6. War Declaration

"Hmm... Kalian terlihat lebih tenang dari biasanya, ya?"

Axelle yang tengah mengangkat buku-buku dari perpustakaan, menatap kedua anggota clubnya dengan tatapan bingung dan tak percaya.

Di mejanya, Francis tengah menulis sesuatu, sepertinya laporan. Sementara Ivan, pemuda itu ada di sofa ruangan, tengah membaca buku-buku tebal yang diambilnya dari rak buku club. Tidak biasanya, kedua pemuda itu tidak berdebat sama sekali seperti sebelum-sebelumnya. Mereka terlihat sibuk sendiri dengan pekerjaan masing-masing.

"Aku hanya tidak sedang dalam mood untuk memarahinya," ujar Francis dengan nada malas dan mengejek.

Mendengar hal itu, Ivan menoleh pada seniornya dengan wajah ketus. "Aku juga tidak sedang dalam mood untuk membela diri," balasnya dengan nada yang sama.

Axelle hanya tersenyum melihat tingkah keduanya. Ia senang karena mereka sudah mulai terlihat akur. Sejujurnya, agak melelahkan mendengar mereka terus berdebat setiap bertemu satu sama lain. Walau kelihatannya mereka tidak benar-benar akur juga.

Gadis itu menaruh buku-buku yang dibawanya tanpa kesulitan ke arah meja. Melihat bawaan yang berat seperti itu, Ivan jadi khawatir namun juga keheranan.

"Kak Axelle apa tidak berat membawa buku setebal itu dalam jumlah banyak?"

Padahal tubuh seniornya itu terlihat kecil dan lemah, tapi kenapa Ia terlihat baik-baik saja. Bahkan Francis terlihat tak memberikan bantuan untuk gadis itu seperti sudah terbiasa.

Axelle tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Aku sudah terbiasa karena aku kekuatanku," jawabnya. Ia terlihat senang karena raut wajah Ivan yang antusias meski kelihatan malas.

"Kekuatan?"

Axelle menaruh kedua tangan ke depan. Tak lama, cahaya-cahaya kecil mulai muncul dari sana dan bergerak membentuk sesuatu. Semakin lama sesuatu terbentuk hingga keseluruhannya terlihat.

Itu adalah kapak besar. Tingginya jauh melebihi ukuran tubuh Axelle. Tidak, bahkan lebih besar daripada Ivan. Senjata itu terlihat sangat megah dengan warna merah hati dan perak. Sebuah kristal di tengah kapak membuat senjata tersebut terlihat indah.

Namun yang lebih membuatnya takjub adalah bagaimana Axelle menahan senjata besar itu hanya dengan kedua tangannya. Ia saja tidak yakin kalau dirinya bisa menahan benda yang kelihatan berat seperti itu.

"Apa itu tidak berat?" Tanya Ivan. Siapa yang tahu kalau itu ada di tangan Axelle maka beratnya akan berkurang?

Gadis itu mengusap-ngusap senjata kesayangan miliknya seakan-akan itu adalah peliharaannya. "Awal-awal menggunakannya memang terasa berat dan aku sempat menyerah, tapi lama kelamaan jadi lebih terbiasa dan akhirnya terasa ringan!"

Ia berkata seolah itu adalah hal yang sangat mudah.

Bagi Ivan, keduanya memiliki kekuatan yang sangat unik. Jarang-jarang seorang perempuan diberkati kekuatan untuk mengangkat benda berat seperti itu. Bahkan kekuatannya sama sekali tak pas dengan perawakan Axelle yang polos.

Sementara Francis, Ivan mungkin belum pernah melihat bagaimana singa peliharaan milik pemuda itu, tapi kelihatannya kekuatan Francis sangat keren sampai-sampai bisa memiliki sang raja hutan sebagai peliharaannya.

Kapak besar yang megah milik Axelle kemudian menghilang dengan tenang seperti saat memunculkannya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kekuatanmu, Ivan? Kami belum tahu kekuatanmu," Tanya Axelle tiba-tiba.

Mendengar topik tersebut, Francis nampak menghentikan kegiatannya dan menoleh pada kedua rekan satu clubnya.

