🎋 how to be ...
Hari berlalu begitu cepat. Kehamilan yang tak direncanakan ini terkadang menyulitkan dirinya untuk berkembang menjadi sosok istri seutuhnya. Di saat dia masih setengah jalan menjadi istri yang dapat diandalkan suami di keluarga mereka, kini dia harus belajar lagi cara menjadi seorang ibu baik bagi calon bayinya.
Soraya sering merasa lelah dengan semua perhatian yang ia dapat berkat kehamilannya ini. Para orang tua sering menyuruhnya melakukan ini itu hingga dia capek dicekcoki hal sama setiap hari. Belum lagi ketika nafsu makannya turun drastis, pagi bangun tidur selalu mual-mual dan hidungnya belakangan sangat sensitif, seringkali dia mengeluhkan bau badan seseorang yang membuatnya selalu mual. Kemauannya menginginkan sesuatu yang kadang berlebihan itu sering merepotkan Ansel—sang kakak—yang selama ini jadi korbannya menggantikan posisi Andra yang tak ada di sisinya, lalu dia harus rutin menemui dokter kandungan untuk melakukan pemeriksaan prenatal, demikian pul dengan jadwal rutinnya mengikuti kelas ibu hamil yang lebih sering merepotkan dirinya.
Kelas tersebut sebenarnya cukup bermanfaat baginya. Dia yang awalnya belum tahu apa-apa sebagai calon ibu ini, perlahan-lahan mulai memahami tugas-tugasnya dan beberapa hal penting yang perlu diketahui bagi calon ibu. Larang-larangan yang tidak boleh dia lakukan selama hamil, serta belajar sejak dini bagaimana caranya mengurus bagi mulai dari cara menyusui, memandikan, memakaikan baju, dan lainnya secara bertahap. Dia belajar bersama para ibu hamil lain yang dibagi tiap group berjumlah 10 orang.
Di kelompok sendiri merupakan para ibu yang baru mendapatkan anak pertamanya hadiah dari pernikahan mereka. Di antara mereka hanya Sorayalah yang paling muda demikian pula dengan usia pernikahannya. Mereka sering menyebut dirinya perempuan beruntung karena baru beberapa bulan menikah sudah diberkahi kehamilan—Soraya masih disebut sebagai pengantin baru meski pernikahan itu sudah lewat beberapa bulan lalu. Sedang para ibu hamil itu dikaruniai seorang anak setelah menikah selama 1 hingga 2 tahun. Sebagian banyak memang kehamilannya baru didapat setelah lama menikah, tapi ada juga beberapa orang yang setelah nikah 5 lima bulan langsung dikasih anak.
Yang menyulitkan dirinya hanyalah pandangan aneh dari para ibu-ibu itu. Awalnya mereka menganggap Soraya hamil di luar nikah sebab di hari pertama datang alih-alih bersama pasangan, dia justru datang bersama ibunya. Soraya awalnya tidak peduli dengan rumor di kelas tentang dirinya. Namun, lama-kelamaan dia pun jengkel hingga suatu hari berceletuk masa bodoh di tengah kelas.
“Ya ampun. Tante Tante sekalian ... tolong dong, kalau nyebar gosip yang bermutu. Gak malu apa nuduh orang sembarangan?” Ia mendengus kala itu menatap sebal tiga orang ibu hamil yang sering kali membicarakan dirinya, yang datang bersama ibunya di kelas ibu hamil ini. “Belum aja kalian lihat suamiku kayak apa!”
Untung ibu terus menegurnya supaya tidak mengambil hati sama omongan orang lain, meski diam-diam di belakangnya ibu suka menegur orang yang menyebarkan gosip. Malahan lebih galak daripada teguran Soraya. Alasan ibu menyuruhnya bersabar supaya emosinya tidak memengaruhi kandungannya.
Hanya karena dia paling muda dan ikut program tersebut, lalu dengan entengnya menuduhnya hamil di luar nikah. Soraya hanya bisa menggeleng heran sama kelakuan mereka. Lebih-lebih mereka langsung menjilat ludah ketika Soraya datang ke kelas bersama Ansel menggantikan posisi ibunya. Mereka mengira Ansel suaminya dan Soraya mengabaikan berita itu, toh bukan urusannya.
