👣 A moment

“Mas Andra sering ke sini?”

“Dulu sering, sekarang udah jarang.”

Kapan terakhir kali Andra ke sini? Seingatnya satu atau dua tahun lalu. Dia lupa kapan tepatnya hari itu, tapi dia ingat tujuannya kemari selalu buat refreshing. Sekadar jalan-jalan santai menikmati panorama di sekitar danau buatan ini. Andra menyukai suasananya yang tenang, serba hijau, dan sejuk. Meski dia sedikit kurang suka perubahan pada tempat ini setelah puluhan tahun dibangun dan sekarang telah jadi salah satu lokasi wisata yang ramai dikunjungi wisatawan lokal.

Memang dulu sudah ditetapkan sebagai lokasi wisata, tapi presensinya masih jarang diketahui masyarakat. Bisa dibilang keberadaan danau buatan ini nyaris gagal dan terbengkalai karena minimnya jumlah wisatawan. Pemerintah daerah hampir tutup mata. Untung mereka benar-benar tidak melakukan itu, sehingga keberadaan danau buatan ini tetap eksis setelah 25 tahun berlalu.

Wilayah sekitar danau telah dirawat cukup baik. Bukit-bukit kecil yang mengelilingi danau telah ditanami pohon yang tumbuh besar dan kokoh sebagai banteng pelindung. Jalan setapak menuju danau dan sekitarnya terbuat dari marmer. Sekarang pun ada jalur khusus jogging bagi masyarakat yang tertarik olahraga pagi dan sore di dekat danau. Di beberapa spot pun tetap ada tempat duduk terbuat dari beton sepaket sama meja bulat di tengah-tengahnya.

Tak jauh dari danau ada sebuah kafe terkenal di kalangan pecinta kopi dan remaja masa kini. Kafe itu tidak pernah sepi dari pengunjung. Para pegawainya terus bergerak tanpa henti melayani para pelanggan yang datang silih berganti. Sebelumnya Andra kasih dua opsi pada Soraya, antara mereka duduk santai di kafe dengan view danau beserta bukit yang mengelilinginya berwarna hijau atau mereka berkeliling santai di sekitar tempat itu. Dan Soraya memilih untuk jalan-jalan santai.

“Bagus lokasinya. Sayang banget baru tau ada tempat senyaman ini.” Ini pengalaman pertamanya datang kemari. Tidak pernah mengira bahwa akan ada tempat sebagus ini. Soraya jarang main ke tempat-tempat jauh, jadi pengetahuannya tentang wisata sangat dikit. “Mas Andra kok bisa nemu tempat begini?”

Mereka jelas dua orang yang berbeda. Andra punya banyak pengetahuan di berbagai lokasi. Jelas tempat seperti ini hanya sebagian kecil dari pengetahuannya itu. Soraya sedikit iri sama kebebasan Andra.

“Kamu tahu belokan di persimpangan sebelum kemari?”

Soraya mengingat-ingat lagi. “Yang arah perumahan Nirvana itu?”

“Dulu kami tinggal di sana sebelum tinggal di rumah yang sekarang.”

“Oh? Mas Andra asli orang sini, dong!?”

Andra mengangguk. Rumah tinggalnya dulu ada di perumahan Nirvana sebelum keluarganya pindah ke rumah yang sekarang. Pas pindah rumah Andra baru kelas satu SMA. Orang tuanya memutuskan pindah rumah sementara rumah lama mereka dijual. Semenjak itu, setiap sekolah Andra harus berangkat pagi buta dan pulang sore. Dia menolak pindah sekolah dan tetap bertahan di sekolah lamanya sampai lulus.

Dulu sekali dia sering datang kemari menemani bapaknya jogging. Atau setiap weekend, orang tuanya rutin mengajak Andra jalan-jalan santai sambil menikmati bakso urat dan es campur kesukaan ibu yang penjualnya sudah tidak ada lagi.

Soraya langsung mencatat informasi ini dalam memori jangka panjangnya. Sedikit demi sedikit dia akan mengumpulkan informasi tentang siapa itu Andra agar lebih mengenalinya.

