4. Club Activity
"Jadi dengan begitu, inilah anggota club kita!"
Ivan menunjukan wajah suram ketika Ia masuk ke dalam ruang club. Kemarin Axelle mengatakan padanya untuk mendatangi ruang club agar bisa diperkenalkan pada anggota club yang ada. Namun kenyataannya, di ruangan itu hanya ada Axelle dan juga Francis, tak lupa Francis menatapnya dengan tajam seperti biasa.
"Francis!" Axelle menatap adik tingkatnya itu dengan wajah cemberut. "Ayo perkenalkan dirimu baik-baik!"
"Geh!"
Pemuda bersurai putih itu menatap dengan tak ikhlas ke arah Ivan berdiri. "Francis McBeth, ku rasa kau sudah tahu tapi aku ini lebih tua dua tahun darimu jadi aku ingin kau bersikap sopan selama berada di dalam club!" Ujar pemuda itu yang bukan sekedar perkenalan namun juga memerintah.
Mendengar itu, Ivan tersenyum kesal. "Iya, aku mengerti, senior!" Balasnya tak ikhlas.
Jika saja Ia tak sabaran, Ia sudah akan mengajak seniornya itu bertengkar seperti sebelumnya. Namun Eloi dan Aldrich sempat berpesan untuk tetap mengikuti rencana dan jangan terbawa emosi barang sedikitpun.
Axelle tidak mau membuat situasi jadi canggung, gadis itu langsung saja menepuk tangannya agar perhatian mereka teralih.
"Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kita menjelaskan dulu kegiatan apa saja yang akan dilakukan selama berada di dalam club?"
Gadis itu mendekati meja besar dari kayu yang ada di dalam ruangan. Ada sebuah tongkat kecil di ujung meja tersebut, Axelle dan Francis memegangnya kemudian menarik tongkat tersebut perlahan-lahan. Ternyata di balik kaca yang membatasi bagian atas meja tersebut, terdapat kain yang menyatu dalam tongkat dan bisa dibuka tutup. Mereka membuka kain hitam yang menutupi dan memperlihatkan sebuah peta besar di atas meja itu.
Itu adalah peta dunia dengan beberapa bagian yang sudah dilingkari maupun ditandai. Ivan tak mengerti maksud dari peta dunia ini.
"Kita mulai dari yang pertama, ini adalah peta dunia sekaligus peta rencana untuk kegiatan club," jelas sang ketua sembari mengambil tongkat kecil yang ada di mejanya. Tongkat itu diarahkan pada peta dunia yang ada.
"Bagian yang tandai merah adalah bagian yang kemungkinan akan kita selidiki. Sedangkan bagian yang biru adalah bagian yang sudah selesai diselidiki. Setiap tahunnya, kita akan mengganti tanda yang ada di peta ini," lanjutnya. "Kau pasti menyadari adanya titik-titik tertentu yang menyambung dari satu daerah ke daerah lain bukan? Ya, itu adalah persiapan rute yang bisa diambil."
Mendengar penjelasan itu, Ivan mengernyitkan alisnya kebingungan. "Persiapan rute? Apa maksudmu kita akan melakukan semacam ekspedisi keluar negara?"
"Benar."
Axelle kembali menggerakkan tongkat kecilnya. "Setiap tahunnya kita akan melakukan ekspedisi beberapa kali untuk mencari tahu tentang teknologi tertentu di negara yang sudah ditandai. Tenang saja, ekspedisi ini dibiayai oleh sekolah, jadi kau tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun!" Lanjutnya bersemangat.
"Pihak sekolah juga akan mengirim satu guru untuk mengawasi kita selama ekspedisi berlangsung sehingga tak terjadi kejadian yang tidak diinginkan."
Ivan mengangguk mengerti. Dengan pergi ke tempat-tempat lain berarti mereka akan bertemu dengan hewan-hewan mitologi, apalagi jika ekspedisi dilakukan di tempat seperti hutan maupun kota tua. Tidak hanya mahkluk itu saja, presentase munculnya orang jahat pun ada kemungkinan besar.
