ENAM - Pak Sampa dan Kesendiriannya

Dalam hidup, mungkin ada saat di mana kita tidak lagi bergantung pada orang lain, hidup mandiri, dan memulai segalanya kembali. Itu yang pertama kali kurasakan saat menapak di kota besar ini.

Semua terasa asing, jauh dari kata menyambut kedatangan seseorang. Orang-orang berjalan ke sana kemari, tidak peduli. Punya agenda sendiri-sendiri. Bahkan saat ditanya, sebagian besar cuma mengibas-ngibaskan tangannya, kemudian berlalu sembari membawa ponsel atau koran.

Jemariku kembali merogoh dan membuka lembaran kertas yang sudah kumal. Isinya bukan uang atau jimat, cuma sebuah alamat.

"Kata alamatnya, sih, harusnya ke tempat itu, Mas," jawab bapak-bapak yang tengah kutanyai. Tangannya menunjuk ke rumah kosong yang terbengkalai. "Tapi, mungkin salah barangkali. Coba ditanyakan ke teman masnya, ya. Rumah itu sudah tidak dihuni selama lebih dari lima tahun. Jadi, kalau bukan hantu yang menghubungi, masnya pasti ditipu."

Aku menghela napas, tidak lupa berterima kasih ke bapak-bapak baik itu karena sudah mau merespon. Dari sekian banyak orang di kota besar ini, bapak itulah yang pertama kali membantuku.

Semua itu cuma pekerjaan dari penipu. Dan karena itu, tidak ada lagi keperluanku di kota besar ini. Jadi, aku bergegas menuju halte angkot. Begitu berhenti di tempat tujuan, aku mengeluarkan dompet untuk membayar. Saat kubuka, isi dompetku raib entah sejak kapan, padahal aku yakin masih ada tiga ratus ribu sebelumnya. Pak angkot sempat marah-marah, mengomeli tentang bagaimana harusnya aku menjaga isi dompetku, sebelum memutar balik angkotnya dengan sedikit ngebut.

Aku menghela napas, memandangi papan penanda terminal.

"Thole, butuh tempat menginap?" Suara ibu-ibu memanggilku lembut.

Aku menoleh, mendapatkan sang penyuara tengah berdiri di sampingku. Beliau wanita, mungkin sudah kepala empat. Bibirnya ditarik sedemikian rupa agar terlihat tersenyum.

"Ah, i-iya, Bu, saya dari desa. Di kota ini mau ketemu sama kenalan, tapi saya kena tipu."

"Loalah, kok bisa, Le?"

Lalu aku menjelaskan lebih rinci, tentang bagaimana bertemu dengan rekanan di internet, sampai berada di kota, dan ada pada keadaan seperti sekarang. Ibu itu mengangguk-angguk, sambil sesekali menutup mulutnya seakan menunjukkan ketidakpercayaan dan simpati. Dari cerita itu, aku baru tahu kalau ibu ini satu daerah denganku, walau beda kecamatan.

"Kebetulan saya baru buka kontrakan. Mungkin Mas bisa mampir sebentar, hitung-hitung saya bantu teman satu daerah."

Aku melirik sekali lagi papan terminal sebelum mengangguk dan berjalan mengikuti Ibu Sunarsih ke kontrakannya. Bu Sunarsih juga berjanji, kalau aku bisa tinggal sambil membantunya mengurusi kontrakan.

***

"Le, tolong bawakan ini ke atas."

Aku bergegas menghampiri dan mendapati Bu Sunarsih sedang mengemas beberapa barang ke kardus cokelat. Di sampingnya ada anak Bu Sunarsih yang sudah berkeluarga. Berbeda dengan Bu Sunarsih, anaknya masam wajah, seolah ada dua beban mengganjal di setiap ujung bibirnya.

"Ada yang perlu saya bantu lagi, Bu?" Bu Sunarsih menggeleng, tidak lupa tersenyum.

Anaknya ganti menyahut, "Oh, iya, Mas, bisa tolong sapukan pelataran depan—"

Belum anak itu menyelesaikan perkataannya, ia sudah disenggol oleh Bu Sunarsih. Mereka bertatapan sebentar, sebelum akhirnya sang anak mengalihkan pandangannya.

