan pakaian kotor kerjanya ke dalam tas, lalu mengandeng kembali Soraya dan menggiringnya keluar.

“Udah.”

Soraya hanya memberi kabar kakaknya kalau dia menginap di rumah temannya, tanpa memberitahu musibahnya. Toh, cepat atau lambat Ansel akan sadar adiknya lagi kena masalah dan esoknya, begitu dia bangun pasti langsung menghubunginya. Soraya sengaja kirim chat ke nomer Ansel di jam kakaknya itu tidur, biar saudaranya enggak nekat pulang rumah pagi-pagi.

“Laper gak?” tanya Andra setibanya di tempat parkiran motor.

Sebenarnya dia laper. Pas di rumah dosen dia menolak waktu ditawari makan malam dengan alasan sudah makan di rumah, padahal Soraya belum makan malam apa-apa. Tapi kalau dia bilang laper sekarang, Soraya enggak soalnya udah ngerepotin Andra dari tadi. Jadi dia hanya menggeleng.

Entah apa yang lucu dari responnya, tapi Andra terus tertawa melihatnya. “Kalau lapar bilang iya gak apa-apa.”

“Gak kok. Aku gak lapar.”

“Iya gak salah,” ucapnya seolah memahami dirinya dengan baik. “Mau makan di luar atau di rumahku aja?”

Soraya spontan panik. “Mas Andra, aku gak lapar.”

Andra hanya mengidikkan bahu tak peduli dan menyuruhnya pakai helm pinjaman teman kerjanya tadi. “Makan di rumah aja, ya?”

“Mas Andra napa, sih. Aku gak lapar.”

“Iya, Aya. Aku tahu kamu bohong.”

“Beneran kok.”

“Udah, cepetan naik. Keburu subuh kalau terus ngoceh di sini.”

Soraya cemberut, tapi tetap naik ke atas motor. Andra tersenyum geli melihat ekspresi cemberut saat menoleh belakang. “Udah bener boncengnya?”

“Udah.”

“Oke.”

Motor mulai meninggalkan halaman parkiran Violet Club menuju jalan raya. Tapi anehnya, belum lama berkendara di jalan raya, Andra tiba-tiba membelokkan motor dan berhenti di sebuah mini market yang buka 24 jam.

“Mau ikut ke dalam gak?”

Soraya menggeleng dan tetap duduk di atas motor meski sekarang Andra sudah turun. “Ya udah, tunggu di sini.” Dia berbalik lagi urung berangkat. “Kulitmu sensitif gak?”

“Hah?” Soraya mengerjap bingung. “Mas Andra ngomongin apa?”

“Wajahmu itu. Kulitnya sensitif atau cocok-cocokan?”

“Kulitku gak rewel kok. Emang kenapa?”

“Oh, baguslah,” katanya lalu pergi begitu saja memasuki toko tanpa menjelaskan apa-apa pada Soraya yang bingung sama pertanyaannya.

Terus enggak lama Andra balik lagi sambil menenteng satu kantong plastik putih. Dia menyerahkan pada Soraya yang langsung mengintip isi di dalamnya. Satu sikat gigi, facial wash, pembersih muka, sebungkus kapas wajah, dan handuk sekali pakai.

Soraya menarik pandangan dari barang belanjaan Andra ke orangnya. “Kok Mas Andra beli ginian?”

“Buat kamu,” lanjutnya, “emang kamu gak mau mandi dulu sebelum tidur?”

Justru mandi sebelum tidur yang Soraya butuhkan sekarang dibanding makan malam. “Mas Andra ngerti beginian dari siapa?”

Andra mengidikkan bahu. Tadinya malas menjawab, tapi menyadari tatapan Soraya akhirnya dia menjelaskan, “Kebiasaan beliin pacar.”

Ekspresi Soraya berubah masam. “Mas Andra punya pacar?”

“Enggak.”

“Terus apa tadi bilang pacar?”

Alis Andra menukik. Seolah ingat sesuatu, dia pun berkata, “Maksudnya mantan.”

Soraya menggulum senyum lebar. “Makasih, Mas Andra.”

Melihat suasananya yang tiba-tiba berubah dalam sekejap itu, Andra menyipitkan mata heran. Andra menggidikkan bahu dan segera naik ke motor. Kalau mereka kelamaan diam di sini, yang ada sampai rumahnya pagi.

“Kalau ngantuk pegangan gak apa-apa.”

Soraya memiringkan kepalanya. “Boleh?”

Andra justru menarik kedua tangan Soraya dan melingkarkan ke pingangnya setelah menyuruhnya memasukkan belanjaan ke dalam tasnya.

“Biar kamu gak jatuh pas ketiduran.” Lokasi sekarang ke rumahnya itu cukup jauh. Butuh satu jam lebih buat sampai tujuan. Berhubung ini pagi, jalan raya pasti sepi dari kendaraan. Mereka bisa sampai tujuan sebelum jam empat pagi karena Andra pasti akan ngebut. Kalau-kalau Soraya ketiduran selama di jalan  dan untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan, Andra kali ini mengizinkannya untuk memeluknya.

Soraya belum pernah sesering ini melakukan skinship sama lawan jenis. Selama ini dia hanya sering memeluk kakaknya, Ansel. Mungkin dulu dia pernah mendapatkan ciuman pertamanya bersama Tian, tapi anehnya hanya dengan bersentuhan seperti ini bersama Andra, dia merasa jantungnya terus berdegup tak karuan. Sampai-sampai Soraya takut tubuhnya meledak hanya gara-gara dia tidak bisa mengontrol dirinya.

