☔ be yourself
“Emang napa pulang. Gak betah, ya?”
Ansel terus bercanda selama di jalan. Bukan maksud apa-apa, dia cuma pengen lihat adiknya yang baru pulang dari Paris itu tersenyum. Habisan mukanya lusut banget kayak kain pel. Enggak ada semangatnya sama sekali.
Sebenarnya Ansel sudah menebak jauh-jauh hari, Soraya enggak bakalan bertahan lama tinggal di Paris. Mau bagaimanapun dia anak bungsu yang biasa dimanjakan di rumah. Perilakunya memang bukan seperti anak manja pada umumnya, Soraya cenderung menutupi kelemahannya itu dengan sikap selengean dan blak-blakan.
Hanya saja, perlu dicatat bahwa adiknya itu tipe orang paling sulit menyesuaikan diri dengan dunia baru. Butuh waktu lama baginya guna menerima perubahan tersebut. Soraya selalu hidup di zona nyaman. Sekali keluar akan sulit baginya untuk menyesuaikan diri ke zona baru. Ditambah lagi anaknya terlalu negatif thinking. Kebiasaan itulah yang menjadi hambatannya untuk berkembang.
“Manja sih,” kelakar Ansel sambil mencubit pipinya biar senyum. “Kamu aja sampai kurus begitu. Emang Andra gak ngerawat kamu apa?”
“Jangan salahin Mas Andra. Dia ngerawat aku. Emang aku aja yang gak becus.”
“Dih, pesimis amat.” Ansel berdecak tak heran sama sifatnya itu. “Makanya kalau gak becus belajar. Bukannya gimana-gimana, ya, Dek. Kamu itu udah dewasa. Usiamu udah dua puluh dua tahun, bukan ABG lagi. Meski Mas Aan sayang banget sama kamu, tapi kamu harus berhenti mikirin yang enggak-enggak.”
Ansel meliriknya yang terus diam menatap ibu kota lewat kaca jendela mobil dengan pandangan penuh rindu. Entah rindu sama kampung halaman atau rindu sama Andra. “Bersyukur suamimu itu Andra, bukan laki-laki bajingan yang bakalan nyerah ngadepin sifat pesimismu ini.”
“Mas Aan cerewet.”
“Dibilangin juga.” Soraya mendengus sedikit kesal, sedikitnya lagi senang karena akhirnya dapat mendengarkan omelan saudaranya yang dirindukan. Berbeda sama Andra yang enggak tegaan, yang hanya marah jika kesabarannya dipangkas habis. “Mas Aan cerewet karena peduli. Sama kayak kamu, tukang cerewet kalau lagi mode selengean. Nih ya, mumpung di rumah belajar sama ibu.”
Dia tetap diam. Tidak membantah, tidak juga terlihat akan patuh. Dia hanya teralihkan sama pikiran lain. Menyusun sebuah rencana kilat yang dia buat ketika berada di pesawat. Saat dia merasa benar-benar sendiri meskipun di samping, depan, dan belakangnya banyak orang duduk di bangku masing-masing. Dan ketika perjalanan pulang dengan pesawat seharian penuh itu, dia sering menangis. Kali ini menangisi ketidakadaan Andra di dekatnya. Sampai-sampai wanita dewasa yang duduk di sebelahnya bingung.
Baru pisah sehari, tapi dia sudah kangen banget.
Begitu sampai rumah, orang tuanya spontan kaget mendapati tubuh kurus dan wajah kusut seperti tak terawat. Ibu hampir marah mengira Andra tidak merawatnya baik. Ansel buru-buru menjelaskan kalau justru Andra orang tepat buat merawat putri bungsunya ini, mewakilkan Soraya yang terlihat begitu capek menyangkal tuduhan orang-orang terhadap Andra.
Apa perlu dia membuat bandana di kepala yang punya sebuah pemberitahuan “Ini salahnya, bukan salah Andra” biar semua orang berhenti menuduh aneh-aneh pasangannya.
“Udah, udah. Biar anaknya istirahat dulu,” kata ayah bergegas merangkul dan mengajaknya masuk ke kamar yang sudah lama dia tinggalkan. Kamar kesayangannya, kamar yang menjadi saksi bisu kehidupan Soraya mulai dari anak-anak hingga perempuan dewasa awal. Dari dia masih single kemudian menjadi seorang istri. “Kamu pasti capek, ya, Nak?”
