⛱ kondangan (2)

Bunga kira Soraya enggak akan datang ke acara pernikahan saudaranya saat bertemu kedua orang tuanya itu dan tidak mendapati presensi sang teman bersamanya. Hampir saja dia kecewa dan menduga sahabatnya itu ingkar janji tanpa mengiriminya pesan dulu alasannya batal hadir, andai Om Thomas tidak memberitahunya kalau Soraya datang cuma dia tertinggal di belakang.

Akhirnya Bunga menunggu di depan pintu masuk. Tak sabar ingin menyeret gadis itu untuk segera memenuhi janji mereka semalam buat foto bareng pengantin. Pakaian mereka sudah matching. Warnanya sama walau beda jenis dan rambut mereka pun sengaja dibuat serupa. Kalau Soraya enggak kasih ide begini, paling hari ini rambut Bunga disanggul.

Setelah menunggu beberapa menit di samping pintu masuk, orang itu pun muncul. Bunga bergeming sesaat melihat sahabatnya itu datang bersama seorang laki-laki. Jelas dia mengenali siapa laki-laki bersamanya yang digandeng itu. Bunga mulai bertanya-tanya. Sejak kapan mereka kelihatan lengket?

Baru kemarin pula Soraya curhat kalau Mas Andra pilih kasih. Dia mengeluh selama dua jam lebih di telepon ngomongin soal Andra. Katanya sang barista kafe itu lebih suka jalan sama cewek cantik super gaul yang OOTD sekali dibanding sama cewek biasa-biasa saja yang blak-blakan kayak bocah kecil—alias Soraya itu sendiri. Karena Bunga kurang tahu detail masalah mereka hingga menyebabkan sahabatnya itu cemburu, dia hanya menimpali setelah menyimak dan memberinya dukungan sebagai seorang teman.

Bunga kurang suka mengompori kecemburuan sang teman. Sebaliknya kalau dia tahu detail masalahnya, paling dia akan menyalakan api ke kompor gas.

“BUNGAAA ...!” Begitulah Soraya setiap menyapa dirinya di mana pun mereka. Excited, nyaring, dan sedikit jingkrak dengan girang. Seakan mereka ini sudah lama tidak bertemu. Semangatnya yang berapi-api itu selalu mendominasi. Membuat sebagian orang refleks berpaling ke arahnya dengan ekspresi sama, terheran-heran sama kelakuan temannya ini. “Hihihi. Cantik banget, sihhh ...!”

Bunga tersedak ketika Soraya memeluknya erat dan mencubit gemas pipinya. Seolah dia adalah perwujudan dari boneka babi kesukaannya.

Bunga yang sudah bertahun-tahun temanan sama Soraya saja selalu dibuat heran sama kelakukannya inil, apalagi Andra yang langsung speechles di tempat.

“Tuh, kan! Style rambutnya cocok kalau dipakai sama kamu,” serunya begitu excited. Sampai dia beberapa kali menoleh belakang demi memuji tatanan rambut Bunga atas rekomendasinya semalam.

Ngomong-ngomong, gaya rambut mereka sama. Punya Bunga lebih rapi sih, dibanding Soraya yang dibantu ibu pas di rumah.

“Udah, ayo! Keburu teman kantor Mas Bondan datang.” Bunga melirik ke arah Andra yang menonton di belakang Soraya. “Kok bisa bareng Mas Andra?”

Soraya berbalik untuk sekadar menarik Andra agar tetap berada di sampingnya. “Bisa, dong. Hehe.” Tubuhnya tiba-tiba condong ke depan ke arah Bunga. “Tau gak? Istrinya Mas Bondan mantannya Mas Andra.”

Andra tersedak mendengar obrolan Soraya yang dengan polosnya memberitahu Bunga hubungannya sama si pengantin wanita. Oh, ralat. Meskipun niatnya mau berbisik, tapi suaranya barusan itu masih bisa didengar oleh beberapa orang di sekitar. Andra mendesah pelan. Mencoba bersabar dengan semua kejutan Soraya berkat tingkah lakunya yang sulit ditebak ini.

“Beneran Mas Andra mantannya Mbak Andini?” Ini juga Bunga malah ikut-ikutan bersuara keras sehingga memprovokasi sebagian orang untuk memperhatikan Andra dengan ekspresi macam-macam. Ada yang prihatin, seolah kedatangan Andra kemari untuk meratapi masa lalu. Ada pula yang takjub pada tekadnya yang berani datang ke pernikahan sang mantan.

