👨‍👩‍👧‍👦 family

Pagi-pagi ibu bangun langsung kaget lihatin anak semata wayangnya tiduran di sofa depan TV. Tempat yang biasanya dikuasai sama Farah, ibunya Andra. Jarang-jarang pula Andra ketiduran di depan TV. Mau secapek kayak apa pun sepulang kerja, anak ini pasti tidurnya di kamar dan enggak pernah di sofa.

Ibu menepuk lembut paha sang anak yang langsung merespon dengan gumaman sederhana. “Ndra!” Tetap aja anak itu molor. Malahan sekarang selimutnya ditarik sampai menutupi sebagian badannya. “Ndra, tidur di kamar jangan di luar.”

“Ada apa sih, Bu?” tegur bapak baru kembali dari rutinitas paginya di luar rumah. Pak Galih hobi lari pagi di sekitaran kompleks. Hobi yang dia bawa sejak muda dulu.

Sayang, anak laki-lakinya ini enggan meniru kebiasaan sehat sang bapak.

Ibu memelototi anaknya. “Tuh. Anakmu gak mau pindah kamar. Biasanya juga gak tidur di luar.”

“Oh ... di kamarnya ada orang.”

“Andra bawa teman semalam?”

Bapak mengiyakan. Jelas bapak tahu. Pak Galih udah ketemu duluan sama Soraya pas sebelum subuh kebangun gara-gara denger suara mereka. Melihat orang tuanya yang kebangun Andra lalu menjelaskan alasan Soraya ada di rumah malam itu, sekalian mengenalkan keduanya, dan Pak Galih yang dasarnya enggak begitu mengurusi kehidupan asmara sang anak, hanya manggut-manggut saja kemudian membiarkan keduanya melanjutkan apa yang sedang dibicarakan itu.

“Cewek, Pak?” tanya ibu menjadi tertarik dan mendekati bapak untuk mencari tahu.

Bapak yang sangat mengerti keinginan istrinya kepada anak mereka belakangan ini, hanya mengangguk. Beliau langsung menjelaskan keadaan teman Andra sebelum istrinya berpikiran yang enggak-enggak. Sebenarnya Andra mengenalkan Soraya sebagai adik dari temannya, alih-alih teman ataupun kenalan. Padahal, dia sendiri bukan teman kakaknya Soraya.

“Ya ampun.” Ekspresi ibu berubah bersimpati. Memandangi pintu kamar Andra, di mana adik dari teman anaknya itu lagi istirahat di dalam sana. “Untung ketemu Andra di jalan, ya, Pak.”

Bapak mengangguk saja sebelum pamit mau mandi. Sedang ibu masih tetap memandangi pintu kamar anaknya dengan prihatin. Tanpa mereka sadari bahwa Soraya sebetulnya telah bangun dan sekarang, menjadi panik di dalam kamar. Soraya panik gara-gara belum siap ketemu sama orang tuanya Andra.

Duh, semalam ketemu Pak Galih saja ekspresinya kayak orang bloon. Bingung, deg degan, dan canggung—pokoknya perasaan dia semalam campur aduk. Soraya belum punya pengalaman nginep di rumah cowok dan ketemu sama orang tuanya. Ini tuh, pengalaman pertama super dadakan. Sehingga dia bingung harus bersikap bagaimana di hadapan orang tua Andra nanti, meski semalam Andra bilang kalau dia tidak usah memikirkan orang tuanya.

Tetap saja, Soraya terus kepikiran. Argh! Andai di tangan ada ponselnya, pasti Soraya langsung menghubungi Bunga untuk bertanya-tanya masalah ini. Bunga ada sedikit pengalaman di situasi Soraya sekarang ini. Barangkali dengan bertanya ke temannya itu, dia jadi tahu sikap apa yang harus ditunjukkan ke orang tua Andra. Seenggaknya dia enggak kaku-kaku amat di depan mereka.

“Yang kamu butuhin itu cinta monyet, Aya. Sementara aku enggak. Kamu terlalu muda bagiku. Aku cari pasangan yang seusia, kalau kamu penasaran. Wanita dewasa yang bisa diajak komitmen.”

Soraya menghela napas. Kata-kata Andra semalam ternyata masih terngiang-ngiang di kepalanya pagi ini. Membuatnya semakin jadi gelisah.