Soraya hanya mengangguk pendek. Lalu meluk dari samping pinggang sang ayah erat begitu hanya mereka berdua di kamar Soraya, sementara ibu pamit ke dapur hendak membuatkan teh hanget biar penatnya hilang dan dia bisa istirahatnya dengan tenang.
“Kangen Ayah,” gumamnya pelan.
“Ayah juga kangen.” Ayah balas memeluk sang putri sambil mengusap lengannya. “Emang berkeluarga itu gak gampang, Nak. Hasilnya gak langsung indah di depan mata. Butuh sabar yang gede buat jalaninnya. Yang penting kamu sama suami saling memahami,” kata ayah tiba-tiba.
“Anak manja,” celetuk Ansel tahu-tahu muncul ke kamar sambil mengendong tas ransel bawaan sang adik. Soraya hanya bawa sedikit barang-barangnya waktu mau pulang karena dia masih berpikir untuk kembali ke Paris jika keadaannya telah membaik.
“Kamu belum nikah gak bakalan ngerti kondisi adikmu,” tegur ayah. “Buruan nikahi si Nora. Jangan kelamaan.”
“Sabar, Yah. Kalau Nora udah siap pasti besok dinikahin. Tapi anaknya masih pengen nunggu kakaknya nikah.”
“Lamar dulu kek, biar udah pasti dia jodohmu.”
Ansel menghela napas. Begini nih, semenjak si anak bungsu menikah, Ansel jadi sering dicekcokin pertanyaan kapan menikahi pacarnya. Padahal, dulu-dulu enggak pernah kayak begini. Ansel meletakkan tan ransel itu di lantai dekat meja belajar.
“Pasti dilamar. Ayah gak usah khawatir.” Lantas melirik sang adik yang masih memeluk manja ayah mereka. “Udah sana, kamu istirahat aja.”
“Mas Aan cerewet banget!”
Ansel masa bodoh. Ayah mereka lalu setuju kalau Soraya memang perlu istirahat. Setelah bertukar rindu keduanya kemudian pamit keluar dari kamarnya. Meninggalkan Soraya sendirian yang kini duduk di tepi ranjang. Dia langsung mendesah panjang. Berada di dalam kamarnya sendiri justru mengingatkannya pada Andra. Di kasur itu mereka terbiasa berbincang santai sampai tengah malam dan di kasur itu pula merekaterbiasa saling berbagi kehangatan lewat pelukan.
Ah, betapa dia merindukan pria tersebut..
Andra telah berjanji akan rutin menghubunginya setiap hari. Setibanya dia di bandara laki-laki segera menghubunginya lewat video call, menanyakan kabar dengan raut khawatir yang tidak dibuat-buat. Kemudian berjanji akan menghubunginya lagi setelah dia sampai rumah. Sekarang dia sudah di rumah dan sedang menunggu telepon sang suami.
Namun, ketukan pintu dari luar menarik atensinya dari ponsel. Soraya segera bangkit untuk membukakan pintu kamarnya yang terkunci. Ternyata ibu yang barusan mengetuk. Beliau berdiri tepat di balik pintu kamar sambil membawa satu nampan isinya teh hangat dan sop jagung hangat buatan ibu, salah satu makanan kesukaannya di rumah.
“Biar istirahatnya nyenyak,” ujar ibu turut masuk ke dalam. Namun, ibu tidak langsung pergi begitu saja. Beliau kini duduk di tepi ranjang, lalu menyuruh Soraya menutup pintu dan ikut duduk bersamanya. Soraya menurut dengan tidak banyak bertanya.
Ketika tiba waktunya dia duduk di sebelah ibu. Ibu yang biasa memasang wajah judes, tiba-tiba menggulum senyum hangat sembari menyentuh wajah putrinya itu penuh kasih sayang. “Capek, kan?”
Dia paham bahwa pertanyaan itu bukan tentang perjalanannya pulang dari Paris ke rumah, melainkan perjalanannya menjadi seorang istri. Soraya mengangguk pelan. Tahu-tahu dia menangis sehingga ibu langsung mendekap dirinya. Entah mengapa dia ingin mengeluarkan semua kegelisahannya selama ini kepada ibunya. Tidak ada yang sehebat ibunya untuk memahami dirinya ini.