Sejujurnya masih sulit baginya untuk membiasakan diri sebagai calon ibu muda, di mana tanggungjawabnya pun lebih besar dibanding jadi ibu rumah tangga biasa. Hal yang sangat diperhatikan Soraya ialah gambaran sebagai ibu hamil ternyata tidaklah semudah portret ibu hamil di iklan TV. Belum lagi ketika posisi ibu hamil seperti dirinya yang hidup terpisah dari sang suami.
Selain ikut kelas ibu hamil, Soraya juga masih rutin menemui psikolognya. Agak berbeda dari Helene, psikolognya yang di sini cenderung lebih lembut dan banyak basa-basinya dibanding Helene langsung pada point dari permasalahannya—mungkin karena pengaruh dari budaya—dan cara dia memperhatikan dirinya seperti seekor itik menggemaskan, berbeda dari Helene seperti seekor pemangsa yang langsung menelanjanginya.
Psikolog barunya berpikir bahwa dia baik-baik saja dan tidak membutuhkan perawatan lebih, sebab kuisioner barunya mengeluarkan hasil yang berbeda dari sebelumnya. Sedang Soraya merasa bahwa dia masih membutuhkan bimbingan konseling, sehingga dia pun memilih untuk berhubungan online sama Helene berkat bantuan Keenan. Pada akhirnya, Soraya tetap memakai jasa Helene dibanding kenalan Nora.
Hari-hari biasa jika tidak ada kegiatan, Soraya sering berkunjung ke kafe demi mengenang masa-masanya dulu bertemu Andra. Namun kali ini, dia hanya bertemu Rita yang semakin lama membuat hubungan mereka sebagai seorang teman akrab. Rita dianggapnya sebagai teman kedua, semenjak Bunga yang mulai sulit diajak ketemuan. Tapi mereka masih tetap kontakan lewat chat dan cuma bisa ketemuan kalau Bunga lagi libur.
“Lagian kamu juga, mau-mau aja ditinggal si Andra.” Rita selalu sering menceramahi dirinya jika datang ke kafe dan bilang kalau dia lagi suntuk makanya kemari. Tapi perkataannya itu hanya guyonan belaka. “Kapan dia mau pulang?”
“Tepatnya aku yang ke sana, Mbak.”
“Dih? Apaan dah si Andra, masa bininya yang disuruh nyusul sih? Gak gentlemen banget.”
Soraya terkekeh geli. Bukan salah Andra juga kok. Keputusannya sendiri pulang ke rumah, sama pula dengan keputusannya buat menyusul Andra ke sana. Tapi belakangan ini dia berpikir untuk menahan dorongannya buat terbang ke Paris.
“Mas Andra juga sibuk, Mbak.”
“Sibuk apaan? Paling cuma kuliah.” Lalua Rita memperhatikan dirinya, terutama perutnya yang semakin lama semakin buncit. “Kamu lagi hamil harusnya dia pengertian.”
Soraya menggeleng tak setuju. “Kuliah di sana gimana ya, jelasinnya ... hmm, beda sama yang di sini. Terus Mas Andra juga udah mulai kerja kok. Lagian aku gak masalah di rumah.”
Selain sibuk kuliah, Andra juga mulai bekerja. Rencananya dia ingin mengikuti pelatihan selama beberapa bulan sebelum kerja, tapi perusahaan itu mengizinkan Andra untuk langsung bekerja sekaligus mengikuti pelatihan. Saking sibuknya komunikasi mereka tidak serutin dulu. Belakangan ini setelah beberapa bulan LDR dalam satu minggu mereka video call cuma 5 kali, sementara chat masih sering tapi balasannnya kadang datang lebih lama dari biasanya.
Malahan pernah satu minggu itu Andra tidak menghubunginya sama sekali. Pada saat itu, Soraya tidak langsung meradang sebab Andra telah memberitahunya sebelum hilang tanpa kabar selama satu minggu penuh.
Rita hanya menggeleng-geleng heran sambil terus melanjutkan pekerjaannya di kafe. Sekali-kali Soraya ingin membantu, tapi gadis itu lalu melarangnya dan menyuruh supaya tetap duduk di tempat biasanya itu.
“Wilo gak masuk, Mbak?”
Wilo, si bertender baru, masih anak kuliahan semester lima, tapi sebenarnya dia angkatan di atas Soraya andai Wilo rutin masuk kuliah, bukannya bolos dan melewatkan dua semester sekaligus.
“Biasalah tuh, anak kalau jam-jam segini pasti di belakang ngerokok sama Danu.” Rita berdecak kelihatan jelas kurang suka sama kebiasaan si pengganti Andra itu yang suka merokok di luar jam istirahat bareng Danu, bagian dapur.