Andra kembali mendesah tanpa berkomentar apa-apa.

“Yang sabar, ya, Mas Andra.” Soraya nyengir lebar terus mentertawakan kepasrahannya. Tepatnya, dia lagi menggodanya.

Andra cukup berdecak dan menggeleng, menanggapi guyonannya. Namun, kini Bunga memandang Andra aneh. Seakan mengira kedatangannya kemari untuk merusak acara pernikahan saudaranya. Andra jadi salah tingkah dengan perhatian orang-orang yang salah mengartikan kemunculannya kemari.

“Gak usah gitu lihatinnya. Mas Andra gak bakal nyulik Mbak Andini,” tegur Soraya begitu cepat memahami isi kepala temannya itu. “Mas Andra udah move on. Jadi gak mungkin mengacau.”

“Tau dari mana?” tanya Bunga.

Soraya menggulum senyumnya, lalu menatap Andra yang juga sedang memandanginya. “Karena dia Mas Andra.” Secara tak langsung, Soraya memberitahunya bahwa dia sangat mempercayai Andra. “Udahlah. Katanya mau foto?”

Bunga membuang napas kemudian melupakan masalah itu dan menyuruh agar Soraya mengikutinya.

Soraya sempat memandangi Andra lagi sebelum mengekor di belakang Bunga. “Kenapa Mas Andra ngalamun lagi? Ayo, jalan. Gak usah grogi gitu.”

Andra bukannya grogi. Dia hanya terpikirkan sesuatu yang kini menganggu pikirannya.

Layaknya acara resepsi, gedung pernikahan siang itu sesak sama sekian banyak jumlah tamu undangan yang hadir. Ada banyak rombongan dari kerabat jauh kedua pengantin yang mengantri untuk sesi foto, termasuk mereka bertiga yang sudah antri sejak empat menit lalu.

Begitu sesi mereka tiba, ketiganya langsung mendekati sang pengantin. Soraya sempat menyenggol lengan Andra, sengaja ingin menggodanya, bahkan dia berbisik, “Ciee, Mas Andra ditinggal nikah.”

Lalu Andra pun membalas, “Ciee, yang gak punya mantan.” Yang berakhir dia dapat sikutan di pinggang. Bunga yang menyadari kegaduhan di belakangnya melirik mereka dengan mata setengah memicing.

Tiba di dekat pengantin, pasangan yang baru resmi menikah ini segera mengenali ketiganya. Bondan dan Soraya saling menyebut nama masing-masing dengan akrab. Menyaksikan bagaimana keduanya terlihat begitu akrab dan kompak, sampai punya salam pertemanan secara khusus, membuat Andra menebak kalau Soraya ini mudah disukai banyak orang.

Dia cantik, lucu, polos, dan penuh kejutan. Mustahil bagi orang tidak merasa terhibur dengan kepribadiannya itu.

“Datang juga kamu, Ndra!” Andini menculik perhatian Andra dari Soraya. Sadar bahwa harusnya dia lebih fokus sama si pengantin yang dulu merupakan mantan kekasihnya ini.

Mereka sudah lama putus dan tidak pernah lagi bertemu setelah reuni kuliah satu tahun lalu. Tidak ada yang berubah dari Andini. Dia tetap cantik seperti dulu maupun sekarang. Yang berubah darinya hanyalah status perempuan ini sekarang menjadi istri seseorang. Andra melontarkan senyum, lalu menjabat tangan dan memeluknya sesaat untuk memberinya ucapan selamat.

“Makasih, ya, udah datang,” ucap Andini setelah melepaskan pelukannya.

“Iya.” Andra mengangguk turut senang atas pernikahan perempuan yang pernah jadi bagian dari perjalanan kisah cintanya, tapi punggungnya tiba-tiba tegang. Seolah ada tiga mata pisau yang menusuknya bersamaan.

Andra meringis lantas menoleh ke belakang. Untuk mendapati dua orang menatapnya curiga; satunya lagi menatapnya jahil. Rasanya dia ingin segera turun dan pulang ke rumah. Andini menyadari itu terkekeh, lalu mengandeng tangan suaminya dan mengenalkan mereka berdua sebelum mereka foto berlima.

