🎋 how to be ... (2)
“Kok Mas Andra bisa pulang?”
Pertanyaan sama kesekian yang dia tanyakan ke Andra. Pasalnya dia masih tidak percaya Andra pulang ke rumah tanpa bilang apa-apa padanya. Orang yang tahu rencana kepulangannya itu hanyalah Ansel dan Nora, selain mereka tidak ada yang tahu-menahu bahkan orang tuanya sendiri. Nora sendiri baru tahu saat Ansel mengajaknya keluar rumah dalam perjalanan menuju bandara menjemput suami adiknya tersebut.
Andra menjawab, “Liburan musim panas.” Sambil terus mengelus perutnya yang membuncit dan dia sama sekali tidak terlihat kaget melihat Soraya telah berbadan dua. Seolah-olah sudah tahu berita kehamilannya ini dari jauh-jauh hari, padahal Soraya belum pernah memberitahunya. Niatan buat kasih kejutan sepertinya gagal.
Sebetulnya Andra sempat kaget lantaran tak menyangka perut Soraya akan sebesar itu. Meski sudah punya bayangan sendiri seperti apa perubahan istrinya selama hamil, dia tetap kaget terpesona atas perubahannya ini. Sehingga Andra tak pernah bosan mengelus perutnya yang besar dan menciumnya berkali-kali. Kilatan matanya memancarkan kebahagiaan seiring cengiran lebar di bibir yang tak pernah lekang oleh waktu.
Hati Soraya menghangat menyaksikan momen demikian yang diidam-idamkannya semenjak hamil. Apalagi dia sering lihat moment bahagia sepasang calon orang tua di kelas ibu hamil, yang diam-diam bikin dia iri. Soraya sangat menginginkan kehadiran Andra di sisinya untuk berbagi kasih kepada calon buah hati mereka.
“Tapi bukannya Mas Andra kerja, ya?” tanyanya teringat pada kesibukan lainnya di luar kampus. “Terus kenapa gak bilang kalau mau pulang?”
Andra mendongak menatapnya. Kemudian dia menyadari pipi Soraya terlihat agak lebih tembam, berat badannya pun bertambah berkat kehamilannya, dan dia telat menyadarinya saking dibutakan sama perutnya yang menonjol ini. Andra tak dapat menolak dorongan untuk terus memperhatikannya. Kebahagiaan telah menjalar ke seluruh tubuhnya sejak hari itu. Hari di mana Ansel memberitahunya langsung kabar bahagia tentang kehamilan Soraya.
Pada awalnya dia heran mengapa Soraya enggan memberitahu kabar bahagia tersebut padanya langsung, bahkan sampai hari ini. Lalu Ansel memberitahunya alasan Soraya merahasiakan berita ini darinya. Membuat Andra urung mencurigai semenjak memahami kemauannya tersebut, yang ingin memberinya kejutan kala mereka bertemu nanti. Sehingga Andra hanya pura-pura tidak tahu apa-apa tentang kehamilannya ini.
“Itu magang soalnya mas belum lulus. Jadi gak bisa kontrak jadi karyawan tetap.” Dia menarik punggung agar posisi duduknya sejajar dan lebih tegap di sampingnya. “Anggap aja ini metode balas dendam soalnya kamu gak bilang apa-apa soal kehamilanmu.”
Soraya terhenyak seketika. “Tapi Mas Andra kayaknya udah tau aku hamil.”
“Iya dari Ansel.”
Benar dugaannya. Soraya refleks mencibir dalam hati dan merutuki sang kakak yang telah membocorkan kehamilannya sementara dia pengen kasih kejutan pas ketemu nanti—pas balik ke Paris. Tahunya justru Andra yang pulang ke rumah.
Andra mencodongkan tubuh ke depan dan menciumnya. “Aku kangen,” ujarnya, mengecup bibir merahnya itu sekali lagi. “Kali ini bukan sama kamu aja, tapi sama anak kita.”
Anak kita.
