👩⚖ komitmen
Gak jadi libur hahaha 🙆
“Bagus, dong. Berarti Mas Andra tipe orang yang sat set sat set. Banyak omong, banyak tindakan juga,” kata Bunga seraya berjalan kaki bersama Soraya menuju tempat fotokopian di fakultas tetangga. Pas-pasan fotokopian fakultas mereka lagi tutup.
“Lagian gak apa-apa kali nikah muda after graduation. Terus Mas Andra juga kayak tipe orang yang siap bertanggungjawab.”
Soraya mengangguk setuju. Andra memang seperti orang yang siap bertanggungjawab pada semua rencana-rencana masa depannya. Selain dia orang baik penuh perhatian, dia juga seorang perencana. Mungkin diam-diam selama ini dia telah membuat struktur kasaran masa depannya akan seperti apa pada sebuah tabel. Soraya hanya menebak-nebak meski dapat merasakan kalau Andra pasti akan melakukan hal seperti itu jika diminta oleh seseorang. Dan entah mengapa, Soraya merasa bahwa Andra pun tipekal orang yang cukup berambisi besar dengan masa depannya.
Secara tak langsung, kadang-kadang Soraya melihat itu dari diri Andra. Terutama saat membicarakan seperti apa masa depan versi Andra, dia selalu semangat dan tampak berbeda. Yeah, itu sekadar dugaannya belaka yang akhir-akhir merasa agak bingung sama dirinya sendiri.
Dia begini bukan karena tidak bahagia atas niatan baik Andra mengajaknya menjalin trial komitmen dalam jangka waktu tertentu. Soraya bahagia—sungguh. Hanya saja, dia sering meragukan kemampuannya kelak sebagai bagian dari perencana masa depan Andra. Selama ini dia hanya let it flow sama kehidupan. Belum terlalu memikirkan setelah lulus mau apa dan bagaimana cara mendapatkan itu.
Tahu kan, rencananya setelah wisuda cuma pengen liburan bareng Bunga. Yeah, having fun sajalah. Sementara rencana kerja atau menikah sama sekali belum ada pada rencana masa depannya. Dia biarkan hidupnya mengalir gitu saja. Kalau dapat A dia syukuri, kalau dapat B tetap dia syukuri, terus kalau enggak dapat apa-apa, yaudah, terus berusaha cari lainnya.
Benar kata-kata Andra bahwa jiwa mudanya ini masih cari kebebasan. Masih butuh banyak pengalaman di luar zona nyamannya saat ini, terutama dunia kerja. Dunia yang orang-orang sebut paling keras dan harus menyiapkan mental sekuat baja supaya tahan banting.
Berarti kalau dia menikah muda, dia tidak akan mendapatkan pengalaman itu. Soraya terus kepikiran perihal ini yang sebenarnya bukan masalah sepele. Ini serius karena menyangkut masa depannya.
Rasanya nikah muda gimana, sih? Seringnya dia mempertanyakan hal demikian. Saking sering dan penasarannya, belakangan ini dia terus mencari jawaban di internet. Entah di blog, thread Twitter, atau sampai ke Youtube. Dan ada banyak kisah pernikahan muda yang telah dia baca di portal seperti Qoura.
Banyak yang meninggalkan pesan di awal untuk jangan buru-buru nikah muda. Coba pikirkan baik-baik karena menikah muda tidak semanis kelihatannya. Tidak semanis pasangan muda di dalam sebuah tayangan drama. Banyak yang mengaku menyesal telah menikah di usia muda. Mereka mengaku menderita karena kekerasaan dari pasangan, kelakuan pasangan yang masih seperti anak-anak dan lebih menuruti perkataan orang tua alih-alih pasangannya sendiri, ditinggal cerai setelah punya bayi, beda pendapat, merasa gagal menjadi istri karena belum terbiasa dengan urusan rumah tangga, atau pasangan selingkuh ... blah, blah, blah, Soraya sudah baca semua kisah itu dari A sampai Z.
Namun, bukan berarti tidak ada yang mengatakan bahwa menikah muda itu menyenangkan. Banyak juga kok, orang-orang yang mengaku bahagia dengan pernikahannya di usia muda. Lalu ada pula yang menasehati supaya mereka melakukan konseling pernikahan sebelum nikah, wajib bagi pasangan muda yang ingin menikah muda dan bahagia bersama pasangan dalam pernikahan kelak.