Sudah berapa meter mereka jalan kaki dari parkiran sampai mendekati danau? Waktu lihat belakang Soraya tersentak, tak mengira mereka sudah jalan sampai sejauh ini, sementara belum banyak yang mereka bicarakan saat ini. Minimal ngobrolin sesuatu yang dapat membatu Soraya memperoleh sedikit informasi tentang Andra.

Soraya pengen mengenal sosok Andra lebih dari sekadar dia bertender kafe atau laki-laki yang terus menganggu pikirannya. Dia pengen tahu sisi lain darinya, makanan favoritenya, musik jenis apa yang dia dengarkan, seperti apa Andra waktu sekolah dulu, dan semua hal. Tentang apa pun selama itu membantu dirinya untuk mengenal sosok ini.

Lalu dia terpikirkan satu hal. Mendadak ingin tahu seperti apa Andra jalan bareng bersama perempuan selain dirinya.

“Mas Andra sama Kayla gimana?”

Andra berpaling ke arahnya dengan dahi mengernyit. “Kenapa tiba-tiba nyebut Kayla?”

“Ah ... itu ....” Dia memutar isi kepalanya mencari alasan yang bisa diterima tanpa Andra berpikir kalau dia lagi kepo. Sepertinya percuma karena jawaban berikutnya menyakinkan Andra kalau dia ini lagi mengorek sesuatu dari dirinya. “Maksudnya pas Mas Andra nge-mall bareng Kayla gitu. Jalan-jalan keliling di mall lihat barang-barang di etalase toko, makan, nonton, atau—”

“Kenapa? Pengen nge-mall seperti Kayla juga?”

Soraya menggeleng cepat. “Gak begitu suka nge-mall. Capek di dompet.” Dia mungkin bisa menahan dorongan untuk belanja pakaian atau sepatu, tapi Soraya enggak bisa menahan dorongan buat ke bioskop, beli buku, atau beli makanan. Terutama dia ini tergila-gila nonton, makan ramen, dan ice cream apa pun yang di jual di mall, entah milik McDonalds, Baskin Robbins, atau jenis lainnya.

“Terus buat apa nanya soal Kayla?”

“Hmm ... Mas Andra pas jalan bareng Kayla gandengan tangan gak?” Dia bertanya hati-hati dan menahan dorongan untuk mengumpat malu di depan Andra karena menanyakan hal seperti ini.

Lagian, apa urusannya sih, tanya begituan? Soraya terus mengomeli dirinya sendiri.

“Bukan gandengan tangan lagi. Tapi saling pelukan di pinggang. Tau kan, pelukan kayak gimana?”

Soraya speechles. Bayangan itu spontan muncul di kepalanya. Andra memeluk pinggang Kayla yang ramping dan Kayla memeluk Andra. Dalam imajinasi mereka berdua tampak cocok dan mesra sebagai pasangan. Dia iri. Sementara yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah jalan beriringan tanpa gandengan atau pelukan seperti yang didapatkan Kayla.

Andra mengamati senyum masam Soraya yang fokus membayangkan sesuatu, entah apa itu. Dia tersenyum geli, lalu mengacak kepalanya gemas.

“Jangan kebiasaan mikirin hal aneh-aneh,” tegurnya. “Gak ada yang pelukan apalagi gandengan tangan.”

Soraya mengernyit penasaran. Kepalanya sedikit miring kala menatapnya. “Emang Mas Andra gak suka gandengan tangan sama Kayla? Dia kan, cantik, ramping, tinggi, dan kayak model.”

“Iya, dia cantik, tinggi, ramping, dan kayak model.”

“Terus?”

“Gak suka.” Singkat, padat, dan jelas. Kata-kata barusan langsung bikin dia makjleb. Seolah kata-kata barusan juga ditunjukkan padanya.

Andra enggak suka Soraya.

Kenyataan bahwa Andra mencari pasangan dengan kriteria dewasa dan seusianya, membuat Soraya kembali patah semangat. Sehingga respon yang dia lontarkan berikut hanyalah seruan “oh” sebelum orangnya diam. Mulutnya bungkam dan terkunci rapat. Andra menganggap itu barusan sebagai kalau Soraya capek terus jalan tanpa istirahat. Akhirnya dia mengajaknya buat duduk di kursi beton kosong di bawah pohon rindang.