Dua kata itu masih terdengar asing di telinganya. Anak kita. Dulu dia hanyalah mahasiswa akhir semester yang hobi nulis, jatuh cinta pada orang salah, dan bertemu seorang laki-laki yang bekerja sebagai berista kafe. Padahal baru kemarin mereka Andra ngajakin komitmen, dia lulus kuliah terus nikah dan terbang ke Paris, lalu kini mendadak akan punya anak. Waktu berjalan begitu cepat sampai dia tidak menyadari sendiri perubahan pada kehidupannya.
Soraya tiba-tiba membayangkan bagaimana jika dulu dia menolak ajakan komitmen Andra. Apa mereka akan tetap saling dekat meskipun bukan sepasang kekasih? Atau justru Soraya masih akan menganggunya dengan sederet proposal mengajaknya kencan kedua? Tapi kalau dipikir-pikir sepertinya mereka tidak akan dekat dan Soraya akan lupa sama proposal ajakan kencan keduanya itu, sebab Andra pasti tetap terbang ke Paris. Dengan atau tidak dia menikah, laki-laki ini pasti ke Paris.
Barangkali Andra akan menemukan jodohnya di Paris, sementara dia ... yah, Soraya tetaplah Soraya.
Apapun itu, toh dia tidak pernah menolaknya dan sekarang laki-laki itu telah menjadi suaminya bahkan tak lama lagi nanti jadi ayah dari anaknya.
“Pasti mikirin aneh-aneh, kan?”
“E—enggak kok!” sahutnya nyaris gagap.
Andra sedikit tak percaya jika melihat dari geksturenya yang seperti maling ketahuan sama tuan rumahnya. Andra menyeret dirinya guna mendekati posisi duduk Soraya yang bersandar di punggung kasur. Kali ini dia lebih berhati-hati memindahkan tubuh Soraya yang lebih berat dari sebelumnya ketika mengangkat tubuh itu agar pindah ke depannya, tepat di antara sela-sela kedua tangannya. Soraya menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman, kemudian menyandarkan punggung ke dada bidang Andra dengan kedua tangan pria di belakangnya ini memeluk dirinya.
“Ngomong-ngomong, Ansel bilang kamu ikut kelas ibu hamil?”
“Mas Aan cerita?” Andra mengiyakan kemudian menceritakan apa saja yang telah diceritakan Ansel padanya tanpa sepengetahuan Soraya. Termasuk penderitaannya sebagai pengganti Andra yang sering dikerjai Soraya demi memenuhi ngidamnya itu. Yang justru bikin Andra cemburu karena tidak mendapatkan pengalaman itu sebagai seorang suami, bahkan setelah pulang ke rumah pun dia tidak mengalami penderitaan Ansel.
Kalau menurut para orang tua itu wajar sebab kehamilan Soraya telah melewati masa trimester. Gejala kehamilannya mulai mereda. Paling-paling hanya sekali atau dua kali belaka.
Semenjak kepulangan Andra, mereka lebih sering tinggal di rumah orang tua Andra. Kalau dulu semenjak tahu menantunya lagi hamil, Soraya lantas dilarang bolak-balik tinggal di rumah mertua. Karena khawatir si ibu mertua menyuruhnya supaya tetap tinggal di rumah orang tuanya saja, sementara ibu bapak Andra yang akan datang ke sana untuk berkunjung. Ibu mertua yang lebih sering datang sama Mbak Lala menemaninya, sementara bapak datang pas legowo waktunya.
“Istri kamu itu udah bisa masak. Masakannya enak!” Ibu bahkan tak ada bosan-bosannya menyanjung Soraya di depan Andra sewaktu kedatangan mereka ke rumah, yang langsung disambut hangat beliau. Saking senengnya anak sama menantunya tinggal di rumah, ibu sampai hampir mau nangis.
Gimana lagi, ibu selama ini juga kangen sama anak semata wayangnya si Andra. Biasanya ketemu di rumah, sekarang sudah jarang ketemuan. Terus kadang berharap anaknya itu pulang ke rumah sambil membawa istrinya.
“Kalau di rumah pasti Aya yang masak. Kalau ibu mau ke dapur dia selalu bilang, ‘Gak usah, Bu. Biar Aya aja yang masak.’ terus suka bantu-bantu rumah juga padahal ibu gak masalah kalau gak dibantu, selama dia di rumah dan mau ngobrol di ruang tengah sama ibu.”