“Mas Andra. Tolong fotoin kami,” pinta Soraya usai foto berlima dan menyerahkan ponselnya. Menyuruhnya supaya turun untuk memotret kenangan itu tanpa dirinya. “Makasih.”

Andra cepat-cepat turun demi mengabdikan momen tersebut. Selesai memotretnya, dia lalu bergegas jalan mendekati anak tangga menunggu Soraya di depan.

“Sini,” ucapnya seraya mengulurkan tangan ke depan agar Soraya bisa pegangan tangannya ketika menuruni anak tangga. Dia pakai high heels, jaga-jaga supaya tidak jatuh.

Biasanya Andra akan langsung pulang ke rumah selesai ketemu pengantin dan foto bareng, tapi kali ini dia tidak langsung meninggalkan gedung resepsi berkat Soraya yang terus menyeretnya ke stand makanan bersama Bunga.

“Bagian wajib dari resepsi tuh, makanannya,” ujarnya cekikikan dengan mata yang mengkilat saat lihat beragam jenis makanan dari ringan dan berat. Soraya kemudian mengajaknya ke deretan sate ayam dan lontong.

“Bagian situ ada sushi, Ay,” kata Bunga sambil menunjuk bagian stand makanan yang kelihatan lebih ramai.

“Yang bener?”

“Mbak Andini suka sushi.” Sudut mata Bunga terus mengawasinya, seperti sengaja ingin mencari reaksi Andra kalau dia terus menyebut nama kakak iparnya itu. Bunga sepertinya masih curiga Andra punya perasaan sama Andini.

“Asyik. Nanti ke sana, deh!” balasnya saat menerima sate ayam dan lontongnya. “Bunga mau?”

“Gak. Aku udah kenyang.”

“Baguslah. Kamu kan, tuan rumahnya.” Lalu dia mendongak memandang Andra yang bergeming dan tetap di dekatnya. “Mas Andra.”

“Apa?”

“Ini,” Soraya menyodorkan satu sate, “makan.”

Andra menerima suapan sate itu tanpa komentar, begitu pula sama satu potong kecil lontong.

“Enak, kan?” tanyanya yang langsung dapat balasan anggukan. “Nih, lagi.”

Itu terus terjadi bergantian. Selesai Soraya makan, gantian dia menyuapi Andra. Terus bergilir sama sampai Andra pamit untuk ambil minuman.

“Kalian udah jadian?” tanya Bunga begitu Andra hilang dari radarnya. Sejak tahu mereka berangkat bareng kemari, Bunga merasa ada sesuatu di antara mereka. Yeah, meski tadi sempat curiga Andra masih ada something ke kakak iparnya, kini dia kembali mencurigai kalau justru temannya ini diam-diam ternyata sudah menjalin hubungan sama Andra.

Soraya spontan terkekeh geli. “Kenapa mikirnya gitu, sih?” Ia menggeleng heran. “Kalau aku pacarnya Mas Andra. Aku gak bakal ngemis-ngemis ngajak kencan, tapi berujung ditolak. Yang jelas kami gak jadian!”

“Masa?” Orang lain yang melihat cara mereka saling memerhatikan satu sama lain pun pasti akan mengira mereka ini pasangan kekasih. “Tapi kalian kayak udah pacaran gitu.”

“Enggak, Bunga. Kalau aku punya pacar, pasti kamu aku kasih tau dulu.”

“Terus yang tadi barusan apa? Suap-suapan gitu, kayak orang pacaran, tau!”

“Haha. Kelihatan gitu, ya?” Wajah Soraya merona tanpa sebab. “Bung, jangan bikin aku kegeeran.” Kemudian dia mendesah. Keingat betapa sulit baginya untuk mendapatkan Andra sekarang ini, setelah tahu seperti apa kriteria pasangan laki-laki itu. Dia sama sekali tidak ada dalam jangkauannya.

Mendadak Soraya murung. “Seenggaknya Mas Andra bukan Mas Tian.” Dia mendesah lagi. Walau beruntung Andra belum punya pasangan tak seperti masa lalunya, tapi tetap sulit bagi Soraya untuk menjangkaunya. Mungkin mereka kelihatan begitu dekat, bak pasangan kekasih seperti yang dicurigai Bunga. Namun, sebenarnya mereka tidak sedekat itu dan mungkin, mereka tidak ditakdirkan untuk menjadi sepasang bila Andra tetap memegang teguh kriteria wanita pasangannya.