“Bukan salahmu belum siap, Nak. Jadi istri emang gak mudah,” kata ibu menenangkan dirinya yang tak dapat berhenti menangis. Ini mengingatkan mereka pada jaman Soraya sering menangis di kamar kalau diganggu kakaknya waktu kecil dulu dan ibu akan masuk ke kamar untuk menenangkannya. Berbeda sama ayah, ibu cepat memahami kondisi sulitnya tanpa harus Soraya bercerita tentang apa saja salahnya.
Soraya mengangguk di pelukan ibu. Perilaku buruknya terhadap Andra terus berputar di kepalanya bak roll film di sebuah bioskop. Betapa malu pada dirinya sendiri yang begitu kekanak-kanakan dan egois. Dia selalu mengandalkan ketidakberdayaannya itu sebagai alasannya untuk menyalahkan Andra.
Istri macam apa dia ini. Kenapa dia begitu naif? Kenapa dia begitu menyeramkan? Kenapa dia begitu tidak bisa mengontrol kecemasannya sendiri? Astaga, dia tampak begitu buruk telah menyandang status sebagai istri Andra, sosok laki-laki yang kesabarannya melebihi dirinya ini. Saking sabarnya, Andra tidak pernah marah atas kelakuan tidak terkendalinya tersebut.
Napas Soraya tercekat di tenggorokan. Dia malu—malu sekali untuk bertemu Andra lagi. Nama baiknya telah tercoreng lewat kegilaannya sendiri. Apa yang dia lakukannya pada Andra kali ini lebih malu-maluin sehingga menginjak harga dirinya sebagai seorang perempuan yang selalu membanggakan rasa percaya diri. Perilaku tersebut lebih memalukan ketimbang ajakannya berkencan dan dengarkan banyak orang. Demikianlah Soraya baru memahami konsep asli dari istilah orang tidak tahu malu.
Ibu membelai rambutnya. “Namanya juga manusia sering buat kesalahan. Selama kamu mau belajar jadi lebih baik, kesalahan di masa lalu bisa diperbaiki. Ibu dulu juga seperti kamu.”
“Ta-tapi Aya udah bikin Mas Andra menderita, Bu.”
“Seberapa menderita, hm?” tanya ibu bernada lembut. “Kalau Andra sangat menderita, dia pasti udah angkat kaki dari hidupmu. Nyatanya Andra masih bertahan sama kamu. Itu bukti kalau suamimu orang paling sabar ngadepin sifatmu.”
Ibu menarik diri dari pelukan. Matanya yang telah berkeriput itu mengamati seraut merah padamnya yang dibanjiri air mata. “Kamu manfaatin aja waktu di rumah sebelum balik nyusul suamimu. Jangan merasa seolah hidup akan berakhir besok. Ingat pesan ibu dulu sebelum kamu nikah, jangan pernah ragu buat bilang apa maumu ke pasanganmu. Asal ....”
“Jangan merasa superior dengan merasa benar,” sambungnya.
Ibu tersenyum lebar. Soraya hampir tidak percaya melihat ibunya yang tersenyum demikian lebar. Biasanya garis bibirnya hanya akan tertarik sedikit ke atas dan menunjukkan senyuman tipis. Namun, kali ini dua garis itu melengkung begitu indah, membuatnya seketika lega dan tenang kembali.
Selama tinggal di rumah Soraya memang berencana untuk belajar. Dia ingin belajar menjadi seorang istri yang baik bagi Andra. Seenggaknya dia tidak menjadi beban suaminya lagi. Esoknya dia lalu meminta tolong ibu untuk mengajarinya cara masak, bahkan ketika pergi ke rumah mertua dia juga minta bantuan sang ibu mertua untuk mengajarinya sekaligus.
“Justru ibu senang kalau dimintai tolong,” ujar ibu mertuanya yang sudah terlihat sehat dan bugar kembali. Kondisinya telah membaik semenjak menjalani operasi. “Andra pasti sering ngerepotin kamu di sana, ya?”
“Enggak kok, Bu. Justru Mas Andra yang sering aku repotin.”