Kalau Andra mencari gadis seusianya yang dewasa, Soraya bisa apa coba? Dia enggak mungkin kan, manipulasi usia di KTP supaya Andra mau kencan sama dirinya. Lucu sekali. Jadi wanita dewasa sepertinya mustahil bago dirinya. Mengingat orang-orang di sekitarnya selalu menyebutnya sebagai anak-anak.

Yeah, setiap orang memang punya kriteria tertentu terhadap pasangannya. Tidak seperti Soraya bingung sama kriteria pasangannya. Gara-gara semalam Andra menyinggung soal ini, Soraya jadi kepikiran sama tipe cowok idealnya sendiri. Selama ini dia enggak pernah kepikiran atau mungkin, dia enggak punya tipe ideal—yeah, bisa jadi. Tidak seperti Andra yang punya tipe idealnya sendiri.

Di saat Soraya terpikirkan lagi tentang tipe idealnya, sementara di luar kamar, Andra yang lagi tidur terus terusik sama dering ponselnya yang tak pernah berhenti untuk menganggunya. Andra mengerang setengah jengkel. Mengira telepon itu dari temannya yang iseng, jadi dia mengabaikannya sejak tadi. Tapi karena ponselnya terus berdering, akhirnya dia bangun seraya mengertakkan giginya dengan dongkol.

Ibu yang masih berkeliaran di dekat sofa Andra menoleh bingung. “Kenapa, Ndra?”

“Gak papa, Bu,” jawab Andra. Dengan setengah hati dia mengambil ponselnya di meja. Berniat menonaktifkan supaya dia tidak diganggu.

Namun, mata yang tadi masih mengantuk langsung melek lebar. Terperanjat sama jumlah panggilan masuk dan spam chat dari nomer sama. “Astaga!” Bukan teman Andra yang iseng, melainkan kakaknya Soraya. Andra bergegas jalan menuju kamarnya dengan ibu yang diam-diam ikut di belakang.

“Aya,” panggil Andra seraya mengetuk pelan pintu kamarnya. “Udah bangun belum?”

“U—udah, Mas Andra,” sahutnya bergegas bangun dan lari untuk membukakan pintu.

Soraya yang akhirnya keluar dari kamar langsung dibuat canggung saat melihat ibu Andra di belakang pemuda itu. Mengira bahwa tujuan Andra memanggilnya hanya untuk bertemu ibunya itu. Soraya mendadak panik, sedang Bu Farah menyunggingkan senyum hangat menyapanya. Berbeda sekali dengan respon bapak Andra yang semalam hanya tersenyum tipis dan tanpa basa-basi langsung bertanya.

“H-halo, Tante,” sapanya berjalan cepat untuk menyalimi tangannya. “Saya Aya. Adiknya teman Mas Andra.”

Farah menahan senyum geli memandanginya. Sangat berbeda sama bapak Andra semalam yang habis disalami Soraya langsung melengos pamit pergi. Sehingga dia berpikir kalau Pak Galih kurang suka sama Soraya, kayak anak laki-lakinya ini.

Andra menyadari sikap ibunya hanya menggeleng samar. “Kakakmu telpon,” ujarnya bertepatan sama ponselnya yang berdering lagi.

“Mas Aan?” Seraut Soraya berubah cerah campur lega dan segera menyambut telepon sang kakak setelah izin menyingkir sebentar sama ibunya Andra.

Baru dia memanggil nama sang kakak melalui panggilan suara itu, Soraya langsung dibanjiri banyak pertanyaan Ansel yang terdengar sangat kalut. Suara Ansel terdengar seperti kendaraan motor GP yang lagi ikut turnamen ajang internasional. Soraya meringis geli, namun lega mengetahui bahwa kakaknya begitu peduli padanya.

Setelah Ansel sedikit tenang, barulah Soraya menjelaskan alasannya menghubungi kakaknya lewat nomer seorang teman. Yang justru membuat Ansel semakin kalut di sana karena mengkhawatirkan kondisinya. Ansel bahkan bersikeras akan pulang segera untuk menjemput Soraya di rumah temannya itu.

“Serius, Mas Aan. Aku gak papa. Beneran, lho! Ihhh, gak usah pulang. Aku nggak apa-apa, kok.”

Ansel tetaplah Ansel. Tetap bersikeras akan pulang untuk mengurus masalah Soraya. Upaya Soraya menahan kekhawatiran Ansel gagal. Akhirnya dia mengiyakan semua perkataan sang kakak, ketimbang protes yang enggak bakalan menang juga. Kalau Ansel udah khawatir, ya udah, enggak bisa diganggu gugat keputusannya.