"Ah, ngomong-ngomong soal ekspedisi ini, kita akan melakukannya dalam waktu dua bulan lagi jadi kau harus bersiap-siap," ujar gadis itu.
Kini Ia dan Francis kembali menutup peta dunia di atas meja besar tersebut. Axelle lantas mengambil beberapa buku dengan halaman yang sangat tebal dari balik rak kemudian menaruhnya di atas meja.
"Kemudian ini adalah buku kumpulan jurnal yang sudah dibuat oleh senior kita dan lulusan sekolah ini," ucap gadis itu seraya mengelap sampul buku berwarna kecoklatan tersebut yang mulai terkena debu. "Isinya adalah penelitian-penelitian mengenai pencarian dan penemuan teknologi seperti alat komunikasi atau alat-alat lainnya."
"Aku menyarankanmu untuk membaca jurnal-jurnal yang tersedia di rak. Tidak hanya dari sekolah ini, jurnal itu kami dapatkan dari tempat lain pula, jadi kita bisa mendapat wawasan lebih. Kau juga boleh mencari jurnal lainnya di perpustakaan," lanjutnya.
Pemuda itu menatap jurnal yang ditaruh di depannya. Ia membuka buku tebal tersebut, kemudian menatap isinya. Ia memperhatikan judul-judul yang menarik dari setiap jurnal yang ada.
"Apakah ini berarti nanti kita akan membuat jurnal juga?" Tanya Ivan seraya menatap kedua seniornya itu.
"Benar," kini Francis mengambil alih. "Sebenarnya tidak wajib, tapi jika kau mau, kau boleh melakukan maksimal 2 penelitian mengenai teknologi jika kau sanggup, tentunya ini berlaku hingga kau lulus nanti," jelasnya.
Ivan mengangguk mengerti. Kini ketiganya berpindah menuju meja tempat Francis bekerja. Tidak beda jauh dengan meja milik Axelle, meja tersebut memiliki banyak dokumen dan barang-barang di atasnya. Bedanya, meja milik Francis lebih terlihat rapi ketimbang meja milik ketua clubnya.
"Aku sendiri sedang melakukan penelitian mengenai bola lampu," ujarnya seraya menunjukkan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya. Di dalam kertas tersebut terdapat beberapa tulisan yang berkaitan dengan bola lampu.
Ivan menatap laporan tersebut. Ia tidak terlalu mengetahui bola lampu itu seperti apa. Tapi seingatnya bola lampu adalah sesuatu yang dapat berpijar dengan terang. Memiliki fungsi sama seperti obor atau lampu minyak, tapi bedanya ini tidak menggunakan gas atau minyak melainkan listrik.
"Sedangkan aku melakukan dua penelitian sekaligus, penelitian terhadap mesin ketik dan alat komunikasi telegram," ucap Axelle seraya tersenyum.
Ivan mengetahui soal mesin ketik. Mesin itu masih memiliki bentuk yang rumit saat ini dan hanya biasa digunakan oleh para penulis kepercayaan bangsawan. Mungkin ketua clubnya itu ingin membuat versi yang lebih mudah dan bisa dipakai semua orang.
Kemudian telegram, Ia pernah mendengar bahwa dulu ada alat untuk berkomunikasi yang lebih mudah ketimbang surat menyurat dan dinamakan telegram. Ia sendiri tak tahu bagaimana cara kerja telegram yang dimaksud.
"Kegiatan kami sehari-harinya adalah penelitian atau belajar, tapi akan ada waktu-waktu tertentu untuk refreshing seperti jalan-jalan dan bermain agar semua anggota club semakin dekat," ujar Axelle.
"Yah, walau menurutku tindakan seperti jalan-jalan dan bermain itu tidak begitu berguna," timpal Francis. Tanpa merasa bersalah, Ia langsung pergi menuju pintu ruangan club. "Aku harus melakukan sesuatu dulu, nanti aku kembali lagi," lanjutnya.
Axelle tersenyum agak sedih seperti biasa. Ia hanya bisa mengangguk seraya melihat sekretaris clubnya keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup rapat, ruangan itu kembali sunyi dan hanya berisi Axelle bersama Ivan.