“Halah. Gak usah malu-malu gitu.” Ibu menepuk punggung tangan Soraya. “Kamu juga harus lebih sabar ngadepin suamimu itu. Tegur aja anaknya kalau banyak bertingkah. Terutama kalau dia udah mulai tertarik belajar satu bidang pekerjaan. Aduhh ... ampun, dah! Tolong ingetin anaknya buat jangan maksain diri jadi aneh-aneh. Ibu suka pusing lihat dia serius kerja.”
Soraya mengangguk dan segera membuat catatan khusus untuk menegur Andra jika maniak bisnisnya timbul dan berlebihan—kalau menurut Adam. Mungkin saat ini kondisi Andra masih stabil, belum ada tanda-tanda dia tertarik untuk melakukan sesuatu.
Sementara itu, ibu senang jika selama di rumah Soraya akan membagi waktunya untuk tinggal di rumah mertuanya. Membagi waktu dalam satu minggu nanti Senin-Kamis di rumah orang tuanya sendiri, sedang Jumat-Minggu di rumah mertua. Awalnya mungkin canggung baginya, nanti lama-kelamaan dia pasti terbiasa. Tapi buat sekarang karena masih sehari pulang dia belum bisa menginap di rumah mertuanya.
“Daripada kamu bolak-balik naik ojol. Kenapa gak bawa mobil atau motornya Mas Andra aja,” tanya bapak sewaktu pulang ke rumah selesai rapat dari kantor.
Soraya menggeleng. “Belum lancar nyetirnya, Pak. Motor juga gak bisa pakai.” Ia meringis malu.
“Cuma eman-aman aja kendaraannya menganggur.”
Soraya hanya tersenyum. Meski Ansel sudah mengajarinya naik mobil, dia masih tetap payah dalam urusan menyetir roda empat. Boro-boro roda empat, roda dua saja enggak becus kok! Tapi mobil masih lumayan, cuma giliran parkir dia payah banget. Ansel sampai geleng berulang kali dengan sabar mengajarinya yang berujung sia-sia belaka.
Sepulang dari rumah mertua dia langsung balik ke rumah. Niatan pengen ketemu Bunga batal karena temannya itu sudah mulai aktif bekerja. Mendengar sang teman mulai sibuk sama dunia kerja, membuatnya jadi tertarik untuk bekerja. Soraya kepengen punya pengalaman kerja, seenggaknya sekali dalam hidup setelah dia sukses menyandang satu gelar di belakang namanya. Lantas saat Andra menghubunginya Soraya segera menyampaikan keinginannya tersebut.
“Gak apa-apa kok. Selama kamu suka sama pekerjaannya dan bukan sekadar kepengen nyoba aja.”
Soraya mengangguk senang, sambil terus memandangi wajah Andra yang memenuhi layar ponselnya. Wajah pria inilah yang selalu dia rindukan.
“Mas Andra sendiri gimana. Jadi cari kerja di sana?”
“Sebenarnya mas udah nemu. Tapi mas mau ambil pelatihan dulu beberapa bulan biar lebih menguasai profesinya.”
Sebuah alarm peringatan timbul di kepalanya. Soraya mewanti-wanti supaya memantau perkembangan minat Andra terhadap sebuah pelatihan profesi dan akan menegurnya kalau dia mulai berlebihan. Ya, sesuai sama permintaan sang ibu mertua.
“Terus sekarang Mas lagi apa?”
“Lagi kangenin kamu,” ujarnya membuat semburat merah timbul di pipi dan hatinya merasa hangat. “Sepi banget gak ada kamu di sini. Gak ada yang bisa dipeluk sama cium.”
Dia spontan tersenyum geli. Senyum yang tidak dibuat-buat dan senyum asli inilah milik Soraya yang Andra kenal. Bukan Soraya yang beberapa waktu lalu suka berubah-ubah seperti bunglon. Andra merindukannya lebih dari apa pun. Soraya pun merasakan hal sama seperti miliknya itu.
Seolah ingat sesuatu, Andra kontan berceletuk, “Gimana kalau kamu di kafe aja? Kamu mau kerja, kan? Maksud mas barangkali kamu cocok buat ngurus di sana.”
“Emang boleh?”
“Siapa yang gak bolehin?” Mata Andra memicing heran. “Nanti biar mas bilang ke Sabo. Terus lagi, emang kamu gak mau hubungi Mbak Wendi?”