Kisah-kisah itulah yang belakangan membuatnya berjaga hingga larut malam. Soraya terus mencari jawaban itu meski telah membaca banyak kisah dari berbagai sumber. Dan kepuasaannya untuk mendapatkan jawaban belum terpenuhi sepenuhnya. Dia masih bertanya-tanya hingga detik. Meragukan apakah keputusannya nanti benar atau salah.
Emang aku bisa jadi istri yang baik buat Mas Andra? Pun memikirkan, emang Mas Andra bisa jadi suami yang baik buatku?
Baik dalam arti sebagai pasangan suami istri pun turut meninggalkan tanda tanya besar di kepala. Seperti apa menjadi istri baik dan sejenis apa suami baik itu.
Tidak ada yang tahu jawabannya selama mereka belum pernah melakoni hubungan itu. Soraya terus menimbang-nimbang jawabannya. Toh, dia masih punya waktu untuk menikmati masa-masa trial komitmen ini sebelum memutuskan apa yang dia pilih.
“Terus apa yang bikin kamu ragu?” tanya Bunga menarik fokus Soraya yang terus melamun sambil jalan itu.
Soraya mengidikkan bahu. “Gak tahu.”
Bunga lalu berhenti demi melihat seraut bimbang sang teman. Dia mendesah prihatin atas apa yang sedang didebatkan isi kepalanya. Kalau dia di posisi Soraya ini paling terpikirkan hal sama. “Udah bilang Mas Andra belum?”
Dia menggeleng tanpa senyum.
“Terus mau tetap dipikirin sendirian? Beneran, nih?” Bunga saja meragukan tekad Soraya yang ingin menyimpan perasaan gelisahnya ini sendirian tanpa berbagi sama pasangannya. Menurutnya itu enggak adil kalau hanya satu orang yang menderita atas semua tekanan yang ada.
“Mas Andra sibuk.”
“Masa, sih?” Bunga meragukan alasannya. Sangat bukan Soraya sekali. “Setelah ajakannya itu, dia malah sibuk?”
“Maksudnya sibuk kerja.”
“Tapi tetap kontakan, kan?”
“Jarang.”
“Lho?”
Soraya mengidikkan bahu. “Bung, kamu tau kan aku lebih suka ketemuan langsung.”
Bunga mengangguk paham. Iya, temannya ini lebih suka bicara dan ketemu langsung orangnya ketimbang chatingan. Tapi bukankah lebih baik mereka rutin kontakan, mengingat hubungan yang mereka jalani ini bukan sekadar pacaran biasa. Bunga ingin mengomentari namun urung sebab akan menambah beban pikiran sahabatnya. “Terus kapan terakhir kalian ketemu?”
“Semalam dia mampir ke rumah kok.” Lalu dia mengingat-ingat lagi jadwal pertemuan dan kencannya sama Andra. “Biasanya aku juga ke kafe nemuin orangnya. Atau gak ketemuan di luar entah nonton, jalan-jalan di beberapa tempat yang aku sukai atau tempat favoritenya Mas Andra. Ya gitulah pokoknya. Masih tahap saling kenalanlah. Kamu juga tahu sendiri.”
“Emang harus gitu,” kata Bunga terus melangkah lagi dengan Soraya mengikutinya di samping. “Let it flow, Ay. Kalau Mas Andra bisa fokus sama kerjaannya, kamu juga harus fokus sama skripsi biar lulus tepat waktu. Biar Mas Andra bisa cepat-cepat nikahin kamu.”
Soraya mengangguk paham. Belakangan pun dia juga semakin sibuk fokus menyelesaikan bab 4 setelah rampung menyebarkan angketnya. Untung jadwal kencan mereka enggak terjadi setiap hari. Biasanya seminggu tiga kali bertemu—paling lama—paling bentar satu kali pas weekend. Mereka akan pergi keluar berkencan kalau sama-sama punya waktu senggang. Kalau Andra lagi sibuk banget, Soraya yang akan datang ke tempat kerjanya. Di sana mereka hanya mengobrol santai dengan sesekali Rita usil, sengaja terus menggoda Andra kalau ada dia. Rita sempat kaget pas tahu kalau mereka sudah berkomitmen, sampai-sampai dia mengira lagi mimpi.
