🦁 lionhearted

Apa ini? Lah, kok ....

Soraya bengong heran dengan kerutan di dahi. Memandangi penampakan bangunan di depan mata yang terlihat beda jauh dari gedung apartemen sebelumnya. Dulu gedungnya berwarna abu-abu gelap cenderung hitam jika diamati dari kejauhan, bukan coklat muda cenderung putih. Ia jelas masih ingat seperti apa tempat tinggalnya di Paris itu, terutama di sebrang jalan apartemen paling ujung dekat kafe ada sebuah bangunan rumah tempat laundry. Soraya sering ke sana untuk melaundry-kan pakaian kotornya. Lalu kini, saat dia berbalik bangunan itu sudah tiada.

Bagian paling menonjol bangunan di depannya itu lebih terlihat seperti rumah alih-alih apartemen.

“Mas Andra, ini apartemen siapa?”

“Punya kitalah,” jawabnya tanpa mendongak lantaran orangnya masih sibuk mengatur barang bawaannya yang lumayan banyak.  Kebanyakan isi di dalam koper milik Soraya yang secara khusus telah disiapkan oleh ibu mertua sama ibunya demi perawatan kehamilannya itu.

Soraya menoleh ke arahnya. Lihat betapa bingungnya ekspresi wajah itu. Masih mengira kalau mereka salah alamat. Jelas-jelas bangunan di depan beda dan bukan tempat apartemen mereka.

Andra masih belum menjelaskan ketika Adam keluar dari balik pintu hitam bangunan tersebut, diikuti istrinya—Esmee—dan satu perempuan lagi yang terlihat paling dewasa. Mungkin usianya ada di antara kepala empat.

Bonjour.”

Sapaan itu melolong dari masing-masing mulut ketiganya demikian Soraya, yang langsung dapat ciuman pipi kiri dan kanan dari ketiganya sebelum pelukan hangat. Andra pun mendapatkan respon sama. Orang Prancis memang suka mencium pipi kiri dan kanan orang yang mereka temui sebagai salam, dan tidak peduli mau itu laki-laki atau perempuan.

Adam sudah lama tinggal di sini dan istrinya sendiri orang Prancis asli. Dia telah terbiasa akan budaya masyarakat setempat di kota yang mendapatkan julukan The City of Love ini. Berbeda dengan Soraya yang dulu sempat canggung dan kaget saat pertama kali dapat ciuman pipi dari orang yang mereka temui di Paris.

“Wah ... wah ... udah gede aja perutnya,” seloroh Adam seraya menepuk pundak teman sejak sekolahnya itu dengan wajah penuh bangga. Seolah tak menyangka jika temannya ini akan menjadi seorang ayah mengikuti jejaknya. Itu berarti di antara mereka bertiga tinggal Sabo yang masih berstatus lajang.0

“Segini aja barang bawaannya?”

“Iya.”

“Biar kubantu.” Adam mengambil satu koper dan tas jinjing travel. Lantas menyuruh mereka berdua agar masuk dalam. Esmee sempat mengajak Soraya jalan bareng, tapi segera menolak dengan halus lantaran ada yang ingin ditanyakan sama Andra. Sehingga memilih jalan tertinggal di belakangnya.

Soraya menyenggol lengan sang suami sekali. “Mas Andra gak salah apart, kan?”

“Enggak kok.”

“Terus?”

Bangunan di depannya ini ukurannya lebih pendek, mungkin hanya dua lantai, dibanding apartemen sebelumnya lebih tinggi dan banyak lantainya.

Seolah inga belum pernah membicarakan soal kepindahannya, Andra lalu menjawab, “Sebelum libur musim panas, tepatnya hari terakhir video call-an sama kamu nas pindah ke sini.”

“Ngapain pindah?” tanyanya menahan lengannya. “Emang gak betah di tempat sebelumnya?”

Andra menggeleng. “Enggak juga kok, mas betah-betah aja tinggal di apart sebelumnya. Tempatnya sama-sama bagus, cuma di sini kamu gak perlu naik tangga buat sampai ke lantai tiga.”

Kepalanya meneleng dengan kening mengernyit. “Bukannya malah boros? Maksudnya apart dulu Mas bilang sewa setahun terus kalau tiba-tiba pindah gini emang gak buang-buang duit banyak? Kan belum ada setahun juga.”