Ah, editornya itu. Rasanya aneh kalau tiba-tiba dia menghubungi Mbak Wendi lagi setelah berbulan-bulan dia tidak mengirim kembali naskah revisinya. Dia hilang begitu saja tanpa kabar. Entah kenapa dia main asal memutuskan begitu saja, padahal revisi ceritanya tinggal sedikit. Kemudian Soraya juga sudah lama tidak aktif menulis di profile menulisnya.
Apa kabar akun itu, ya? Kira-kira pengikutnya masih ada yang ingat dia tidak, ya?
Soraya menggeleng. Merasa tidak pantas untuk menghubungi sang editor. Sedang tiap bulan gaji bukunya yang masih didistribusikan tetap masuk ke dalam dompetnya.
“Gak apa-apa. Coba aja dihubungin. Kali aja masih mau ngurus.”
“Gak enak.”
“Kan belum dicoba,” katanya.
Soraya diam sedang menimang lagi usulan Andra untuk menghubungi editor bukunya. Mungkin ada baiknya dia langsung mendatangi kantor Mbak Wendi dan menjelaskan alasannya berhenti mengirim naskah revisinya. Atau mungkin dia tidak perlu melakukan itu. Soraya mendesah sedikit kecewa sama pilihan impulsifnya.
“Udah gak usah mikirin aneh-aneh,” tegur Andra.
Soraya mengangguk saja. “Oh iya! Kalau aku tetap ikut konseling gitu, Mas Andra gak masalah, kan? Mas Andra gak bakal mikir aku aneh atau gila karena ketemu psikolog, kan?”
Andra menggulum senyum teduh. Kali ini giliran dia yang mengangguk. “Lakuin apa yang kamu butuhin selama kondisinya bikin kamu nyaman. Terus pikiran dari mana, tuh? Kamu bukan cenayang, jadi berhenti nebak pikiran mas tentang kamu.”
“Iya, maaf.” Ia mendesah sesaat. “Berarti kalau aku—misal nih kalau jadi—liburan bareng Bunga dibolehin?”
“Iya.”
Wajahnya semringah. Dia dan Bunga sudah merencanakan buat liburan memenuhi wishlist mereka selesai wisuda. Hanya saja, jatah liburannya pendek karena Bunga bukan pengangguran lagi. Tiba-tiba dia bungkam dengan ekspresi terheran-heran. “Kok Mas Andra baik banget ngeiyain mulu.”
Andra terkekeh geli. “Kamu mau Mas Andra versi jahat nolak semua kemauanmu gitu?”
“Eh? Enggak gitu. Maksudnya kemarin-kemarin kan, aku jahatin Mas terus.”
“Itu kemarin. Sekarang kan, udah enggak.” Andra jelas masih ingat betapa mengejutkan diri Soraya yang berupaya berubah jadi orang lain. “Gak usah diingat-ingat lagi. Anggap aja itu sebagai pembelajaran. Manusia gak ada yang sempurna. Baik itu kamu maupun mas.”
“Mas Andra sempurna kok,” ucapnya segera meralat perkataannya itu.
Andra terhenyak kemudian tertawa lagi. Ah, dia rindu mengacak kepala istrinya itu. Jika Soraya di sampingnya mungkin tangannya refleks menyentuh kepalanya. “Mas ada kekurangannya kok. Kalau disebutin daftarnya pasti banyak,” lanjutnya, “intinya kamu gak usah mikirin hal aneh-aneh. Kalau ada apa-apa bilang sama mas, jangan dipendem sendiri. Kamu juga gak perlu buat jadi sempurna. Dengan kamu bersikap konyol dan blak-blakan aja mas udah sayang banget.”
“Seberapa sayang?” ujarnya hanya ingin menggodanya saja. “Dari angka 1 sampai 100 berapa banyak”
“Tak terhingga,” kata Andra segera meralatnya. “Angka itu gak penting. Yang penting apa yang mas lakuin buat kamu dan kamu tahu kalau mas sayang kamu. Terus sekarang mas kangen banget!”
Soraya tersenyum lebar. Hatinya menghangat mendengar semua tutur manis Andra. Tidak ada kata yang dapat menggambarkan betapa bahagianya dia mempunyai Andra di dalam hidupnya. Keberuntungannya begitu hebat karena berhasil menjadikan laki-laki seperti Andra sebagai pasangan hidupnya.