Mereka duduk dalam keadaan hening. Cukup lama dia bungkam, Andra bingung karena tak tahu sebab-akibatnya Soraya pendiam begini. Ekspresinya sulit dibaca. Andra nyaris putus asa menebak isi perasaan Soraya sekarang ini.

Soraya benci jadi pemurung. Itu seperti bukan dirinya. Merusak harga dirinya sebagai orang yang periang. Harusnya sekarang dia lebih aktif, menikmati waktunya bersama Andra, dan menyampingkan perasaannya yang serba campur aduk ini. Dia telah membuang waktu berharganya.

Meski lubuk hatinya terus berteriak agar dia berhenti berusaha dan berhenti menyukai seseorang yang sulit untuk digapai, tapi dia tetap melakukan itu dan sengaja terus melukai perasaannya sendiri. Mau sampai kapan begini? Pertanyaan itu selalu muncul kala demikian. Membuatnya kembali terbebani satu jawaban yang sulit dia ungkapkan.

Kenapa dia selalu terjebak dunia orang dewasa? Kenapa dia tidak terjebak saja sama laki-laki seusianya? Kenapa dia tidak menyukai seseorang yang menganggap dirinya ini bukan anak-anak, bukan remaja konyol yang berharap sekali kencan bersamanya, melainkan seorang wanita seutuhnya? Kenapa dia tidak mau berhenti untuk menyerah?

Kenapa, kenapa, dan kenapa.

Soraya menggoyangkan kedua kakinya yang bergelantungan di udara. Kakinya capek terus jalan dengan high heels ini. Demikian dirinya yang lelah mengejar laki-laki dewasa. Soraya tetap merenung sampai lupa bahwa laki-laki dewasa itu terus mengamatinya bimbang. Pikirannya pun sama ikut campur aduk. Untuk sesaat Andra mengira telah kehilangan dirinya sendiri.

Andra mendesah cukup lama. “Mau pulang?”

Soraya menggeleng. “Nanti dulu.” Dia sengaja belum mau membalas tatapannya. Matanya terus melihat ke bawah, ke arah high heels-nya. Seolah ada sesuatu yang lebih menarik di sana dibanding laki-laki di sampingnya. “Sebentar ya, Mas Andra. Aku mau introspeksi dulu.”

“Iya.”

Berakhirlah demikian untuk jangka waktu lumayan lama. Tidak ada obrolan, tidak ada senyuman, tidak ada pula guyonan. Baik Soraya maupun Andra, keduanya sibuk sama pikiran masing-masing.

Begitu Soraya berhasil mengendalikan kembali pikirannya, dia menoleh untuk membalas tatapan Andra yang belum berpaling sejak dia merenung buat introspeksi diri. Soraya melihatkan senyuman sampai ke mata. Kedua bahu Andra seketika melorot lega melihatnya telah kembali.

“Hehe. Jadi bosenin, ya?”

“Sedikit,” balasnya tidak berusaha bohong.

Soraya mengangguk mengerti. Barusan adalah kesalahannya yang terlalu sensitif pada perasaannya. Sebagai gantinya dia minta maaf, lalu berjanji tidak akan mengulangi itu lagi.

Andra terhenyak. Selalu berakhir begini. Soraya dan kepribadiannya yang terus membuatnya merinding. Merinding karena gadis ini susah ditebak dan terus memberinya kejutan.

“Mas Andra kenapa berubah?”

Pertanyaan itu dilontarkan begitu tiba-tiba. Andra mengerjap cepat. Dahinya mengernyit penasaran

“Berubah gimana?”

“Tiba-tiba terima ajakanku jalan bareng. Biasanya kan gak mau.” Soraya berpaling ke arah danau semata-mata ingin menghindar dari perhatiannya. “Mas Andra begitu bukan karena terpaksa, kan? Atau merasa kasihan gara-gara aku terus ngerengek kayak anak kecil.”