Andra menoleh ke arah Soraya yang kini tersipu malu setelah dapat pujian banyak dari ibu mertuanya. Andra menahan senyum gelinya seraya mengusap kepala Soraya penuh sayang.
“Makasih Sayang,” ucapnya kemudian berbisik saat mencodongkan tubuh ke arahnya. “Udah mau sayang sama orang tuaku.”
“Orang tua Mas Andra, orang tua Aya juga,” balasnya.
Andra mengangguk lalu mengecup pipinya dan tersentak ketika dapat sikutan di perut. Soraya mendelik marah ke arahnya dengan ekspresi menahan malu. “Ada Ibu, lho!” tandasnya.
Suara tawa ibu terdengar dari kursi sebrang. “Ndra, Ndra ....”
Andra bergeming bingung. Kurang tahu apa salahnya di sini. Kenapa dia dimarahin segala? Kan cuma cium pipi doang, enggak ada salahnya kan? Oh, mungkin Soraya terlalu malu menggumbar kemesraan di depan orang tuanya. Andra pun tertarik ingin menjahilinya di depan ibunya, tapi Soraya lebih dulu menyadari geksturenya itu akhirnya pindah duduk di kursi sama di sebelah ibu.
“Kok pindah?”
“Gak mau di situ. Mas Andra mesum.”
Andra terbelalak seiring suara tawa ibu yang semakin membahana di ruang tengah.
“Sama istri sendiri. Mesum dari mananya?” Andra mengelak, tapi Soraya mengabaikannya dan memilih mengajak ibu mengobrol dengan topik lain. Akhirnya Andra merana di kursinya, terabaikan dengan obrolan para wanita di sebrang. Sementara rencana buat jahili Soraya telah gagal bahkan sebelum dia sempat melakukannya.
Liburan musim panas terjadi selama dua bulan. Andra memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya selama tinggal di rumah. Selain Soraya yang masih belajar menjadi seorang istri dan calon ibu, dia pun juga belajar menjadi calon ayah. Dengan meminta masukan dari bapak dan ayah mertua bergantian, kadang-kadang dia pun bertanya ke teman sekolah dan kuliahnya dulu yang sudah berkeluarga dan menjadi orang tua. Teman-teman dekat yang masih menjalin hubungan baik dengannya.
Andra jelas tidak akan melewatkan satu momen untuk menemani Soraya berkunjung ke dokter kandungan dan kelas ibu hamil. Dia ingin selama dua bulan itu melibatkan diri dalam rutinitas Soraya, sebagai seorang suami sekaligus ayah dari anaknya itu, yang selalu ada dan siap bertanggungjawab untuk melakukan apa pun.
Waktu menemani Soraya ke kelas ibu hamil, Andra sempat heran saat didekati ibu-ibu hamil, salah satu peserta dari group kelas itu. Dia mendatanginya tanpa ragu-ragu dan langsung melontarkan pertanyaan yang bikin Andra menatapnya aneh.
“Mas ini datang sama Mbak Aya, kan?” tanyanya waktu itu, sedikit basa-basi dan Andra hanya mengangguk tanpa mencurigainya. “Kakaknya, kan?”
Seolah tidak memberinya waktu untuk menjawab, ibu-ibu ini terus berkata, “Ohh ... kakak keduanya. Pantesan deket.”
Andra yang bingung, lalu mencari keberadaan Soraya. Hanya ingin memastikan kalau istrinya itu punya teman di kelas ibu hamil ini. Namun, melihatnya hanya mengobrol bersama dua orang belaka dibanding gabung bersama rombongan besar itu, Andra segera memahami situasinya selama mengikuti kelas ini.
“Bukan. Saya suaminya,” jawabnya tanpa memperhatikan ekspresi kaget dibuat-buat wanita hamil itu. Atensi Andra hanya fokus ke arah Soraya dan sengaja memandangi sang istri dengan tatapan penuh cinta. Dengan niatan ingin mendeklarasikan pada semua orang bahwa dia adalah suami perempuan tersebut, yang mereka sepelekan kehamilannya hanya karena usianya jauh lebih muda dibanding usia mereka.