Baru beberapa minggu kerja di kafe Wilo sudah nemplok sama karyawan sana-sini. Emang sih, anaknya supel abis! Tipe orang yang seru dijadiin teman. Awalnya Rita suka sama anaknya yang enggak jaim sama sekali, terus kalau disuruh apa-apa langsung gerak buat melaksanakan tugasnya—sekarang pun masih begitu kok. Cuma gara-gara anaknya sering merokok di luar jam istirahat, Rita jadi gedek lama-kelamaan. Kalau dibilangin pasti orangnya membalikkan nasehatnya, katanya selama dia tidak merokok di dalam kafe, itu tidak masalah.
Rita hanya terus memutar bola mata mendengar balasannya tersebut. Wilo anaknya memang enggak jaim dan supel, tapi juga ngeselin. Mentang-mentang temanan sama bossnya si Sabo, bukan berarti seenak jidatnya merokok di luar jam istirahat.
Soraya baru akan mengangguk ketika orang yang mereka bicarakan muncul. Dia jalan masuk dari pintu khusus karyawan dengan langkah tegap dan sedikit selengean. Sebab setiap dia jalan bawaannya laki-laki itu nyengir lebar, lalu menyapa karyawan lain.
Siang itu Wilo pakai topi, menyembunyikan rambut ikal panjangnya yang sering dikuncir—kalau Putri nyebutnya Wilo, si keriting. Gaya rambutnya itu pas sama bentuk wajahnya yang tirus dan kotak. Hanya saja, Wilo tidak begitu tinggi kalau dibanding sama Danu yang tinggi banget kayak tiang listrik.
“Ternyata ada si bumil cantik,” celetuk Wilo menyambar ke arah konter bar, mendekat ke tempat Soraya duduk. “Pasti nyariin aku. Ya, kan?”
Dan perlu dicatat kalau Wilo orangnya juga suka genit tanpa pandang bulu.
“Pasti kangen lihatin wajah ganteng Mas Wilo.”
Soraya spontan tertawa. “Salah. Yang paling bener wajah ganteng Mas Andra.” Ia berdecak sambil menggeleng. “Balik sekolah aja sana. Remidi mulu dari kemarin.”
“Halah, gantengan juga Wilo.”
“Iya, Wil, kalo dilihat dari ujung sedotan,” sahut Rita.
Wilo menoleh ke arahnya. “Ya udah sih, cemburunya dikontrol gak perlu sejelas itu.”
“Dih? Amit-amit!”
Soraya tertawa geli melihat sepasang ini yang selalu bertengkar. Rita yang selalu sinis kalau Wilo sudah mengeluarkan jurus merayunya ke semua cewek tanpa pandang bulu bahkan sampai ke pelanggan kafe cewek, sedang Wilo yang masa bodoh dan akan menyahuti sinisan Rita dengan gombalan, yang justru bikin Rita semakin naik pitam.
Wilo nyengir lagi berpaling pada Soraya yang terbahak-bahak di kursinya. “Duh, duh, bini orang kenapa nyegerin mata, ya? Bawaannya pengen dimiliki aja.”
“Ampun, dah!” Rita memutar bola mata mendengar gombalan tolol Wilo ke Soraya.
Soraya hanya terus ketawa berkat kelakuan mereka. Lagi pula gombalan Wilo hanya dia anggap sebagai hiburan belaka.
Tapi kadang dia balas menimpali dengan lelucon, “Yah, sayang banget ya, Wil. Gak ketemu kamu duluan.”
“Iya, sayang banget. Harusnya aku gercep ke sini sih,” sahut Wilo seperti biasa. “Ah, gak apa-apa. Kan masih ada lirik lagu madu tiga, tuh. Haha. Gimana, tertarik gak punya bojo dua?”
“Kalau dilihat-lihat dari tampangnya sih, kamu lumayan Wil gak malu-maluin.”
“Bukan lumayan lagi. Tapi udah terbukti sebagai the most handsome man in the world.” Wilo menyeringai. “Aku sama suamimu itu, siapa namanya?”
“Andra.”
“Beeuh! Tetap Wilo juara pertamanya.”
“Dasar koplak!” ujar Rita semakin heran sama tingkat kepercayaan diri Wilo yang berlebihan itu.