“Aku apalagi. Kangennnnnn .... banget, banget, banget, banget!”
Andra menatap serius wajahnya itu. “I love you.”
“Love you more.”
Tak lama panggilan video itu berakhir lantaran Andra harus segera balik kuliah lagi. Jam istirahatnya selesai. Mereka harus menunggu malam nanti untuk dapat bertemu via video call. Sedang perkataan Soraya ingin mengikuti konseling itu serius. Dia bahkan minta bantuan Nora, pacar Ansel, untuk mencarikan seorang kenalan psikolog di lingkungan kerja. Barangkali perempuan itu mempunyai kenalan yang dapat membantunya untuk lebih mengenali dirinya sendirinya. Agar dia lebih mawas diri dalam menangani kecemasannya.
Disamping itu juga dia masih harus belajar masak sama ibu. Dulu ibu sudah mengajarinya untuk mengenali bumbu-bumbu dapur. Kali ini beliau mengajarinya cara meracik dan mengira takaran bumbu, lalu mengenalkan aneka resep makanan yang totalnya bukan hanya 5 atau 10, melainkan ada lebih! Ibu punya buku catatan khusus resep masakannya yang dia tulis tangan sejak muda dulu dan sekarang, buku itu diberikan padanya buat dipelajari.
Bagi ibu masak tidaklah sulit. Selama bahan yang dibutuhkan ada dan kita memahami skema masak, segalanya akan menjadi mudah. Ibu mengajarinya dari dasar-dasar memasak sebelum nanti naik tingkat. Urusan mengoreng Soraya tidaklah kesulitan, dia sudah terbiasa membantu di dapur. Dia hanya butuh mengerti racikan bumbu mengoreng dan bumbu buat bikin sayur.
Tidak apa-apa belum bisa masak makanan lezat. Seenggaknya tahu dasar-dasar memasak sudah menjadi nilai sendiri di mata ibu.
Dia sering ragu menambahkan bumbu seperti garam, penyedap, sampai gula. Ibu menyuruhnya supaya lebih sering menyicipi masakannya. Jika dia kurang yakin sama rasanya, dia bisa menambahkan bumbu yang diperlukan. Dengan catatan jika masakannya terlalu asin atau pedas, dia bisa menambahkan gula untuk mengurangi kedua rasa tersebut.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk menguasai dasar-dasar memasak. Tiga hari sering di dapur bersama ibu belajar masak, akhirnya dia diizinkan buat bikin makan malam rumah kala itu. Walau hanya masak makanan rumahan yang paling mudah dipelajari, tapi semua masakan malam itu buatannya sendiri.
Ada sayur sop bakso, tempe sama tahu, terus ikan goreng, dan sambal kecap. Masakan rumah sederhana yang paling gampang dipelajari. Soraya masak semua dengan tangannya sendiri, sementara ibu mengamati. Kadang memberikan komentar apa yang kurang dari sayur sop baksonya.
“Berasa jadi kelinci percobaan adik kalau gini,” celetuk Ansel terkekeh geli begitu duduk di meja makan.
Ayah segera menegurnya dan bilang kalau dia sendiri tidak becus masak. Soraya tersenyum puas mendapatkan dukungan dari ayah, lalu menjulurkan lidah pada Ansel yang hanya mendengus.
“Jangan lupa, ya. Kasih komentar dari bintang satu sampai lima.”
“Kalau ini sih, bintang satu, Dek.”
“Orang tua belum nyicipin juga, main komentar aja!” gerutunya sambil memutar bola mata. “Lagian masak itu susah. Emang Mbak Nora bisa masak?”
Ansel dengan bangga tersenyum lebar. “Kalau itu sih, paket komplit. Emang kamu yang baru bisa masak.”
“Aan!”
“Kan gak salah, Yah.” Ansel tertawa penuh kemenangan.
Ibu mendelik ke arahnya terus ikut menegur supaya dia berhenti meledeki adiknya yang lagi berusaha buat belajar masak. “Waktu makan jangan banyak bicara. Kamu juga, An. Udah gede masih aja jahilin adiknya.”
“Hehe. Mumpung anaknya di rumah, Bu.” Soalnya kemarin-kemarin enggak ada yang bisa dia ganggu. “Besok-besok mas request bikinin pisang goreng, ya!”
