3. Cheesecake
"Maafkan aku karena perkataanku kemarin...."
"Maaf karena ketidaksopananku...."
"Aku sungguh minta maaf karena kemarin sudah berkata seperti itu...."
Hening. Ivan memandang cermin di kamar asramanya pada pukul 5 pagi. Dengan hanya sehelai handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya, Ia berbicara pada bayangannya dalam cermin.
"Ah, sial! Kenapa susah sekali?!"
"Huh... Apa yang kau lakukan?"
"AHHH!!"
Ivan nyaris dibuat jantungan karena suara Eloi dari arah belakang. Dari 4 kasur yang ada, Eloi nampak terbangun dari kasurnya yang berada di atas. Pemuda itu terlihat masih mengantuk, namun penasaran dengan apa yang dilakukan Ivan di depan cermin.
"Sial, kau hampir membuatku mati jantungan...," Ivan menyentuh dadanya yang berdegup kencang dengan ekspresi wajah panik. Setelah memastikan itu benar-benar Eloi, Ia kembali ke depan cermin dan menyisir rambutnya.
Eloi menguap sembari mengubah posisinya jadi duduk. Sebenarnya jam masuk mereka masih lama, pukul 8 pagi. Tapi Ivan punya kebiasaan bangun sepagi ini sejak dulu. Karena kebiasaan Ivan ini lah, kedua temannya jadi ikut-ikutan sering bangun pagi. Walau khusus Aldrich, Ia hanya bangun sepagi ini di waktu-waktu tertentu.
Kenapa pula keduanya bisa ada di kamar itu? Ya, seharusnya karena mereka beda divisi, mereka berada di asrama yang berbeda. Namun Aldrich dan Eloi memang beberapa kali sering tidur di kamar Ivan. Mereka sebenarnya memiliki kamar sendiri, hanya saja tidak ada teman sedivisi yang mau berbagi kamar dengan Ivan. Agar tidak selalu sendirian, keduanya memilih melakukan hal ini.
Yang sebenarnya Ivan lakukan di pagi buta adalah belajar. Kerajinannya ini menjadi salah satu faktor kenapa Ia bisa mendapat nilai yang sangat bagus dalam semua mata pelajaran yang ada. Sayangnya, penampilan Ivan juga rumor yang beredar seringkali membuat orang tak percaya pada kemampuannya. Mereka bahkan menuduh Ivan melakukan kecurangan setiap ujian terjadi. Begitu juga dengan guru divisi Animus yang sejak dulu tak menyukainya.
Untuk Eloi sendiri, tujuannya bangun sepagi buta ini adalah untuk membaca buku cerita ataupun komik. Ia bukan tipe orang yang rajin seperti Ivan. Tapi Ia juga tidak terbiasa untuk kembali tidur ketika sudah terbangun.
Ketika keduanya sibuk dalam kegiatan masing-masing, terkadang terdengar suara Aldrich yang mendengkur dari atas tempat tidurnya. Kalau mereka sedang tidak ada kerjaan dan jahil, keduanya akan sibuk menciptakan mahakarya di atas wajah Aldrich menggunakan tinta pena yang ada.
"T-tidak, bukan begitu! Aku tidak bermaksud begitu!"
"Oh Cherry... Apa kau pikir aku mempercayai apa yang kau katakan?"
"Tunggu, kumohon! Aku ingin meminta maaf padamu!"
"Meminta maaf?? Kau pikir kau masih punya kesempatan untuk meminta maaf?"
Tenggorokan Ivan tercekat ketika mendengar kalimat-kalimat itu. Seperti biasa, Eloi yang tengah membaca komik selalu terbawa suasana. Ketika membaca komik action, Ia pasti akan membacanya sambil bergerak tak karuan seperti orang yang sedang bertarung. Sementara ketika Ia membaca komik drama, Ia akan menjadi melankolis seperti saat ini.
Tapi masalahnya, tema komik yang Eloi baca hari ini sangat mewakili situasinya.
"K-kau baca apaan?" Ivan menoleh pada Eloi yang membaca komiknya di atas kasur. Keduanya kemudian saling bertatapan.
"Oh ini aku pinjam dari perpustakaan kemarin!" Ucapnya sembari mengangkat komik yang sampulnya sudah agak rusak itu. "Judulnya 'Love Upon the Star! Ceritanya tentang perempuan dari kalangan bangsawan dan laki-laki miskin. Mereka saling jatuh cinta, tapi si laki-laki ini merasa dibohongi. Ini lagi bagian drama-dramanya!" Ia nampak menjelaskan dengan penuh semangat, saking semangatnya sampai Aldrich nyaris terbangun.