Sedang kalau Soraya bilang sibuk dan capek pikiran masalah skripsi, mereka tidak akan pergi kencan. Paling Andra menemuinya ke rumah sambil bawain cemilan kesukaannya. Di rumah Andra jarang menganggu kesibukannya. Terkadang dia turut menolongnya, menghitung satu per satu jawaban dari pertanyaan respondennya. Mulai dari total SS, S, ST, dan seterusnya. Atau enggak dia ke teras halaman belakang rumah berbincang santai bersama ayah dan kadang ibu ikut bergabung. Entah apa yang mereka obrolin di situ, Soraya tidak pernah tahu dan tidak berniat untuk mencari tahu.
Untungnya Ansel jarang pulang ke rumah. Akhir-akhir ini kakaknya juga jadi orang sibuk yang susah dihubungi dan pulang. Dia hanya dua kali telepon dalam beberapa hari untuk menanyakan kabar ibu ayah terus kabarnya dan berakhir dengan guyonannya kalau Soraya bentar lagi menikah dan melangkahi kakaknya itu.
Soraya sering jengkel kalau kakaknya terus usil tanpa tahu bahwa belakangan ini dia semakin banyak pikiran. Iya setiap hari dia semakin menerima banyak pikulan di pundak. Ditambah Soraya merasa tertekaan dengan semua atensi yang didapatkan setelah menerima ajakan trial komitmen Andra.
Padahal sebelumnya, dia yakin kalau tidak akan sampai sejauh ini tekanannya. Ternyata godaan itu semakin timbul dari berbagai sisi begitu mereka semakin dekat pada masa-masa trial. Mungkin efek dari seringnya dia membaca kisah orang-orang di Quora dan meragukan dirinya sendiri yang membuatnya jadi gampang dilema.
Bacaan itu telah memengaruhi sebagian besar pikirannya. Soraya merasa bahwa dirinya mulai kena trust issue pada pernikahan di usia muda. Di satu sisi dia bahagia; di satu sisinya lagi dia ketakutan. Perasannya terus campur aduk tanpa henti. Membuat kepalanya sering pusing dan memengaruhi mood-nya selama mengerjakan skripsi. Tanpa sadar dia sering uring-uringan di rumah sampai menyewoti saudara dan orang tuanya kalau menyinggung masalah nikah. Terkadang dia menangis tanpa sebab di kamar. Seolah-olah dia kehilangan bagian penting dari dirinya yang tidak pernah bisa dikembalikan utuh lagi.
Mungkin dia belum siap. Jiwa muda bebasnya ini belum siap menghadapi dunia orang dewasa.
Perubahan dalam dirinya belakangan ini, yang gampang gelisah tanpa sadar, belum pernah dia ceritakan pada Andra. Soraya mengkhawatirkan banyak persoalan mulai dari skripsi, sidang, sampai masa depannya, sehingga tatkala bertemu dengannya, dia selalu lupa untuk membicarakan hal tersebut. Ketika bertemu Andra yang dia mau hanyalah bahagia, seakan tidak punya beban.
Namun, dia beruntung karena ibu peka terhadap situasi peliknya. Sehingga sesekali beliau mengajaknya bicara berdua di kamar. Awalnya Soraya tidak ingin bercerita apa-apa dan berkilah kalau dia baik-baik saja, ibu memahami dirinya sangat baik sehingga tidak memaksanya untuk langsung bercerita. Lalu lama-kelamaan dia mulai berani untuk bercerita. Mengakui semua kegelisahannya di depan sang ibu.
Ibu menyimak obrolannya dengan baik. Tidak ada justifikasi dari ibu. Justru beliau segera memberinya masukan bahwa wajar kalau saat ini Soraya mengalami banyak godaan terkait rencana masa depannya itu. Konsep menikah muda masih awam baginya, sehingga sulit untuk baginya sekarang ini memahami dunia itu. Soraya belum pernah terpikirkan soal menikah di usia muda sebelum Andra menyatakan niat baiknya. Kini secara mendadak ia diminta untuk menerima perubahan rencana dari masa depannya itu.
Untuk saat ini dia masih abu-abu. Godaan akan sering datang dari segala sisi. Dan wajar apabila dia terus meragukan rencana masa depannya meskipun sangat tertarik ingin melakoninya bersama Andra. Ibu sering menasehati seperti apa yang ayah katakan dan apa yang dikatakan Andra dulu. “Jangan terbebani, Nak. Toh, kamu masih punya dua pilihan. Kamu masih bisa bilang tidak kalau belum yakin.”