Kalau Andra tetap keras kepala dengan tipe pasangannya, di matanya Soraya hanyalah salah satu dari pelanggan kafenya.

Andra begitu kembali menyadari perubahan ekspresi Soraya. Dia menatap gantian dua gadis di hadapannya ini, sebelum fokus pada Soraya yang terlihat murang.

Soraya menarik napas dan menghempasnya dalam satu tarikan, sebelum menyunggingkan senyum supaya tidak dipandang aneh karena tiba-tiba muram di hari pernikahan saudara temannya.

“Kok Mas Andra lama?” tanyanya kemudian.

Andra mengangkat kedua tangannya yang penuh sama minuman dan sushi. “Kamu bilang mau sushi. Jadi, ngantri dulu di sana.”

“O iya! Hampir lupa kalau ada sushi.” Soraya ngenyir tulus, bukan sengaja dibuat-buat setelah terpikirkan persoalannya. “Makasih, Mas.”

“Iya. Minum dulu aja sebelum makan sushinya.”

Bunga berdiri di sana hanya untuk mencurigai mereka. Dari apa yang dia lihat sekarang, mereka benar-benar terlihat seperti pasangan kekasih. Belum lagi setelah ini giliran Andra yang menyuapi temannya itu makan sushi dan mengusap ujung bibirnya yang kotor dengan tisu.

Bunga kurang tahu alasan Andra terus menolak Soraya kencan. Tapi setidaknya, Soraya terlihat lebih bahagia dengan perasaan yang dimilikinya sekarang ini semenjak dekat Andra. Tidak seperti dulu, dia harus menderita karena jatuh cinta pada orang yang salah. Dulu dia selalu menderita dengan perasaannya, sehingga kesempatannya untuk menikmati rasanya jatuh cinta pada seseorang tidak pernah kesampaian.

Dan mungkin bersama Andra, temannya itu punya kesempatan untuk menikmati rasanya jatuh cinta pada seseorang.

🦁 l i o n h e a r t e d 🦁

Akhirnya mereka keluar juga dari dalam gedung resepsi. Mereka kini jalan beriringan menuju parkiran mobil. Bersama Soraya yang terus mengoceh tentang ini itu, sampai dia membuat sebuah pengakuan, “Maaf, ya, Mas Andra. Aku malah ngerepotin. Sengaja lama-lama di dalam biar bisa lebih lama jalan sama Mas Andra.” Soraya terlalu menikmati waktunya bersama Andra, hingga enggan rasanya untuk pisah.

Andra sendiri tidak sampai memikirkan itu. Waktu berjalan begitu saja tanpa dia rasakan. Tak menyangka kalau Soraya sengaja lama di gedung, walau Bunga sudah pamit pergi semenjak dipanggil kerabatnya, hanya demi bersama dirinya. Dan keterusterangannya ini selalu buat Andra merinding.

“Kenapa kamu begitu tertarik mau jalan sama aku?”

“Hm, karena itu Mas Andra?” Soraya kemudian mengidikkan bahu. Sedikit bingung memikirkan alasan mengapa dia begitu tertarik ingin jalan bareng Andra. “Entahlah. Aku jadi bingung.”

Dia tidak berbohong dan Andra menangkap itu.

“Terus sekarang masih tertarik buat jalan bareng?”

“Iya. Soalnya baru kali ini gak ditolak.”

Andra speechles. “Oke.”

“Oke apa?”

“Oke. Kalau kamu masih punya tenaga lebih, ayo kita jalan.”

Soraya spontan berhenti sambil menahan Andra. “Barusan itu apa?” tanyanya.

Andra bergeming. Hanya membalas tatapannya tanpa bicara apa-apa. Membuat Soraya sedikit jengkel karena dipaksa untuk menebak-nebak ucapannya.

“Maksudnya barusan tuh, Mas Andra mau jalan bareng aku. Gitu, kan?” Soraya terus bicara tanpa membiarkan Andra membalas. “Sekarang ini? Setelah dari tempat ini, gitu?”

“Kalau kamu punya tenaga lebih,” koreksinya mengingatkan perkataan sebelumnya. “Tapi—”

“Gak kok. Tenagaku masih banyak!” selanya buru-buru sebelum mendengar ucapan lain yang tidak enak didengar. Padahal, barusan Andra ingin memberi opsi di hari lain misal hari ini dia kelelahan. “Sekarang juga gak papa.”