Ivan menghela nafas. "Kalau kau punya waktu, kau bisa menggunakannya untuk belajar."
Mendengar usulan Ivan, Eloi mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak suka belajar, kau tahu itu," ujarnya sembari lanjut membaca komiknya. Benar, ketimbang pelajaran teori, Eloi lebih suka melakukan praktek seperti olahraga atau percobaan.
"Ngomong-ngomong kenapa kau tiba-tiba menanyakan apa yang ku baca? Biasanya kau sibuk belajar," tanyanya sebelum Ivan kembali menyibukkan diri dengan buku pelajaran.
Pemuda keturunan Jepang-Jerman itu menunjukan wajah berpikir. Ia bingung apa harus memberi tahu Eloi atau tidak. Namun Ia bukan orang yang pandai memilih kalimat, jadi Ia pikir rekannya ini bisa membantu.
"Sebenarnya aku telah membicarakan sesuatu yang kurang ajar kepada Francis...."
Eloi menurunkan buku komiknya, terkejut. "Huh?"
"Makanya aku agak tak yakin dengan usulan kalian untuk mengambil hatinya. Tapi, aku berpikir untuk tetap melakukannya," jelas Ivan seraya menggaruk kepala dengan pena. "Jadi aku berpikir untuk meminta maaf padanya tapi... Aku tidak tahu kalimat yang tepat...."
Mendengar ucapan Ivan, Eloi menutup buku komiknya. Ia tertarik dengan pembicaraan ini lebih-lebih dari cerita yang tengah dibacanya.
"Kalau begitu kau tinggal meminta maaf," jawabnya tak membantu sama sekali.
"Benar juga, apa kau pernah meminta maaf pada orang lain?" Tanya Ivan terkekeh. Ia merasa Eloi bukanlah tipe orang yang mau meminta maaf jika dia melakukan kesalahan.
Pemuda bersurai krem itu berpikir sejenak. "Ya... Aku minta maaf hanya pada Ibu saja," jawabnya sembari berpose 'thehe'.
Jawaban yang tepat seperti yang dipikirkan Ivan. Mungkin jika Ia membahas ini, harus bersama Aldrich. Sayangnya rekannya yang tak pernah lepas dari kacamata hitam kecuali saat tidur itu masih saja terlelap dalam mimpi.
.
.
Suara perut Ivan berbunyi selama perjalanan ke cafetaria. Setelah kemarin mengikuti ujian sejarah dadakan dan mendapat nilai bagus lagi, sang guru yang membencinya itu tidak percaya bahwa Ia mendapat nilai bagus tanpa menyontek. Kemudian Ia diberi hukuman sebentar. Padahal Aldrich dan Eloi sudah ikut menjelaskan, namun Ia tetap dihukum.
"Sial," gumamnya sembari mengepal tangan. "Untung saja Dia masih memberiku nilai yang sama. Jika nilainya diturunkan, aku bisa kena masalah," ucapnya pada diri sendiri seraya menahan rasa lapar.
Sesampainya di cafetaria, tidak terdapat antrian. Kelihatannya murid-murid sudah mengambil makanannya masing-masing. Ia menatap salah satu meja yang sudah diduduki kedua rekannya, Aldrich dan Eloi. Mereka melambaikan tangan padanya.
Di antara makanan yang tersedia di sana, ada salah satu menu yang Ia inginkan. Cheesecake, hanya itu saja maka perutnya bisa puas. Apalagi cheesecake yang tersedia merupakan cheesecake versi negara kelahirannya Ibunya, Jerman. Setelah mengambil nampan dan jepitan, Ia kemudian berjalan mendekati kue yang dimaksud.
Namun, baru saja jepitannya mendekati cheesecake itu, jepitan lain menabrak.
"Huh?"
Ivan meneguk ludah ketika melihat kulit berwarna putih pucat yang menggenggam jepitan tersebut. Baik Ia dan orang itu saling bertatapan setelahnya.
Iris ruby itu membuat ekspresi Ivan menjadi kacau. Bisa-bisanya di saat seperti ini Ia harus bertemu dengan seniornya lagi, Francis. Pemuda serba putih itu menatapnya dengan tatapan mengancam yang sama seperti saat tes masuk club.
'KENAPA AKU HARUS BERTEMU DENGANNYA DI SAAT SEPERTI INI?!'