Semenjak itu, Soraya merasa dirinya semakin dekat sama ibu—sebelumnya memang dekat, tapi tidak sedekat ini karena biasanya tempat curhatnya di rumah itu kakaknya, Ansel. Dia selalu mendatangi ibu saat gelisah dan menangis di pelukannya. Atau kadang-kadang di pertemuan itu dia manfaatkan dengan bertanya-tanya dunia menikah versi ibu seperti apa. Dan ibu memberinya sebuah cerita yang tidak pernah dia ketahui sebelum ini, mungkin Ansel juga belum tahu-menahu persoalan ini.
Pernikahan orang tuanya tidak melulu bahagia. Pada awal-awal menikah ibu sama ayah sering bertengkar karena masalah sepele. Ibu yang selalu menaati aturan dan ayah suka melanggar peraturan itu, sering jadi momok pertengkaran dalam rumah tangganya. Ayah memang penurut, tapi kadang suka lupa yang sering bikin ibu sakit kepala menghadapi kebiasaannya itu. Seperti ayah sering pulang larut malam karena lembur kerja, sementara ibu tidak suka suaminya pulang lewat dari jam sepuluh malam. Dan ibu berpikir ayah sudah melanggar janjinya sebelum menikah, yang berjanji tidak akan lagi membiasakan lembur di kantor. Ibu marah karena mengkhawatirkan kondisi ayah yang sering mengeluh sakit kepala dan mengantuk setiap pagi, sedang ayah membela diri kalau semua itu demi ibu juga.
Awal-awal dari pernikahan orang tuanya terlalu banyak drama. Hanya manis di minggu awal pernikahan, minggu berikutnya sifat-sifat jelek baik dari ibu maupun ayah mulai muncul. Bahkan ibu cerita kalau ayah hampir minta cerai karena merasa tertekan dengan aturan dan sifat keras kepala ibu. Beruntung niat jelek itu tidak pernah terwujudkan saat ibu mulai mengandung Ansel, anak pertama mereka. Dan semenjak itulah, baik ibu maupun ayah, keduanya saling memaafkan dan setuju untuk saling memperbaiki diri demi pernikahan mereka. Sampai bertahun-tahun kemudian mereka punya Soraya.
“Selama komunikasi baik, semua akan baik-baik saja,” kata ibu. “Jangan ragu buat bilang apa maumu dari pasanganmu dan apa salahnya pasanganmu di matamu. Katakan semua dan bicarakan. Tapi kamu, sebagai seorang istri nanti, jangan pula merasa superior dengan merasa benar setelah mengatakan kemauan dan kesalahan pasanganmu. Pernikahan itu dua orang, Aya, bukan sepihak.”
Soraya beruntung karena dapat terbuka bersama ibunya dalam masa-masa sulitnya ini. Belakangan itu pikirannya lebih terbuka, enteng, dan dia jadi lebih semangat dan lega kalau mendekati jadwal kencannya sama Andra. Dia pun mulai sering bertukar kabar via pesan atau sesekali mengusilinya via telepon.
Komunikasi itu penting. Ibu terus mengingatkanya supaya lebih sering bicara dari hati ke hati sama Andra. Membicarakan dan mendiskusikan masalah mereka sebagai pasangan, bukan individu.
Dia kira setelah semua kegundahan hatinya keadaan akan baik-baik saja, mereka bisa lebih sering bertemu di luar untuk berkencan seraya membicarakan rencana masa depan itu bersama. Tapi tanpa disangka keluarga Andra mengalami musibah. Ibu Andra kembali jatuh sakit dan tak sadarkan diri selama dibawa ke rumah sakit.
Soraya seketika menyebut dirinya egois. Dia hanya memikirkan hubungannya bersama Andra, tanpa mencoba untuk mengenal lebih dekat keluarga pasangannya. Memang dia sering mampir ke rumah Andra bertemu orang tuanya, tapi belum pernah sedikitpun mencoba untuk mendekat lebih sebagai calon pasangan anaknya. Soraya selalu menempatkan posisinya sebagai orang asing di sana alih-alih bagian dari keluarga itu. Berbeda sama Andra yang selalu menempatkan diri sebagai bagian dari keluarga Soraya, bukan lagi orang baru.
Andra selalu berusaha untuk dekat sama orang tuanya. Sering dia bertamu membawakan cemilan kesukaan orang tuanya setelah bertanya secara terselubung lewat obrolan mereka setiap bertemu. Andra sangat pintar mengambil hati orang tuanya dibanding Soraya yang kaku dan minim pengalaman. Sementara Andra ketika bersama kakaknya, Ansel, mulai tampak seperti pasang teman nongkrong. Dia sering dibuat cemburu sama kedekatan mereka. Terus berlagak seolah-olah tidak ada yang boleh dekat Andra melebihi dirinya sampai Ansel menyebutnya si tukang cemburu.