“Yakin?”

Dia mengangguk cepat. Senyuman tak pernah lepas dari bibirnya. “Tapi Mas Andra malu gak, jalan pakai gini? Maksudnya ini kan, pakaian kondangan.”

Andra memindai pakaiannya, lalu milik Soraya. Dia tidak malu karena pakaiannya cocok dipakai di mana pun, sementara milik Soraya sebaliknya.

“Kamu sendiri malu gak?” tanyanya balik.

Soraya meringis. “Sedikit.” Terus mengeluhkan rumahnya yang cukup jauh dari lokasi gedung resepsi.

“Ya udah. Nanti pakai jaket aja. Di bagasi selalu ada pakaian ganti.” Sebelum Soraya berpikiran aneh-aneh, Andra menjelaskan lagi, “Pakaian bersih kok, bukan kotor. Emang sengaja nyimpen pakaian ganti di mobil soalnya sebulan sekali suka pergi keluar kota.”

Staycation?”

“Bukan,” jawab Andra lalu mengajaknya untuk lanjut jalan lagi menuju mobil. Begitu sampai Andra segera membuka pintu bagasi kendaraannya.

Di dalam situ ada satu koper kecil, dua sepasang sepatu, tas kecil perlengkapan mandi, dan satu kemeja yang digantung di pojok. Andra membuka koper biru kecilnya. Mengambil dua potong hoodie abu-abu dan putih ukuran oversize.

“Mau pakai yang mana. Putih atau abu-abu?”

“Yang putih aja, Mas.”

Andra menyerahkannya. Begitu menerimanya Soraya mencium aroma wangi yang berasal dari hoodie. Ini sih, wanginya Mas Andra. Pipinya spontan merah bak udang rebus. Memikirkan bahwa kini mereka punya aroma yang sama.

Menyadari sifat malu-malunya itu Andra tersenyum geli. Spontan mengusap kepalanya lembut alih-alih mengacaknya. Andra masih enggan merusak tatanan rambut Soraya yang terlihat cocok dengannya.

Setelahnya mereka masuk mobil dan meninggalkan halaman gedung resepsi. Mereka belum ada tujuan pasti mau ke mana. Soraya masih bingung, belum punya rencana ke mana dan harus ngapain saja nanti. Pengalamannya hanya sedikit. Terus ini terjadi secara kebetulan bisa jalan bareng Andra lagi, jadi dia menurut saja mau diajak ke mana. Andra menyarankan satu tempat yang ingin dia kunjungi tiba-tiba setelah lama tidak ke sana, cuma lokasinya agak jauh. Paling setengah jam perjalanan dari lokasi mereka sekarang ini.

Soraya tidak masalah selagi mereka pulang tidak lebih dari jam sembilan malam. Terus setelah mengatakan itu dia merutuki dirinya karena lupa izin sama keluarganya. Akhirnya dia mengirimi pesan ibunya kalau dia pergi keluar bersama Andra setelah dari pernikahan kakaknya Bunga. Juga tak lupa mengirimi pesan sang kakak, yang tak lama kemudian menelpon.

“Kan di-chat udah dikasih tau kalau aku perginya sama Mas Andra. Pakai ditanyain lagi,” gerutunya sambil memutar bola. “Iya kok, orangnya ada di sebelahku lagi nyetir. Apa?”

Soraya mendesah selama menatap Andra yang fokus menyetir. “Mas Andra, minta tolong berhenti dulu di tepi jalan.”

“Ada apa?”

“Mas Aan mau ngomong.” Sambil melirik ponselnya yang masih terhubung sama Ansel. “Katanya ini penting.”

“Sebentar. Aku cari tempat berhenti dulu.”

“Mas Aan barusan denger sendiri, kan? Jadi sabar,” gerutunya lagi.

Andra kaget mendengar suara Ansel balik mengomeli adiknya setelah panggilannya diubah jadi loudspeaker. Begitu mobil parkir di pinggir jalan kosong dan luas, Soraya menyodorkan ponselnya ke Andra. Tapi sebelumnya dia berkata, “Saranku Mas Andra gak usah dengerin omongannya Mas Aan.”

Ansel terdengar seperti sedang mendengus di tempatnya. Setelah mendengar suara adiknya yang menyuruh Andra supaya tidak mendengarkan omongannya nanti.