Memang benar cerita soal Ivan yang menyerang penjaga sekolah itu sudah tersebar kemana-mana, tapi kelihatannya tak ada yang tahu persis seperti apa kekuatan dari pemuda itu. Apakah itu kekuatan yang berbahaya hingga Ia bisa menumbangkan banyak penjaga sekolah? Atau sebenarnya hanya kekuatan yang sederhana? Bahkan teman sekelasnya pun banyak yang lupa mengenai kekuatan Ivan karena pemuda itu jarang menggunakannya.

Ketika topik pembicaraan berpusat kepadanya, raut wajah Ivan menjadi sedikit kelam. Ia memang tak suka dengan kekuatannya sedari dulu, karenanya Ia terlihat tak minat untuk membahas hal ini.

"Ini bukan kekuatan yang hebat kok," jawab Ivan, namun tak memberi tahu sama sekali kekuatannya. "Bahkan kalian akan kecewa jika mengetahuinya."

Nada bicaranya kasar dan dingin, seperti ada suatu dendam di balik intonasi itu. Cepat-cepat Ia kembali berkutik dengan buku tebalnya, membaca isinya dan mengharap mereka tak akan menanyakan lebih lanjut.

Axelle yang menyadari itu menjadi agak takut. Ia hanya tersenyum tipis, merasa tak enak karena hawa ruangan menjadi canggung.

"B-baiklah kalau kau tak mau membicarakannya," ujar gadis itu khawatir. Sudah khawatir pada Francis, kini kekhawatirannya bertambah pada Ivan.

Francis di mejanya, hanya melirik ke arah Ivan duduk membaca buku. Sesuatu terasa salah di matanya.

.
.

"Orang macam apa yang sakit cuma satu hari, kau berbohong ya?"

Eloi menatap sebal ke arah Aldrich berjalan di sebelahnya. Pemuda berkacamata hitam itu nyaris tersedak, kemudian Ia terbatuk-batuk, entah sungguhan atau pura-pura.

"Kasar sekali! Aku ini sungguhan sakit!"

Baik Eloi dan Ivan menatap dengan tatapan tak percaya ke arah temannya itu. Mereka sebenarnya masih kesal karena kemarin keduanya sudah menjenguk Aldrich di asrama, tapi teman sekamarnya bilang anak itu pergi keluar sejak pagi, entah kemana.

Padahal biasanya, jika Aldrich sakit, Ia akan terdiam di kamar dan menutupi diri dengan selimut karena menggigil.

"Oh iya, aku lihat kertas berita club jurnal sudah hilang dari mading," ucap Eloi mengganti topik pembicaraan. "Tumben sekali, padahal baru satu hari."

"Itu aku."

"Huh?"

Eloi dan Aldrich sama-sama menatap Ivan dengan pandangan keheranan.

"Aku yang merobek berita tidak bermutu itu," jelas Ivan santai. Tapi tidak dengan kedua temannya yang terkejut.

Ivan menaikan alis. Kenapa pula respon keduanya harus seperti itu? Ini hanya kenakalan ringan juga balas dendam untuk club tidak tahu diri itu.

"Anak-anak club jurnalistik adalah sampah," ujar Eloi. "Namun ada satu orang yang paling busuk di antara mereka semua," lanjutnya membuat Ivan menjadi tegang.

"Ia selalu mengambil berita buruk dengan semaunya, bahkan terkadang melebih-lebihkan isinya. Dia tidak sadar ada berapa banyak orang yang jadi korban akibat ulahnya."

"Dia juga mudah mengancam, apalagi jika korbannya seorang perempuan. Dia dari tingkat 4, divisi Triumphator. Namanya Joshua Licht."

Joshua Licht. Ivan pernah mendengar nama itu sebelumnya. Nama itu pernah tercantum pada turnamen sebagai peserta yang bertahan hingga semifinal. Mencapai semifinal sudah cukup membanggakan bagi murid Victorem. Bahkan itu sudah membuktikan seberapa kuat Ia sampai bisa bertahan sejauh itu.

Dengan kata lain, orang itu bukan orang main-main.

"Huh? Lalu apa yang akan orang licik itu lakukan ketika tahu aku pelakunya?" Ivan menyeringai tipis. Kentara sekali Ia tak mempedulikan hal tersebut.

Ketika ketiganya berjalan melewati suatu belokan, seseorang berdiri di sana, menunggu sembari melipat tangan di dada.