Andra tertawa beberapa detik, sebelum menyentuh pipinya yang terlihat ragu setelah mengetahui kepindahannya ke tempat baru. “Tenang aja, urusan pindah gak ada yang dirugikan. Apart sebelumnya disewa sama teman mahasiswa dari Indo juga, terus uang sewa dari dia buat tambahan pindah ke sini. Lagian biaya sewa tempat baru lebih murah soalnya yang punya apart ini Esther, kakaknya Esmee. Udah kenalan, kan?”

Dia hanya mengangguk. Esmee sempat mengenalkan perempuan bernama Esther, kakak perempuannya, sebelum Andra mengajak mereka buat masuk ke dalam.

“Esther sering sewain tempat tinggalnya. Kebetulan penyewa sebelumnya kontraknya udah habis, terus Adam cerita. Karena tau tempat yang disewain di lantai dua, jadi aku ambil aja.”

“Lantai dua?”

Andra mengangguk. Lalu menyentuh punggungnya sambil menggiringnya untuk berjalan lagi melewati pintu tersebut. Jika apart sebelumnya dia harus menaiki dua kali anak tangga demi mencapai bagian lantai tiga, kini dia tinggal melewati sekali anak tangga untuk sampai ke tempat tinggalnya. Adam berdiri di pinggir pintu yang terbuka lebar itu, memberinya geksture selamat datang ke apart barunya di Paris. Iya, apart baru karena Soraya baru kembali lagi setelah beberapa bulan pulang.

Atensinya terkesiap atas pemandangan luar biasa dari isi apartemen tersebut. Masih sama sederhannya seperti sebelumnya, hanya saja kali ini ukurannya jauh lebih besar dan setiap ruang memiliki sekat pribadi sehingga tamu yang berkunjung tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan si pemilik di dapur. Dia memiliki dua kamar, satu ruang dapur beserta ruang makan, 1 kamar mandi di luar, dan ruang tamu. Bagian menyenangkannya ialah dia punya balkon pribadi dengan sebuah mini taman buatan yang sepaket dengan tempat nongkrong outdoor. Ditambah lagi di dalam kamar pribadinya dia punya satu kamar mandi dalam, ukurannya pun lebih besar dari kamar dulu, dan Soraya tidak dapat berhenti mengangga lebar saat menyadari bahwa di sisi ranjangnya ada sepaket tempat tidur bayi.

Soraya menatap Andra yang senantiasa berdiri di sebelahnya. Tak menyangka suaminya telah menyiapkan segala kebetuhan tempat tinggal anaknya nanti, bahkan dua kali lebih cepat dari Soraya yang mengandung ini.

“Kok gak bilang-bilang kalau—”

“Biar surprise.” Andra tersenyum lebar membuat hati Soraya begitu hangat. “Suka gak?”

“Ini sih, suka banget!” serunya bahagia. “Walau warnanya bukan favoriteku, tapi gak apa-apalah Mas Andra udah berusaha.”

Awalnya dia mau menanyakan soal warna, terus enggak jadi soalnya nanti enggak jadi kejutan. Andra menggulum senyum lega, lalu mengacak gemas kepala Soraya yang berdiri sambil menyeringai kesemsem sama kejutan dari suaminya itu.

“Tadinya mau ngatur kamar sebelah juga, terus gak jadi.”

“Kenapa?”

Andra menoleh ke arahnya. “Mas gak mau serakah. Nunggu kamu balik ke sini biar sama-sama dekor buat kamar anak. Kalau mas urus sendiri gak adil, kamu pasti juga mau terlibat.”

Dia memang ingin terlibat dengan semua urusan calon bayinya nanti. Mulai dari baju-bajunya, dekorasi kamar, dan merawatnya. Soraya bersyukur sebab Andra dapat memahami apa saja kemauannya. Dia tidak bertindak gegabah dengan menguasai segala kebutuhan calon bayinya nanti, malahan menunggu kepulangannya agar mereka bisa sama-sama saling terlibat dalam kebutuhan anak mereka.

Soraya berjinjit demi mencium pipi Andra. “Makasih, Mas.”