Aku buru-buru mengangkat barang yang dimaksud dan bergegas ke atas, sebelum terlibat percekcokan yang akan terjadi di sini. Ketika sudah melaksanakan, barulah suara itu terdengar. Bu Sunarsih dan anaknya, Non Asih, cukup sering berdebat. Beberapa kali Non Asih juga menyarankan agar aku ikut bantu bersih-bersih, dan entah kenapa Bu Sunarsih menolaknya.

Sebenarnya, walaupun aku diminta melakukan itu, dengan senang hati kulakukan. Beberapa kali juga aku menawarkan diri untuk membereskan kamar. Bu Sunarsih selalu berkata "tidak perlu" sambil tersenyum dan mengelus pundakku. Ia berkata aku mengingatkan beliau kepada salah satu anak perjakanya di perantauan. Jadi, pada akhirnya aku hanya membantu ketika Bu Sunarsih benar-benar butuh tenaga lelaki seperti mengangkat, mendorong perabot, sampai membawakan barang belanjaan. Mungkin beberapa kal Bu Sunarsih mengajakku ke toko kecilnya, tempat beliau menaruh beberapa botol bekas untuk dipilah dan dijual kembali. Bahkan di masa tuanya Bu Sunarsih masih aktif.

Hanya keberadaan Bu Sunarsih-lah yang membuatku betah di kota ini. Selain itu, semua berkesan sama seperti saat pertama kali aku menjejakkan kaki di terminal.

Di saat kumulai bergerak ke jalan atau toko untuk mencari pekerjaan, beberapa kali terlihat anak-anak menjadi pengamen dan penjual koran. Di sore hari mereka akan berkumpul di bawah jembatan, sembari mendengar instruksi dari seseorang (aku tidak tahu kenapa bisa mengatakan "instruksi". Sang penyampai pesan selalu membentak atau menegaskan sesuatu berulang).

Sedikit terbesit, bagaimana kalau aku ikut mereka? Setidaknya, kegiatan itu tidak terlalu berat di otak atau membutuhkan syarat tertentu, hanya tubuh dan tekad kuat. Tapi, mengingat lagi, Ibu pasti tidak sudi anaknya berada di jalan seperti itu; mengenaskan.

Di saat lain, aku melihat orang tua, yang kurus, lemah, masih menarik gerobak sampahnya. Kenapa orang yang seharusnya bersantai di rumah, menimang anak-cucunya, masih bergelut di bawah tegasnya sinar mentari? Lebih-lebih, bagaimana mungkin sepanjang hari tubuh itu masih mampu menggerakkan gerobak dengan isi menjulang, sesekali terjatuh di jalan?

Kota itu kejam. Tapi entah kenapa, semua orang tetap bergerak di dalamnya. Dipecut oleh kebutuhan, atau apa pun yang bisa menggerakkan paksa mereka. Budak keadaan. Rasanya kelamaan aku mulai terhisap ke dalamnya. Pada akhirnya, aku juga ingin melakukan sesuatu yang lebih.

Dari toko ke toko, hingga beberapa supermarket, aku mulai mendapatkan pekerjaan sampingan. Banyak di antaranya, hanya pengganti shift rekan-rekan yang tengah libur atau cuti. Uangnya pun tak seberapa, hanya cukup untuk makan sesekali. Karena semakin banyak pekerjaan ekstra yang dilakukan, maka semakin banyak pula uang yang kudapatkan. Aku mulai sukarela membantu rekan-rekan lain di supermarket maupun di toko-toko. Mencuci piring, menyapu, dan mengepel hampir jadi bagian lain dalam kehidupanku.

Semenjak melihat anak-anak di jembatan dan bapak penarik gerobak sampah, aku merasa sedikit semangat. Aku tidak ingin menjadi pemalas atau tak mau bekerja keras. Setidaknya, saat pulang nanti aku bisa membawa sesuatu yang membanggakan. Tekad itu semakin menyemangatiku dalam menyapu ataupun mengepel lantai supermarket.

***

Suatu hari, saat pulang, aku berpapasan dengan non Asih. Wajahnya masih saja kusut, tapi kali ini, bukan karena memang sedang kusut atau apa. Ada sesuatu yang membuatnya sedikit cemas. Begitu kami bertukar pandang, non Asih memanggilku.

"Mas," katanya, tanpa mendekat, "bisa minta tolong sapukan pekarangan sebentar? Saya ada urusan, Ibu sakit."