Sementara usaha Soraya bersama keluarga Andra masih setengah-setengah. Dia baru tahu apa yang disukai orang tua Andra dari Andra sendiri. Soraya masih ragu dan canggung saat mengakrabkan diri bersama orang tua Andra. Justru ibunya yang terus mendekatinya, malah langsung menyuruh Soraya supaya memanggilnya ibu alih-alih tante.
Lalu sekarang, dia menyesal telah melewatkan kesempatan itu.
Soraya begitu terpukul setibanya di rumah sakit dan melihat Andra menangis untuk pertama kali. Mbak Lala—orang yang selalu menjaga ibu di rumah—terus mengusap punggung Andra untuk menenangkannya sementara dia sendiri pun sedang menangis. Dulu Soraya mengira gadis itu sebagai saudara Andra sebelum ibu memberitahunya siapa itu Mbak Lala.
Soraya mendekati bangkunya dengan langkah berat dan perasaan tak tenang. Sudut matanya lalu menemukan keberadaan Pak Galih yang duduk di lantai dengan wajah kosong. Tidak ada tangisan namun kesedihan itu tampak jelas di wajahnya. Melihat kedatangannya Mbak Lala spontan tersenyum, lalu menyingkir dan beralih mendekati Pak Galih.
“Mas Andra?”
Andra mendongak dengan mata merah dan sembab. Hatinya mencelos menyakiskan keadaannya yang begitu nelangsa. Sosoknya yang selalu penuh percaya diri, kini tampak begitu menderita. Andra segera menarik tubuh Soraya dan mendekapnya erat. Dia kembali menangis tanpa berusaha untuk menyembunyikan perasaannya itu.
Soraya mengusap kepalanya tanpa bicara. Memberinya dukungan emosional dan kekuatan supaya tetap sabar. Soraya sedikit membungkuk ke arah telinganya, semata-mata ingin berkata, “Mas juga harus doain ibu biar cepat sadar.”
Tidak ada sahutan, hanya ada anggukan. Soraya merengkuhnya sambil terus mengusap punggungnya agar tenang dan dalam hati dia terus berdoa semoga ibu mertuanya itu kembali sadarkan diri.
Hampir satu jam Andra menangis dengan posisi sama. Soraya hampir mati gaya karena berdiri terlalu lama bersama Andra yang terus memeluknya tanpa ingin melepaskan dirinya. Soraya tidak protes justru membiarkan ini berlarut-larut, bahkan setelah dokter muncul dan mengatakan bahwa ibu syukurlah dalam keadaan baik. Kemudian meminta Pak Galih untuk mengikuti sang dokter yang menangani istrinya itu ke ruangannya. Ada yang perlu mereka bicarakan dan itu berhubungan sama kesehatan ibu.
Barulah kemudian Andra melepaskan pelukannya. Soraya nyaris oleng jatuh andai Andra tidak mengapai pinggangnya terus menyuruhnya agar duduk di sebelahnya. Andra tampak merasa bersalah sudah memaksanya berdiri lama, namun Soraya terus berkata kalau dia tidak apa-apa.
“Kalau nangis mulu nanti jelek lho,” selorohnya menggodanya supaya mau tersenyum lagi setelah menangis. Soraya mengusap sisa-sisa air matanya itu dengan ibu jarinya. “Sekarang banyakin doa biar ibu cepat sembuh. Biar nanti ibu nemenin Mas Andra di pelamin.”
Andra menyipitkan mata.
Soraya pura-pura tidak tahu dan hanya terus menggodanya. “Ada yang salah? Emang Mas Andra gak mau nikah, terus ada ibu yang nemenin?”
Andra menggeleng. Lalu meraup tangan Soraya di dekat wajahnya itu. “Emang kamu mau nikah sama mas?”
“Tergantung,” katanya sambil mengidikkan bahu. “Kalau Mas Andra terus-terusan nangis, aku gak mau dinikahin. Ya kali, suamiku orangnya cengeng. Apaan deh, gak banget!” Soraya nyengir sambil melirik ke arah Andra yang perlahan mulai tersenyum.
Lega sekali melihatnya begini.
“Berarti kalau mas berhenti nangis, kamu mau dinikahin?”
“Hmm ... mungkin?” Soraya kembali pura-pura tidak tahu. Semata-mata ingin terus menggodanya supaya kembali seperti Andra yang biasanya penuh percaya diri itu. Kemudian dia tertawa ketika Andra memelototinya dengan mata bengkaknya. “Haha. Iya, Mas Andra. Iya.”