Andra pun tak mau kalah dengan menahan pinggang dan menarik dagunya itu demi mencium bibirnya.

“Apa sih, kok malah cium-cium bibir. Malu tau! Kalau Adam lihat gimana?” tegurnya.

“Biarin aja. Toh, dia juga punya istri sendiri.”

Soraya melotot hendak protes lagi, tapi Andra malah melumat bibirnya lagi, sementara tangan kirinya mendorong pintu kamar agar tertutup. Biar istrinya ini enggak malu kepergok lagi ciuman sama Adam yang ada di ruang tengah.

Bukan hanya diajak pindah ke apart baru saja. Andra juga mencarikan teman di Paris jika Soraya butuh teman ngobrol atau jalan-jalan biar enggak merasa kesepian selama dia berada di luar kuliah. Teman yang dimaksud itu Esther, kakaknya Esmee. Kebetulan dia dan keluarganya juga tinggal di gedung ini. Jadi bukan hanya satu kamar apartemen itu miliknya, melainkan satu gedung ini adalah properti pribadinya.

Esther memiliki beberapa properti tempat tinggal lainnya yang sudah disewakan. Dia bekerja sebagai real estate, Esther dan suaminya itu. Dia memiliki dua anak perempuan dan satu laki-laki. Semua anak-anaknya telah berusia remaja.

Jika Esmee adalah sosok yang pemalu, Esther justru kebalikannya. Dia gampang mengakrabkan diri sama orang baru, terbuka, penuh keibuan dengan sifat perhatiannya itu, dan orang yang akan memberimu masukan dengan jujur tanpa dilebih-lebihkan jika ditanya bagusan rok mana antara rok biru atau merah. Meskipun usianya lebih dewasa dibanding Soraya, tapi mereka dengan singkat langsung mendeklarasikan diri sebagai seorang teman.

Yeah, masalah usia bukanlah perkara penting.

Kedatangannya ke Paris kali ini lebih mantap dibanding dulu. Soraya tidak pernah ragu untuk mengutarakan apa kemauannya ke Andra lagi dan apa yang perlu mereka lakukan supaya kehidupan keluarganya lebih harmonis. Mereka juga mengatur kegiatan sehari-hari, lebih tepatnya Andra yang mengatur. Andra melarang Soraya beres-beres apart, laundry, dan menata pakaian.

Pokoknya semua tugas rumah telah menjadi tanggungjawab Andra. Ketika bangun pagi sebelum dia siap-siap berangkat kampus, Andra akan beres-beres rumah dulu dan Soraya yang bangun langsung dibuat bengong atas kerja keras sang suami di pagi buta. Soraya hanya diizinkan mengurus dapur dengan syarat tidak boleh masak makanan yang memberatkan dirinya. Berbekal ilmu masak dari ibu dan ibu mertua, kali ini dia enggak pernah ragu lagi buat masak sendiri di dapur apartemennya di Paris.

Tapi dia sering curi-curi kesempatan dengan membereskan apart sebelum sorenya Andra pulang. Larangan itu hanya berlaku selama dia hamil, dan tidak berlaku lagi setelah dia melahirkan. Tidak sepenuhnya karena berikutnya Andra akan mengajaknya kerja sama buat sama-sama membangun rumah tangga.

“Mas Andra bisa ngerasain?”

Andra mengangguk dengan mata berbinar-binar lebar dan ekspresi kagumnya itu persis seorang bocah laki-laki yang terkesima saat melihat mainan robot di toko mainan. Andra terus menempelkan telinganya ke depan perut Soraya yang terubah berubah seiring berjalannya waktu.

“Pintarnya anak ayah,” ucapnya, tersenyum bangga ketika merasakan tendangan dari dalam perut sang istri. “Sehat-sehat terus ya, Nak.”

Tidak ada yang lebih hangat lagi selain kata-kata Andra yang selalu menyebut “Nak” setiap kali memanjakan bayi dalam kandungannya ini. Soraya pun tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Pemandangan seperti inilah yang selalu dia idam-idamkan sejak berpisah dari suaminya, sejak tahu bahwa dia hamil.