"Oh, jadi benar, kau pelakunya?"

Ketiganya membelalakkan mata dan sontak berhenti berjalan. Dilihat sosok yang mengejutkan mereka. Sosok pemuda setinggi 184 cm. Surai-surai violet pemuda itu tertutupi oleh topi baret berwarna merah. Iris violetnya menatap tajam ke arah ketiga orang tersebut, namun bibirnya membentuk sebuah senyum.

"Kau—Joshua Licht!"

Apes sekali. Sedang membicarakan seseorang dan orangnya tepat ada di depan, seakan tahu bahwa ketiganya akan membicarakannya.

Ini pertama kalinya bagi Ivan untuk melihat sosok Joshua Licht. Pemuda itu nampak nyentrik dengan penampilannya. Sebuah buku sketsa berada pada genggaman Joshua. Ivan yakin buku itu yang digunakannya untuk menangkap peristiwa-peristiwa yang terjadi di kawasan sekolah.

"Hah... Homura Ivan, aku tidak menyangka bahwa berurusan denganmu akan jadi seribet ini," ucap Joshua dengan nada lelah yang dibuat-buat. "Benar-benar murid bermasalah, tega sekali kau merobek gambar-gambar yang sudah aku ciptakan dengan susah payah."

Pemuda itu berdiri dari posisi bersandarnya. Joshua berjalan mendekati ketiga sejoli yang tengah bersiaga itu. Tatapannya tajam pada Ivan yang juga membalas dengan tatapan sama.

"Oh ya?" Nada sarkastik keluar dari mulut Ivan. "Lalu bagaimana denganmu yang tidak tahu malu, memasukan cerita orang lain padahal belum tentu orang-orang mau ceritanya dipublikasikan?"

Ketegangan ada di antara keduanya. Ini bagai perang dingin dimana Eloi dan Aldrich menjadi penontonnya. Sejujurnya mereka sudah ragu-ragu. Bahkan Eloi yang suka keributan sekalipun, tidak bisa memikirkan apa yang akan terjadi jika Joshua melakukan sesuatu pada Ivan.

Gelak tawa keluar dari mulut Joshua. Hal itu membuat Ivan langsung mengecap pemuda di depannya sebagai sampah yang benar-benar sampah dan tak punya empati.

"Dengar, sejak awal rumor mengenai mu muncul, aku sudah tertarik," ujar Joshua. "Aku ingin mengetahui apa yang terjadi pada hari dimana semua membawamu ke dalam hukuman skors lima bulan itu," ujarnya. "Anak bermasalah dengan kasusnya akan menjadi bintang utama dalam berita selanjutnya, bagaimana menurutmu?"

Ivan memberi senyum sarkastik. Ia sedang mengutuk dirinya sendiri karena membuatnya bertemu dengan orang yang menyebalkan terus menerus.

"Tidak, terima kasih. Aku tidak pernah tertarik untuk menjadi superstar atau semacamnya," tolak Ivan.

"Hah... Jadi kau bahkan tak mau membayar semua perilakumu terhadap mahakaryaku?" Tanya Joshua semakin mengesalkan. "Baiklah, bagaimana kalau begini...."

Ia mengedepankan tangannya, seakan menantang Ivan.

"Kau dan aku bertarung pada hari minggu nanti, di halaman sekolah, kita akan saling beradu kekuatan. Kalau aku menang, kau tidak boleh merusak lagi kertas berita dari club jurnalistik, mau seburuk apapun beritanya untukmu dan kau wajib menjawab semua pertanyaan yang aku berikan. Jika kau yang menang, maka aku akan berhenti memberitakan hal-hal seperti itu lagi."

Deg!

Ketiganya terkejut. Tentu saja ini bukan sesuatu yang Ivan harapkan. Bertarung? Saling adu kekuatan? Ivan bahkan tak suka melihat kekuatannya sendiri. Jadi rasanya tidak mungkin Ia akan menerima tantangan ini.

Ivan menatap ketus pada pemuda itu. Saking ketusnya hingga kelemahan Ivan dapat terlihat. "Entahlah, aku tidak tertarik dengan pertarungan."

"Oh? Tidak tertarik dengan pertarungan? Atau apa?" Seniornya itu memprovokasi. "Kau takut kalah dariku? Tidak—sepertinya bukan itu ya...."