Alasan inilah mengapa Soraya selalu betah lama-lama tinggal di kafe. Orang-orangnya sangat menghibur dirinya. Baik itu Rita maupun Wilo, semua karyawan kafe sebenarnya kocak dan baik-baik.
Kebiasaan rutinnya kalau waktunya video call sama Andra, dia selalu berusaha tampil menawan dengan pakaian-pakaian bagus yang lebih layak dipakai buat pergi kondangan atau menghadiri acara tertentu. Entah mengapa belakangan ini pula dia suka berdandan dan sering mengajak Nora, pacar Ansel, belanja mulai dari pakaian, aksesoris buat di kepala, cat kuku sampai peralatan make up. Padahal dulu dia sangat jarang menghamburkan uang, kali ini dia lebih sering melakukan itu.
Andra sempat tertegun melihat Soraya memakai lipstik merah menyala, yang jarang sekali dia lihat sebelumnya. Walaupun Soraya terlihat begitu sangat cantik, Andra tetap merasa heran melihatnya.
“Kamu mau ke mana? Kenapa kelihatan cantik begitu?”
Soraya mengidikkan bahu. “Gak ke mana-mana. Cuma di rumah aja, di kamar, teleponan sama Mas Andra.”
Andra menyipitkkan mata. “Bajunya juga baru, ya?”
“Eh? Mas Andra kok tahu?”
“Soalnya baru kali ini lihat.”
“Oh ...,” gumamnya. “Bagus gak aku pakai?”
“Bagus kok,” katanya. “Tapi coba berdiri terus agak mundur ke belakang. Mau lihat dari atas ke bawah.”
“Gak mau ah, malu.”
“Kenapa?”
Soraya hanya menggeleng sambil mengigit bibirnya. Sebenarnya dia masih belum bilang soal kehamilannya sama Andra. Kemauannya yang ingin memberinya kejutan saat bertemu nanti, benar-benar mendorong mulutnya supaya tutup mulut. Sebab itulah dia menolak permintaan Andra supaya berdiri untuk menunjukkan pakaian baru yang dia pakai malam itu.
“Mas Andra lagi apa?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Lagi kangenin kamu.”
Soraya mendelik kecil. “Kalau itu tau. Maksudnya selain itu lagi apa?”
Andra tiba-tiba mendesah dan terlihat garis-garis lelah pada rautnya. Soraya menatapnya setengah bingung, setengahnya lagi mencemaskan keadaannya di sana.
“Mas Andra kalau capek istirahat aja. Video callnya bisa dilanjut besok.” Meskipun kurang suka dengan ide itu, tapi dia harus memperhatikan juga kondisi Andra yang mungkin lelah kuliah sekaligus bekerja.
Jadwal kuliahnya memang tidak terjadi setiap hari dan jam kerjanya juga tergolong fleksibel dibanding jam kerja di sini, tapi tetap saja Andra pasti capek kuliah sambil kerja. Belum lagi dia harus mengurus apartemen sendirian. Soraya merasa bersalah telah meninggalkannya di sana sendirian. Harusnya dia tetap tinggal bersamanya dan turut membantu dengan mengurus pekerjan rumah sehari-hari.
Selama ini Soraya hanya menebak apa yang membuatnya tampak begitu lelah dengan lingkaran mata panda itu, sebab Andra jarang sekali mengeluhkan kesibukannya padanya. Selama ini Andra hanya memberitahu hari-hari bahagianya selama di kampus dan teman-teman kerjanya yang baik. Kegiatannya di luar kampus bersama teman-teman Paris-nya juga menjadi bagian dari cerita Andra.
“Iya kok, mas capek.” Dia hanya mengakui tanpa menjelaskan kenapa dia terlihat begitu lelah. “Masa kamu udah dandan cantik dianggurin. Lagian mas kangen lihat kamu. Oiya, kamu udah makan? Gimana kegiatan di sana?”
“Mas Andra kalau capek istirahat jangan dipaksain. Udah kok—eh, iya! Tadi aku nyoba masak gulai ikan. Tapi kata Mas Aan terlalu pedes, terus kata ayah pas-pas aja rasanya. Menurutku juga pas kok, gak pedes-pedes banget.”
“Mungkin Ansel yang gak suka pedes ngerasa masakanmu pedes. Terus kamu sama ayah suka pedes, ngerasa pas.”
“Paling gitu.” Dia mengidikkan bahu lalu mengamati raut Andra yang terlewat lelah itu. “Mas Andra mending istirahat. Video callnya dilanjut besok aja.”