Soraya yakin seluruh wajahnya pasti memerah kepanasan. Sejenak dia berpikir, apa mungkin Andra mendengar detak jantungnya? Atau bisa jadi, dia mungkin merasakannya saat tubuh mereka berdekatan. Soraya mendadak malu. Memikirkan seperti apa wajah Andra saat merasakan detakan jantungnya yang menggila hanya gara-gara dirinya.

Untungnya tak lama setelah itu Soraya sempat ketiduran. Andra sampai harus mencengkram tangan di perutnya itu supaya gadis di belakangnya tidak jatuh. Kadang-kadang dia memanggilnya saat berhenti di lampu merah dan mengajaknya bicara.

Sampai rumah kemudian Andra langsung menyuruh Soraya mandi sebelum pergi tidur dan meminjaminya dua potong pakaian ganti. Kaus sama celana training. Sementara Andra beranjak ke dapur, menyibukkan diri di sana dengan masakannya.

Andra enggak begitu jago masak, tapi kalau disuruh bikin nasi goreng dia masih bisa. Tadinya mau bikin mie, terus enggak jadi pas masih lihat ada nasi dan beberapa bahan yang bisa dicampur buat nasi goreng.

“Udah selesai mandi. Sini makan,” tegurnya begitu dia keluar dari kamar mandi.

Soraya bingung dan sedikit khawatir aktivitasnya di rumah di jam segini akan menganggu orang tua Andra yang lagi tidur. Andra sempat bilang kalau di rumahnya cuma ada ibu sama bapaknya. Dia anak tunggal. Persis sama Soraya kalau di rumah, selama kakaknya itu tinggal di rumah dinasnya dari perusahaan.

“Mas—”

“Duduk dan makan aja,” ujarnya sambil mendorong pundaknya agar duduk di kursi meja makan itu.

“Mas Andra gak repot apa, ngelakuin banyak hal gini ke aku?” Soraya melihatnya yang lagi-lagi mengidikkan bahu. “Dari tadi aku jadi bebannya Mas Andra mulu.”

“Gak ada yang jadi beban,” tegurnya dengan tatapan serius. “Kalau aku mau ngelakuin ini, ya, aku lakuin. Kalau aku gak mau ngelakuin ini, kamu udah kutinggalin di jalan sama Pak Tono.”

Soraya manyun. Bayangin dirinya terjebak di tengah kerumunan orang yang mengkhawatirkannya, Soraya kemudian bergidik ngeri. Kembali tak nyaman memikirkan situasinya itu lagi.

“Mas Andra emang sebaik ini, ya?”

“Mungkin,” jawabnya sediki tidak yakin. “Mungkin juga enggak untuk sebagian orang.”

“Kenapa?”

“Apa?”

Soraya tiba-tiba menunduk sambil memaikan jari-jarinya. “Kenapa Mas Andra sering nolak ajakanku kencan.”

Andra terhenyak seketika mendengar pernyataannya.

“Mas Andra gak suka aku, kan?” Soraya melanjutkan lagi, “Atau Mas Andra suka cewek lain. Ya emang sih, itu hak Mas Andra buat suka siapa. Tapi Mas Andra gak pernah ngasih tau alasannya, kenapa gak mau kencan sama aku. Jadi aku sering mikir, mungkin Mas Andra beneran gak suka sama aku dan udah suka sama orang lain.”

Soraya tiba-tiba teringat satu nama cewek yang dia dengar dari obrolan Andra bersama teman kerjanya. Kayla. Dia kemudian menyimpulkan bahwa gadis itu mungkinlah yang disukai Andra.

Andra bergeming. Menatapnya bingung untuk membalas argumentasinya. Biarpun dia tetap dibuat takjub sama keberanian Soraya mengungkapkan pikirannya itu, Andra tetap ragu untuk memberitahu alasannya menolak ajakan kencan Soraya. Dia menolak bukan karena tidak suka, melainkan karena Soraya bukan kriterianya.

Kriteria pasangan Andra tidak harus unggul dalam segala hal. Dia hanya mencari pasangan seusia, paling tidak satu tahun di bawah atau atas usianya, dan seorang gadis dewasa yang sudah mantap dengan masa depannya. Di usianya sekarang ini, Andra tidak butuh lagi cinta monyet. Dia menginginkan hubungan yang serius, yang siap untuk berkomitmen.

Entah mengapa Andra hanya ingin mendekati bangkunya. Mengusap kepalanya dan berkata, “Kamu masih muda. Banyak hal yang harus kamu raih di masa depan.”

Soraya kontan mendongak. “Mas Andra nolak lagi, kan?”

Andra mengerjap membalas tatapannya itu.

“Beneran udah suka cewek lain, kan? Makanya ngomongnya gitu. Secara gak langsung, Mas Andra mengiyakan.”

Andra mengerjap sekali lagi, lalu tertawa geli entah karena apa. Tangannya semakin sering mengacak kepala Soraya lantaran gemas.

“Kalau kamu makan nasi gorengnya sampai habis. Aku kasih tau.”

“Bohong,” balasnya agak mencibirnya.

Andra terus tertawa di hadapannya. “Janji.”

Soraya bergeming. Terus memikirkan perkataannya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top