"Bagaimana kalau begini, jika kau tidak mau menerima tantangan yang 'sangat mudah' ini, maka aku akan melakukan sesuatu pada Francis McBeth."

Datang. Ancaman yang dimaksud telah datang.

Mereka terkejut karena Joshua menyebut nama Francis dalam ancaman tersebut. Ivan tak tahu hal apa yang akan dilakukan Joshua kepada Francis. Akan buruk jika Joshua menyebarkan berita yang menjelek-jelekkan Francis. Dan jika itu terjadi, maka semuanya adalah salah dia.

Ia tak bisa membiarkan itu terjadi ketika hubungannya dengan Francis sudah membaik.

Melihat temannya dalam kesulitan, Eloi lantas maju ke depan dan menunjuk dirinya sendiri. "Aku saja yang melawanmu! Aku juga terlibat dalam—"

"Diamlah!" Nada suara Joshua meninggi. "Aku tidak mau orang lemah turut dalam tantangan ini."

Eloi menatap dengan tatapan sangat kesal. Ia baru saja direndahkan oleh orang lain. Dan baginya, itu adalah hal yang buruk. Ia sangat benci.

"Aku akan melakukan apapun, bahkan jika itu untuk menghancurkan hidupnya. Bukankah itu menarik? Saat hidupnya hancur, kau akan duduk ketakutan dan penuh penyesalan karena kesalahanmu sendiri."

Ivan diam sejenak. Ini adalah pilihan yang menyulitkan untuknya.

"Aku mendukungmu."

Pemuda itu menghela nafasnya. Otak dan perasaannya kini harus berjalan beriringan.

"Baiklah, aku terima tantanganmu."

Baik Eloi dan Aldrich sama-sama tekejut. Sementara Joshua, Ia nampak sangat bangga karena ancamannya berhasil.

"Padahal kukira hubunganmu dengan Francis adalah bermusuhan, tapi sepertinya tidak, ya?" Joshua tersenyum. "Aku jadi penasaran, ada hubungan apa antar kalian berdua sampai kau mau menerima tantanganku, padahal kau kelihatannya sangat membenci kekuatanmu."

Ternyata Joshua memang tahu. Ivan kesal, Ia tak menyangka tindakannya akan membawanya pada sesuatu yang selama ini Ia hindari. Padahal niat awalnya hanya ingin memberi pelajaran pada club jurnalistik. Sayang semua tak berjalan sesuai rencana.

Joshua perlahan mendekat, kemudian berbisik di telinga Ivan dengan nada yang seram.

"Aku tunggu di halaman sekolah, hari Minggu jam 9 pagi. Aku harap kau tidak kabur karena ketakutan."

Pemuda itu menepuk pundak Ivan sebelum akhirnya berjalan melewati mereka bertiga. Ia dengan sombongnya pergi menjauhi ketiga juniornya.

Senyum sinis terlukis pada wajah Joshua.

.
.

Francis baru saja kembali dari laboratorium untuk mengambil beberapa bahan keperluan percobaan. Di sampingnya, berjalan dengan elegan sesosok singa besar dengan surai jingga keemasan yang lebat.

Ketika Ia menemukan salah satu mading yang berada di area luaran sekolah, Ia mendapati ada berita baru dari anak jurnalistik yang tidak kalah anehnya seperti yang kemarin.

'Lily, anak kelas Animus yang merupakan hantu hidup.'

Ia mendecak. Tak bisa membayangkan bagaimana kalimat sederhana itu dapat menghancurkan hidup seseorang dengan mudahnya. Apakah itu kebenaran atau kebohongan? Tidak ada yang tahu, namun manusia senang menilai seseorang bahkan termakan dengan hal yang tak pasti.

Sesuai janjinya kemarin, Ia langsung meraih kertas yang posisinya agak di atas tersebut, kemudian merobeknya sampai benar-benar tak ada yang tersisa di atas mading.

Kertas yang sudah dirobeknya, Ia lipat-lipat hingga jadi berbentuk bola. Kemudian Ia masukan pada kardus yang tengah dibawanya. Singa jantan peliharaannya, Stars, terlihat kebingungan melihat Francis melakukan itu.

"Club bodoh itu seharusnya dibubarkan saja...."

DUAK!