"Kasar sekali," Ivan menatap tak suka ke arah pintu, membuat tanda tanya di dalam kepala Axelle. "Dia bilang kegiatan seperti jalan-jalan dan bermain itu tidak berguna, bukankah itu kasar? Apa kau tidak sakit hati mendengarnya?" Pemuda itu beroleh pada ketua clubnya dengan wajah serius. Melihat tatapan serius itu membuat Axelle berkeringat, gadis itu kelabakan.
"Um... T-tidak apa-apa, aku mengerti kok kalau Francis memang selalu seperti itu," ucapnya sembari memberi senyum seperti biasa. "Aku sangat khawatir padanya, kau tahu?"
Gadis berambut merah muda itu menaruh tangan kanannya di atas pin warna merah yang ada di bawah kerahnya. Tatapannya terlihat sayu, mengarah pada pintu kayu yang tertutup rapat.
"Aku hanya berharap Ia tidak selalu memikirkan tentang bekerja dan belajar...."
Ivan terdiam, suasana ruangan saat itu terasa tak karuan. Ia bisa merasakan kehangatan, namun juga rasa sedih dan sepi. Ekspresi yang diberikan oleh Axelle membuat Ivan merasa iba.
"Aku tidak mengerti kenapa kau mengasihani orang tidak tahu diri seperti dia," ucap Ivan membuat Axelle terkejut.
"Mungkin kau bisa bersikap lebih tegas, seperti memarahinya ketika sudah kelewatan seperti itu," lanjutnya. "Aku tahu mungkin kau punya satu-dua alasan, tapi membiarkan orang itu bersikap congkak seperti tadi hanya akan membuat semua menjadi buruk."
Mendengar saran yang diberikan oleh adik tingkatnya, Axelle hanya bisa menundukkan wajah. Ia tahu bahwa sikap Francis kadang membuatnya sakit hati, namun pemuda yang dimaksud tak pernah mengerti hal itu. Hanya saja, melakukan hal yang disarankan Ivan akan sulit untuknya karena Ia bukan orang yang kasar. Axelle tidak menyukai keributan.
"Terima kasih ya, Ivan."
Axelle tersenyum sendu.
.
.
Ivan berjalan di lorong sekolah setelah menghabiskan waktu beberapa jam di dalam ruang club bersama Axelle. Ia sempat membaca-baca buku yang ada di ruang club. Tidak hanya itu, Ia juga mengintip penelitian-penelitian yang tengah dilakukan anggota club.
Ada anggota club yang hanya melakukan penelitian ringan tanpa hasil fisik, ada pula anggota club yang melakukan penelitian dengan hasil fisik. Di antaranya adalah salah satu kakak tingkat dari divisi Animus yang tengah membuat sepeda motor, lalu satu lagi adalah Francis dengan penelitian terhadap bola lampu.
Ivan telah melihat hasil keduanya, itu masih jauh dari kata berhasil. Kelihatannya penelitian yang dimaksud cukup sulit. Tidak bisa dipungkiri bahwa anggota-anggota club itu merupakan orang yang hebat. Beberapa di antaranya bahkan lulus dan dikenal sebagai penemu dari benda-benda tertentu.
Ia yakin jika kedua benda yang tengah dibuat oleh kedua kakak tingkatnya itu berhasil, mereka juga bisa jadi bagian dari penemu terkenal dan namanya akan dicatat di dalam buku sejarah nanti.
Di lorong yang cukup sepi itu, rasanya aneh. Pemuda itu bingung, dilihatnya beberapa orang di sekitar memperhatikannya. Sudah dua hari semenjak tatapan seperti itu tidak dilayangkan padanya, kini mereka kembali lagi seakan ada sesuatu yang salah ditunjukan oleh Ivan.
Entah ada kebetulan apa lagi, Ivan melihat sosok Francis tengah berdiri di lorong sekolah dekat aula seraya melihat papan mading yang besarnya luar biasa sekali. Entah kenapa melihat perawakan seniornya yang satu itu membuatnya bosan.
"Hah, sial, kenapa ketemu dia lagi?" Gumam Ivan tak suka. Bagaimana tidak? Sudah beberapa hari berturut-turut mereka selalu bertemu dalam situasi yang tak menyenangkan.