Andra tidak begitu memerhatikan sarannya dan langsung mengambil alih telepon. “Hallo?” Dia masih ingat seperti apa wajah kakak Soraya ini. Mereka pernah sekali bertemu dulu waktu dia datang untuk menjenguk Soraya di rumah sakit.

“Andra, ya?”

Soraya mencibir balasan Ansel.

“Iya. Kakaknya Aya?”

Obrolan itu diawali sama basa-basi. Sesekali Soraya menimpali kalau Andra tidak perlu memanggil kakaknya itu mas atau bang, cukup Ansel saja. Dia menjelaskan lagi kalau mereka mungkin seumuran. Lucunya, sampai sekarang Soraya belum pernah bertanya berapa usia Andra. Dia hanya menebak kalau Andra seumuran sama kakaknya.

Yeah, kalau Andra mantan pacarnya Andini setidaknya tebakannya itu benar. Soalnya Andini itu beberapa tahun lebih tua dibanding Mas Bondan.

Sampai juga basa-basi keduanya pada pertanyaan berikutnya. Soraya memandang cemas Andra. Khawatir kalau-kalau dia berubah jengkel gara-gara pertanyaan yang akan dilontarkan kakaknya itu. Banyak laki-laki yang menyerah mendekati Soraya berkat Ansel yang terus menyidang mereka di muka.

Biasa pakai mobil? Berapa kecepatan di jalan? 40? 60? 80? 100? Kamu orang yang suka marah kalau macet di jalan?” Soraya spontan menutup mulut dan menutup mata malu. “Siapa yang ngajak pergi duluan? Kalian mau ke mana? Tempatnya seperti apa di sana? Ramai atau sepi? Biasa pacaran sehat atau gak sehat? Suka main tangan? Aya anaknya bawel. Orang suka sebel kalau denger dia ngomong blak-blakan.”

Soraya mendecak sebal namanya dibawa-bawa. Dia hendak berteriak marah sama Ansel, tapi Andra menyuruhnya diam. Andra menggeleng samar sambil menepuk lembut punggung tangannya yang mengepal di atas pangkuannya itu.

“Udah boleh respon?” tanya Andra setelah Ansel diam tak bicara lagi.

Ansel mengiyakan dan memberinya waktu untuk berpikir. Faktanya Andra langsung menjawab tanpa pikir panjang, sementara Soraya sedang menahan napas dan tanpa sadar kini meremas tangan Andra. Seolah khawatir balasan Andra tidak bisa diterima kakaknya. Sampai sekarang dia masih belum mengerti, kakaknya itu menilai seseorang entah dari apa dengan pertanyaan-pertanyaan anehnya itu.

“Sebenarnya aku lebih terbiasa pakai motor sehari-harinya. Ngomongin kecepataan tergantung situasi juga. Maksudnya, kalau memang lagi terburu-buru kadang sekitar 80 km/per jam. Tapi kalau situasi di jalan lagi ramai ya, harus sabar, gak bisa lebih dari segitu, paling mentok 60. Sementara dalam keadaan biasa selalu di bawah angka 60 km/per jam selama kondisi arus bebas. Masalah aku orang pemarah atau gak, kamu bisa tanya sama Aya.”

Andra melirik Soraya bergeming kaku di tempatnya. Kepanikan itu masih tersirat pada serautnya. Andra mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya dan balas meremas tangan itu agar dia tidak panik.

“Aku yang ngajak pergi duluan.” Soraya speechles. Seingatnya dialah yang mengajak Andra duluan. “Tempatnya lumayan ramai, mungkin. Aku kurang tahu juga karena udah lama gak ke sana. Biar kusuruh Aya buat share video kondisi tempatnya begitu sampai. Terus sekali lagi, kamu bisa tanya sama Aya sendiri. Dia yang jalan sama aku, dia yang bisa menilai apa yang dia lihat padaku. Haha. Benar! Kadang sedikit malu kalau dia blak-blakan.”

Soraya kembali speechles. “Mas Andra malu?” Entah harus tersinggung mendengar pengakuannya atau harus biasa-biasa saja.

“Iya, sedikit.” Lalu bertanya, “Kenapa? Bukannya kamu emang suka ngomong blak-blakan?”

“Iya, sih.” Soraya meringis merasa menyesal selalu bersikap begitu.