“Iya, apa?”
“Ya, ayo, kita nikah.”
“Sekarang?”
Giliran Soraya yang mendelik. “Enggak sekarang juga, dong! Kan ibu masih belum sembuh.”
Tawa Andra menggelegar. Kelakarnya memantul sampai terdengar ke ujung koridor rumah sakit. Membuat sebagian orang lewat di koridor rumah sakit menoleh bingung ke arahnya dan orang yang sejak tadi melihatnya menangis kini jadi menatapnya aneh. Mengira bahwa Andra sudah gila. Masa tadi habis nangis sekarang udah ketawa aja.
“Sssst! Mas Andra udahan, dong. Jangan ketawa begitu. Serem tau.”
“Haha.”
Soraya mendelik terus berupaya mencegah tawanya timbul dengan menutupi mulut itu dengan kedua tangannya. Alih-alih berhasil Andra justru mencengkram tangannya. Mengenggam sambil terus menatapnya serius seiring lenyapnya suara tawanya.
“Makasih.” Kata-kata itu terucap begitu tulus. Soraya mengangguk dan urung membalas ketika Andra mencium punggung tangannya. “Udah bikin satu hariku tenang.”
Soraya mengerjap merasa deja vu dengan kata-katanya. Andra pernah mengatakan hal yang sama saat di kafe dulu. Setelah dia merajuk karena upayanya mencoba untuk menghindarinya. Tidak menyangka waktu berlalu begitu cepat.
Soraya kontan tersenyum sampai ke mata. “Sama-sama, Mas.”
Empat hari kemudian setelah dari rumah sakit, Andra datang bersama rombongan keluarga, minus ibunya yang masih dirawat inap di rumah sakit, datang ke rumah melamarnya. Mereka lamaran setelah trial komitmen selama satu bulan lebih dua hari, seminggu sebelum Soraya sidang skripsi.
“Ciee ... udah dilamar aja.” Ansel terus menggodanya selama acara pertunangannya.
Soraya yang hari itu lagi senang langung membalas candaan kakaknya itu dengan kata-kata menohok. “Ciee ... orang tua belum ngelamar siapa-siapa.” Senyumnnya mengejek sekali sambil pamer cincin yang melingkari jarinya di depan wajah Ansel. “Maaf nih, bukannya gak sopan. Tapi Mas Aan mundur dulu, ya. Aya maju duluan soalnya.”
Ansel mendengus sebal merasa dikhianati sang adik, sebelum melengos pergi dengan perasaan dongkol. Ujung-ujungnya pun Soraya maju duluan dan melangkahi sang kakak karena kabarnya Ansel masih belum ada niatan bawa calon pasangannya ke rumah. Atau mungkin Ansel masih belum menemukan jodohnya.
Soraya merasa pribatin. Tiba-tiba terbesit di kepalanya untuk mendaftarkan nama kakaknya itu pada acara Take Me Out.
“Biasaan kan, mikirin aneh-aneh,” tegur Andra muncul kembali setelah ditarik ke halaman belakang sama ayah untuk bicara secara pribadi. Andra melingkarkan tangan kanan ke pinggangnya, lalu tiba-tiba dia mencium pipinya.
Soraya melotot kaget diikuti teguran keluarga yang masih berkumpul di belakang mereka.
“Ndra, yang sabar!” Barusan itu suara Pak Galih, bapaknya Andra.
“Sabar toh, Ndra. Tunggu anaknya lulus dulu,” tegur ayah Soraya sambil berdecak.
“Dasar calon pengantin.” Lalu suara kerabat mereka yang turut hadir pada acara pertunangan mereka.
Rombongan ibu-ibu justru sebaliknya menggodanya. Membuat Soraya mati gaya di depan mereka. Semua gara-gara calon suaminya ini yang usil dan hanya terkekeh berdiri di sampingnya ini.
Soraya cemberut terus menyikut perutnya. “Malu tahu,” gerutunya, terus ikutan melengos pergi menyusul Ansel di dapur yang ternyata lagi makan pisang goreng.
Masih ada waktu dua minggu lewat dua hari sebelum pernikahannya. Soraya memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya untuk lebih dekat sama keluarga Andra dan sama calon suaminya juga. Disamping itu, dia juga fokus menyiapkan diri buat maju sidang.