"Apa yang sedang kau lihat?"
Jarak mereka ada 5 meter saja tidak, namun kakak tingkatnya itu tiba-tiba saja menoleh padanya seraya memberi tatapan yang tajam dan kesal sama seperti saat mereka bertemu pertama kali. Lagi, Ivan terkejut. Ia tidak apa yang sudah Ia perbuat hingga pemuda itu terlihat marah.
"Apa?"
Raut muka Francis melonggar setelah Ia menyadari dengan siapa Ia berbicara. Tak lama, pemuda itu menunjuk sesuatu yang tertera di mading sekolah. "Lihat!"
Ivan berjalan mendekati pemuda itu, kemudian berdiri di sampingnya. Ketika berdiri bersebelahan, terlihat jelas bahwa tinggi mereka tidak terpaut jauh, meski tubuh Francis terlihat sedikit lebih kecil darinya. Keduanya menatap ke arah yang Francis tuju, kertas yang tertempel pada mading.
Alis Ivan naik, antara bingung dan emosi. Ia kaget karena kertas tersebut menuliskan sebuah peristiwa yang terjadi tak lama ini. Itu adalah keributan yang keduanya lakukan di cafetaria, kemarin. Kronologi dari kejadian tersebut ditulis selengkap-lengkapnya di sana. Tidak hanya itu, ada pula ilustrasi gambaran tangan yang ditempel di atas tulisan kronologi kejadian.
"Ini pasti ulah anak-anak dari club jurnalistik," ujar Francis dengan raut wajah kembali masam. Ivan bisa mengatakan bahwa raut wajah itu seakan menunjukan Ia ingin menghajar orang yang bersangkutan secara langsung.
Tapi masalahnya, Ivan baru tahu kalau ada club jurnalistik di sekolah ini. Ia tidak tertarik dengan club sebelumnya dan tidak pernah mengecek mading sekolah.
"Mereka senang sekali memberitakan berita tidak penting seperti ini, aku terkejut mereka masih bisa menyebut diri mereka sebagai club jurnalistik," jelas Francis mengutarakan opininya. "Aku rasa mereka lebih cocok menjadi club gosip atau semacamnya."
Ivan yang masih membaca kronologi dalam masing itu hanya mengangguk mendengar ucapan Francis. Ia tidak menyangka kalau pemuda itu lebih cerewet dari kelihatannya.
"Dan kau...."
"Huh-"
Ivan yang agak sedikit membungkuk saat membaca, lantas berdiri tegak kembali dan menatap Francis di sampingnya. Namun pemuda itu kembali menatapnya tajam, membuatnya bingung lagi.
"Kau selalu saja membuatku marah," ucap Francis, membuat keadaan hening dalam seketika.
"Sekarang kau juga membuatku terlibat dalam masalah ini. Semua gara-gara kau yang tidak mau mengalah...," lanjutnya menumpahkan semua kesalahan pada Ivan. Bisa ditebak, Ivan yang mendengar itu tidak terima disalahkan.
"Apa? Kau menyalahkanku untuk hal seperti ini?" Tanpa diduga, Ivan meninggikan suaranya hingga nyaris membuat Francis menciut. Memang, sedari kemarin setiap keduanya terlibat dalam perdebatan, Ivan selalu mengalah dan Francis akan menyerang dengan kata-kata yang lebih agresif.
Tapi kali ini, Ivan terlihat lebih kesal dari pada kemarin-kemarin. Bisa dibilang, Ia juga masih kesal kata-kata Francis di ruang club. Saking kesalnya Ia sampai-sampai melupakan tujuan utamanya untuk mendekati Francis.
"Merasa superior sekali, mentang-mentang kau lebih tua dariku?" Ivan berbicara dengan dingin, Ia nampak termakan emosinya. "Bukankah itu karena kau yang mengambil hati hal-hal tak penting? Kau bilang aku anak bermasalah yang akan menghancurkan reputasi clubmu, kau juga yang datang ke tempatku sampai membuatku terjatuh dan sakit pinggang. Kau juga tidak tahu kan kalau kau yang menghabiskan waktu istirahatku setelah guru sialan itu menuduhku menyontek saat ujian? Kau membuatku terlibat dalam hal-hal tidak penting seperti ini!"