“Ngomong-ngomong, Mas Andra udah kepikiran soal namanya?” Belakangan ini mereka sering merundingkan soal nama bagi calon bayinya, tapi keputusan akhir masih abu-abu atau belum final. Semua nama yang dicetuskan Soraya bagus-bagus mulai dari Noel, Cakra, Alam, Isaac, dan Black—belakangan ini Soraya suka membaca novel romance suspense dengan tokoh laki-laki bernama Blackwell. Sebab itu, dia menambahkan nama Black sebagai daftar nama calon bayinya.

Andra bergeming. Memikirkan nama-nama yang disarankan Soraya. Di antara kelima nama itu sejujurnya dia tertarik sama nama Noel dan Alam, tapi meskipun tertarik dua nama tersebut,  entah mengapa Andra merasa namanya tetap kurang cocok buat anaknya.

“Rui,” lanjutnya, “gimana?”

“Rui?”

Andra mengangguk. “Rui. Permata kehidupan.”

Hanya terdiri dari tiga huruf, di awali konsonan “R” dan diakhiri vokal “I”. Soraya bergumam merapalkan nama Rui dan mencocokan pelafalannya di lidah. Tidak terlalu sulit sebab nama itu cenderung mudah diucapkan dan diingat oleh seseorang.

“Rui ...,” ia bergumam kembali, “oke deh.”

Andra menatapnya. “Oke?”

“Kita panggil ‘Rui’ mulai dari sekarang.”

“Langsung dipilih, nih?”

Soraya mengangguk semangat. “Iya. Namanya bagus.”

Andra mengubah posisi duduknya jadi tegak dan menghadap dirinya dengan raut heran. “Terus nama Noel, Alam, Cakra, Isaac gimana? Bukannya kamu pengen nama Black?”

“Black keren, iya emang. Tapi kalau anaknya udah sekolah, terus teman-temannya bukan manggil Black, tapi hitam gimana? Kan gak lucu.”

Iya juga ya ..., pikir Andra kemudian. Kalau mereka tetap tinggal di sini barangkali nama Black masih terdengar keren, tapi kalau mereka tetap kembali setelah Andra menyelesaikan study-nya, bisa jadi nama Black berubah panggilan.

“Terus sisanya gak mau kamu pikirin dulu lagi?”

Soraya menggeleng dengan mantap. Seolah tak memedulikan keempat nama lainnya yang merupakan idenya. “Rui lebih ganteng.” Ia mengelus perutnya kemudian terkejut ketika merasakan tendangan bayinya. Soraya spontan menggulum senyum, lalu mengangguk samar seolah tengah melakukan percakapan batin bersama bayinya.

“Rui bilang, ‘Makasih ayah udah kasih nama yang bagus’ dia suka dipanggil Rui, Mas.” Lantas tersenyum lebar ketika bertemu mata dengan Andra, yang melengos dan terkekeh geli.

Andra membungkukan badannya. Mendekatkan wajah di depan perut sang istri sambil mengusap-usapnya penuh kasih. Dia pun berkata, “Sama-sama, Rui.”

Sejak malam itu, mereka pun sepakat untuk memanggil nama anaknya Rui dan bahkan, langsung memberitahukan ke keluarganya siapa nama panggilan anak mereka.

Hari terus berlanjut hingga tanpa sadar masa-masa untuk kelahiran Rui akan tiba waktunya. Soraya yang telah memutuskan untuk lahiran di Paris alih-alih kampung halaman, terpaksa meminta maaf lagi kepada pihak keluarga yang tidak bisa hadir menemani proses kelahiran cucu pertama mereka nanti di akhir tahun. Tapi sebetulnya, Soraya lebih menyesal tidak dapat hadir di acara berharga sang kakak. Ansel mau melamar pacarnya, Nora akhir tahun nanti bertepatan sama jadwal kelahiran Rui. Sehingga dia bersama Andra hanya bisa menyaksikan acara itu lewat online berkat bantuan Bunga, yang hadir menggantikan posisi Soraya sebagai adik Ansel.

“Yah, gak seru, deh. Gak bisa lagi ngejek Mas Aan.”

Ansel menyeringai puas sambil memamerkan cincin di jarinya sementara tangannya mengandeng mesra pasangannya. “Emang kamu doang yang boleh nikah? Mas juga bisa. Wleeek!”