Andra membalas lebih cepat di luar dugaannya. Seolah dia tidak butuh berpikir untuk persoalan dari pertanyaannya barusan. “Enggak juga.”

Soraya kembali menatapnya. “Terus?”

“Jawabannya sama kayak kamu.”

“Kayak apa?”

“Karena kamu Aya.” Andra menyeringai jahil. “Entahlah. Aku juga bingung.”

Soraya mendelik dan seketika menyikut kakinya. “Dih. Apaan! Gak original banget.”

“Haha. Gitu, ya?” Dia tetap menyeringai setelah tertawa. Tahu-tahu Andra menarik tangannya ke atas pangkuannya. Menyatukan jari-jari mereka ke dalam ruas tangan. Kali ini Andra memandangnya dengan tatapan serius.

Kaki Soraya mendadak berhenti bergoyang. Matanya terkunci oleh tatapannya itu. Jantungnya berdetak cepat. Terdengar seperti pacuan kuda di arena balap kuda.

“Gak ada salahnya mencoba.”

“Maksudnya?”

Andra hanya tersenyum. Tidak mengatakan apa-apa lagi padanya. Membuat Soraya terus menatapnya dengan memohon. Berharap dia mau memberinya balasan lebih logis yang dapat dimengerti oleh isi kepalanya, yang mendadak lemot semenjak dipengaruhi afeksinya.

Andra justru terkekeh terus kembali mengacak kepala Soraya. Dan baru kali ini, si pemilik kepala mendengus sebal rambutnya diacak-acak.

Setelah suasana tenang seperti awal bersama Soraya yang kembali berceloteh tentang banyak hal. Tentang apa saja yang dia sukai dan tidak sukai. Andra menyimak dengan minat sama besarnya ketika Soraya menyimak dirinya yang gantian bercerita. Dunia tentang dirinya ikut terseret dalam obrolan setelah Soraya memintanya untuk menceritakan sesuatu tentang dirinya sendiri.

Dia bilang biar adil dan Andra mengangguk setuju.

Merasa lelah bicara, mereka kemudian sepakat pindah ke kafe untuk melanjutkan obrolan sambil makan dan minum. Tapi karena waktu mereka terbatas, maka obrolan di kafe hanya seputar hobi dan keinginan yang belum mereka capai.

Andra tertarik melanjutkan study S2-nya ke Eropa. Rencana masa sekolahnya dulu sebelum kenal dunia kerja. Yang belum bisa dia wujudkan untuk sekarang ini. Keinginannya itu terkubur dalam-dalam semenjak dia fokus bekerja. Tapi Andra berangan-angan jika ada kesempatan, dia pasti segera mewujudkan keinginannya itu.

Sementara Soraya ingin menjadi pemain bulu tangkis alih-alih seorang penulis. Agak konyol sih, mengingat dia tidak ada bakat dalam bidang olahraga. Minatnya terhadap bulu tangkis tumbuh sejak dia kecil. Semenjak dia melihat ibunya main bulu tangkis.

Ibunya dulu seorang pemain bulu tangkis. Walaupun bukan atlet nasional, tapi beliau sering mengikuti turnamen dari cabang olahraga daerah hingga tingkat provinsi. Ibunya memang bukan pemain unggul yang selalu langganan jadi juara pertama. Beliau hanya pernah memenangkan satu piala sebagai juara pertama tingkat kabupaten. Dan bagi Soraya ibunya itu keren.

Dia ingin seperti masa muda ibunya yang terlihat begitu sangat keren. Tapi yang terjadi justru dia berakhir seperti ayahnya. Seseorang yang punya imajinasi tinggi dan Soraya tidak keberatan akan hal itu. Karena sekarang ini, keinginannya telah berubah. Dia ingin menjadi seorang penulis handal yang bisa menjajal segala genre cerita. Baginya, itu pun tidak kalah keren dari ibunya dulu.

Selesai sama obrolan itu, mereka lantas pulang dan tiba di rumah Soraya kurang dari jam enam sore. Andra yang niatnya mau langsung pulang urung saat Ansel keluar dari rumah begitu dengar suara kendaraan berhenti di luar gerbang rumah mereka.

