Prolog (2)
Sudah menjadi kewajiban bagi Victorem Academy untuk melaksanakan kegiatan tahunan mereka, apalagi kalau bukan turnamen musim semi.
Turnamen musim semi ini merupakan ajang tahunan yang akan mempertemukan semua murid dari berbagai tingkatan dan divisi.
Divisi di Victorem terbagi menjadi 5. Exemplare, sebuah divisi tempat murid-murid berkekuatan elemen, merupakan divisi tempat Ivan berada. Thriumphator, divisi di mana murid-murid memiliki kekuatan yang berhubungan dengan fisik, mereka banyak mengandalkan senjata dalam bertarung. Animus, tempat di mana murid-murid memiliki kekuatan yang berhubungan dengan jiwa, ini adalah divisi tempat Eloi berada. Melior, divisi di mana murid-murid memiliki kekuatan yang berhubungan dengan alam seperti hewan dan tumbuhan, Neva berada di divisi ini. Terakhir adalah Chryseum, murid-murid dari divisi ini memiliki kekuatan yang tak berhubungan dengan apapun, Aldrich menempati divisi ini.
Turnamen persahabatan ini antar divisi dan kelas ini tentunya menjadi ajang menarik bagi setiap murid untuk meningkatkan kemampuan mereka. Terlebih, karena tiap murid tidak diperbolehkan bertarung menggunakan kekuatan di area sekolah pada hari-hari biasa kecuali untuk latihan.
Turnamen ini lebih kelihatan seperti festival, sebenarnya. Tidak hanya mengadakan pertarungan antar murid, pihak sekolah juga menyediakan lapak untuk murid agar bisa berjualan makanan maupun merchandise sehingga tidak hanya untuk melatih kekuatan, juga bisa untuk melatih kemampuan murid dalam melakukan transaksi ekonomi.
"Kalian akan ikut turnamen itu?" Ivan membuka percakapan ketika Ia dan kedua rekannya tengah berjalan menuju kelas. Meski Ia sendiri sudah tahu apa jawaban dari keduanya.
"Yah, kalau aku ikut tidak akan seru," jawab Aldrich, seperti biasa membenarkan kacamata hitam nyentriknya. "Sama seperti tahun kemarin, aku hanya akan menonton dan mencicipi makanan saja," lanjutnya sambil tersenyum cengengesan.
Ivan tidak terkejut oleh jawaban itu. Itu karena Ia tahu Aldrich memiliki kekuatannya yang cukup... membosankan.
Setelahnya Ia menatap Eloi yang berdiri di sisi kiri. "Eloi, kau ikut?"
Pemuda bertubuh pendek itu menyunggingkan senyum antusias. "Tentu saja, ini kesempatan setahun sekali, masa tidak ikut?" Jawabnya penuh percaya diri. "Aku akan tunjukan kalau seorang murid tingkat dua juga bisa mengalahkan kelas atas," mata kucingnya mengecil antusias.
Ivan hanya membalas dengan tawa singkat. Ia sudah tahu Eloi akan mengikuti turnamen ini. Anak itu meski terlihat kecil dibanding orang-orang, namun sangat jago dalam pertarungan. Padahal perawakannya seringkali terlihat manis tapi kalau soal bertarung dia akan maju paling depan.
Tahun kemarin pun Eloi mengikuti turnamen ini meski gagal sebelum bisa maju ke arena utama. Ia menonton bersama Aldrich dan yang Ia ingat adalah telinganya nyaris tuli akibat teriakan Aldrich yang penuh semangat saat mendukung rekan kecil mereka.
Saat itu pula Ivan mengingat salah satu pertandingan yang memikatnya. Yaitu pertandingan antara Neva dengan seseorang. Saat itu arena dipenuhi dengan suara geraman dari singa dewasa. Gadis itu dengan hebatnya bisa mengalahkan lawannya yang juga menggunakan kekuatan yang hampir sama.
Tapi soal musuh Neva, Ivan tak bisa mengingatnya. Padahal baru setahun, namun Ia sudah tidak bisa mengingat hal-hal itu lagi. Pekerjaan yang dilakukannya selama 5 bulan mendekam di rumah mungkin sudah menurunkan kinerja otaknya dalam mengingat sesuatu.