Tangannya dengan kuat menggebrak mading sekolah, tepat di atas kertas berita tersebut. Gebrakan yang dibuat olehnya membuat Francis tersentak. Pemuda itu hanya bisa terdiam mendengar semua keluhan yang Ivan keluarkan.
"Kau tidak pernah menyadari kalau masalahnya ada padamu kan?! Kau!" Jadi telunjuk Ivan menunjuk Francis dengan cepat. "Kau dan kelakuan burukmu itu yang membuat Kak Axelle kesulitan mencari anggota club selama ini dan kau masih punya nyali untuk mengatakan kegiatan yang Ia ciptakan sebagai hal yang membuang waktu?! Kau pikir selalu orang lain yang menciptakan masalahnya?!"
Francis meneguk ludah dan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ekspresi wajahnya memucat dan nampak mengatakan bahwa Ia tak bisa membalas semua ucapan yang Ivan lontarkan padanya.
"Dengar, aku mengakui jika ini memang salahku karena aku terlibat di dalamnya, tapi kau juga ada di sana dan bertengkar denganku untuk cheesecake itu jadi ini bukan 100% kesalahanku! Aku bisa mengakui itu, tapi lihat...," Ia menyunggingkan seringai penuh emosi pada Francis yang berdiri di depannya, seniornya tersebut terlihat tersudut dan agak ketakutan karena ekspresi yang Ia berikan. "Kau bahkan tidak mau mengakui kesalahanmu sedikitpun! Apa kau selalu melakukannya setiap waktu pada siapapun yang kau mau, huh?!"
Francis membuka mulutnya, tenggorokannya terasa tercekat saat hendak bersuara. "Tidak, a-aku-"
"Kau tahu, Francis bertingkah seperti bocah."
Keduanya terdiam ketika mendengar suara seseorang dari kejauhan. Francis yang mendengar namanya disebut hanya bisa terdiam dan mendengarkan suara-suara itu dalam ketakutan, semakin lama semakin mendekat.
"Ya benar, semua orang bilang dia sosok yang keren atau semacamnya, tapi melawan adiknya saja tidak bisa."
"Aku baca beritanya, dia bertengkar dengan si anak bermasalah itu? Aku taruhan jika mereka bertarung dengan serius, si anak bermasalah yang akan menang!"
"Anak bermasalah itu meski mengerikan tapi perlu kuakui dia bisa membuat tumbang para penjaga sekolah. Tapi Francis? Aku ragu dia bisa melakukan hal seperti itu."
Si anak bermasalah, tanpa perlu bertanya dulu pun, Ivan sudah tahu kalau Ia juga tengah disebut-sebut oleh beberapa orang yang kelihatannya sedang menggosip di lorong sebelum belokan ke lorong tempatnya dan Francis berdiri.
Sama sepertinya, Francis juga mendengarkan dialog tersebut dengan seksama. Namun ketika Ivan mengembalikan pandangannya ke depan, Ia menyadari Francis tengah menundukkan pandangannya. Pemuda itu terlihat gemetaran dan tangannya mengepal kuat-kuat. Ia berusaha menyembunyikan eskpresi wajahnya yang kacau dan juga... matanya yang berkaca-kaca.
Ivan terkejut, tentunya Ia merasa deja vu karena hal ini pernah terjadi padanya di hari turnamen. Melihat diri Francis yang ketakutan, lemah, dan ingin menangis seperti itu membuatnya berpikir jika kata-katanya sudah keterlaluan tadi, ditambah oleh gosip dari orang-orang yang tengah berjalan ke tempat ini.
"Hei, apa kau-"
Tanpa pikir panjang, Francis segera pergi dari sana dengan mendorong Ivan agar tak menghalangi jalannya. Tak lama Ia menghilang dari lorong itu dan menyisakan Ivan dalam kesunyian bersama suara-suara dari orang yang sedang membicarakan mereka juga rasa menyesal dan emosi yang meluap-luap.
"Ck, merepotkan saja, dasar senior cengeng!"
.
.
.
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top