Tapi si wanita hamil ini menolak percaya. Dia terus mendesak Andra supaya berkata jujur kalau sebenarnya dia hanya saudaranya yang disuruh mengaku sebagai suaminya.
Andra berdecak jengkel. Paling tidak suka kalau ada orang yang menyepelekan orang lain demi kepuasaan pribadinya itu, semata-mata demi menjatuhkan reputasi seseorang. Andra kemudian berseru dengan suara lantang dan keras, menyebabkan sebagian para ibu hamil dan suami yang datang menemani menoleh ke arahnya kaget.
“Kenapa gak percaya saya suaminya? Gak bisa lihat cincin di tangan kami? Atau mau lihat foto pernikahan kami? Bentar ... di ponsel saya ada banyak.” Andra tertawa sinis ketika wanita itu menyingkir dengan ekspresi dongkol dan malu. Orang-orang masih melihat ke arahnya dengan kaget sekaligus bingung, lalu Soraya muncul dan malah mengomelinya yang berisik di hari pertamanya ikut ke kelas ibu hamil.
“Kan di rumah udah dibilangin kalau ada yang nanyain aneh-aneh, diabaikan aja. Ini malah diladeni.” Soraya menggeleng heran. “Sejak kapan sih, Mas Andra begini. Biasanya juga anteng-anteng aja mau diusik kayak apa pun.”
“Sejak kamu disepelein,” balasnya. “Terus kamu, sejak kapan diem diomongin orang?”
“Bukannya diem, emang malas aja ngeladenin mereka. Lagian ibu hamil itu gak boleh emosi. Kalau aku hanya buang-buang energi negatif ke mereka, malah yang ada menghambat perkembangan si adik. Amit-amit, kan? Ya udah deh, aku abaikan aja. Gak penting juga ngurusin gosip murahan.”
Bahu Andra seketika meluruh kembali tenang mendengar penuturannya. Dia lantas mengacak kepalanya begitu kagum sama sosoknya ini yang telah kembali seutuhnya seperti Soraya yang dia kenal dulu.
Andra menggulum senyum lebar. “Biar energi negatifnya mas yang handle.”
“Haha. Mas Andra sama energi negatif? Mustahil!” Soraya meledeknya segera. “Pacar ngilang aja positifnya gak banget. Hadeuh!”
Andra speechles. Tapi entah bagaimana dia tampak malu jika mengungkit masa lalunya, yang terlalu berpikiran positif sementara pacar hilang berminggu-minggu tanpa kabar, lalu muncul-muncul dia menikah sama cowok lain.
“Dengan Mas Andra jadi diri sendiri udah lebih dari cukup kok,” kata Soraya. “Karena Mas Andra itu kelebihan yang gak bisa kumiliki. Maksudnya kita sama-sama punya kelebihan dan kekurangan. Dengan kelebihan Mas Andra itu kekuranganku jadi tertutup, begitu pula sebaliknya.”
Soraya memegang bahunya lalu mendorongnya turun agar duduk tenang di kursi tempat tunggu. “Nah, sekarang duduk di sini yang anteng. Tapi kalau Mas Andra mau membaur sama bapak-bapak di situ gak masalah kok, asal jangan kayak tadi. Oke?”
Andra mengangguk patuh. Membuat senyum di wajah Soraya mengembang semakin tinggi.
Cukup mudah bagi Andra untuk menyesuaikan dirinya sebagai suami sekaligus calon ayah. Dia belajar begitu cepat, seolah telah mempersiapkan diri sedari awal. Berbeda sama Soraya yang butuh waktu untuk belajar dengan perubahan statusnya ini.
Meskipun pernah berada di titik rendah, di mana Soraya merasa gagal menjadi seorang istri dan calon ibu, tapi dia tidak pernah menyerah. Soraya akan terus bangkit dan belajar untuk berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dia selalu bersyukur karena meskipun lelah, akalnya masih bekerja keras supaya tetap waras agar dia bisa menganalisa diri atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Kepeduliaannya terhadap mentalnya sebagai individu, membuatnya menemui psikolog dan belajar langsung dari orang-orang yang berpengalaman.