“Ih, apaan segala julurin lidah. Kayak anak kecil aja.” Soraya mencibirnya. “Mbak Nora yakin gak salah pilih Mas Aan sebagai calon suami, nih? Mumpung baru tunangan lho, siapa tau—”

Heh. Mulutnya!” tegur Ansel mendengus sebal terus bersikap agak posesif, seolah-olah sang calon akan pergi darinya saja. Nora hanya tertawa sambil geleng-geleng heran di sampingnya. “Udah deh, fokus aja sama calon bayinya. Jadinya lahiran kapan?”

“Ini udah di rumah sakit kok.” Ansel juga tahu kalau dia lagi di rumah sakit jika mengamati background di belakangnya. “Sambil nunggu aja waktunya.”

Ansel masih tidak menyangka kalau saudaranya akan menjadi seorang ibu. Padahal, dulu Soraya hanyalah anak bungsu yang selalu dijahili dan dimanjakannya di rumah. Membayangkan wajah adiknya itu saat melahirkan nanti, entah mengapa membuat Ansel begitu emosional. Belakangan dia sering bertanya kepada ibu seperti apa rasanya saat beliau melahirkan mereka dulu. Begitu mengetahui betapa besar perjuangan sang ibu hingga menaruhkan nyawa demi kedua anak-anaknya, Ansel tak dapat berhenti memikirkan keselamatan Soraya yang bentar lagi melahirkan secara normal bayi pertamanya di Paris. Jarak mereka begitu jauh membuatnya agak sedih karena tidak bisa menemani sang adik, meski tahu Soraya tidak butuh dirinya di sana karena ada Andra yang selalu 24 jam menjaganya.

Kabarin Mas Aan kalau Rui udah lahir,” kata Ansel menahan dorongan untuk tidak menangis di depan adiknya. Meremas tangan Nora supaya mencegah dirinya tidak melihatkan ekspresi khawatir. Kalau Soraya lihat pasti langsung sedih.

“Nanti aku usahain pulang pas Mas Aan sama Mbak Nora nikah.”

Gak usah pikirin itu dulu. Lagian nikahnya masih tahun depan, masih lama.”

Soraya hanya mengangguk mengerti. Walau sedikit heran kenapa kakaknya memilih menikah waktu lama setelah melamar kekasihnya. Mereka tidak akan menikah dalam waktu dekat, sesuai perkataan Ansel barusan. Pesta pernikahannya tahun depan—tepatnya pertengahan tahun depan nanti. Apa pun pilihannya itu sepertinya mereka masih ingin menyelesaikan sesuatu sebelum bersatu sebagai pasangan suami istri.

Yah, semoga saja Soraya bisa datang pas kakaknya nikah nanti. Sementara ini dia harus fokus sama proses kelahiran Rui. Andra pulang ke apart buat ganti baju sama sekalian beres-beres rumah, sementara Soraya di rumah sakit ditemani Esther—ya, saudara perempuan Esmee yang dengan baik hatinya turut membantu dirinya selama proses kelahiran nanti. Esther layaknya seorang kakak perempuab baginya, yang tidak pernah bosan mengingatkan dirinya agar menjaga kesehatan selama kehamilan, bahkan dia sering datang ke tempatnya demi mengantarkan makanan sehat khusus buat ibu hamil.

Esther juga yang menyakinkan Soraya supaya melahirkan normal untuk anak pertamanya. Nasehatnya itu sama persis seperti ibunya dan ibu mertua. Dia juga yang kadang mengantikan posisi Andra menemaninya ke dokter kandungannya jika Andra sibuk kuliah. Selama pindah ke apart baru Soraya benar-benar merasa tidak sendiri lagi. Presensi Esther dan keluarganya layaknya seperti keluarga sendiri, demikian pula dengan Adam dan Esmee, yang rutin berkunjung seminggu tiga kali. Tiap akhir pekan mereka juga sering mengadakan makan malam bersama di balkon Esther yang jauh lebih besar dibanding miliknya.

“Gak jadi jalan-jalan lagi?” Keenan barusan yang tanya. Dia juga sering berkunjung di waktu libue, juah-jauh dari Amsterdam ke Paris. Begitu tahu Soraya mau melahirkan, Keenan bergegas mengambil cuti libur dan terbang kemari untuk menggantikan posisi Ansel.