Soraya memelototinya dengan tatapan aneh. “Suruh Mbak Nora ajalah. Kan paket komplit, tuh.”
Karena enggak ada yang mau mengalah ibu akhirnya memarahi mereka berdua. Dengan menyuruh keduanya keluar rumah dan bertengkar di halaman luar biar para tetangga menyaksikan betapa kekanak-kanakan mereka berdua ini. Ayah hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng. Baik Ansel maupun Soraya hanya diam dan saling melirik satu sama lain, dan saling menuduh siapa yang paling salah di antara mereka.
Ayah orang pertama yang bilang kalau sop buatan Soraya sama enaknya seperti buatan ibu. Mendengar itu Soraya langsung tersenyum puas. Dia semakin semangat untuk merasakan masakannya sendiri itu, dan semakin semangat buat belajar masak lagi. Kali ini dia percaya sama kemampuannya sendiri.
“Kenapa, Dek?” tanya Ansel saat menyadari ekspresi Soraya yang mendadak berubah aneh.
Soraya tak menyahut. Tiba-tiba dia berdiri dan berlari meninggalkan meja makan. Ansel dan ayah serentak menoleh kaget sama reaksinya. Keduanya sama-sama terlihat cemas, berbeda sama ibu yang hanya tersenyum tipis.
“Udah, duduk aja di kursi,” tegur ibu sama Ansel yang berniat menyusul adiknya. “Biar ibu yang ngurus adikmu.”
Ayah spontan bergumam begitu memahami situasinya. Lantas menyuruh Ansel supaya tetap duduk makan. Dia tidak perlu mencemaskan saudaranya itu, karena Soraya baik-baik saja. Ansel yang belum begitu mengerti hanya menatap bertanya-tanya punggung ibu yang tengah menyusul Soraya, yang barusan tiba-tiba kabur dari ruang makan dengan ekspresi aneh.
“Ada apa sih, Yah?”
Ayah menatapnya sambil melontarkan senyum sok misterius. “Adikmu lagi subur.”
“Hah?” Wajahnya agak linglung. Belum begitu paham maksud dari permainan kata sang ayah, dan baru mengerti setelah mengamati senyum lebar sok misterius ayahnya itu.
Ansel refleks berseru keras, “Oh ... oh ... ohh ... begitu!” Dia mengangguk paham dan tak lupa senyum lebar pun terpatri di bibirnya. “Haha. Hebat juga langsung gol satu kosong.”
“Hush. Omongannya!” tegur ayah kemudian.
Kemudian sekitar jam delapan malam di rumah, Andra menghubunginya lagi. Dua jam setelah Soraya enggak punya nafsu makan lagi dan sedikit murung karena gagal menikmati hasil masakannya sendiri. Namun, Soraya tetap bergegas menerima panggilan video tersebut. Wajah sang kekasih yang ia rindukan selalu, kali ini memenuhi layar laptopnya.
“Mas Andra.” Satu alis Andra terangkat heran. Tidak biasanya Soraya langsung memanggilnya begitu video call mereka terhubung. Biasanya dia akan bilang kangen dulu, sebelum menanyakan kabarnya.
“Kenapa?”
Sesaat dia diam tengah berpikir. Membuat Andra seketika khawatir, sehingga posisi duduknya semakin codong ke depan mendekat ke laptopnya.
“Aya.”
Soraya menatap langsung ke arah Andra. Dia cukup diam sesaat, kemudian mendesah. “Bukan apa-apa, sih.”
“Yakin?” Andra meragukan jawaban itu. Terakhir kali dia bilang begitu, nyatanya dia tidak seperti itu.
“Mas, kayaknya aku gak jadi kerja.”
“Kenapa? Padahal mas mau bilang, kalau Sabo oke kalau kamu ikut ngurus kafe,” ujarnya.
Soraya mengigir bibir bawahnya. Menatap selalu ke arah mata Andra. “Kali ini serius gak ada apa-apa. Cuma emang udah gak tertarik lagi buat kerja. Aku kayaknya tertarik sama lainnya.”
“Tertarik apa?”
“Hmm ...,” Soraya berkutat sama kepalanya, “pelatihan.”
“Pelatihan?”