“Kakakmu giat bener, ya?”

Soraya mengangguk setuju. “Orangnya emang gitu.” Lalu memperhatikan Andra jadi sungkan terus merepotkan dirinya. “Aku ngerepotin Mas Andra mulu, deh. Terus sekarang Mas Andra direpotin sama Mas Ansel. Maaf, ya, Mas. Kalau jadinya begini.”

“Iya, gak apa-apa. Bukan salahmu juga,” balasnya kemudian mereka turun dari mobil dan Ansel melangkah cepat menemui mereka.

Tanpa basa-basi Ansel langsung mengajak Andra masuk bukan ke dalam rumah, melainkan ke halaman depan di kursi taman dekat taman bunga buatan ibu. Membuat eksistensi Soraya tersingkir dari mereka.

“Kamu masuk aja, Dek,” seru Ansel tidak memedulikan reaksi Soraya berikutnya.

Diam-diam Soraya berusaha menguping pembicaraan mereka yang tidak diawali sama basa-basi sedikitpun. Soraya kepo. Sayangnya dia tidak bisa menangkap suara apa-apa dari mereka.

Cukup lama bagi kedua laki-laki itu mengobrol di samping taman bunga ibu. Ketika Soraya yakin mereka selesai bicara dan berpikir Andra akan langsung pamit pulang, sebaliknya justru dia digiring masuk ke dalam rumah sama kakaknya.

Soraya melongok bingung. Berdiri seperti orang bodoh memandangi punggung keduanya yang melewati keberadaannya. Cepat-cepat dia menyusul dan menahan dua pria ini.

“Sekarang mau apa lagi? Mas Aan jangan aneh-aneh, deh.”

“Siapa yang aneh-aneh? Pikiranmu itu, lho!” tegur Ansel. “Kamu masuk ke dalam aja. Ini obrolan laki-laki.”

Soraya mendengus terus menatap Andra yang hanya mengidikkan bahu kepadanya. Lagi-lagi Soraya diusir dari ruang tamu dan dilarang muncul selama tidak dibutuhkan. Soraya merengek sebal terus berlari masuk ke dalam mencari ayahnya yang kebetulan lewat di depan.

“AYAH!” teriaknya sambil mencengkram tangan ayahnya. “Lihat tuh, Mas Aan nahan Mas Andra di ruang tamu.”

“Masa, sih?”

“Iya.”

Soraya menyeret ayahnya mendekati ruang tamu. Keduanya sama-sama mengintip di balik dinding tanpa bisa mendengar obrolan keduanya. Mereka sengaja bicara dengan suara pelan. Seolah tidak ingin orang lain menguping pembicaraan itu.

“Hmm ....” Ayah tiba-tiba bergumam sambil terus memperhatikan serangkaian itu dengan wajah serius. “Bilang sama ibu buat bikin minum.”

“Lah?”

Ayah berdecak. Kesannya seolah dia cemburu karena Ansel dua langkah di depan dibanding dirinya. Harusnya itu kan, posisinya sebagai kepala rumah tangga. “Gih, sana bilang sama ibu.”

“Terus Mas Aan sama Mas Andra gimana?”

Ayah hanya mengusap punggungnya, terus mengabaikan Soraya dengan melangkah keluar menemui kedua orang yang mengobrol serius di rumah tamu. Andra melihat kemunculan ayah Soraya spontan berdiri dan menyalami tangannya. Kini di ruang tamu ketambahan ayah ikut masuk ke dalam pembicaraan para pria dewasa itu.

Soraya berbalik dengan kaki menghentak ke lantai kesal. Menemui ibu di kamar untuk menyampaikan pesan ayah sebelumnya.

“Siapa tamunya?”

“Mas Andra.”

“Orangnya mampir?”

“Dipaksa mampir sama Mas Aan. Terus sekarang ayah jadi ikut-ikutan.”

“Ayah kamu juga?”

Dia mengangguk. Berharap ibu mau menghentikan apa pun yang sedang dilakukan kakak sama ayahnya bersama Andra di ruang tamu. Supaya Andra bisa pulang ke rumah tanpa direpotin oleh keluarganya.