Aku cukup kaget. Memang beberapa kali saat berangkat kerja, tidak sering lagi Bu Sunarsih terlihat meregangkan tubuh di pekarangan, ataupun menyapu santai sambil menyapa tetangga yang lewat. Saat kutanya beliau sedang sakit apa, Non Asih memelototiku sebentar sebelum memutar bola mata dan mendesah pelan.

"Ibu sakit karena kecapekan, mungkin. Sekarang, nah," Non Asih menyodorkan sebuah sapu lidi. "Ndak terlalu kotor, cuma di-keriki sebentar saja sudah selesai."

Aku mengiyakan, menatapi gerak-gerik Non Asih yang pergi ke kamar Bu Sunarsih sembari bersiap menyapu. Tasku tentu masih di pundak, jadi kusempatkan sebentar untuk menaruhnya di kamar yang letaknya tak jauh dari teras. Selagi berjalan, telingaku samar mendapat suara percakapan dan beberapa kali batuk kering.

"Nanti Asih belikan lagi obatnya, ya? Ibuk tidur saja, istirahat. Teras sudah bersih, tadi aku sapu."

***

Menguping bukan sesuatu yang baik, Ibu sering bilang begitu. Ketika Non Asih berjalan pergi menghampiri seorang berjas hitam dengan supra lawasnya, aku sedikit merasa bersalah. Setelah menyelesaikan pekarangan, aku bergegas ke kamar Bu Sunarsih setelah membereskan peralatan.

"Punten, Bu, Ibu butuh sesuatu?" Aku mendekatkan salah satu telingaku ke pintu. Tidak ada jawaban.

Aku menghela napas, berniat kembali. Tak lama terdengar suara erangan lemah. Sedetik kemudian, suara kaca pecah mengikuti. Aku sontak berbalik, buru-buru menarik pintu dan melompat masuk.

"Ibuk!"

***

Sebagian salahku. Aku berusaha menaikkan kembali Bu Sunarsih yang menggelepar di sisi ranjang sembari menggeser sisa-sisa pecahan ke samping nakas. Tidak lama, suara supra yang tadi awal menjemput Non Asih kembali terdengar. Non Asih tentu sama paniknya, entah saking paniknya sampai mendorongku ke samping.

"Mas, saya tahu Mas mau bantu, tapi Ibu gak boleh bergerak dulu!" raungnya. Sesosok pria yang berdiri di pelataran sedikit bergerak karena suara Non Asih.

Non Asih sendiri bergerak maju, menodongku dengan telunjuk dan ekspresi lebih terbakar dari sebelumnya, "Jangan dekat-dekat sama Ibu lagi atau tahu akibatnya!"

Aku menunduk, mengangguk pelan. Non Asih kemudian beranjak ke pria supra, memberinya beberapa lembar uang, sebelum berbalik dan membuang muka pada aku yang masih berdiri seperti patung. Dan sejak itu, Bu Sunarsih tidak pernah lagi terlihat di luar kamarnya.

***

Rasanya aku semakin tenggelam ke keseharian. Aku mulai bisa membayar kos dari Bu Sunarsih, hitung-hitung membantu biaya perobatan beliau, yang kini sudah dipindahkan ke rumah sakit nun di sana. Pekerjaanku semakin bertambah, meskipun bergitu tidak sulit mengaturnya. Tetapi, di saat bersamaan, ada sedikit kerinduan.

Tempat kos ini tidak lagi sama sejak Bu Sunarsih pergi. Non Asih mungkin masih sesekali datang, memeriksa sekitar, atau menyapu dengan setengah tenaga, tapi Non Asih tidak sebaik Bu Sunarsih: tak lagi terdengar sapaan ke tetangga yang lewat, selain itu pekarangan tidak sebersih sebelumnya, sehingga mau tidak mau aku ikut membantu membuang sisa dedaunan yang ditinggalkan Non Asih. Entah sejak kapan tempat ini makin sepi, sampai sadar bahwa aku sendirian di rumah kos.

Kamar Bu Sunarsih—yang sebelumnya temaram tiap malam—kini gelap gulita. Melewatinya sedikit memberi kesan tak nyaman. Mungkin aku juga mulai takut akan sesuatu yang menyeramkan, walau tak yakin itu karena hantu atau apa.