Ivan panik. Jika menuruti usulan Aldrich dan Eloi, Ia harusnya memberi kesan positif pada seniornya itu sebagai bentuk penyelesaian dari masalah yang Ia ciptakan. Namun perutnya yang meraung-raung minta diisi tak bisa diajak kompromi. Jepitan yang dibawanya masih beradu dengan jepitan milik Francis. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.
"Aku yang pertama kali melihat kue ini, jadi kurasa ini milikku," Francis menatap tajam, nada bicaranya terdengar angkuh di telinga Ivan.
Di sisi lain, Ivan yang perutnya sudah keroncongan tak mau mengalah. Ia memaksa tersenyum meski rasanya kesal. "Maaf, ini tentang siapa yang lebih cepat mengambil kuenya, bukan yang melihatnya duluan," jawabnya tak kalah angkuh.
Keduanya kembali beradu tatap, ada sinar intens yang saling bertabrakan dalam imajinasi mereka, menimbulkan hawa tak mengenakkan pada sekitar.
Beberapa orang yang tadinya mau mengambil makanan di sekitar sana jadi ragu dan berjalan mundur. Ada pula yang malah menonton karena menurut mereka pemandangan itu menarik. Memang, kapan lagi bisa melihat murid bermasalah melawan senior yang cukup terkenal seperti itu?
Tanpa sadar, seseorang mengangkat pena dan menggambarkan apa yang terjadi.
"Di sana masih ada makanan lain, ambil yang sana saja!" Perintah Francis seenaknya sembari tersenyum sinis. Lengannya gemetaran karena saling mendorong jepitan dengan Ivan.
"Kenapa harus aku? Memangnya aku bawahanmu?" Tak kalah sinis, Ivan memberi reaksi yang sama. Tangannya turut gemetaran ketika saling mendorong jepitan itu.
'Sial... Dia kuat!'
Keduanya membatinkan hal yang sama. Tidak aneh lagi jika melihat tubuh mereka yang tak jauh berbeda seperti itu.
Tak lama, Ivan sengaja melemaskan tenaganya hingga Francis nyaris saja terdorong ke depan. Namun dengan cepat Ivan mendorong jepitannya ke atas, menabrakkannya lagi pada jepitan yang digenggam Francis.
Francis hampir saja melepas jepitan itu, namun Ia berhasil menahannya sebelum terlempar. Pemuda itu menarik tangannya kemudian langsung melesat ke bawah tangan Ivan. Ivan yang terkejut langsung menurunkan tangannya agar saling bertabrakan dengan tangan Francis.
Sikutnya berhasil memukul pergelangan tangan Francis dan nyaris membuat jepitan di tangan Francis terlepas. Namun Francis sendiri belum menyerah. Ia kembali menarik tangannya dan hendak menyerang dari atas.
Baik kedua pihak tidak ada yang mau menyerah. Francis seperti menggunakan gaya bertarung yang biasa dilakukan untuk bertarung dengan orang lain meski keduanya hanya sedang berebut kue. Ivan sendiri mungkin tak memiliki teknik bertarung yang bagus, namun kekuatannya mampu membuat Francis kewalahan sedikit.
"Ini hanya kue, kau pasti sudah pernah mencobanya sebelum aku masuk ke sekolah ini jadi mengalah saja!" Ivan berseru dalam pertarungan kecil-kecilan mereka.
"Dalam mimpimu! Aku tidak akan membiarkanmu memiliki cheesecake itu!" Balas Francis tak kalah heboh.
Orang-orang saling menatap dengan semangat. Mereka memilih sisi masing-masing dan mendukung pilihan mereka. Eloi yang sedang makan ikut berseru mendukung sobatnya yang terlibat perkelahian itu. Sementara Aldrich hanya memijat kepalanya seakan terkena migrain. Bisa dibilang perkelahian ini tetap salah, namun bukan sesuatu yang harus dilaporkan karena keduanya tak memakai kekuatan sama sekali selama bertarung.
'Keras kepala sekali!'
Keduanya masih saling beradu jepitan layaknya beradu mengenakan senjata sungguhan seperti pedang. Bahkan sebenarnya posisi mereka sendiri sudah jauh dari tempat cheesecake itu berada.
"Menyerah saja lah!"
"Kau saja yang menyerah!"
Ketika keduanya hampir menyerang satu sama lain...,
"Francis?"
Keduanya langsung terdiam membantu. Baik Ivan maupun Francis langsung menatap ke sumber suara.
Berdiri seorang gadis cantik tak jauh dari mereka. Rambut putih panjangnya yang bergelombang terlihat menawan. Iris ruby milik gadis itu menatap keduanya dengan kebingungan.