“Ya udah. Kamu pergi mandi dulu.”

“Tapi Mas Andra di ruang—”

“Aya,” ibu menghentikannya seketika, “sudah jam berapa sekarang?”

“Enam.”

“Artinya?”

Soraya berhenti merengek. Kalau sudah begini dia hanya perlu menuruti perkataan sang ibu. Tapi sebelum itu, dia memohon supaya ibu mau menahan dorongan Mas Aan dan ayah menyidang Andra di ruang tamu.

Ibu tidak mengatakan akan membantunya atau tidak. Beliau hanya menyuruhnya mandi. Terus bilang kalau itu urusan orang dewasa.

Karena tidak ada harapan, dia hanya bisa berdoa semoga habis ini Andra bebas dari apa pun yang dikatakan oleh ayah dan kakaknya. Dia kemudian mandi secepatnya. Tak lama selesai dia mandi, Ansel tiba-tiba memanggilnya.

Soraya bergegas mencepol rambut asal-asalan yang belum sempat disisir. Ia keluar dengan langkah tergesa-gesa. Berharap ada kesempatan bagi dirinya untuk menyelamatkan Andra agar dia bisa pulang ke rumahnya segera mungkin. Langkahnya masuk mendekati ruang tamu mendadak pelan. Wajahnya sekarang pasti terlihat seperti orang bodoh setelah mendapati bahwa ibu pun ikut terlibat dalam percakapan orang dewasa itu.

Andra yang duduk di sofa sendirian sementara ketiga anggota keluarganya mengelilinginya, menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian malam itu, spontan tersenyum menyapa kemunculannya. Soraya mengerjap merasa agak ganjil karena tidak menemukan kekhawatiran pada seraut Andra. Tidak seperti apa yang dia bayangkan sebelum ini.

“Gak usah bengong gitu. Cepatan kemari. Mas Andra-mu mau pamit pulang,” tegur Ansel.

“Eh? Iya, iya.”

Soraya buru-buru mendekat. Ayah dan ibu lalu berdiri kompak ketika Andra menyalami keduanya untuk pamit pulang.

“Hati-hati pulangnya, Ndra,” ujar ayah sambil terus menepuk akrab punggung Andra. Soraya bingung dengan sikap ayahnya barusan dan ibunya yang acuh tak acuh, tiba-tiba melihatkan senyum dan anggukan kecil.

Apalagi Ansel tampak puas dan menyeringai lebar. “Hati-hati, Ndra.” Hampir mirip seperti ayahnya kecuali seringainya itu yang terlihat mencurigakan di mata Soraya.

Soraya merinding terus menarik Andra supaya segera keluar dari rumahnya. Dia khawatir keluarganya akan merencanakan hal lain jika Andra tetap tinggal di rumahnya.

“Mas Andra gak diapa-apain, kan?”

“Kenapa mikirnya gitu?”

“Gak tahu,” jawabnya sambil mencuri pandang ke belakang. Berharap ketiga anggota keluarganya diam-diam tidak mengikuti mereka di belakang, terutama saudaranya itu. “Emang tadi ngobrolin apa, sih? Kok lama banget.”

“Bukan apa-apa, kok.”

“Serius, Mas Andra.” Ia jengkel terus dianggap sebagai anak-anak. Menurutnya usianya ini sudah termasuk dewasa bukan anak-anak lagi. Tepatnya baru memasuki usia dewasa awal. “Ngomongin apa? Terus Mas Andra gak diancam sama keluargaku, kan? Terutama Mas Aan. Gak dijahatin atau ditanyain aneh-aneh juga, kan?”

Andra tertawa pelan. “Sedikit mirip.”

“Terus?”

“Ya gitu,” ujarnya. “Aku pamit pulang dulu. Besok lagi aja ketemuannya.”

“Iya, silahkan. Tapi pertanyaanku belum dijawab.”

Andra berhenti demi berbalik menghadap Soraya. Berdiri tepat di hadapannya. Aroma vanila seketika menyengat indra penciumannya. Andra dibuat mabok oleh aroma khasnya yang tercium enak dan menyenangkan. Rasanya dia ingin berada di dekatnya lebih lama.