Ibu yang sejak tadi mengamati langsung menyikut lengan Andra. Membuat anaknya itu berpaling ke arahnya dengan mata setengah memicing. “Bukan pacar, Ndra?”

“Ibu ....”

“Kali aja iya,” ujar ibu terdengar seperti kecewa. Padahal, suaminya telah menjelaskan. Namun, Farah tetap berharap Soraya itu pacar anaknya yang akhirnya dibawa pulang setelah sekian lama enggak bawa cewek ke rumah. “Sayang banget, Ndra. Cantik gitu, masa kamu gak suka?”

“Bu, dia masih kecil.”

Ibu terlihat kaget. Lalu mengamati Soraya yang masih telponan sama saudaranya. “Emang usianya berapa?”

“Dua satu.”

“Halah, Ndra, Ndra. Itu sih, udah dewasa. Bukan anak kecil lagi.”

“Dia adiknya teman Andra,” ujarnya sengaja bohong.

“Hmm, terserah kamulah,” kata ibu menyerah dengan sikap anaknya yang kadang-kadang sulit dimengerti. “Yang jomblo kan, kamu. Bukan urusan ibu.”

Andra mendesah. Memang bukan urusan ibunya, ini urusannya sendiri. Tapi ibu tanpa sadar belakangan ini terus ikut campur. Gimana Andra enggak mau pusing mendengarnya coba?

Selesai urusannya sama kakak laki-lakinya, Soraya lalu kembali menghadapi Andra dan ibunya.

“Kamu mau mandi?” tanya ibu segera mencuri perhatiannya. “Belum ada pakaian ganti, kan? Kalau gitu biar tante cariin pakaian ganti buat kamu.”

“Eh? Tante gak perlu repot-repot.”

“Gak apa-apa. Tante gak merasa direpotin.” Farah melengos pergi begitu saja masuk ke dalam kamarnya tanpa memedulikan keenggenan Soraya yang merasa telah merepotkan keluarga Andra.

“Udah, biarin. Ibu emang gitu,” ujar Andra lalu menyuruh Soraya supaya duduk di kursi menunggu ibunya yang sedang mencari pakaian ganti di kamar. Sambil menunggu kamar mandi kosong karena bapak kalau mandi paling lama banget. “Gimana kakakmu?”

“Mas Aan?” Andra mengangguk. “Dia mau pulang nanti. Mau ngurus masalahnya. Sama urusan bank dan nomerku langsung diatur Mas Aan biar segera diblokir. Terus bilang juga kalau Mas Aan mau ketemu Mas Andra.”

“Ngapain?”

Soraya mengidikkan bahu pura-pura tidak tahu.

“Harus banget ketemu?”

“Iya,” lanjutnya, “kalau Mas Andra nggak bisa, paling Mas Aan yang nekat nemui Mas Andra di tempat kerja.” Ansel orangnya emang nekat kalau demi adiknya sendiri.

Andra mendelik kecil. Paling mau terima kasih, pikirnya sedikit benar, sedikitnya lagi dia tidak tahu kalau sebenarnya Ansel mau memastikan kelayakan Andra buat adiknya.

“Aya,” suara ibu memecah perkacapan mereka, “nih, tante nemu baju yang pas buat kamu.”

“Astaga, Ibu! Pakaiannya gak ada yang lain apa?” tegur Andra heran sama kelakuan ibunya yang justru bawain Soraya dress ungu masa muda ibunya itu. Dress yang panjangnya di atas lutut dengan pita di belakang. Andra pernah lihat ibunya pakai dress ungu itu lewat foto masa mudanya dulu pas kuliah.

Ibu mencebikkan bibir masa bodoh. Kemudian menyuruh Soraya berdiri di dekatnya. Soraya hanya menurut saja. “Pakaiannya masih bagus kok. Pasti cocok sama kamu.”

“Ibu ....”

“Apa sih, Ndra! Cerewet banget kamu. Biasanya juga gak cerewet.” Ibu balas menegurnya; Andra terpana akan reaksi sang ibu terhadapnya. “Aya ganti pakai ini gak apa-apa. Tante malah senang kalau dress kesayangan tante dipakai sama adiknya teman anaknya tante.”

“Ibu ... Aya bukan manekin yang bisa dipakain ini itu.”

“Ibu gak bilang Aya manekin.”

Soraya mengerjapkan mata seraya menatap bergantian pasangan ibu-anak ini dengan geli.