“Nanti aja ya, mas masih pengen lihat kamu.”
Soraya bergeming ragu. “Mas Andra habis ngapain, sih?”
“Beres-beres apartemen,” katanya. “Makanya kelihatan capek banget.”
“Beneran?”
Andra mengangguk, lalu mengulum senyumnya. “Tadi ada Adam sama Esmee ke sini bantuin. Tapi sekarang mereka udah pulang.”
“Sampai dibantu temannya?”
“Iya soalnya banyak.”
Soraya mengernyit bingung. Seberapa banyak? Karena seingatnya apartemen mereka tidak terlalu besar dan barang-barangnya juga tergolong sedikit. Atau mungkin sudah bertambah semenjak dia pulang? Soraya kurang tahu karena tidak pernah menanyakan barang-barang di apartemennya.
“Aya.”
“Ya.”
“Kalau mas ngilang lagi selama satu atau dua bulan, kamu gak masalah?”
“Eh?” Soraya kontan diam dengan mata mengerjap bingung. “K—kok lama? Emang Mas Andra mau ke mana? Mas Andra gak akan ke mana-mana, kan? Maksudnya di sana ....” Ia mengigit bibirnya khawatir. Mengira kemungkinan buruk akan menimpa pada hubungan jarak jauh mereka. Mengira mungkin bahwa di sana Andra menemukan orang yang lebih kompeten buat jadi pasangannya dibanding dirinya. Sehingga sukar baginya untuk mengungkapkan ketakutannya itu.
“Jangan mikir yang aneh-aneh,” tegur Andra cepat begitu memahami jalan pikirannya. “Mas gak ke mana-mana dan gak akan ninggalin kamu. Cuma buat sementara mas emang pengen ngilang satu atau dua bulan paling lama sampai bulan Juli. Gak bener-bener ngilang cuma gak akan video call kamu lagi, paling cuma chat doang. Gak kayak seminggu dulu yang bener-bener ngilang.”
“Terus kenapa gitu gak mau video call?”
“Mau fokus aja yang di sini,” katanya. “Ini bukan salahmu cuma mas aja yang payah banget buat handle rasa kangen ke kamu. Tiap denger suara dan lihat wajahmu bawaannya mas pengen pulang ke rumah. Mas itu kangen kamu, pengen ketemu. Apa yang mas punya sekarang ini, justru bikin tanggungjawab mas di sini sering terabaikan, kadang malah gak bisa fokus sama kerjaan saking kangennya pengen ketemu.”
Segitu menderikah Andra tidak bertemu dirinya? Bukankah itu sama saja dengannya di sini yang sama-sama merindukannya juga? Tapi sepertinya Soraya mending karena ada banyak kegiatan yang dapat mengalihkan dari kesengsaraannya merindukan Andra, terlebih sejak kemauannya pulang dia punya satu tujuan, mengubah dirinya jadi lebih baik agar mau menerima statusnya sebagai seorang istri dan calon ibu. Soraya memegang tujuannya sepenuh hati agar tidak di luar kendali lagi, lalu dia memiliki orang-orang yang terus mendukung dirinya agar terus berkembang.
Lantas bandingkan sama Andra yang di sana sendirian. Meskipun memiliki Adam sebagai teman paling dekat, namun sepertinya satu orang itu tidaklah cukup. Apalagi Adam bukan laki-laki single yang bebas berkeliaran bersama temannya. Adam punya keluarga, setiap kali bertemu Andra, laki-laki itu pasti mengajak serta istri dan anaknya. Andra memilikinya, tapi selama berbulan-bulan ini mereka hidup terpisah. Wajar jika dia merasa kesulitan meredamkan rasa rindu terhadapnya dengan minimnya dukungan dari orang-orang terdekat.
“Tapi kalau kamu gak mau. Mas gak bakalan ngelakuin itu.”
Soraya tetap diam menatapnya saja. Lalu mendesah sesaat. “Beneran cuma sampai Juli kan?”
“Iya. Sampai musim panas. Maksudnya musim di sini.”
“Mas Andra bakalan tetap chat kan, cuma gak video call sama telpon?”
Andra mengangguk tanpa ragu.
“Kalau misal aku yang balik ke Paris aja gimana?”
Kali ini dia menggeleng. “Baliknya nanti aja, gak usah buru-buru. Kan kamu ada kerjaan juga di sana.”