“Pinggulnya capek.”

Keenan mengangguk mengerti, lalu kembali duduk di sofa tak jadi menemani adik dari teman karibnya itu jalan-jalan di koridor rumah sakit.

“Jangan memaksakan diri,” tegur Esther. “Kau sudah berjalan terlalu sering seharian ini.”

Soraya lelah jika hanya tiduran di kasur, sedang dokter menyarankannya supaya sering jalan, tapi dia justru terlalu sering berkeliaran di koridor dari pagi sampai siang malah kadang bisa sampai sore jika tenaganya berlebihan.

Lihat, betapa beruntungnya Soraya atas semua perhatian yang dia dapatkan walau jauh dari keluarganya. Dulu dia selalu merasa kesepian semenjak Andra aktif kuliah, merasa tidak diperhatikan lagi, dan suka cemas memikirkan seperti apa hari esoknya nanti. Rasa cemasnya yang berlebihan itulah mengubahnya menjadi sosok lain. Mencoreng masa-masa indah awal dari pernikahannya.

Soraya sering mengingat masa-masa tersebut untuk merenungi kembali di masa kini bahwa dia tidak boleh menjadi sosok seperti dulu. Dia harus berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari. Tidak harus menjadi yang terbaik, cukup menjadi dirinya sendiri. Ditambah tak lama lagi dia akan menjadi seorang ibu dan keluarga kecilnya lengkap sudah begitu si kecil Rui lahir ke gendongannya.

Dan saat proses kelahiran itu tiba, Andra-lah orang yang paling sabar menghadapi Soraya tanpa mengeluh, meski terus dapat cakaran di lengan selama menemani sang istri dengan duduk di belakang satu ranjang sebagai tempat sandarannya selama proses tersebut. Sebisanya dia menunjukkan ekspresi dingin dan tenang, sementara jauh di lubuk hatinya dia kalut luar biasa. Andai benteng pertahanannya tidak sekokoh perjuangan Soraya, bisa-bisa Andra semaput di situ gara-gara takut. Jenis takut yang tak bisa disamakan dengan ketakutannya sama binatang kecoak. Rasa itu takut berbeda, sulit diutarakan lewat kata-kata.

Jenis ketakutan yang mampu membuat sekujur tubuhnya lemas tak berdaya sampai jatuh pingsan tak berdaya. Ketakutannya muncul tepat setelah Soraya teriak kesakitan, mencengkram kuat kedua lengannya, dan berkata bahwa dia ingin menyerah, dia kelelahan, dia tidak sanggup. Jantung Andra berdebar-debar tak karuan pada detik itu.

Dia segera menahan dorongan untuk tidak menangis. Mengusap keringat yang membahasi dahi Soraya dan mengecup kepalanya lamat-lamat demi memberinya kekuatan bahwa Soraya bisa melakukan itu karena dia bersamanya.

“Kita lakuin bareng-bareng, ya?” Andra membisikinya kemudian mendorong perlahan sang istri dengan turut mengejan sesuai arahan dokter kandungannya. Seolah-olah Andra juga akan melahirkan sosok bayi di dalam ruangan itu bersama Soraya. Suara mengejannya tidak kalah keras dari suara sang istri, sebagai upaya memberinya kekuatan melahirkan putra pertama mereka.

Lalu tepat saat suara bayi menangis terdengar, pundak Soraya melorot demikian badannya merosot lega atas keberhasilannya. Dokter dan para perawat memberinya selamat atas kelahiran putranya itu. Soraya menangis terharu menyambut Rui, putra pertamanya. Dia ingin segera mengendong bayi laki-laki menggemaskan itu, tapi reaksi Andra di belakangnya justru menarik perhatiannya. Soraya menoleh terbelalak tak menyangka Andra telah jatuh pingsan setelah berucap syukur. Sehingga para perawat dan dokternya tertawa melihat moment itu, Soraya menggulum senyum hangat.

Pada akhirnya, Andra menyerah juga.

“Kelaparan ya, Nak?” Andra terkekeh geli memandangi wajah lugu nan menggemaskan putranya saat menyusu dalam gendongan Soraya. Ia mengelus kepalanya turut berjaga setiap malam menemani istrinya yang harus bangun dan siaga jika Rui merengek.