"Bagaimana denganmu? Kau tidak mau mencoba untuk tahun ini?" Tanya Eloi seraya melirik Ivan yang tak terlalu tertarik itu.
Pemuda bertubuh tinggi itu menunjukan ekspresi berpikir. Ia seperti ingin lari dari topik ini. "Aku masih tidak tertarik," jawabnya singkat. Dengan mudahnya mereka berdua mengerti, kemudian tak mempertanyakannya lagi.
Tahun kemarin, keduanya bertanya-tanya mengapa Ivan tak mau mengikuti turnamen tersebut. Padahal Ivan memiliki kekuatan yang hebat dan Ia juga mendapat nilai sempurna dalam tes kekuatan di kelas. Tidak hanya itu, Ivan juga nilai pelajarannya hampir bagus semua. Lagipula, kekuatan Ivan juga bukan kekuatan yang membosankan seperti yang Aldrich miliki.
Ya, seharusnya kalau Ivan mengikuti turnamen ini, Ia bisa menang kapan saja.
Masalah sebenarnya adalah, Ivan tak pernah menyukai kekuatan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya karena suatu alasan yang Ia simpan dengan dirinya sendiri. Ia tak mau menggunakan kekuatan yang dibencinya hanya untuk hal sepele semacam ini.
Namun seorang Ivan nampak tak tertarik bahkan untuk sekedar menonton pertandingan. Ketika hari turnamen berlangsung, Ia tidak berjalan menuju arena untuk menonton, melainkan menelusuri lorong sekolah yang sepi dari murid-murid.
Bagaimana tidak sepi? Jarak antar gedung kelas dengan arena bisa terbilang jauh. Hanya sedikit orang yang mendekam di gedung kelas. Semua terlalu asyik untuk mengikuti acara tahunan itu. Ivan hanya menemukan seorang-dua orang di dalam beberapa kelas dan kelihatannya nyaris semua adalah orang-orang ambis dalam akademik yang tak menggantungkan diri dalam kekuatan.
Ivan terus membuka pintu kelas yang ada, Ia butuh kelas kosong. Tujuan utamanya adalah untuk tidur. Ia tidak punya pilihan lain karena setiap murid tidak diperbolehkan diam di asrama. Mereka dipaksa untuk menggerakkan kaki mereka menuju acara. Untung saja gedung ini tidak ditutup sehingga Ivan bisa memanfaatkan ruangannya.
Setelah mencari cukup lama karena beberapa ruangan dirasanya tak cocok untuk bersantai ataupun ada orang yang menempati, Ivan akhirnya menemukan ruangan kosong di lantai 2. Ruangan di pojok, dengan jendela terbuka yang mengalirkan angin sepoi-sepoi. Ivan sempat-sempatnya menghirup udara dalam ruangan tersebut sebelum akhirnya masuk ke dalam.
"Yosh, tempat yang sangat cocok!" Gumamnya seraya mengepal tangan dengan bangga. Tak lama, Ia langsung mendaratkan tubuh di atas kursi yang ada.
Hela nafas lega terdengar. Ivan melirik jendela yang terbuka, memperhatikan ranting pohon dan dedaunannya yang tertiup angin damai. Sorak sorai turnamen terdengar hingga ke gedung ini meski tak terlalu keras. Ivan tak terlalu mempermasalahkannya karena Ia pikir Ia bisa tidur dengan mudah kapanpun dimanapun.
Sembari menutup matanya, menikmati angin sepoi-sepoi, Ivan mengingat banyak hal. Salah satunya adalah tentang dirinya dan sekolah ini. Ia mungkin sudah menempuh pendidikan selama satu tahun lebih, tapi sejak awal menginjakkan kaki di sini, Ivan tak pernah merasa senang atau nyaman.
Rasa kebencian terus membara di dalam dirinya, namun Ia tak punya pilihan lain. Tutup mulut dan membiarkannya menikmati semua hal yang tak bisa Ia nikmati hanyalah satu-satunya jalan. Sedikit ironi memang.
Karena itulah waktu tenang seperti ini menjadi waktu yang paling Ia gemari. Bisa bersantai dan menghindari semua pelajaran menjengkelkan. Semuanya hanya bersama ruangan kelas yang kosong, angin sepoi-sepoi, sendirian, dan...
BRAK!