“Tapi Mas Andra sendirian.”
“Siapa bilang? Kan ada kamu.” Andra menyeringai semata-mata ingin menenangkan dirinya yang khawatir padanya itu. “Nanti kalau kamu udah siap buat balik ke Paris. Gak usah terburu-buru. Kamu nikmatin aja waktu di sana.”
Soraya hanya mengangguk meski wajahnya setengah terlihat masam. Jadi dua bulan tanpa video call dan telepon, ya? Soraya mengamati seraut laki-laki yang akan dirindukannya selama dua bulan itu.
“Oke deh. Tapi kalau sampai Juli tetap gak mau video call atau telpon. Awas aja! Aku susul ke Paris.”
Andra tersentak sebelum tertawa. “Iya. Susul aja kemari.”
“Mas Andra jangan aneh-aneh di sana.”
“Iya, iya. Gak bakalan aneh-aneh. Paling anehnya tidur sambil meluk bajumu.”
“Itu sih, sama aja kayak aku!”
Kebiasaan itu muncul semenjak mereka LDR. Baik Andra maupun Soraya kalau tidur sering pakai pakaian pasangannya. Kalau Soraya kadang-kadang mau tidur atau pergi pakai hoodie milik Andra sedang Andra memeluk pakaian tidur yang sering dipakai Soraya.
Dua bulan itu termasuk lama bagi sepasang kekasih LDR yang tak berjumpa via video call. Apalagi fokus yang dimaksud Andra itu fokus yang sampai lupa segalanya, sampai rasanya semua pesan yang Soraya kirim selalu dibalas ketika laki-laki itu berada di apartemen sepulang dari kegiatan di kampus dan kantor. Balasannya terkesan slow respon dan itu menjengkel baginya, tapi Soraya berupaya untuk tetap menahan dorongan buat tidak mencak-mencak marah.
Dia selalu mengingatkan Andra buat menjaga diri dan kesehatan. Lalu menegurnya sesekali supaya tidak keseringan meninggalkan sarapan dan makan siangnya walaupun sibuk. Sehingga muncullah ide kalau setiap sarapan dan makan siang, Andra harus membagikan daftar menu makanannya supaya dia mempercayai pesannya tersebut. Soraya pun demikian rutin membagikan hasil masakannya dan kegiatan di luar rumah tanpa ada gambar dirinya di foto. Mengikuti peraturan yang diberlakukan secara tiba-tiba Andra. Agak konyol, tapi begitulah interaksi mereka selama ini.
Soraya sering meninggalkan lingkaran merah di kalender di dalam kamarnya. Menghitung hari demi hari yang mereka lewati tanpa video call. Terkadang dia akan menghela napas merasa lelah. Lelah dengan kerinduannya terhadap Andra yang semakin hari, semakin membara. Dia tidak bisa melihat wajah pasangannya selama dua bulan dan itu sangat menyulitkan dirinya.
Pada awalnya dia mungkin tampak menerima keadaan dengan lapang dada. Namun, lama kelamaan dia pun mengalami kesulitan sendiri. Dorongan untuk melanggar permintaan Andra justru lebih besar dibanding dia harus bersabar lagi. Soraya ingin bertindak impulsif dengan menghubunginya via video call, tapi dia menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tersebut. Dia tidak ingin menganggu Andra yang tengah fokus sama urusannya.
Dan masa sulitnya semakin diuji ketika berada di kelas ibu hamil. Saat dia menerima pembelajaran cara memandikan bayi. Para ibu-ibu bersama pasangannya di haris khusus itu, sementara dia datang sendirian. Ibu harus ikut ayah pergi ke rumah saudara yang kemarin dapat kabar kalau adik dari ayahnya jatuh sakit, sedang Ansel hari Minggu ini tidak ada libur kerja sehingga Soraya pergi sendiri.
Diam-diam di dalam hatinya dia sedang menangis. Menangisi ekspresi bodohnya yang memandang iri para pasangan di sekitarnya. Mereka terlihat amat mesra dengan memandikan boneka bayi palsu layaknya bayi mereka sendiri. Baik suami maupun istri, mereka saling kompak kerja sama. Sementara dia merawat boneka bayi ini seorang diri.