Mereka masih tinggal di rumah sakit, belum diizinkan pulang selama Soraya belum selesai perawatannya pasca melahirkan. Untung Rui boleh tinggal seruangan dengan ibunya. Dokter mengizinkannya, bahkan perawatnya telah memindahkan satu tempat tidur khusus bayi tak jauh dari ranjang sang ibu di ruangannya.

Soraya balas menatap Andra yang terus terkekeh setiap kali melihat seraut Rui. “Mas Andra gak tidur?”

“Nanti aja.”

“Tidur aja. Lama-lama ntar Mas Andra punya mata panda, lho.”

“Masa tidur dulu kalau kamu sendiri masih melek sama Rui. Lagian mau punya mata pun gak masalah,” ujarnya sambil mengusap lembut kepala Rui. “Pelan-pelan, Nak. Ayah gak akan rebut punyamu kok, tenang aja.”

Andra terkekeh geli lagi sebelum mendongak membalas tatapan Soraya yang menatapnya penuh hangat. “Kamu kalau ngantuk tidur aja.”

“Rui belum selesai, lho.”

“Iya. Kalau Rui udah selesai biar mas yang ngurus. Udah kamu tidur aja. Belakangan kamu kan, susah tidur.” Andra kontan bangkit dari duduknya. Merapikan bantal Soraya kemudian menurunkan ranjang dan menyesuaikan dengan posisinya biar lebih nyaman tidur sambil memberi asi ke Rui.

“Beneran gak apa-apa aku tinggal tidur?”

“Iya, Sayang.” Ia mengelus kepala dan memberinya kecupan manis di kening. “Selamat tidur.”

Soraya mengangguk. Tadinya mau langsung merem, tapi bangun lagi seraya menahan lengan sang suami. “Mas Andra.”

“Hm?”

Kiss,” menunjuk ke arah bibirnya sendiri, “belum, lho.”

Andra terhenyak kemudian bergegas mencium bibir Soraya sekali. “I love you,” ujarnya kembali menciumnya lagi.

Love you more,” balas Soraya tetap dengan wajah merah merona malu, biarpun telah menikah satu tahun bersama Andra.

Akhirnya selesai juga! Hehe

Rencananya mau aku selesaikan di chapter 25, tapi aku gak sanggup lagi—bukan gak sanggup nyelesain Lionhearted—tapi gak sanggup nulis. Buat chapter terakhir ini aja butuh berhari-hari ngetiknya. Aku pakai sistem nyicil perhari berapa kata gitu, gak kayak biasanya yang sekali ketik langsung sampai tbc 😭

Jadi dengan terpaksa aku selesaikan di chapter 24 karena menurutku emang udah selesai di sini kisah Andaya. Mereka udah bahagia, gak perlu dibuat neko-neko lagi. Awalnya justru kisah mereka ending-nya tepat setelah mereka nikah (kisah awalnya) terus lanjut ke after married (anggap aja momen after married itu bonus kisah Andaya) hehe. Makin panjang nanti makin rak jelas.

Dengan ini kisah Andaya di Lionhearted aku nyatakan THE END. Semoga kalian suka. Tak lupa bagiku untuk bilang, terima kasih sebanyak-banyaknya buat kalian semua yang telah meluangkan waktu membaca kisah Andaya sampai selesai. Terima kasih banyak udah mau mampir dan terima kasih juga udah ninggalin jejak dengan vote dan komentar kalian. Terima kasih atas dukungannya dan terima kasih udah sayang sama Andaya 🙆🙆🙆🙆

Dan mau bilang juga, aku mau hiatus nulis seminggu atau mungkin dua minggu lebih atau mungkin balik lagi pas Juli hehe jujur tanganku kaku buat nulis 😂 makanya part terakhir ini aku sengaja nyicil huhu soalnya gak betah nulis sekali terus banyak, tangannya kaku 😭 Pokoknya ditunggu aja comeback lapak baru entah Jisoo dengan kapal mana 🔥🔥🔥 yah, taulah siapa aja kapalku 💁

Hohoho terima kasih dan sampai jumpa di lapak lainnya—caaao! 🙆❗❗🤷‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top