“Udah, Aya. Gak usah dituruti omongan ibuku. Biar aku cariin kaus saja.”

“Aya itu cewek, bukan cowok,” tegur ibu tiba-tiba menyabotase keberadaan Soraya dan menjauhkan dari Andra yang tadinya kepengen menariknya untuk menjauhkan Soraya dari ibunya. “Lebih cocok pakai dress daripada kaus.”

Andra berkacak pinggang. Menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depan sang ibu. “Aya, sini. Jangan peduliin ibuku.”

“Ya ampun, Ndra. Segitunya sama ibu.”

Soraya spontan tertawa mendengar debat kusir antara ibu anak ini. Mengingatkan dirinya sama ayah dan Ansel kalau di rumah.

“Cepet, Aya, ke sini!” tegur Andra menyuruhnya supaya berpaling dari ibu kepadanya. “Siapa yang nganterin kamu pulang, kalau bukan aku?”

“Pak, lihat, Pak.” Ibu kemudian lari mendekati bapak yang baru muncul setelah selesai mandi hendak mengadu. Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Andra untuk menarik Soraya ke arahnya. “Anakmu posesif banget. Padahal ibu cuma pengen ngasih Aya pakaian ganti.”

“Ya udahlah, Bu. Biarin aja. Toh, Andra udah dewasa,” kata bapak acuh tak acuh.

Ibu mendelik kesal karena tidak dapat dukungan dari suami. Padahal, ibu sangat ingin melihat Soraya pakai dress ungu kesayangannya ini. Tadinya ibu punya pilihan lain lagi, pakaian masa mudanya yang masih layak pakai, tapi entah mengapa tiba-tiba ibu kepengen lihat Soraya pakai dress ungu ini.

Andra menoleh ke arah Soraya yang terus tertawa. Terhibur dengan kedekatan Andra sama orang tuanya, terutama ibunya itu. “Udah gak usah peduliin ibuku.”

Ibu yang protes dan mengomel marah-marah padanya. Membuat Andra langsung menutup telinga Soraya dengan kedua tangannya. Soraya mendongak dengan mata mengerjap polos. Andra menggeleng sebagai respon dari tatapan Soraya yang bingung sama perlakuan Andra ini.

Andra melakukan itu supaya Soraya tidak mendengar omelan ibunya. Ibu kalau udah ngomel tuh, berisik banget.

“Kalau pakaian lain Andra izinin, tapi kalau tetap dress itu gak boleh,” ujar Andra membuat ibu cemberut.

“Ibu juga kayak remaja aja.” Bapak ikut menimpali. “Disimpan aja pakaiannya, cariin pakaian lain.”

Ibu hendak protes. Namun, urung setelah bapak berkata, “Simpan saja, Bu. Besok kalau Andra udah bawa mantumu ke rumah, baru suruh pakai. Atau enggak, suruh Lala yang pakai. Pasti juga cocok.”

Ibu mendesah sedikit tak terima. Lalu memperhatikan Soraya yang terus mengerjapkan mata bingung karena tidak mendengar debat kusir keluarga ini. Andra masih menutupi telinganya dengan kedua tanganya. Seketika ibu sadar kalau gadis yang dibawa pulang Andra ke rumah memang bukan pacar anaknya.

Ibu saja yang terlalu banyak bermimpi, kalau pada akhirnya Andra membawa pasangannya ke rumah.

🦁 l i o n h e a r t e d 🦁

Andra masih belum bisa mengantarkan Soraya pulang karena ibu memaksa supaya Soraya tinggal sedikit lebih lama untuk sarapan bareng. Biasanya kalau sarapan di rumah bapak keluar beli makanan, tapi kali ini ibu melarang suaminya beli makanan. Ibu tiba-tiba pengen masak.

Bapak menurut saja, ketimbang istrinya ngambek. Biarin aja pasangannya itu bahagia dengan dunianya sendiri. Andra pun akhirnya mengikuti saran bapaknya supaya membiarkan ibu mereka bercakap-cakap sebentar sama Soraya di dapur.

Tapi Andra tetap enggak bisa meninggalkan Soraya sendirian sama ibunya. Sehingga dia ikut serta di dapur, meskipun hanya menyimak di kursi meja makan.

“Aya, bisa masak?” tanya ibu. Andra seolah bisa menebak apa yang sedang direncanakan ibu bersama Soraya di dapur. Pemandangan seperti ini biasa dia jumpai setiap kali Andra membawa pacarnya ke rumah.