Instruktur kelas ibu hamil kadang-kadang mendatangi tempatnya hanya untuk menghibur dirinya, yang di matanya dia salah satu peserta paling menyedihkan. Hari pertama datang ditemani ibunya alih-alih suami, terus datang bersama seorang laki-laki yang awalnya mereka kira suaminya ternyata hanyalah saudara laki-lakinya. Entah siapa yang mencari informasi tentang dirinya, sepertinya orang tersebut senang sekali dia terlihat menyedihkan di dalam kelompok kelas ibu hamil.
Soraya kembali bersikap masa bodoh atas rumor tentang dia hamil di luar nikah yang senter terdengar lagi. Mulai saat itu dia mencoba tutup mata dan telinga, malas terpancing sama gosip murah. Daripada buang-buang energi dengan marah-marah mending dia menyimpan energinya untuk hal-hal menyenangkan, agar bayi di perutnya tidak terpengaruhi sama ketoxican orang-orang dewasa.
Mau bagaimanapun emosi seorang ibu juga akan memeranguhi calon bayinya. Bukan hanya ibu yang sering mengingatkan dirinya terkait masalah tersebut, melainkan Helene, dokter kandungannya, dan bahkan instrukturnya di kelas ibu hamil. Dia hanya perlu bersabar menghadapi sosialnya ini.
Sementara waktu terus berlanjut setiap harinya. Soraya tidak lagi mual-mual di pagi hari karena sudah melewati masa trimester. Tapi kemauannya yang suka neko-neko masih sering membuat Ansel pusing kepala. Seperti dia yang pengen liburan ke kebun binatang, kemudian Ansel menuruti setelah dapat libur kerja, tapi begitu sampai ke lokasi tersebut Soraya tiba-tiba merengek pengen pulang. Mendadak dia tidak suka ke kebun binatang terus minta buat dibelikan donat cokelat yang ditaburi kacang. Akhirnya seharian itu mereka muter demi mencari donat cokelat yang ditaburi kacang.
Donat cokelat yang ditaburi kacang agak mendingan walau harus banting setir dari kebun binatang ke mall, dibanding Ansel tengah malam disuruh keluar cari kuping gajah. Ansel kira kuping gajah yang diinginkan adiknya waktu itu tanaman, jadi dia pulang membawa satu tanaman bernama kuping gajah. Tidak tahunya yang dia mau itu jenis makanan bernama kuping gajah. Tepatnya kue kuping gajah.
Lantas dari mana dia mendapatkan kue kuping gajah pada tengah malam? Ah, bisa sinting dia Ansel jadi meradang di dalam mobil malam itu. Untung ibu menyarankannya supaya keluar saja dari rumah biar Soraya menganggap dia sedang mencarikan kue kuping gajah. Dia baru pulang setelah Soraya tidur dan lupa sama kemauannya apa.
Ansel hanya mengeluhkan semua penderitaannya sebagai pengganti Andra ke Nora, yang langsung tertawa alih-alih prihatin pada dirinya.
“Itung-itung belajar dulu, sebelum kamu aku repotin juga. Malah bisa jadi, lebih repot dari permintaan Aya.”
Dan kata-kata Nora barusan Andra anggap sebagai kode keras kalau mereka nanti akan menikah.
Hari terus berlanjut sampai tak terasa bulan Juli pun tiba. Soraya melingkari sebuah tanggal di mana nanti mereka akan melakukan video call pertamanya setelah dua bulan komunikasi tanpa video call. Dia sudah membenahi diri seperti biasa dengan pakaian baru dan wajah yang dirias agar terlihat begitu cantik, sambil menunggu Andra menghubunginya. Dia bilang sedikit telat karena tiba-tiba ada pertemuan sama rekan kerjanya.
Sore itu, Soraya menunggu dengan sabar. Ponsel terus berads di genggaman sampai ayah dan ibunya heran.
“Mas Aan ke mana?” tanya ayah ketika melihatnya keluar kamar dengan mata terus mengamatinya dari atas sampai bawah. Heran, kok anaknya pakai pakaian paling bagus dan wajahnya pakai riasan yang sedikit agak tebal terutama bagian bibirnya. Memang belakangan Soraya suka pakai warna menyala di bibir. “Terus kamu mau ke mana?”
“Gak ke mana-mana. Di rumah aja. Mas Aan keluar sama Mbak Nora. Masa Ayah lupa? Padahal udah dari tadi pamitnya.” Ayah hanya menggeleng tak tahu-menahu.
Lalu ibu keluar dari dapur. “Aya jagain gorengan ibu dulu. Ibu mau ke mini market sebentar.”
“Iya.”