Berita Soraya bertunangan telah menyebar ke mana-mana. Ke teman-teman kuliahnya, mantan teman sekolah yang masih berhubungan di sosmed, dan pengikut setianya di akun menulisnya. Soraya telah menyebarkan kebahagiaannya itu kepada semua orang.
Ucapan selamat atas pertunangannya datang dari banyak kenalan. Soraya sampai kewalahan membalas ucapan mereka terutama puluhan DM masuk di Instagram, ratusan DM di Twitter dan akun menulis dari pengikutnya. Soraya terharu membaca semua doa-doa mereka dan dengan tulus mengucapkan terima kasih. Bahkan Bu Ella, dosen pembimbingnya, terus menggodanya di group chat skripsi maupun tatap muka untuk bimbingan. Dia sampai kaget karena ternyata Bu Ella bisa seusil itu sama mahasiswanya. Tidak seperti bayangannya saat mengampu mata kuliah.
Lalu di luar dugaannya, Mas Tian mengucapkan secara langsung atas pertunangannya saat mereka tak sengaja bertemu di gedung pernerbitan. Ketika Soraya mengantarkan berkas barunya ke Mbak Wendi. Mereka tak sengaja bertemu di dalam lift. Tian mendengar beritanya dari Wendi dan Putra tanpa sengaja.
“Selamat atas pertunangannya, Mbak Aya.”
Soraya tersenyum lebar. Tidak lagi merasa canggung bertemu sama laki-laki pernah membuatnya jatuh cinta dulu. Tian sendiri entahlah, Soraya tidak begitu memperhatikan dirinya di samping ini selama di dalam lift. Dia hanya menyadari kalau Tian berubah sedikit lebih kurus dan dagunya mulai tumbuh jambang. Selain itu tidak ada yang berubah. Dia tetap mempesona dan gagah seperti dulu.
“Mas Tian jangan lupa datang sama Mbak Rara, ya!” katanya sebelum pintu lift terbuka.
“Kapan kalian menikah?”
“Gak lama lagi kok. Setelah aku lulus.” Soraya mulai melangkah keluar dari lift. “Undangannya pasti sampai ke Mas Tian dan Mbak Rara. Hehe ditunggu pokoknya!”
Tian hanya mengangguk. Lantas turut melangkah keluar dari lift. Mereka saling bertukar pandang sesaat sebelum berpisah.
“Aya.”
Panggilan itu menghentikan langkahnya. Soraya berhenti sebentar untuk sekadar berpaling ke arah Tian yang masih berdiri di belakangnya, tepat di depan lift, memandangi dirinya dengan tatapan yang sulit dimengerti.
“Ya,” balasnya. “Mas Tian ada apa?”
Tian menggeleng dan hanya berkata, “Terima kasih.”
Entah berterima kasih untuk apa, Soraya hanya mengangguk sebelum berlari menemui Andra yang menunggu di dekat kendaraanya itu. Kebetulan siang itu bisa mengantarnya setelah dua hari kemarin cuma bisa ngobrol via telepon.
“Siapa?” tanya Andra begitu Soraya tiba di depannya.
“Mas Tian. Dulu korektor naskahku.”
“Oh ... kirain.”
“Kirain apa coba?” ujarnya, tertarik sama pendapat Andra kali ini.
Andra hanya mengidikkan bahu. Lantas menyuruh Soraya supaya segera naik karena mereka harus ke rumah sakit buat gantian jagain ibu sama Mbak Lala. Akhir-akhir ini mereka lebih sering ketemuan di rumah sakit. Kalau kata Andra tuh, jagain ibu sambil pacaran.
Haha.
Sementara itu, Andra sudah keluar dari pekerjaannya sebagai bertender di klub malam dari lama dan Soraya baru tahu ini. Sama seperti Soraya yang baru tahu kalau Andra termasuk sebagai pemilik Our Time Cafe. Ternyata masih banyak hal yang belum dia tahu tentang Andra. Soraya menyakinkan dirinya untuk lebih berusaha untuk mengenal sosok calon suaminya ini.
“Mas Andra. Pertanyaannya belum dijawab,” tegurnya waktu mereka di jalan.
“Pertanyaan yang mana?”
“Yang bagian kirain. Itu maksudnya apa?”
“Oh, bukan apa-apa kok,” balasnya.
“Yang bener?”
Karena bukan apa-apa dari Andra itu selalu punya maksud ganda. Jadi Soraya terus mendesaknya supaya memberitahu isi kepalanya itu.