Bedanya hanya Andra tidak terlalu lama menunggu mereka di dapur, ibu sama mantan Andra dulu. Kali ini dia sengaja menunggu lama dan menyimak obrolan mereka. Soraya bukan pasangannya, tapi Andra merasa harus tetap mengawasi mereka. Terlebih gerak-gerik Soraya tersirat jelas betapa gugupnya dia berbicara sama orang tuanya.

Andra menahan kegeliannya melihat kegugupan Soraya. Biasanya gadis itu terlihat begitu percaya diri, blak-blakan di depan Andra, dan cerewet. Tapi di dekat ibunya dia justru berbeda.

Soraya meringis malu. “Enggak, Tante. Eh! Maksudnya belum bisa.”

Ibu mengangguk paham. “Kalau rutin belajar pasti nanti bisa.” Lalu melirik Andra yang diam di kursi. “Kayak Mas Andra sejak dia KKN sama magang kerja dulu, pulang-pulang udah bisa masak nasi goreng sendiri.”

Soraya mendongak ke arah Andra. Pas-pasan laki-laki itu sedang mendengus ketika ibu menyinggung keahliannya di dapur. Soraya lalu paham dari mana Andra bisa belajar masak nasi goreng. Biarpun bikin nasi goreng itu sederhana, tapi kalau ada laki-laki bisa masak entah kenapa jadi nilai plus sendiri. Dan nasi goreng buatan Andra semalam enak kok. Lumayanlah untuk ukuran orang yang cuma bisa masak nasi goreng.

“Hmm, bantu potong-potong bahannya kamu bisa?”

“Bisa, Tante,” sahutnya.

“Ya udah, kamu geprek aja serai sama lengkuasnya buat bikin soto. Kalau sudah nanti lanjut kunyit, bawang merah, bawang putih sekalian sama merica.”

“Oke, Tante.”

“Gak kebanyakan tugasnya, Bu?”

“Kamu gak ngerti apa-apa diam aja,” tegur ibu mendiamkan Andra di bangkunya. Kemudian berpaling ke Soraya yang terlihat santai dengan tugasnya. Dia sepertinya tidak kesulitan untuk menemukan bahan-bahan masakan. Seolah telah terbiasa dengan mereka.

Ibu seolah mengingat sesuatu langsung berbalik menengok Soraya. Sekejap kemudian terdiam melihatnya. “Masa kamu gak bisa masak?” tanya ibu penasaran karena nyatanya Soraya bisa membedakan bumbu masakannya. “Tante kira kamu gak tahu serai, lengkuas, kunyit. Kamu pasti bisa masak, ya?”

Soraya menggeleng dan tersenyum percaya diri. “Belum bisa kok, Tante. Tapi kalau bedain bumbu dapurnya udah bisa. Di rumah sering bantu ibu di dapur.”

“Sering bantu ibu di dapur juga?”

Kalau enggak bantu, nanti ibu ngomel. Soraya mengangguk. “Bantu potong-potong bahannya aja, kadang sambil goreng tempe atau gak ikan. Biasanya bantu ibu masak pas weekend. Libur sekolah atau kuliah gitu, Tante. Makanya tahu nama-nama bumbu dan bisa bedain soalnya ibu kalau di rumah sering ngingetin.”

Andra takjub, apalagi ibunya.

“Terus kenapa gak sekalian belajar masak?”

Soraya mengangkat bahunya tak tahu-menahu. Mungkin karena dia masih ragu sama kemampuannya. “Mungkin belum pede,” Soraya meringis, “kata ibu saya, enggak masalah saya mau bisa masak atau enggak. Selama saya bisa bedain bahan-bahan dapur dan jagain pengorengannya. Hehe.”

Ibu Andra tersenyum memaklumi; Andra hanya diam mengamati. Lagi-lagi terpikirkan, hubungan seperti apa antara Soraya dan ibunya kalau di rumah. Semalam Soraya bilang takut sama ibunya, entah takut karena apa, lalu sekarang dia bilang ibunya tidak terlalu memedulikan anak perempuanya itu bisa masak atau enggak.

“Seenggaknya gak malu-maluin pas di dapur,” kelakar ibu lalu melanjutkan lagi urusan dapurnya bersama Soraya yang membantunya.

Melihat Andra yang tetap menyimak, membuat ibu tertarik jadi mendekatinya. Diam-diam menyenggol bahu putranya dan berbisik di telinganya, “Bukan anak kecil, Ndra.” Seolah ibu dapat membaca pikiran Andra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top