Dia mengangguk. “Iya. Ibu sih, yang minta,” katanya. “Kayaknya ini lebih penting biar aku lebih matang lagi.”
“Matang soal apa?”
“Soal ... hm ...,” Soraya menatapnya sekali lagi, “jadi ibu—eh, maksudnya istri. Kan kemarin-kemarin belum bisa.”
Andra menggeleng tak setuju. “Siapa bilang belum? Kamu udah bisa, cuma belum sadar aja.”
“Itu menurut Mas Andra.”
“Mas Andra suamimu jadi bisa menilai langsung,” ujarnya. “Tapi kalau kamu merasa pelatihan itu berguna bagimu, iya, silahkan ikut. Asal jangan memaksakan diri buat jadi sempurna. Kalau kamu udah merasa capek sama pelatihannya, kamu harus berhenti. Paham, kan?”
Soraya mengangguk patuh tanpa berkomentar.
“Gimana masaknya hari ini?” tanya Andra tak lupa untuk menanyakan kabar Soraya yang lagi belajar masak bersama ibunya. Sementara bersama ibu Andra baru dimulai besok nanti ketika menginap di rumah mertuanya itu.
Soraya lupa sesaat sama kepentingannya. Beralih menceritakan masakannya malam ini dan respon dari keluarganya. Soraya tampak begitu puas meski lebih sering rendah diri karena merasa kemampuannya belum banyak berkembang.
Mendengar itu Andra segera menggeleng tak setuju. “Kamu masakin sop tiap hari pun, mas bakalan tetap makan kok. Apa yang kamu buat pasti enak.”
Soraya terkekeh geli mendengar kata-kata manisnya yang berlebihan. Entah mengapa dia merasa jarak justru lebih membuat hubungan mereka semakin membaik. Walau terus dilanda kerinduan ingin bertemu demikian besar, tapi mereka sama-sama dapat belajar banyak dari hubungan jarak jauh ini. Mereka saling memperbaiki diri menjadi lebih baik untuk lebih memahami karakter pasangan.
Soraya tersenyum lebar. Kembali bersyukur atas keberuntungannya menjadikan Andra sebagai suaminya. Mereka memang bukan pasangan sempurna. Soraya masih punya banyak kekurangan demikian pula sama Andra. Tapi mereka saling menutupi kekurangan pasangan dengan keunggulan yang mereka miliki.
“Kenapa gak bilang sama Andra kalau kamu hamil?” tegur Ansel, tahu-tahu muncul di kamar setelah komunikasinya sama Andra berakhir.
Soraya menggeleng.
Ansel menatapnya curiga. “Kamu gak niat rahasiain dari dia, kan?”
“Niatnya emang gitu.”
“Dek. Serius?”
Soraya menjelaskan, “Aku cuma mau ngasih kejutan aja ke Mas Andra .”
“Sampai kapan coba?”
“Sampai pulang ke Paris lagi.”
“Hadeuh!” Ansel geleng-geleng belaka. Hanya saja, Soraya kurang tahu kalau Ansel sendiri yang akan membeberkan langsung kabar bahagia itu sama Andra. “Ya udah, terserah kamu. Yang penting jangan dijadiin beban aja.”
“Eh? E-enggak kok.”
Ansel kurang percaya. Pasalnya sewaktu Soraya tahu dia hamil dari ibu, dia terlihat seperti kaget dan terlihat kurang antusias. Mungkin bukan hanya Ansel yang menyadarinya, ibu sepertinya merasakan hal serupa. Sebab itu, ibu meminta supaya Soraya mengikuti pelatihan bagi calon ibu biar mentalnya lebih matang. Bahkan menyarankannya supaya tinggal lebih lama di rumah supaya ada ibu dan keluarga yang turut merawat kondisinya yang lagi berbadan dua ini. Ibu bahkan menawarkan diri akan menemani ke dokter kandungan besok.
“Anggap aja yang di perutmu itu hadiah dari pernikahan kalian.”
“Iya.”
Ansel mengusap kepalanya. “Selama Andra gak ada di sini, kalau butuh apa-apa bilang Mas Aan. ”
Sekali lagi dia hanya bilang, “Iya.”
Yeah, siapa duga bahwa rencananya untuk tidak memiliki anak dalam waktu dekat ini justru gagal.
Hohoho chukkae aya 💁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top