Soraya sedikit ragu padahal niatnya sore ini lagi enggak mau di dapur soalnya mau video callan sama Andra—lagian dia udah dadan cantik begini masa harus kucel lagi—tapi ibu yang menyuruhnya jadi dia menurut tanpa komentar.
Begitu ibu pergi dia beranjak ke dapur untuk menjaga gorengan ibu. Untung cuma goreng tempe doang. Soraya tidak perlu repot-repot buat touch up lagi di kamar nanti. Sementara ayah pindah ke kursi teras halaman belakang rumah sambil membawa kopi dan koran kebangaannya itu.
Pukul 15.15 namun Andra belum menghubunginya melewati janjinya kemarin, justru mengiriminya pesan singkat kalau waktu terpaksa mundur lagi sebab pertemuannya belum selesai. Soraya agak kecewa sama pemberitaan dadakan tersebut. Mengira bahwa hari ini mereka akan bertemu dan bertukar rindu via video call setelah dua bulan absen, ternyata rencana itu harus gagal. Sehingga dia pun membalas kalau mereka bisa video call nanti malam begitu kesibukannya selesai.
Dia pun mengalihkan kekecewaannya itu dengan melanjutkan masakan ibu dan mengabaikan balasan Andra berikutnya. Ibu yang baru balik dari mini market langsung heran, tapi tidak berkomentar apa-apa dan membiarkan Soraya meneruskan masakannya.
“Bumbunya ibu taruh sini,” kata ibu meninggalkan belanjaan di meja lalu menyusul suaminya di teras belakang rumah. Melihat bahasa tubuh Soraya yang sedang tidak ingin diganggu itu.
Walaupun sibuk di dapur melanjutkan masakan sang ibu, tapi dia masih mendengar suara tawa kakaknya yang baru pulang itu. Suaranya itu sangat menganggunya. Menganggu konsentrasinya masak supaya bisa mengalihkan kedongkolannya akibat gagal melakukan video call.
“Aya.” Ansel berseru keras dari ruang tengah memanggilnya. Soraya mendengus jengkel dan menyahut seadanya. “Di dapur? Lagi masak, ya?”
“Ya!” jawabnya ketus.
“Yah, padahal gak usah masak. Mas Aan bawa makanan banyak.”
Dia pura-pura tidak mendengar lagi. Telanjur bete dan berusaha tetap fokus sama masakannya. Lagian telat banget kasih tahu beli makanan banyak kok baru sekarang, sementara ibu sudah masak sejak tadi dan dia di sini hanya meneruskan saja. Soraya lalu memutar bola mata sambil memindahkan sayuran ke dalam wadah dengan hati-hati.
“Baunya enak banget.”
“Iyalah. Kalau gak enak ngapain juga masak!” Soraya mendengus heran. Mengejek sahutan di balik punggunngnya itu, yang dia kira Ansel. Mendadak dia terdiam merasakan keganjilan di belakangnya. Punggungnya lantas menegang kala menyadari kesalahannya dan tangannya bahkan hampir tergelincir memegang pegangan wadah sayuran.
“Hati-hati.” Teguran di belakang punggungnya itu menyadarkannya supaya lebih berhati-hati. Tapi Soraya tetaplah Soraya. Dia meletakkan kembali wadah sayuran di meja dengan sembrono, lalu berbalik dengan pupil mata membesar dan mulut terbuka lebar.
Sosok yang berdiri di hadapannya itu sempat menunjukkan raut khawatir, kalau-kalau wadah itu jatuh dan mengenai kakinya sehingga dia mendorongnya agar menjauh dari pinggiran meja. Sebelum kemudian melemparkan senyum lebar sampai ke mata.
“Kangen gak?” sapanya.
Alih-alih mengiyakan, Soraya justru mendengus lalu meninju pelan perutnya. “Pinter banget bohongnya!” ucapnya.
“Padahal bukan ini yang diharapin.”
Soraya mendelik sebentar, sebelum mata cokelatnya berkaca-kaca dan menghambur ke pelukannya. “Mas Andra kok bisa pulang?”
Andra tersenyum lega sambil membalas pelukannya. “Bisalah. Demi kamu apa yang gak bisa?”
Soraya hanya mengangguk. Mulutnya bungkam. Kali ini tidak ada yang ingin dia katakan lagi. Yang dia inginkan hanyalah memeluk Andra, yang tahu-tahu pulang ke rumah tanpa memberitahunya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top