“Besok aku kasih tahu.”

“Kapan?”

“Besok setelah siap.”

Soraya menelengkan kepala. Menatapnya penasaran. “Maksudnya?”

“Udah, ya. Mas pulang dulu.” Andra menyentuh wajahnya. Mengusapkan ibu jarinya pada pipi Soraya untuk pertama kali dan dia tersenyum sepanjang itu. “Selamat malam, Aya.”

Soraya terkejut atas perhatiannya ini sampai lupa untuk balas mengantarkan kepulangannya. Dia baru sadar kemudian setelah Andra bersama kendaraan roda empatnya itu meninggalkan halaman depan rumah. Soraya menyentuh dadanya. Merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dibanding saat di danau buatan itu.

Sementara Andra dalam perjalanan pulang tiba-tiba berhenti di tepi jalan setelah beberapa meter meninggalkan rumah Soraya. Dia menjatuhkan kepalanya di atas kemudi dan bergumam pada dirinya sendiri, “Kayaknya aku udah sinting.” Mengulas kembali apa yang dia katakan pada anggota keluarga Soraya beberapa waktu lalu.

Andra menggertakkan gigi. Malu pada dirinya sendiri yang terus bersikap santai dan tenang di depan Soraya. Padahal, di belakang itu, dia sedang berpacu bersama adrenalinnya. Andra merasa dirinya gila karena terlalu nekat berbicara mengenai itu di hadapan saudara dan orang tua Soraya. Dia terus merutuki dirinya yang sok berani, tapi nyatanya dia tegang juga.

Begitu sampai rumah, Andra segera menceritakan tindakan nekat di luar dugaannya sendiri kepada orang tuanya. Ibu dan bapak pun sama kagetnya, terus diam dan mencurigainya seraya mencari keseriusannya itu, sebelum dengan kompak mereka berdua mentertawakan dirinya.

“Halah, Ndra, Ndra.” Begitulah respon keduanya di sela tawanya. Menolak peduli ekspresi nelangsa putra mereka.

“Kamu di luar aja kelihatan sok berani. Nyatanya juga tegang,” sindir ibu.

Andra semakin nelangsa. Malu, grogi, dan lega pada waktu bersamaan. Sebenarnya kejadian malam ini di luar rencana Andra. Harusnya tidak seperti ini dalam satu hari. Dia butuh waktu, tapi justru terprovokasi ucapan Ansel.

Bapak menggeleng takjub sambil terus menepuk punggungnya. “Iya, ya. Bagus. Dibicarakan dulu sama anaknya.”

“Iya, Pak. Nanti.”

Bapak terus menepuk punggungnya. Merasa bangga sama anaknya yang bertindak dua langkah lebih cepat dibanding orang tuanya. “Jangan lama-lama biar anaknya gak salah paham. Kan kalian belum pacaran, toh?”

Andra menggeleng malu. Sikap malu-malunya hanya muncul jika di depan orang tuanya belaka.

“Baguslah. Pacarannya nanti aja,” kata ibu begitu senang dapat berita bagus dari putranya. “Nah! Berarti feeling ibu dari awal benar. Kamu aja yang keras kepala.”

“Udah, Bu. Udah. Anakmu nanti semakin malu dipojokin terus.”

Andra yang terlewat malu menundukkan kepala dalam-dalam. Telinganya memerah bak kepiting rebus setelah semua atensi yang dia dapatkan dalam satu hari ini. Entah di gedung resepsi, danau buatan, rumah Soraya, dan rumahnya sendiri. Lihatlah betapa hebat dirinya menghadapi semua perhatian itu.

“Pokoknya kamu harus segera bilang sama calon mantu ibu itu. Jangan cuma berani sama keluarganya aja.”

“Ibu ...,” tegur bapak merasa kasihan sama putranya yang terus sembunyi karena malu.

Sedang Andra terus mengangguk dan mendengarkan semua nasehat orang tuanya.

HUAHAHAHAHAHA 🏃‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top