***

Sejak kepergian Bu Sunarsih, kegiatan sedikit berbeda. Kesehatanku agak menurun, jadi aku memutuskan untuk berhenti membantu beberapa rekan dan fokus beristirahat untuk satu hari. Tentu saja pendapatan harus berkurang saat itu.

Karena berada cukup lama di rumah, aku sempat memperhatikan beberapa hal, seperti sebuah tempat yang Bu Sunarsih pernah perlihatkan padaku. Tempat itu ada di sisi lain kos-kosan, sebuah studio kecil dari kayu sederhana.

Bu Sunarsih pernah bilang, suaminya suka mengumpulkan barang bekas, kegiatan itu masih dilakukan sesekali oleh bu Sunarsih. Penghasilannya tidak seberapa, tetapi ada kesenangan tersendiri ketika mengumpulkan beberapa botol untuk dipilah dan diberikan ke pengepul.

Sejenak diam, terdengar suara langkah di rerumputan. Ketika berbalik, Non Asih sudah berdiri di sana. Wajahnya sedikit merah, dengan sudut bibir yang masih ditarik dan kusut seperti biasa. Kali ini Non Asih habis menangis.

"Ibu sama Bapak suka kumpul di sini." Mulainya, selagi berjalan mendekat. "Walau sampah itu kotor, mereka tetep main-main. Seru, katanya."

Non Asih mengusap bagian bawah mata dan hidungnya. Matanya terus menatap gubuk yang tinggal sisa-sisanya itu, seakan melihat hal lain yang benar-benar ada di sana.

"Mungkin, gak ada hubungannya, tapi saya mau pergi keluar kota, Mas. Ada yang melamar, jadi harus datang." Non Asih menarik napas, bersamaan dengan mengakhiri sembab dan air matanya. "Tempat ini bakal diserahkan sama saudara Ibu di sini."

Aku mengangguk. Mungkin tempat ini akan makin sepi.

***

Beberapa kali aku mulai mengumpulkan sampah yang berceceran. Semua ini dimulai dari seseorang yang seenaknya membuang botol di pelataran rumah kos. Aku bergegas mengambilnya dan sadar kalau lebih banyak lagi sampah di sekitar sini. Di rumah lain masih bersih, sementara rumah Bu Sunarsih sudah mulai tak terurus. Penjaga baru kos-kosan Bu Sunarsih sering keluar, mungkin untuk bekerja.

Aku pikir, tidak ada salahnya kalau sekarang aku membantu bersih-bersih pekarangan.

Aku memulai dari menyapu, mengumpulkan sampah daun di satu tempat, sedangkan sampah plastik di tempat lain. Melihat halaman hijau yang sudah rapi sedikit membuat perasaanku lega. Tetapi, halaman depan menarik perhatian karena lebih banyak sampah. Botol minuman baik kaleng maupun plastik berjejer di depan selokan, beberapa sudah jatuh tenggelam di alirannya. Semakin hari semakin awas pandanganku terhadap sampah-sampah ini.

Lalu teringat soal Bu Sunarsih dan suami beliau tentang memilah botol dan plastik lainnya. Mulailah saat itu sebuah kegiatan sampingan ketika aku berada di rumah: memungut, mengumpulkan, dan mengelompokkan sampah-sampah.

Awalnya semua itu terbatas di rumah, sampah pun sebatas dikumpulkan untuk dibuang. Tapi suatu hari aku sadar kalau pak sampah mengambil sampah-sampah yang sudah dikumpulkan lalu mencampurnya ke satu tempat sama.

Dalam batinku kalau begitu dipisahkan pun tak ada gunanya, 'kan? Maka sejak itu aku memulai bak sampahku sendiri. Orang-orang lain pun mulai membantu, dari yang mengumpulkan sampah tertentu di rumah lalu memberikannya padaku, sampai yang memberiku makanan di setiap sore.

Pekerjaan di luar ini mulai kutinggalkan. Pekerjaan di supermarket yang tersisa, tetapi karena pemilik posisi sesungguhnya sudah kembali, jadi itu pun tidak lagi kulakukan. Aku bertekad untuk fokus mengambil sampah, mungkin memilah dan menjualnya atau melakukan hal lain yang berguna dari sampah. Mungkin kotor, tapi memang ada kenikmatan tersendiri.

Sepi, tapi mungkin kumulai bisa menikmati. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top