Dulu mungkin dia pernah berpikir dengan pergi ke psikolog orang akan menganggapnya gila, tapi setelah mengalami sendiri sensasi menemui para ahli jiwa tersebut, pikirannya seketika berubah. Nyatanya tidak semua yang datang ke psikolog itu gila. Pada dasarnya mereka orang-orang sehat yang normal. Hanya saja, manusia tidak ada yang sempurna. Perilaku seseorang dapat berubah sewaktu-waktu berdasarkan situasi keadaan, tapi watak seseorang tidak mudah berubah.
“Ponakaan om pasti nanti ganteng kayak omnya. Ya gak?”
“Dih. Enak aja! Gantengnya ya harus kayak Mas Andra, lah!” Soraya menyingkirkan tangan Ansel dari perutnya. “Makanya bikin anak sendiri. Jangan ngarep berlebihan sama anakku!”
“Ya aelah, Dik. Pelit amat dah.”
Andra menahan senyum geli, menyimak pertikaian kecil pasangan adik-kakak ini semenjak mereka pulang dan memberitahu keluarganya jenis kelamin anaknya.
“Adikmu itu bener. Buruan nikah, biar punya anak sendiri,” kata ayah entah maksudnya membela Soraya atau hanya ingin menyuruh anak laki-lakinya supaya segera menikah.
“Nah tuh, Mas Aan dengerin kata ayah,” sahut Soraya menyeringai puas melihat penderitaannya.
“Sabar. Astaga!” Ansel jengkel kalau status belum menikahnya sering dibawa-bawa. “Satu satu nanti pasti dapat undangan.” Lalu memelototi Soraya yang masih menyeringai menyebalkan itu. “Awas aja kalau nanti Mas Aan nikah kamu malah gak datang.”
Sontak Soraya tertawa. Emang paling menyenangkan tuh, menggoda kakaknya ini yang masih berjuang buat menikahi sang pacar. Meski sebetulnya Ansel telah mengantongi restu dari ibu calon mertua dan saudara Nora, cuma harus menunggu sampai kakak pertama Nora menikah. Dan rencananya saudaranya itu nikah tiga bulan ke depan, mendekati akhir tahun nanti. Jadi kemungkinan Ansel akan melamarnya akhir tahun dan menikahi Nora tahun depan.
“Bulan depan jadi ikut Andra ke Paris?” tanya ibu mengalihkan topik obrolan.
Soraya menatap ke arah ibu, lalu mengangguk tanpa ragu.
“Gak mau lahiran di sini aja?” tanya ibu lagi.
“Ibu gak tahu aja kalau dia pengen akte anaknya ditulis lahir di Paris,” timpal Ansel setengah mengejek alasannya pengen lahiran di Paris. Soraya kemudian balas meledeknya dengan menjulurkan lidah dan menyikut tulang kaki Ansel dengan kakinya.
“Buat dokter kandungan sama rumah sakitnya gimana?”
“Udah diatur sama Mas Andra kok, Bu. Temannya juga rekomendasiin ke dokter istrinya dulu,” jawab Soraya.
Ibu mengangguk sambil mengamati mereka bergantian. “Padahal ibu ngarepnya lahiran di sini aja. Tapi kalau itu maumu, ya udah, gak masalah. Yang penting kalian harus saling membantu.”
Andra sama Soraya mengangguk kompak.
Ayah pun menyahuti, “Masih ada beberapa bulan lagi, Bu. Masih lama. Paling akhir tahun lahirannya.”
“Yang penting kalian menjaga aja,” kata ibu mengakhiri obrolan yang berlanjut sama rencana Ansel kapan akan menikah itu. Dan lagi-lagi Ansel merasa dikhianati keluarganya sendiri karena terus dipojokkan sama pertanyaan sama.
Orang-orang pada gak bisa sabar apa? gumamnya, pusing kepala menghadapi pertanyaan para orang dewasa. Kesannya justru kayak Ansel anak kecil yang belum punya pengalaman menikah sendiri.
Sabar ... sabar ... sabar ...
chapter 23 ... antara chapter 24/25 nanti end dan setelah itu, mau hiatus nulis sebentar selama seminggu atau mungkin dua minggu huhehehe 🤷♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top