Tiba-tiba saja terdengar suara dari depan kelas. Suara tersebut lantas mengejutkan Ivan. Secara refleks, pemuda itu langsung terjatuh dari kursi yang tengah Ia tiduri.
BUGH!
"Ugh!"
Mendarat mulus di pantat dan punggungnya. Ivan langsung menggulingkan badan, mengelus-ngelus punggungnya yang terasa nyeri setelah menghantam lantai.
"Khh... Sial! Sakit, apa-apaan sih tadi i-"
Pemuda itu membenarkan posisi duduknya. Namun, ketika matanya memandang ke depan kelas, Ia mendapati seseorang berdiri di dekat jendela dan lemari kelas.
Bagaimana Ivan harus menjelaskan sosok itu?
Seorang pemuda yang tinggi, mungkin tingginya tak jauh beda dari Ivan, hanya saja lebih pendek sedikit. Baju yang dikenakan pemuda itu tak salah lagi adalah baju training yang biasa digunakan ketika turnamen tiba. Kulit pemuda itu putih-sedikit pucat, seperti salju, begitu pula dengan surai putih pendeknya. Ketika mereka bertatapan, Ivan dapat melihat iris ruby milik pemuda itu berkaca-kaca.
'Huh?'
Pemuda itu berdiri menatapnya, terkejut. Bibirnya membuka, seperti hendak mengatakan sesuatu. Pada akhirnya pemuda itu hanya mengigit bibirnya, menahan perkatannya. Ekspresi yang pemuda itu tunjukan padanya membuat Ivan kebingungan.
Ekspresi yang marah, seperti tak terima karena ada seseorang di ruangan itu. Di sisi lain terlihat sedih. Ivan tidak berhalusinasi, Ia jelas melihat mata pemuda itu berkaca-kaca ketika menatapnya, bahkan terlihat air mata di sudut mata pemuda itu, tertahan agar tidak terjatuh.
Cukup lama keduanya saling bertatapan tanpa ada kata-kata yang saling terucap. Pemuda misterius itu masih menatapnya dengan ekspresi sama, jelas membuat Ivan bertanya-tanya.
'Apa? Kenapa dia menatapku seperti itu?' Ivan membatin dalam kebingungan. Ia tidak terbiasa dengan atmosfer seperti ini.
'Dia marah padaku atau apa? Memangnya aku melakukan apa??'
Tak lama setelah itu, setetes air mata jatuh. Namun pemuda bersurai putih itu langsung mengelapnya dengan punggung tangan. Tanpa basa-basi, Ia langsung menginjakkan kaki dari ruangan tersebut tanpa menoleh pada Ivan kembali.
"O-oi, tunggu!" Baru saja Ivan hendak berdiri, Ia langsung menyentuh pinggangnya yang tadi terbentur lantai, rasanya nyeri.
Kesal, Ia mendecak pelan. Hari ini seperti bukan hari keberuntungannya. Padahal ini belum satu bulan sejak hukumannya selesai, namun Ia sudah terkena banyak masalah. Ivan sampai berpikir mungkin ini karma yang diberikan padanya setelah masalah 5 bulan lalu terjadi.
Ivan lantas berjalan cepat menuju pintu, Ia kemudian mengintip. Mengejutkan, pemuda misterius tadi tiba-tiba saja hilang, padahal lorong begitu panjang. Mungkin saja pemuda itu terlalu malu sampai lari terlalu cepat bagaikan atlet.
"Ck, apa sih? Mengganggu saja, dasar!"
Ia mengusap-ngusap kepalanya tak sabaran. Ini masih jam 12 siang dan Ia tidak ingin waktu tidurnya diganggu. Ivan dengan santainya kembali ke kursi tempat Ia tertidur tadi dan mengambil posisi terlentang.
"Tapi... Kenapa rasanya tidak asing, ya?" Gumamnya setengah kesal. Ia menatap langit-langit ruang kelas yang tingginya sangat jauh di atas sana.
"Rambut putih... Matanya... Kenapa mirip Neva ya...," Suaranya sedikit bergetar ketika Ia bernarasi sendiri. Seakan menyadari sesuatu, Ivan langsung bangkit dari posisi tidurnya.
"FRANCIS MCBETH?!"
.
.
.
To be continued
[Character Introduction]
Di chapter kemarin saya salah warnain rambut Aldrich :"")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top