"Apa yang kalian lakukan?" Tanya gadis itu-Neva, alias adik kandung Francis dan juga gebetan Ivan. Setelah menanyakan hal tersebut, Neva langsung meraih cheesecake terakhir yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Kalau kalian berkelahi, cheesecakenya buatku ya? Hehe!"
Setelahnya, gadis itu berjalan dengan perasaan gembira sembari menari-nari kecil dengan cheesecake di tangannya. Ia meninggalkan kedua pemuda itu yang masih diam membatu di tempat.
"B-baik?" Jawab keduanya bersamaan setelah gadis itu pergi menjauh dari area cafetaria.
Lantas, lonceng berbunyi begitu kencang menandakan waktu istirahat telah selesai sampai di sini. Murid-murid yang tadinya menonton perkelahian mereka dengan semangat mendadak seperti lupa dan kembali pada kegiatan masing-masing.
Tentunya, semua pura-pura tidak tahu karena terasa hawa mencekam di belakang kedua pemuda itu.
"Hei, kembalikan jepitannya ke tempat semula atau kupatahkan tulang kalian satu-satu!"
Suara yang menyeramkan itu langsung membuat keduanya menoleh perlahan-lahan. Mereka bisa melihat sosok koki di cafetaria yang memiliki tubuh paling besar dan wajah sangar. Pria itu menyilangkan tangan di depan dada dengan ekspresi kesal dan mengintimidasi. Hawa mengerikan yang datang membuat keduanya menciut. Di sisi lain, perut mereka sama-sama berbunyi.
"B-baik...."
.
.
"Ah, sial!"
Ivan menyandarkan tubuh pada kursi di belakangnya sembari menginjak lantai cukup kencang. Murid-murid lainnya nampak berhamburan keluar setelah kelas terakhir mereka selesai, namun ada pula yang masih berdiam di kelas sepertinya dan kedua temannya. Di bagian belakang kelas, Ivan dengan kedua sobatnya masih berdiam di kursi mereka.
"Aku mengacaukannya lagi...," Frustasi, Ivan mengacak-ngacak helai rambut berwarna ungu miliknya.
"Tapi tadi itu tidak buruk! Kalau saja boleh menggunakan kekuatan aku yakin perkelahian tadi akan jadi lebih keren!" Seru Eloi seraya mendaratkan pantatnya di atas meja kelas, kemudian duduk dengan semena-mena.
Ivan menatap Eloi dengan wajah masam. Itu bukan hal yang ingin Ia dengar saat ini. Yang Ivan harapkan adalah bisa berteman baik dengan Francis, namun lagi-lagi egonya tak mau mengalah. Memang pada dasarnya mereka berdua sama-sama keras kepala.
"Tenanglah, ini kan baru awal-awal. Kau masih punya waktu panjang untuk mengganti pandangannya tentangmu!" Aldrich menyemangati. Entah kenapa mereka berdua lebih bersemangat ketimbang Ivan.
Bisa dibilang, mereka tidak tertarik pada Neva sama sekali. Jadi keduanya berusaha mendukung Ivan dengan sungguh-sungguh.
"Permisi, apa ada Ivan?"
Suara seorang gadis terdengar dari arah pintu kelas. Nyaris semua orang yang ada di dalam menoleh ke sumber suara. Di sana, berdiri seorang gadis dengan rambut merah mudanya.
Ivan yang mengetahui itu siapa langsung berjalan mendekati pintu.
"Ada apa, senior?"
Ketua dari Technology Research Club itu nampak tersenyum ketika Ivan mendekatinya.
"Selamat!"
Gadis itu menepuk pundak Ivan yang berada lebih tinggi posisinya, masih memberi senyum yang sama. Sementara Ivan sendiri terlihat kebingungan.
"Kau diterima di club, nilaimu sempurna!"
Axelle mengedipkan sebelah mata dan membentuk 'ok' jari tangan kanannya. Pengumuman yang diberikan oleh Axelle jelas membuat pemuda itu terdiam semakin kebingungan.
"Pokoknya, besok kutunggu di ruang club ya!" Ucap gadis itu dengan sangat bersemangat. Tanpa membiarkan Ivan berbicara sepatah kata, Ia langsung melangkah menjauhi kelas.
Baik Ivan maupun kedua temannya, juga beberapa orang yang masih ada di dalam kelas memandang dengan pandangan terkejut.
"A-aku... Diterima?!"
.
.
.
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top