Andra mengatakan, “Kayaknya dia suka kamu.”
“Haha. Masa, sih?”
“Gak tahu. Mas nebak doang pas lihat orangnya.”
Sepertinya Andra lupa kalau mereka pernah bertemu beberapa kali di kafe dan di rumah sakit. Soraya mengabaikan informasi itu. Terus merangkul Andra dari belakang. Menempelkan dagunya di atas pundak Andra yang lebar.
“Sabar ya, Mas Andra. Soalnya pasanganmu ini orangnya cantik, jadi banyak yang naksir. Tapi tenang aja, pilihannya tetap Mas Andra kok. Kan cintanya udah milik Mas Andra.”
Andra tersedak oleh tawanya. Tidak mengira Soraya akan mengatakan hal itu di jalan. Di saat suaranya yang hanya terdengar samar-samar karena suara bising kendaraan lain dari segala sisi. Untung saja, barusan Andra denger semua kata-katanya.
Andra menyeringai lebar. “Iya, iya, yang cinta Mas Andra.”
“Emang Mas Andra gak?”
“Kalau enggak. Ngapain juga mas ngajak kamu nikah?”
Soraya tidak mendengar jawabannya dengan jelas, tapi hanya mengangguk saja. Lalu tidak ada lagi obrolannya karena Andra harus fokus bawa motor. Ditambah lagi jalanan semakin padat sama kendaraan. Mereka nyaris terjebak macet di lampu merah, untung Andra kalau bawa motor gesit dan bisa mengambil peluang menghindari kemacetan.
Mereka tiba di rumah sakit setelah melewati lampu merah di pertigaan itu. Soraya kemudian turun dari motor begitu berhenti di gedung parkiran rumah sakit. Dia sedang melepaskan ikatan helm ketika tiba-tiba Andra main asal mengecup bagian depan helmnya.
“Kotor, Mas Andra!” protesnya.
Andra cuma nyengir. Terus kembali lagi mengecup kepalanya setelah helm terlepas dari kepalanya.
“Ih, Mas Andra kebiasaan banget.”
“Biar kamu tahu kalau mas tuh, sayang banget kamu.”
“Mulai, deh!” Soraya merapikan rambutnya terus menyipitkan mata karena Andra masih saja nyengir. “Dulu aja Mas Andra sering ngacakin kepala, sekarang cium mulu.”
“Kan itu belum jadi siapa-siapa. Sekarang kan, kamu udah jadi pasangan yang bentar lagi nikah. Lagian cuma di kepala, jadi gak papa. Tenang, mas gak akan macam-macam.”
“Oh, berarti dulu sama mantan-mantannya sering gitu? Sering nyosor gitu?”
“Kenapa? Iri?”
Soraya melotot kemudian mendorong dadanya yang bergetar berkat tawanya itu dengan helm.
“Udah, gak usah iri. Nanti kamu dapat bagian yang lebih. Tapi sabar ya, setelah menikah.”
“Dih, enggaklah. Ngapain iri?”
Andra kali ini mengacak gemas kepalanya. Kemudian melepas helm dan jaket yang dia simpan di dalam jok motor. Sebelum mereka beranjak dari sana, Andra menarik Soraya agar berdiri di dekatnya, agar dia bisa merangkul pinggangnya.
“I love you,” ucapnya berbisik di dekat telinganya di akhiri dengan kecupan singkat di pipinya.
“Iya,” jawab Soraya dengan wajah merah.
“Iya?”
Soraya berdecak malu. “Love you more, Mas Andra.” Dan refleks menyikut perut Andra. “Udah ah, ayo, pergi! Kelamaan di sini Mas Andra makin aneh. Makin aneh gombalnya.”
“Haha. Iya, iya.”
Begitulah pasangan yang sebentar lagi menikah. Menghadapi status, kehidupan, dan tempat tinggal baru yang bagaikan naik roller coaster.
Gak jadi pendek, gak jadi libur soalnya udah nemu kang pijet di bali kemarin 😂 sempat bingung sih, soalnya kan gak tinggal di rumah sendiri jadi masih abu-abu 🏃♀️
Wehh, ini panjang lho, 4k lebih haha dan mulai chapter besok siapin hati, deh! Siapin tisu dan mari pegangan tangan hahaha mari buka lembar baru kehidupan Andaya yang penuh doorprize! 👩⚖
Gak jadi sampai chapter 16. Ternyata masih panjang. Alias blm mau pisah sama Andaya 😭
Ditunggu wedding-nya 🙆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top