“Selama kamu nggak bermaksud buat mempermalukan orang lain, itu gak masalah. Toh, sisi positifnya kamu gak pernah menyembunyikan perasaanmu.”

“Jadi itu baik?”

Andra mengiyakan. Soraya menghelas napas lega mendengar itu lansung darinya. Ansel yang mendengar berdehem untuk menarik perhatian mereka. Agak sebal sebenarnya karena jadi diabaikan.

“Aya gak suka kopi. Belum tau, kan?”

Andra refleks tertawa. “Soal itu aku udah tau.” Lebih tepatnya, dia hanya menebak saja karena selama jadi pelanggan kafe Soraya tidak pernah sekalipun pesan minuman kopi. Jadi, dia menebak-nebak kalau Soraya tidak suka kopi.

Ansel mendengus. Lalu berkata lagi, “Aya paling suka liburan ke kebun binatang. Belum tahu, kan?”

“Mas Aan!” gerutunya setengah berteriak. Lalu ngomel-ngomel. “Kalau Mas Aan ngomong terus kita malah gak jadi pergi. Lagian, Mas Aan gak kerja apa?”

Mas kerja, lho.” Terus balik ngomelin adiknya yang cuma melongos tak peduli. “Iya deh, udahan telponnya. Eh! Kalian pulangnya jam berapa?”

Andra memandang Soraya yang juga melihatnya. “Paling sampai Aya bosen.”

“Kok malah bawa-bawa aku? Kan harusnya Mas Andra yang tau pulangnya jam berapa.”

“Berarti aku bilang kita pulang sekarang kamu mau?”

“Ya ... enggak gitu!” Soraya menggerutu. “Maksudnya—”

“Maksudnya sampai kamu bosen. Baru nanti aku anter kamu pulang. Bukannya kamu sendiri yang bilang masih pengen jalan bareng?”

Woi, woi, masih ada kakaknya di sini!” tegur Ansel. “Biar aku yang putusin kapan kalian pulang.”

Soraya kembali akan protes, tapi Andra lagi-lagi menyuruhnya diam.

Kalian pulang jam enam.” Soraya merana seketika. “Ndra, nanti kita ngobrol lagi di rumah.”

Alis Andra meninggi. Soraya mengerang keras dan protes sama Ansel yang main seenaknya memutuskan kapan mereka harus pulang. Ansel sebaliknya bersikeras kalau jam segitu dia juga sudah sampai rumah dan ingin bertemu Andra secara langsung. Masih ada yang ingin dia bicarakan.

Selesai. Telepon berakhir dengan Soraya yang cemberut bete.

“Gak usah bete,” ucap Andra mencoba menghiburnya.

“Tapi ini kesempatan bisa jalan bareng Mas Andra. Kalau cuma sebentar sama aja bohong.”

“Emang kamu mau selama apa?”

“Sampai aku bosenlah!” tandasnya.

Andra tersenyum geli. Lalu menarik tangan dari genggaman Soraya. Beralih untuk mengacak gemas kepalanya.

“Lain kali lagi. Oke?”

“Emang bakalan ada lain kali lagi?”

Andra semakin mengacak kepalanya. “Ada. Kalau kamu minta.”

Soraya berbalik menghadapnya seiring tatapan tak percayanya itu. Barusan dia enggak salah denger, kan? Barusan itu ngomong Mas Andra, kan?

Fun fact: satu-satunya chapter lionhearted di bawah 3k kata di luar bagian prolog tuh, chapter “🐙 thinking”. Aku nulisnya dari jam 4-5 sore sebelum update, makanya di bawah 3k kata 🏃‍♀️

Dibanding hotsy-totsy jumlah kata lionhearted lebih banyak. Bekos I gemes sama Andaya 💆

Kek apa yaa, aku udah kapalin onesoo dari lama. Crackship kesayanganku. Dulu tiap buat cerita mereka berakhir unpub (entah karena apa). Jadi terkesan seperti satu-satunya kapal kesayangan yg belum aku buatin lapak sendiri (padahal ada. mungkin kalian pernah baca Te Amo, remorse, sama flatshoes di 2018) tapi eksistensi mereka sering kuumbar di sosmed. Terus sekarang, terwujud dan meleyot sama tulisan dewek 😭

Bisa dibilang tuh, taesoone triple all kill-ku 🏃‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top