Francis membelalakkan matanya. Iris ruby nya penuh teror ketika Ia mendapati sesosok yang lebih besar darinya tiba-tiba datang entah dari mana dan menyudutkannya pada dinding mading. Sementara kardus berisi barang-barang tadi jatuh begitu saja. Beberapa isinya bahkan menjadi pecah berkeping-keping.

Stars sudah menggeram dan akan menyerang pemuda bersurai violet itu. Namun tangan Francis menghentikan peliharaannya agar tidak menimbulkan masalah.

"Joshua...," Nada bicara Francis terdengar dingin, matanya kini memicing akibat rasa kesal. Tentu saja, sosok yang tak mau Ia temui karena ulahnya, malah ditemui di saat-saat seperti ini.

"Kenapa? Kau terlihat sangat ketakutan," Joshua berbicara seakan yang Ia lakukan bukan hal besar. "Aku hanya ingin berbicara denganmu saja."

Francis tak sedikit pun menurunkan kewaspadaannya. Bagaimana pun Ia sedang berbincang dengan seseorang dengan sifat minus. Entah apa yang akan Joshua lakukan padanya.

"Apa hubunganmu dengan Homura Ivan?"

Pertanyaan itu membuat Francis terkejut. Ia bisa langsung menduga kalau Ivan juga sudah ketahuan oleh Joshua. Tapi ini sangat cepat, memang kemampuan ajaib yang dimiliki anak jurnalistik, bagaikan sesosok stalker.

"Hanya teman satu club, memangnya kenapa?" Francis menjawab dengan ketus. Tapi Joshua kelihatannya tak percaya. Padahal Francis sudah sangat jujur menjawab pertanyaan itu.

Tawa kecil terdengar dari diri Joshua. Tawa yang membuat bulu kuduk Francis berdiri.

Pemuda bersurai violet itu mendekati Francis yang masih terdiam. Mulutnya sampai pada telinga Francis.

"Datanglah ke halaman sekolah pada hari Minggu jam 9. Jika kau tidak datang, aku akan melakukan sesuatu entah itu terhadap adikmu, atau terhadap Homura Ivan."

Deg!

Jantung Francis berdegup dengan kencang dalam kegelisahan. Ia tahu Joshua memang pintar dalam mengancam. Dan ancaman itu akan sungguhan dilakukan jika Francis tak mau menurut, bukan sekedar kata-kata saja.

Joshua kini meyudutkan Francis dengan kedua tangannya. Pandangannya menurun. Ia terlihat sangat lelah akan sesuatu. Dan itu membuat firasat Francis tidak enak.

"Kenapa kau menjauhiku sejak saat itu?"

Keadaan hening. Pembicaraan kini berubah menjadi sesuatu yang lebih personal di antara keduanya. Pertanyaan yang terlontar oleh mulut Joshua membuat tatapan Francis menjadi sendu.

"Karena kau berubah," jawab Francis pelan. "Aku tidak mau lagi mengenal Joshua yang seperti ini. Aku hanya kenal Joshua yang baik dan melakukan gambar untuk menyalurkan perasaannya, bukan untuk—"

"Cukup!"

Francis semakin tertabrak ke arah mading. Pemuda itu meringis kecil. Ditatapnya Joshua yang kini tengah menatapnya balik dengan ekspresi bercampur aduk.

Joshua adalah salah satu temannya dari tingkat pertama hingga tingkat dua. Pemuda itu sangat rajin dan telaten. Hobi gambarnya menjadi salah satu ciri khas yang tak akan terlupakan dari seorang Joshua.

Hingga club jurnalistik menyalahgunakan kemampuannya, mengubahnya menjadi seseorang yang benar-benar berbeda dari yang dulu.

Menjadi Joshua Licht yang Ia benci.

"Ini adalah deklarasi perang," gumam Joshua. "Tak akan kubiarkan kau menghancurkan clubku."

Pemuda bersurai violet itu pergi menjauh setelahnya, meninggalkan Francis yang berdiri masih bersandar pada mading. Dedaunan mulai jatuh diterpa angin. Kedua tungkai Francis yang lemas membuatnya langsung terduduk.

Stars yang berada di dekatnya langsung mengelus-ngeluskan kepala, menyemangati tuannya yang sedang bersedih.

"Maaf, Joshua...."

.
.
.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top